Sabtu, 12 November 2011

DBD

DEMAM BERDARAH DENGUE
A. Pendahuluan
Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Hal ini mengakibatkan sejumlah rumah sakit menjadi kewalahan dalam menerima pasien DBD. Untuk mengatasinya pihak rumah sakit menambah tempat tidur di lorong-lorong rumah sakit serta merekrut tenaga medis dan paramedis. Merebaknya kembali kasus DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini.
B. Pengertian
Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. DHF adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus. DHF terutama menyerang anak remaja dan dewasa dan sering kali menyebabkan kematian bagi penderita
C. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses), artinya virus yang ditularkan melalui gigitan binatang
arthropoda. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga. Dalam hal ini Demam Berdarah ditularkan oleh sejenis nyamuk yang disebut Aedes aegypti. Nyamuk betina menghisap darah untuk kebutuhan reproduksi. Tiga hari setelah menghisap darah maka ia akan sanggup bertelur sebanyak 100 butir. Selanjutnya mulai menghisap lagi dan bertelur lagi. Nyamuk Aedes tergolong antropofilik yaitu suka darah manusia. Berbeda dengan species nyamuk lain yang cukup hanya dengan menggigit/menghisap darah satu orang saja, maka nyamuk Aedes mempunyai kebiasaan menggigit berulang, yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Hal ini disebabkan karena nyamuk Aedes sangat sensitif dan mudah terganggu.
Nyamuk betina biasanya menggigit di dalam rumah pada waktu siang hari, di tempat yang agak redup. Nyamuk betina meletakan telurnya di permukaan air yang jernih dan terlindung dari sinar matahari langsung. Lebih disukai tempat air di dalam atau dekat rumah, terutama tempat air yang bertutup longgar atau jarang dikuras.
D. Epidemiologi
Materi studi epidemiologi DBD secara garis besar, menyangkut 3 hal utama yang saling berkaitan:
• HOST (inang) : adalah manusia atau makhluk hidup lainnya, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. Faktor penjamu yang berkaitan dengan kejadian penyakit DBD dapat berupa : umur (tanpa batas usia), jenis kelamin (siapa saja), ras, etnik, keadaan imunologis, perilaku (tidak menjaga lingkungan sekitarnya) dan status gizi..
• AGEN (faktor penyebab) , adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Disini penyakit demam berdarah disebabkan dari factor biologis yaitu virus dengue
• LINGKUNGAN : adalah segala factor dari suatu individu berupa lingkungan fisik, biologis, social dll. .Faktor lingkungan adalah faktor yang ketiga sebagai penunjang terjadinya penyakit.


E. Patogenesis

Infeksi dengue bisa disebabkan oleh beberapa jenis serotipe virus DEN, setelah terinfeksi oleh salah satu serotipe virus, tubuh akan membentuk kekebalan terhadap serotipe tersebut, namun tidak terhadap jenis serotipe lain, sehingga jika tubuh terinfeksi lagi oleh jenis serotipe lain (secondary infection), bisa menimbulkan infeksi yang lebih berat. Hal ini disebabkan adanya antibody dependent enhancement, dimana tubuh akan menghancurkan serotipe pertama disamping membentuk antibodi non netralisasi yang justru akan mempermudah sel terinfeksi oleh virus, sehingga melepaskan sitokin yang bersifat vasoaktif atau prokoagulasi, seperti IL-1 IL-6, TNF α dan Platelet Activating Factor (PAF). Bahan- bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan. Namun demikian, hanya 2-4% penderita secondary infection akan mengalami infeksi yang berat, belum diketahui kenapa hal ini bisa terjadi.Setelah virus masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak dalam sel makrofag, monosit dan sel B, virus juga bisa menginfeksi sel mast, sel dendritik dan sel endotel. Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Viremia terjadi selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala demam mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi Antigen Presenting Cell (APC) .
F. Gejala klinis
a. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38oC – 40oC)
b. Manifestasi pendarahan, dengan bentuk: uji tourniquet positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena, dsb.
c. Hepatomegali (pembesaran hati).
d. Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
e. Trombositopeni, pada hari ke 3 - 7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000 /mmHg.
f. Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit.
g. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare kejang dan sakit kepala.
h. Pendarahan pada hidung dan gusi.
i. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis :
• Pemeriksaan darah perifer: Hb, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, dan trombosit.
• Pada DBD berat/SSD : monitor hematokrit tiap 4-6 jam, trombosit, AGD, kadar elektrolit, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, protein serum, PT dan APTT.
H. Pengobatan
Pengobatan penderita demam berdarah adalah dengan cara :
1. Pengantian cairan tubuh
2. Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter sampai 2 liter dalam 24 jam.
3. Gastroenteritis oral solution atau kristal diare yaitu garam elektrolid ( oralit kalau perlu 1 sendok makan setiap 3 sampai 5 menit )
4. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit diperlukan untuk mencegah terjadinya syok yang dapat terjadi secara tepat.
5. Pemasangan infus NaCl atau Ringer melihat keperluanya dapat ditambahkan, Plasma atau Plasma expander atau preparat hemasel.
6. Antibiotik diberikan bila ada dugaan infeksi sekunder.
I. Prognosis
Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain : Keterlambatan diagnosis shock, Keterlambatan penanganan shock, Shock yang tidak teratasi, Kelebihan cairan, Kebocoran yang hebat, Pendarahan masif, Kegagalan banyak organ, Ensefalopati, Sepsis dan Kegawatan karena tindakan
J. Pencegahan
 Lingkungan : Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat dan lain-lain.
 Biologis : Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikanadu/ikancupang), dan bakteri(Bt.H14).
 Kimiawi :
1. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
2. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air.
3. 3M Plus, yaitu menutup, menguras, menimbun.
4. Memeliharakan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.

RABIES

Dokter hewan, yang menjadi Direktur Pusat Veterinaria Farma Surabaya pada tahun 1997, merasa beruntung. Ia ikut menangani penyakit rabies atau anjing gila di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Waktu itu ia ditugasi Direktur Jenderal Peternakan Departemen Pertanian untuk meneliti kejadian rabies di sebuah desa pantai di Larantuka, Flores Timur. Sebelumnya Pulau Flores bebas rabies. Ia segera mencari kasus pertama rabies yang menyerang manusia. Ia mencari saksi-saksi dan mencari sampel untuk uji laboratorium.
Seorang warga melihat sendiri bahwa orang yang meninggal itu sebelumnya digigit anjing. Ada saksi juga bahwa ketiga anjing itu dibawa nelayan Larantuka dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pulau Buton adalah pulau tertular rabies.
”Setelah mempelajari epidemiologinya (studi tentang penyebab dan penyebaran penyakit), rabies di Pulau Flores bisa diketahui masuk dari Pulau Buton,” kata Budi Tri Akoso, mantan Direktur Kesehatan Hewan dan Kepala Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian, Sabtu (23/10).
Sekali seekor anjing tertular Lyssavirus, virus penyebab rabies, memasuki suatu pulau, penyakit itu tak lama lagi menyebar. Dalam Kongres Ke-16 Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan Konferensi Ilmiah Veteriner Ke-11, 10-13 Oktober 2010 di Kota Semarang, Jawa Tengah, sejumlah makalah juga memaparkan rabies, termasuk di Flores Timur tersebut.
Makalah dari Ewaldus Wera, Maria Geong, dan Marthen B Malole, yang memaparkan epidemiologi rabies di Flores Timur, menyebutkan, dalam periode 1997-2000, di antara 723 orang yang tergigit anjing di Flores Timur, 21 orang di antaranya meninggal karena rabies. Hal itu berarti setiap 34 orang tergigit, satu orang meninggal. Umur korban bervariasi dari 2,5 tahun hingga 68 tahun, sebanyak 66,7 persen adalah laki-laki.
”Dari kejadian di Flores itu saya waktu itu (tahun 1997) sudah menduga, rabies akan segera sampai ke Bali,” tutur Budi Tri Akoso, penulis buku Pencegahan & Pengendalian Rabies (Penerbit Kanisius, 2007) itu.
Benar, 11 tahun kemudian, rabies sampai ke Bali. Pulau Bali, yang dinyatakan bebas rabies secara historis selama 82 tahun sejak ada Ordonansi Rabies tahun 1926, itu akhirnya tak mampu mencegah menyebarnya virus rabies. Penghalang alami, yaitu lautan yang memisahkan pulau-pulau, akhirnya kalah dari lalu lintas manusia dan hewan yang semakin intens tahun-tahun terakhir ini.
Kejadian rabies pada manusia di Bali pertama kali terjadi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, di ujung selatan Pulau Bali. Pada November 2008, empat orang meninggal dengan gejala ensefalitis atau radang otak dengan riwayat pernah digigit anjing.

Sejak itu rabies mewabah di seluruh Bali. Apalagi kasus gigitan anjing cukup tinggi karena anjing liar yang banyak. Dinas Peternakan Bali mencatat, sekitar 50.000 kejadian manusia digigit anjing. Berdasarkan data terakhir dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga 15 Oktober 2010, sebanyak 102 orang meninggal dunia karena rabies (Kompas, 16/10).
Menurut Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali Putu Sumantra, seperti dikutip Antara, Sabtu, kegiatan vaksinasi telah menjangkau 80,91 persen dari perkiraan populasi anjing di Bali yang berjumlah 447.966 ekor, yaitu 362.473 ekor. Eliminasi anjing liar telah menjangkau 117.315 ekor atau 23,76 persen dari seluruh populasi anjing.
Dampak ekonomi

Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Ewaldus Wera, Maria Geong, dan Maxs UE Sanam, dalam makalah di Kongres Ke-16 PDHI tersebut, memaparkan analisis ekonomi akibat rabies menggunakan model ekonomi.
Total kerugian ekonomi atas rabies di NTT tahun 1998-2007 mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk biaya pengobatan pascagigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar.
Tak hanya itu, seperti dilaporkan AFP Agustus 2010, Pemerintah Amerika Serikat dan Australia juga telah memperingatkan warganya agar berhati-hati berkunjung ke Bali karena wabah rabies tersebut.
Para dokter hewan di Bali atau mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang sebelum tahun 2008 hanya mempelajari rabies dari buku-buku, sekarang dapat mempelajari langsung penyakit ini. Dokter hewan Soeharsono, praktisi hewan kecil di Klinik Hewan Canifeli di Denpasar, Bali, bersama sejumlah rekannya, misalnya, memaparkan kasus rabies alami pada anak anjing. Selain anjing dewasa, anak anjing juga bisa menularkan rabies.
Menurut Soeharsono, gejala klinis dari rabies pada anak anjing itu memang tidak terlalu spesifik. Namun, dari pengamatan di Denpasar, kecurigaan terhadap rabies harus sudah ada apabila seekor anjing menggigit seseorang atau seekor hewan lain disertai gejala menyimpang (bersembunyi, suka menggigit meski tidak kelihatan agresif). Apabila anak anjing tersebut mempunyai sejarah pernah digigit anjing lain, hal ini akan lebih menguatkan dugaan. Untuk memantapkan diagnostik, perlu dilakukan uji antibodi fluoresen (fluorescent antibody test).
Sekarang, setelah dua tahun terjadi wabah rabies di Bali, sebuah tim gabungan tengah meneliti dari mana datangnya anjing yang menularkan rabies tersebut ke anjing di Bali. Tim gabungan tersebut terdiri atas ahli dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, serta Balai Besar Veteriner Denpasar. ”Kita tunggu hasil penelitian ini,” ujar Guru Besar Virologi FKH Universitas Udayana Prof Dr IGN Kade Mahardika.

Namun, sejumlah indikasi dikemukakan Mahardika, yaitu bahwa kecil kemungkinan anjing rabies masuk dari Pulau Lombok yang bebas rabies atau Pulau Jawa yang memiliki riwayat rabies. Kemungkinan anjing berasal dari Pulau Flores atau Pulau Sulawesi.
Beberapa faktor yang mungkin dapat menyebabkan perpindahan anjing tertular ke Bali adalah transportasi anjing tanpa pengawasan yang ketat, perpindahan anjing oleh nelayan, dan permintaan akan anjing untuk status sosial.

Kampanye antirabies
Untuk itu, Mahardika menyarankan upaya untuk menanggulangi rabies di Bali secara radikal. Vaksinasi dan eliminasi anjing harus dilakukan secara massal dan serentak, tidak seperti selama ini yang sporadis dan lambat.
Kampanye besar-besaran untuk menyadarkan bahaya rabies kepada masyarakat perlu dilakukan, seperti sedang diupayakan FKH Universitas Udayana dengan Unicef. Selain itu, pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan juga perlu digalakkan.
Provinsi Bali telah mencanangkan Bali Bebas Rabies tahun 2012. Untuk mengatur anjing telah pula dibuat Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies.
Upaya mendasar itu perlu karena Kementerian Kesehatan pada 2009 telah mengumumkan 24 dari 33 provinsi di Indonesia tertular rabies. Sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua.
Secara internasional, lebih dari 150 negara tertular rabies. Untuk itu, kampanye pemberantasan rabies itu antara lain dilakukan oleh Alliance for Rabies Control dengan menetapkan 28 September sebagai Hari Rabies sejak 2006. Kampanye ini penting terlebih setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan rabies sebagai salah satu dari 17 penyakit tropis yang terabaikan dan memerlukan perhatian dunia.
Di atas semua itu, untuk Indonesia, diperlukan suatu otoritas veteriner yang kuat dengan memberi peran dokter hewan lebih besar guna mengurusi persoalan kedokteran hewan. Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia sudah berulang kali mengusulkan kepada pemerintah agar otoritas veteriner ini diperkuat untuk menanggulangi berbagai penyakit hewan di Tanah Air. Sekarang bola berada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

SERTIFIKASI PENYUSUN DOKUMEN AMDAL

Melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2009 tentang Persyaratan Kompetensi Dalam Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Persyaratan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang akan berlaku efektif pada tanggal 11 November 2009, Kementerian Negara Lingkungan Hidup telah melakukan sertifikasi kompetensi nasional terhadap personil penyusun dokumen AMDAL dan registrasi kompetensi di bidang AMDAL terhadap Lembaga Jasa Penyedia Penyusunan Dokumen AMDAL dan Lembaga Pelatihan Kompetensi Penyusun Dokumen AMDAL. Tujuan dikembangkannya sistem ini adalah untuk menjamin mutu dokumen AMDAL, sehingga standar mutu dokumen AMDAL yang dihasilkan akan sama di seluruh Indonesia.
Sertifikasi ini ditujukan bagi penyusun dokumen AMDAL, baik secara personil maupun secara institusi (Lembaga Penyedia Jasa Penyusun Dokumen AMDAL/konsultan AMDAL), serta lembaga penyelenggara pelatihan penyusun dokumen AMDAL. Sertifikasi personil penyusun dokumen AMDAL dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu ketua tim penyusun dokumen AMDAL dan anggota tim penyusun dokumen AMDAL. Untuk memperoleh sertifikasi tersebut dilakukan melalui uji kompetensi. Jika personil tersebut telah lulus uji maka akan diterbitkan sertifikat sertifikasi dengan masa berlaku selama 3 (tiga) tahun. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon peserta uji untuk dapat ikut serta dalam pelaksanaan uji kompetensi ini, baik untuk kualifikasi ketua tim dan anggota tim. Untuk pelaksanaan sertifikasi ini Kementerian Negara Lingkungan Hidup telah menunjuk Lembaga Sertifikasi Kompetensi Intakindo yang melaksanakan kegiatan sertifikasi bagi personil penyusun dokumen AMDAL.
Dalam Peraturan Menteri LH No 11 Tahun 2008 ini diatur juga persyaratan tim dalam melakukan penyusunan suatu dokumen AMDAL. Nantinya jika peraturan menteri ini berlaku efektif, suatu dokumen AMDAL yang disusun harus memenuhi paling sedikit 3 (tiga) orang penyusun AMDAL yang telah memiliki sertifikat kompetensi dengan 1 (satu) orang dengan kualifikasi sebagai ketua tim dan 2 orang dengan kualifikasi anggota tim. Dalam komposisi tersebut, tim penyusun dokumen wajib melibatkan tenaga ahli yang sesuai dengan dampak penting yang diakibatkan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan.
Untuk lembaga penyedia jasa penyusunan dokumen AMDAL/konsultan AMDAL wajib melakukan registrasi di Kementerian Lingkungan Hidup. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh konsulatn sebelum melakukan registrasi, yaitu:
• berbadan hukum;
• memiliki paling sedikit 2 (dua) orang tenaga tetap penyusun dokumen AMDAL yang memiliki sertifikat kompetensi dengan kualifikasi ketua tim penyusun dokumen AMDAL;
• memiliki perjanjian kerja denngan tenaga tidak tetap penyusun dokumen AMDAL yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL dan seluruh personil yang terlibat dalam penyusunan dokumen AMDAL;
• memiliki sistem manajemen mutu;
• melaksanakan pengendalian mutu internal terhadap pelaksanaan penyusunan dokumen AMDAL, termasuk menjaga prinsip ketidakberpihakan dan/atau menghindari konflik kepentingan.

Jika ada suatu dokumen AMDAL yang telah disusun dan diproses di komisi penilai AMDAL sebelum peraturan ini berlaku, maka dokumen tersebut dapat terus diproses walaupun tim penyusun dan konsultannya belum memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan menteri ini.

AMDAL

Apa yang dimaksud dengan AMDAL?
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
“…kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup; dibuat pada tahap perencanaan…”



Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen AMDAL terdiri dari :
* Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
* Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
* Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
* Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

Apa guna AMDAL?
* Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
* Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
* Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
* Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
* Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan
“…memberikan alternatif solusi minimalisasi dampak negatif”
“…digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin usaha dan/atau kegiatan”
Bagaimana prosedur AMDAL?
Prosedur AMDAL terdiri dari :
* Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
* Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
* Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
* Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.

Siapa yang harus menyusun AMDAL?
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.

Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL?
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat pemerhati.

Apa yang dimaksud dengan UKL dan UPL ?
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
* Identitas pemrakarsa
* Rencana Usaha dan/atau kegiatan
* Dampak Lingkungan yang akan terjadi
* Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
* Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
* Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
* Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
* Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara

Apa kaitan AMDAL dengan dokumen/kajian lingkungan lainnya ?
AMDAL-UKL/UPL
Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib
Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.
Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat “memperbaiki” ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.
Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sangat berguna bagi pemrakarsa, termasuk dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan lainnya.

HUBUNGAN KONSUMSI MAKANAN DENGAN STATUS GIZI

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004). Menurut Supariasa, dkk (2001) menyatakan bahwa status gizi yaitu ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Contohnya gizi kurang merupakan keadaan tidak seimbangnya konsumsi makanan dalam tubuh seseorang.
Menurut Hermana (1993) status gizi merupakan hasil masukan zat gizi makanan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Sedangkan Riyadi (1995) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu.
Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan dari luar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi lainnya (Nix, 2005). Status gizi normal merupakan keadaan yang sangat diinginkan oleh semua orang (Apriadji, 1986).
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).
Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005). Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk (Apriadji, 1986).
Konsumsi pangan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ststus gizi secara langsung. Konsumsi pangan yang cukup akan membentuk status gizi yang baik atau sebaliknya, konsumsi pangan yang tidak cukup akan menimbulkan status gizi yang buruk pula. Menurut Radhardja. P (2001) yang dikutip dari Harper, dkk (1985) bagi sebagian negara yang sedang berkembang ada empat faktor yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan tersedianya pangan.
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
a. Gizi Kurang
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
Gizi kurang merupakan suatu keadaan yang terjadi akibat tidak terpenuhinya asupan makanan (Sampoerno, 1992). Gizi kurang dapat terjadi karena seseorang mengalami kekurangan salah satu zat gizi atau lebih di dalam tubuh (Almatsier, 2001).
Akibat yang terjadi apabila kekurangan gizi antara lain menurunnya kekebalan tubuh (mudah terkena penyakit infeksi), terjadinya gangguan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, kekurangan energi yang dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja, dan sulitnya seseorang dalam menerima pendidikan dan pengetahuan mengenai gizi (Jalal dan Atmojo, 1998).
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi yang banyak dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan yang rendah, pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan perilaku belum sadar akan status gizi. Contoh masalah kekurangan gizi, antara lain KEP (Kekurangan Energi Protein), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), Anemia Gizi Besi (AGB) (Apriadji, 1986).



b. Gizi Lebih

Status gizi lebih merupakan keadaan tubuh seseorang yang mengalami kelebihan berat badan, yang terjadi karena kelebihan jumlah asupan energi yang disimpan dalam bentuk cadangan berupa lemak. Ada yang menyebutkan bahwa masalah gizi lebih identik dengan kegemukan. Kegemukan dapat menimbulkan dampak yang sangat berbahaya yaitu dengan munculnya penyakit degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan ginjal dan masih banyak lagi (Soerjodibroto, 1993).
Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Batas IMT untuk dikategorikan overweight adalah antara 25,1 – 27,0 kg/m2, sedangkan obesitas adalah ≥ 27,0 kg/m2. Kegemukan (obesitas) dapat terjadi mulai dari masa bayi, anak-anak, sampai pada usia dewasa. Kegemukan pada masa bayi terjadi karena adanya penimbunan lemak selama dua tahun pertama kehidupan bayi. Bayi yang menderita kegemukan maka ketika menjadi dewasa akan mengalami kegemukan pula.
Kegemukan pada masa anak-anak terjadi sejak anak tersebut berumur dua tahun sampai menginjak usia remaja dan secara bertahap akan terus mengalami kegemukan sampai usia dewasa. Kegemukan pada usia dewasa terjadi karena seseorang telah mengalami kegemukan dari masa anak-anak (Suyono, 1986).

Faktor-faktor Penyebab yang Mempengaruhi Status Gizi
1) Penyebab Langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
2) Penyebab tidak Langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :
a) Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
b) Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial.
c) Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan.
Pencapaian status gizi yang baik, didukung oleh konsumsi pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan terganggu. Menurut Nyoman et al. (2001) penilaian status gizi dapat diukur secara langsung dan tidak langsung.
1. Secara langsung dapat dilakukan dengan cara :
a) Anthropometri yaitu diartikan secara umum ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, anthropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Penggunaan anthropometri ini secara umum digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi.
Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh. Sedangkan menurut Jelliffe (1989) anthropometri merupakan metode pengukuran secara langsung dan yang paling umum digunakan untuk menilai dua masalah gizi utama yaitu masalah gizi kurang (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur.
Menurut suhardjo dan Riyadi (1990) pengukuran status gizi dengan menggunakan anthropometri dapat memberikan gambaran tentang status konsumsi energi dan protein seseorang. Oleh karena itu, anthropometri sering digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang energi-protein. Indikator anthropometri yang sering dipakai ada tiga macam yaitu : berat badan untuk mengetahui massa tubuh, tinggi badan untuk mengetahui dimensi linear panjang tubuh dan tebal lipatan kulit serta lingkar lengan atas untuk mengetahui komposisi dalam tubuh, cadangan energi dan protein. dalam penggunaan indikator anthropometri tersebut selalu dibandingkan dengan umur dari yang akan diukur. Atas dasar itu maka penentuan status gizi dengan menggunakan anthropometri adalah dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi (BB/TB), dan lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U) (WHO 1995).
Berat badan mencerminkan masa tubuh, seperti otot dan lemak yang peka terhadap perubahan sesaat karena adanya kekurangan gizi dan penyakit. Oleh karena itu, indeks BB/U menggambarkan keadaan gizi saat ini. Tinggi badan menggambarkan skeletal yang bertambah sesuai dengan bertambahnya umur dan tidak begitu peka terhadap perubahan sesaat. Oleh karena itu indeks TB/U lebih banyak menggambarkan keadaan gizi seseorang pada masa lalu. Indeks BB/TB mencerminkan perkembangan massa tubuh dan pertumbuhan skeletal yang menggambarkan keadaan gizi saat itu. Indeks BB/TB sangat berguna apabila umur yang diukur sulit diketahui. lingkar lengan atas memberi gambaran tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Seperti halnya dengan berat badan, indikator LLA dapat naik dan turun dengan cepat, oleh karenanya LLA/U merupakan indikator status gizi saat ini. Diantara indikator-indikator anthropometri yang telah disebutkan, indeks BB/U merupakan pilihan yang tepat untuk dipergunakan dalam rangka pemantauan status gizi sebab sensitif terhadap perubahan mendadak dan dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini (Khumaidi 1997). Penilaian status gizi berdasarkan indikator BB/U, hasilnya kemudian dibandingkan dengan data anthropometri standar WHO-NCHS (National Center for Health Statistics) (WHO 1995), dengan kriteria adalah gizi lebih bila skor-z > 2; normal bila skor- z antara -2 dan 2, gizi kurang bila skor-z < -3 hingga -2 dan gizi buruk bila skor-z < -3.
b) Pemeriksaan secara klinis yaitu metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya digunakan untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical surveis). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit.
c) Biokimia yaitu penilaian status gizi dengan melakukan pemeriksaan specimen yang diuji secara laboratories yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. Metode biokimia digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
d) Penilaian status gizi secara biofisik yaitu merupakan metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Metode ini digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.

2. Penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan cara :
a) Survei konsumsi makanan yaitu metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
b) Statistik Vital yaitu pengukuran status gizi dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
c) Faktor Ekologi, malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.













Gambar 1. Metode penilaian status gizi

Sumber : Jelliffe (1989)

Status gizi menurut Husaini (1977) ditentukan oleh banyak faktor, yang sering dikelompokkan kedalam penyebab langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan infeksi, sedangkan secara tidak langsung dapat disebabkan oleh rendahnya daya beli terutama untuk konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan lingkungan serta berbagai faktor lainnya. Faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi pada anak yang merupakan faktor resiko yaitu pendidikan orang tua yang rendah, pendapatan yang rendah, terlalu banyak jumlah anggota keluarga, anak menderita Penilaian status gizi. Pengukuran langsung seperti Anthropometri, Biokimia, Klinis dan Biofisik sedangkan Pengukuran tidak langsung seperti Survei konsumsi, Statistik vital Faktor ekologi infeksi yang akut atau kronis seperti diare dan sanitasi di dalam dan di luar rumah yang tidak cukup baik.
Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama 1996). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Harper et al.1986).
Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al. (1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi (Sedioetama 1996), lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi.
Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus dapat terpenuhi. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka waktu tertentu berat badan akan menurun yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan kematian (Hardinsyah dan Martianto 1992).
Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi (Hardinsyah dan Tampubolon 2004).
Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah dan Tampubolon 2004).
Penetapan angka kecukupan gizi mineral untuk Indonesia ini terutama didasarkan pada review dari rekomendasi kecukupan gizi untuk mineral makro dan mikro yang ditetapkan oleh Institute of Medicine (IOM 1997, 2000, 2001) dan Food and Agriculture Organization/World Health Organization (FAO/WHO 2001). Cara ini dilakukan mengingat sangat terbatasnya informasi yang berasal dari Indonesia yang dapat digunakan untuk mempertimbangkan kecukupan mineral (Kartono dan Soekatri 2004).
Khusus untuk vitamin D, berbeda dari zat gizi lainnya karena tubuh dapat mensintesanya dengan bantuan sinar matahari (Muhilal dan Sulaeman 2004). Penentuan kebutuhan vitamin C sebelumnya didasarkan atas jumlah yang diperlukan untuk mencegah scurvy, jumlah yang dapat dimetabolisme oleh tubuh dan jumlah yang dapat memelihara jumlah simpanan vitamin C yang cukup. Saat sekarang kebutuhan vitamin C didasarkan pada near maximal neutrophil ascorbate concentration, biomarker oksidasi lemak, fungsi antioksidan dalam leukosit dan penyakit degeneratif kronis (Setiawan dan Rahayu 2004).

KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN

Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologis tertentu. Nilai asupan zat gizi harian yang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin, dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi (Muchtadi 1989).
Standar kecukupan gizi di Indonesia pada umumnya masih menggunakan standar makro, yaitu kecukupan kalori (energi) dan kecukupan protein, sedangkan standar kecukupan gizi secara mikro seperti kecukupan vitamin dan mineral belum banyak diterapkan di Indonesia. Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim, dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Muchtadi 1989).
Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan pada masing-masing orang per hari bervariasi tergantung pada umur, jenis kelamin, dan keadaan fisiologis individu tersebut. Pada anak usia 0-6 bulan, kecukupan energi dan proteinnya masing-masing sebesar 550 Kalori dan 10 gram. Semakin bertambah umur, kecukupan gizi makro berupa energi dan protein serta zat gizi mikro juga bertambah.
Pada anak usia 7-9 tahun, kecukupan energinya meningkat menjadi 1800 Kalori dan kecukupan proteinnya sebesar 45 gram. Remaja dan dewasa pria memiliki angka kecukupan gizi yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. Selain itu, keadaan fisologis juga sangat berpengaruh terhadap angka kecukupan gizi individu. Pada wanita hamil, kecukupan energinya bertambah 180 Kalori pada saat trimester 1, dan pada trimester 2 serta 3 bertambah 300 Kalori dari kecukupan energi wanita yang tidak hamil pada usia yang sama. Kecukupan protein pada wanita hamil juga mengalami kenaikan, yakni sebesar 17 gram dari kecukupan protein wanita normal (Atmarita & Tatang 2004).
Perencanaan pemenuhan kebutuhan dan kecukupan zat gizi perlu untuk dilakukan agar kecukupan dan kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi secara optimal. Perencanaan pemenuhan kecukupan zat gizi dapat dilakukan melalui beberapa langkah, di antaranya adalah dengan menentukan kebutuhan zat-zat gizi masing-masing individu, memperhatikan zat gizi pada bahan pangan yang akan dikonsumsi, serta upaya pemenuhan menu sesuai dengan pedoman umum gizi seimbang (Azwar 2004).
Angka kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defesiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika dan keadaan fisiologis seperti ibu hamil dan menyusui.
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) dalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat di suatu negara. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika, serta keadaan hamil dan menyusui. Dalam perhitungan angka kecukupan gizi yang dianjurkan sudah diperhitungkan faktor variasi kebutuhan individual, dimana kebutuhan yang dianjurkan sudah mencakup hampir 97,5 % populasi, dan untuk ekcukupan beberapa zat gizi seperti vitamin, mineral sudah diperhitungkan sampai cadangan zat gizi dalam tubuh. Sehingga perhitungan kecukupan zat gizi sudah memperhitungkan penambahan sebesar dua kali simpang baku (standar deviasi) dari kebutuhan rata-rata penduduk yang sehat (dr. I Wayan Sujana, M.Kes : Dasar Kebutuhan dan Kecukupan Gizi 14 April 2011).
Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur, gender, dan aktifitas fisik. Dalam penggunaannya bila kelompok penduduk yang dihadapi mempunyai rata-rata berat badan yang berbeda dengan patokan, maka perlu dilakukan penyesuaian. Bila berat badan kelompok penduduk tersebut dinilai terlalu kurus, maka AKG dihitung berdasarkan berat badan idealnya. AKG yang dianjurkan tidak dipergunakan untuk perorangan atau individu, namun lebih menggambarkan kelompok penduduk/masyarakat. Angka Kecukupan gizi dianjurkan digunakan untuk tujuan seperti :
a) Merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk; perlu diketahui pola pangan dan distribusi penduduk
b) Menginterpretasikan data konsumsi makanan perorangan atau kelompok; perlu ditetapkan patokan berat badan untuk masing-masing gender, dan bila menyimpang dari patokan berat badan dilakukan penyesuaian
c) Perencanan pemberian makanan di institusi, seperti rumah sakit, sekolah, industri, asrama, dan lain-lain
d) Menetapkan standar bantuan pangan; misalnya dalam keadaan darurat, dan untuk kelompok penduduk yang berisiko seperti balita, anak sekolah, ibu hamil
e) Menilai kecukupan persediaan pangan nasional
f) Merencanakan program penyuluhan gizi
g) Mengembangkan produk pangan baru di industri
h) Menetapkan pedoman untuk keperluan labeling gizi pangan
Langkah pertama dalam penyusunan AKG adalah menetapkan kebutuhan faali rata-rata penduduk yang sehat dan mewakili tiap golongan umur dan gender menurut kriteria yang telah ditetapkan. Untuk itu, perlu diketahui perbedaan-perbedaan di dalam tiap golongan yang memungkinkan perkiraan jumlah yang perlu ditambahkan pada kebutuhan rata-rata untuk memenuhi kebutuhan sesungguhnya semua orang sehat. Karena alasan mahal dan perlu waktu lama eksperimen tersebut tidak dilakukan, hanya digunakan perkiraan kebutuhan dan variasinya berdasarkan informasi yang terbatas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan AKG, seperti :
a) Adanya variasi individual masing-masing orang yang mempengaruhi utilisasi zat gizi oleh tubuh
b) Adanya perbedaan komposisi zat gizi yang terkandung dalam setiap sumber makanan
c) Adanya saling mempengaruhi antar zat gizi dalam tubuh
d) Adanya perubahan komposisi zat gizi akibat proses pemasakan, atau pengolahan sampai makanan siap dikonsumsi.
Nilai AKG untuk semua zat gizi kecuali energi ditetapkan selalu lebih tinggi daripada kecukupan rata-rata sehingga dapat dijamin, bahwa kecukupan hampir seluruh penduduk terpenuhi. Oleh karena itu asupan dibawah nilai AKG tidak selalu berarti tidak cukup, tetapi makin jauh di bawah nilai tersebut risiko untuk memperoleh asupan tidak cukup meningkat. Khusus untuk energi, nilai kecukupannya ditaksir setara dengan nilai pakainya sebab asupan energi yang kurang maupun lebih dari nilai pakainya akan memberikan dampak pada terganggunya kesehatan.

METODE PENILAIAN KONSUMSI MAKANAN

Penilaian konumsi makanan dibagi menjadi tiga yakni penilaian konsumsi makanan tingkat nasional, tingkat rumah tangga dan tingkat individu.

1. Penilaian Konsumsi Makanan Tingkat Nasional

Untuk pengukuran konsumsi makanan pada tingkat nasional dengan cara Food Balance Sheet (FBS).
Langkah-langkah perhitungan FBS antara lain :
a. Menghitung kapasitas produksi makanan dalam satu tahun (berasal dari persediaan atau cadangan, produksi dan import bahan makanan dari negara atau wilayah lain).
b. Dikurangi dengan pengurangan untuk bibit, eksport, kerusakan pasca panen dan transportasi, diberikan untuk makanan ternak dan untuk cadangan.
c. Jumlah makanan yang ada tersebut dibagi dengan jumlah penduduk.
d. Diketahui ketersediaan makanan perkapita, pertahun secara nasional.

Data Food Balace Sheet tidak dapat memberikan informasi tentang distribusi dari makanan yang tersedia tersebut untuk berbagai daerah, apalagi gambaran distribusi di tingkat rumah tangga atau perorangan. Selain itu juga tidak menggambarkan perkiraan konsumsi pangan masyarakat berdasarkan status ekonomi, keadaan ekologi, keadaam musim dan sebagainya. Oleh karena itu, FBS tidak boleh dipakai untuk menetukan status gizi masyarakat suatu Negara atau wilayah. (Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 90)
Berdasarkan kegunaannya data FBS dapat dipakai untuk :
a. Menentukan kebijaksanaan dibidang pertanian seperti produksi bahan makanan dan distribusi.
b. Memperkirakan pola konsumsi masyarakat.
c. Mengetahui perubahan pola konsumsi masyarakat.

2. Penilaian Konsumsi Makanan Tingkat Rumah Tangga

Metode pengukuran konsumsi makanan untuk keluarga atau rumah tangga adalah sebagai berikut :
a. Metode Pencatatan (food account)
Metode pencatatn dilakukan dengan cara keluarga mencatat setiap hari semua makanan yang dibeli, diterima dari orang lain ataupun dari hasil produksi sendiri. Jumlah makanan dicatat dalam URT (ukuran rumah tangga), termasuk harga eceran bahan makanan tersebut. Cara ini tidak memperhitungkan makanan cadangan yang ada di rumah tangga dan juga tidak memperhatikan makanan dan minuman yang dikonsumsi di luar rumah dan rusak, terbuang atau tersisa atau diberikan pada binatang piaraan. Lamanya pencatatan umumnya tujuh hari. (Gibson, 1990).
Langkah-langkah pencatatan (food account) antara lain :
1) Keluarga mencatat seluruh makanan yang masuk ke rumah yang berasal dari berbagai sumber tiap hari URT (ukuran rumah tangga) atau satuan ukuran volume atau berat.
2) Jumlahkan masing-masing jenis bahan makanan tersebut dan konversikan ke dalam ukuran berat setiap hari.
3) Hitung rata-rata perkiraan penggunaan bahan makanan setiap hari
Kelebihan metode pencatatan :
1) Cepat dan relatif murah
2) Dapat diketahui tingkat ketersediaan bahan makanan keluarga pada periode tertentu.
3) Dapat menjangkau responden lebih banyak.
Kekurangan metode pencatatan :
1) Kurang teliti, sehingga tidak dapat menggambarkan tingkat konsumsi rumah tangga.s
2) Sangat tergantung pada kejujuran responden untuk melaporkan/mencatat makanan dalam keluarga.
(Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 90).
b. Metode pendaftaran makanan (food list method)
Metode pendaftaran ini dilakukan dengan menanyakan dan mencatat seluruh bahan makanan yang digunakan keluarga selama periode survei dilakukan (biasanya 1-7 hari). Pencatatan dilakukan berdasarkan jumlah bahan makanan yang dibeli, harga dan nilai pembelinya, termasuk makanan yang dimakan anggota keluarga diluar rumah. Jadi data yang diperoleh merupakan taksiran/perkiraan dari responden. Metode ini tidak memperhitungkan bahan makanan yang terbuang, rusak atau diberikan pada binatang piaraan.
Jumlah bahan makanan diperkirakan dengan ukuran berat atau URT. Selain itu dapat dipergunakan alat bantu seperti food model atau contoh lainnya (gambar-gambar, contoh bahan makanan aslinya dan sebagainya) untuk membantu daya ingat responden.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara yang dibantu dengan formulir yang telah disiapkan, yaitu kuisioner terstruktur yang memuat daftar bahan makanan utama yang digunakan keluarga. Karena data yang diperoleh merupakan taksiran atau perkiraan maka data yang diperoleh kurang teliti.
Langkah-langkah metode pendaftaran makanan :
1) Catat semua jenis bahan makanan atau makanan yang masuk ke rumah tangga dalam URT berdasarkan jawaban dari responden selama periode survei.
2) Catat jumlah makanan yang dikonsumsi masing-masing anggota keluarga baik dirumah maupun diluar rumah.
3) Jumlahkan semua bahan makanan yang diperoleh.
4) Cata umur dan jenis kelamin anggota keluarga yang ikut makan.
5) Hitung rata-rata perkiraan konsumsi bahan makanan per kapita, dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

Kelebihan metode pendaftaran :
1) Relatif murah, karena hanya membutuhkan waktu yang singkat.
Kekurangan metode pendaftaran :
1) Hasil yang diperoleh kurang teliti karena berdasarkan estimasi atau perkiraan.
2) Sangat subyektif, tergantung kejujuran responden.
3) Sangat bergantung pada daya ingat responden.

c. Metode inventaris (infentory method)
Metode inventaris ini juga sering disebut log book method. Prinsipnya dengan cara menghitung atau mengukur semua persediaan makanan di rumah tangga (berat dan jenisnya) mulai dari awal sampai akhir survei. Semua makanan yang diterima, dibeli dan dari produksi sendiri dicatat dan dihitung/ditimbang setiap hari selama periode pengumpulan data (biasanya sekitar satu minggu). Semua makanan yang terbuang, tersisa dan busuk selama penyimpanan dan diberikan pada orang lain atau binatang peliharaan juga diperhitungkan. Pencatatan dapat dilakukan oleh petugas atau responden yang sudah mampu/telah dilatih dan tidak buta huruf. (Gibson, 1990).
Langkah metode inventaris :
1) Cata dan timbang/ukur semua jenis bahan makanan yang ada di rumah pada hari pertama survei.
2) Catat dan ukur semua jenis bahan makanan yang diperoleh (dibeli, dari kebun, pemberian orang lain dan makan di luar rumah) keluarga selama hari survei.
3) Catat dan ukur semua bahan makanan yang diberikan kepada orang lain, rusak, terbuang dan sebagainya selama hari survei.
4) Catat dan ukur semua jenis bahan makanan yang ada di rumah pada hari terakhir survei.
5) Hitung berat bersih dari tiap-tiap bahan makanan yang digunakan keluarga selama periode survei.
6) Catat pula jumlah anggota keluarga dan umur masing-masing yang ikut makan.
7) Hitung rata-rata perkiraan kosumsi keluarga atau konsumsi perkapita dengan membagi konsumsi keluarga dengan jumlah anggota keluarga.
(Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 90).
Peralatan yang diperlukan dalam metode inventaris antara lain :
1) Kuesioner.
2) Peralatan atau alat timbang.
3) Ukuran rumah tangga.

Kelebihan metode inventaris :
1) Hasil yang diperoleh lebih akurat karena memperhitungkan adanya sisa dari makanan, terbuang dan rusak selama survei dilakukan.
Kekurangan metode inventaris :
1) Petugas harus terlatih dalam menggunakan alat ukur dan formulir pencatatan.
2) Tidak cocok untuk responden yang buta huruf,bila pencatatan dilakukan oleh responden.
3) Memerlukan peralatan sehingga biaya relatif lebih mahal.
4) Memerlukan waktu yang relatif lama.

d. Pencatatan makanan rumah tangga (household record)
Pengukuran dengan metode household food record ini dilakukan dalam periode satu minggu oleh responden sendiri. Dilaksanakan dengan menimbang atau mengukur dengan URT (Ukuran Rumah Tangga) seluruh makanan yang ada di rumah termasuk cara pengolahannya.
Biasanya tidak memperhitungkan sisa makanan yang terbuang dan dimakan oleh binatang piaraan. Metode ini dianjurkan untuk tempat atau daerah, dimana tidak banyak variasi penggunaan bahan makanan dalam keluarga dan masyarakatnya sudah bisa membaca dan menulis. (Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 93)
Langkah-langkah metode household food record antara lain :
1) Responden mencatat dan menimbang atau mengukur semua makanan yang dibeli dan diterima oleh keluarga selama penelitian (biasanya satu minggu).
2) Mencatat dan menimbang atau mengukur semua makanan yang dimakan keluarga, termasuk sisa dan makanan yang dimakan oleh tamu.
3) Mencatat makanan yang dimakan anggota keluarga di luar rumah.
4) Hitung ratar-rata konsumsi konsumsi keluarga atau konsumsi perkapita.
(Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 93)

Kelebihan metode household food record antara lain :
1) Hasil yang lebih akurat, bila dilakukan dengan menimbang makanan.
2) Dapat dihitung intake zat gizi keluarga.
Kekurangan metode household food record antara lain:
1) Terlalu membebani responden.
2) Memerlukan biaya yang cukup mahal,karena responden harus dikunjungi lebih sering.
3) Memerlukan waktu yang cukup lama.
4) Tidak cocok untuk responden yang buta huruf.
(Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 93)

e. Metode Telepon
Dewasa ini survei konsumsi dengan metode telepon semakin banyak digunakan terutama untuk daerah perkotaan dimana sarana komunikasi telepon sudah cukup tersedia. Untuk negara berkembang metode ini belum banyak dipergunakan karena membutuhkan biaya yang cukup mahal untuk jasa telponnya.
Langkah-langkah dalam metode telepon antara lain :
1) Petugas melakukan wawancara terhadap responden melalui telepon tentang persediaan makanan yang dikonsumsi keluarga selama periode survei.
2) Hitung persediaan makanan keluarga berdasarkan hasil wawancara melalui wawancara melalui telepon tersebut.
3) Tentukan pola konsumsi keluarga.
(Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 93)

Kelebihan metode telepon yakni :
1) Relatif cepat karena tidak harus mengunjungi responden.
2) Dapat mencakup responden lebih banyak.
Kekurangan :
1) Biaya relatif mahal untuk rekening telepon.
2) Sulit dilakukan untuk daerah yang belum mempunyai jaringan telepon.
3) Dapat menyebabkan terjadinya kesalahan interpretasi dari hasil informasi yang diberikan responden.
4) Sangat tergantung pada kejujuran dan motivasi serta kemampuan responden untuk menyampaikan makanan keluarganya.
(Supariasa. 2002. Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta Hal 94)

3. Penilaian Konsumsi Makanan Tingkat Individu
Menurut I Nyoman Supariasa (2001) beberapa metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu anatara lain :
a. Metode food recall 24 jam

Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini, responden, ibu atau pengasuh (bila anak masih kecil) diminta untuk menceritakaan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Biasanya dimulai sejak ia bangun pagi kemarin sampai dia istirahat tidur malam harinya atau dapat juga dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam penuh. Misalnya, petugas datang pada pukul 07.00 ke rumah responden, maka konsumsi yang ditanyakan adalah mulai pukul 07.00 (saat itu) dan mundur ke belakang sampai pukul 07.00, pagi hari sebelumnya. Wawancara dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring, dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari.
Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang represntatif untuk menggambarkan kebiasaan makanan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur, 1997).
Langkah-langkah dalam pelaksanaan recall 24 jam antara lain :
1) Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Dalam membantu responden mengingat apa yang dimakan, perlu diberi penjelasan waktu kegiatannya seperti waktu baru bangun, setelah sembahyang, pulang dari sekolah/bekerja, sesudah tidur siang dan sebagainya. Selain itu, dari makanan utama, makanan kecil atau jajan juga dicatat. Termasuk makanan yang dimakan di luar rumah seperti di restoran, di kantor, di rumah teman atau saudara. Untuk masyarakat perkotaan konsumsi tablet yang menagndung vitamin dan mineral juga dicatat serta adanya pemberian tablet besi atau kapsul vitamin A.
Petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam menaksir/memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) pewawancara menggunakan berbagai alat bantu seperti contoh ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok dan lain-lain) atau model dari makanan (food model). Makanan yang dikonsumsi dapat dihitung dengan alat bantu ini atau dengan menimbang langsung contoh makanan yang akan dimakan berikut informasi tentang komposisi makanan jadi.
2) Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM).
3) Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia.
Agar wawancara berlangsung secara sistematis, perlu disiapkan kuesioner sebelumnya sehingga wawancara terarah menurut urut-urutan waktu dan pengelompokan bahan makanan. Urutan waktu makan sehari dapat disusun berupa makan pagi, siang, malam dan snack serta makanan jajanan.
Pengelompokkan bahan makanan dapat berupa makanan pokok, sumber protein nabati, sumber protein hewani, sayuran, buah-buahan dan lain-lain.
Kelebihan metode recall 24 jam antara lain :
1) Mudah melaksanakannya serta tidak terlalu membebani responden.
2) Biaya relatif murah, karena tidak memerlukan peralatan khusus dan tempat yang luas untuk wawancara.
3) Cepat,sehingga dapat mencakup banyak responden.
4) Dapat digunakan untuk responden yang buta huruf.
5) Dapat memberikan gambaran nyata yang benar –benar dikonsumsi individu sehingga dapat dihitung intake zat gizi sehari.
Kekurangan metode recall 24 jam antara lain :
1) Tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari–hari bila hanya dilakukan recall satu hari.
2) Ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden. Oleh karena itu, responden harus mempunyai daya ingat yang baik, sehingga metode ini tidak cocok dilakukan pada anak usia 7 tahun, orang tua berusia 70 tahun dan orang yang hilang ingatan atau orang yang pelupa.
3) The flat slope syndrome, yaitu kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsinya lebih banyak (over estimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung untuk melaporkan konsumsinya lebih sedikit (under estimate).
4) Membutuhkan tenaga atau petugas yang terlatih dan terampil dalam menggunakan alat-alat bantu URT dan ketepatan alat bantu yang dipakai menurut kebiasaan masyarakat.
5) Responden harus diberi motivasi dan penjelasan tentang tujuan dari penelitian.
6) Untuk mendapat gambaran konsumsi makanan sehari-hari recall jangan dilakukan pada saat panen,hari pasar,akhir pekan, pada saat melakukan upacara-upacara keagamaan, selamatan dan lain-lain.
Karena keberhasilan metode recall 24 jam ini sangat ditentukan oleh daya ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari pewawancara, maka untuk dapat meningkatkan mutu data recall 24 jam dilakukan selama beberapa kali pada hari yang berbeda (tidak berturut-turut), tergantung dari variasi menu keluarga dari hari ke hari.
b. Metode Estimated Food Records
Metode ini disebut juga food records atau dietary records, yang digunakan untuk mencatat jumlah yang dikonsumsi. Responden diminta mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan. Menimbang dalam ukuran berat pada periode tertentu, termasuk cara persiapan dan pengelolaan makanan. Metode ini dapat memberikan informasi konsumsi yang mendekati sebenarnya tentang jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi oleh individu.
Penjelasan lain tentang metode ini yakni metode yang dilakukan untuk mencatat jumlah yang dikonsumsi. Pada metode ini responden diminta untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan dalam Ukuran Rumah Tangga (URT) atau menimbang dalam ukuran berat (gram) dalam periode tertentu (2-4 hari berturut-turut), termasuk cara persiapan dan pengolahahan makanan tersebut.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan food records antara lain :
1) Responden mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram (nama masakan, cara persiapan dan pemasakan bahan makanan).
2) Petugas memperkirakan/estimasi URT ke dalam ukuran berat (gram) untuk bahan makanan yang dikonsumsi tadi.
3) Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dalam DKBM.
4) Membandingkan dengan AKG.
Metode ini dapat memberikan informasi konsumsi yang mendekati sebenarnya (true intake) tentang jumlah energy dan zat gizi yang dikonsumsi oleh individu.
Kelebihan metode estimated food records antara lain :
1) Metode ini relatif murah dan cepat.
2) Dapat menjagkau sampel dalam jumlah besar.
3) Dapat diketahui konsumsi zat gizi sehari.
4) Hasilnya relative lebih akurat.
Kekurangan metode estimated food records antara lain :
1) Metode ini terlalu membebani responden, sehingga sering menyebabkan responden merubah kebiasaan makannya.
2) Tidak cocok untuk responden yang buta huruf.
3) Sangat tergantung pada kejujuran dan kemampuan responden dalam mencatat dan memperkirakan jumlah konsumsi.
c. Metode Penimbangan Makanan (Food Weighing)
Responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama 1 hari. Penimbangan makanan ini biasanya berlangsung beberapa hari tergantung dati tujuan, dana penelitian, dan tenaga yang tersedia.
Terdapatnya sisa makanan setelah makan juga perlu ditimbang sisa tersebut untuk mengetahui jumlah sesungguhnya makanan yang dikonsumsi.
Langkah-langkah pelaksanaan penimbangan makanan antara lain :
1) Petugas/responden menimbang makanan dan mencatat bahan makanan/makanan yang dikonsumsi dalam gram.
2) Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi sehari, kemudian dianalisis dengan menggunakan DKBM atau DKGJ (Daftar Kompisis Gizi Jajanan).
3) Membandingkan hasilnya dengan kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG).
Kelebihan metode penimbangan makanan yakni :
1) Data yang diperoleh lebih akurat/teliti.
Kekurangan metode penimbangan makanan antara lain :
1) Memerlukan waktu dan cukup mahal karena perlu peralatan.
2) Bila penimbangan dilakukan dalam periode yang cukup lama, maka responden dapat merubah kebiasaan makan mereka.
3) Tenaga pengumpul data harus terlatih dan terampil.
4) Memerlukan kerjasama yang baik dengan responden.

d. Metode Riwayat Makanan (Diethary History Method)

Metode ini bersifat kualitatif karena memberikan gambaran pola kunsumsi berdasarkan pengamatan dalam waktu yang cukup lama (bisa 1 minggu, 1 bulan, 1 tahun). Burke (1947) menyatakan bahwa metode ini terdiri dari tiga komponen, yaitu :
1) Komponen pertama adalah wawancara (termasuk recall 24 jam), yang mengumpulkan data tentang apa saja yang dimakan responden selama 24 jam terakhir.
2) Komponen kedua adalah tentang frekuensi penggunaan dari sejumlah bahan makanan dengan memberikan daftar (check list) yang sudah disiapkan, untuk mengecek kebenaran dari recall 24 jam tadi.
3) Komponen ketiga adalah pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang.
Langkah-langkah dalam metode riwayat ini antara lain :
1) Petugas menanyakan kepada responden tentang pola kebiasaan makannya. Variasi makan pada hari-hari khusus seperti hari libur, dalam keadaan sakit dan sebagainya juga dicatat. Termasuk jenis makanan, frekuensi penggunaan, ukuran porsi dalam URT serta cara memasaknya (direbus, digoreng, dipanggang dan sebagainya).
2) Lakukan pengecekan terhadap data yang diperoleh dengan cara mengajukan pertanyaan untuk kebenaran data tersebut.
Hal yang perlu mendapat perhatian dalam pengumpulan data adalah keadaan musim-musim tertentu dan hari-hari istimewa seperti hari pasar, awal bulan, hari raya dan sebagainya. Gambaran konsumsi pada hari-hari tersebut harus dikumpulkan.
Kelebihan metode riwayat makan antara lain :
1) Dapat memberikan gambaran konsumsi pada periode yang panjang secara kualitatif dan kuantitatif.
2) Biaya relatif murah.
3) Dapat digunakan di klinik gizi untuk membantu mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan dengan diet pasien.
Kekurangan metode riwayat makan antara lain :
1) Terlalu membebani pihak pengumpul data dan responden.
2) Sangat sensitif dan membutuhkan pengumpul data yang sangat terlatih.
3) Tidak cocok dipakai untuk survei-survei besar.
4) Data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif.
5) Biasanya hanya difokuskan pada makanan khusus,sedangkan variasi makanan sehari-hari tidak diketahui.
e. Metode Frekuensi Makanan (Food Frequensi)
Metode ini untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu. Meliputi hari, minggu, bulan, atau tahun, sehingga diperoleh gambaran pola konsumsi makanan secara kualitatif. Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu.
Selain itu dengan metode frekuensi makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kuantitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi.
Kuesioner frekuensi makanana memuat tentang daftar tentang bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu.
Langkah-langkah metode frekuensi makanan:
1. Responden diminta untuk member tanda pada daftar makanan yang tersedia pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya.
2. Lakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi tertentu selama periode tertentu pula.
Kelebihan Metode Frekuensi Makanan:
a) Relative murah dan sederhana.
b) Dapat dilakukan sendiri oleh responden.
c) Tidak membutuhkan latihan khusus.
d) Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan.
Kekurangan Metode Frekuensi Makanan:
a) Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari.
b) Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data.
c) Cukup menjemukan bagi pewawancara.
d) Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner.
e) Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.

Food Frequency Questionnaire (FFQ) telah digunakan secara luas, terutama pada penelitian epidemiologi penyakit kronik, untuk melihat pola makan dari individu yang menjadi subjek penelitian. Pertanyaan didesain untuk mengukur asupan secara umum dan asupan jangka panjang (Feskanich et al. 1993 dalam Lu, Yi-Ping. 2000). FFQ terdiri dari dua bagian yaitu daftar makanan atau kelompok makanan dan respon yang mengindikasikan seberapa sering makanan atau kelompok makanan dikonsumsi selama periode waktu tertentu. Daftar bahan makanan dapat berupa daftar singkat dan fokus pada zat gizi tertentu hingga daftar yang memuat beberapa ratus makanan yang didesain untuk mengukur diet total.
Frekuensi respon pilihan dapat dibuat secara umum (seperti sering, kadang-kandang, dan tidak pernah) atau lebih rumit dan spesifik (seperti: jumlah konsumsi perhari, perminggu, perbulan), periode waktu dalam mengingat, umunya dari 1 bulan hingga 1 tahun (Wright & Guthrie, 1995 dalam Lu, Yi-Ping. 2000).
Metode frekuensi makanan ini adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu. Periode waktu dapat ditentukan oleh si peneliti sesuai dengan tujuan penelitian seperti dalam jangka waktu hari, minggu, bulan atau tahun (Supariasa, 2001).
Tujuan dari metode frekuensi makanan ini adalah untuk memperoleh gambaran pola konsumsi makanan atau bahan makanan secara kualitatif. Kuestioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau makanan dan frekuensi penggunaan makanan tersebut pada periode tertentu. Metode ini dapat digunakan dalam menegakkan suatu hipotesis bahwa jumlah konsumsi zat gizi pada masa lalu bila dikaitkan dengan resiko penyakit jauh lebih penting dari apa yang dimakan pada saat sekarang. Namun dengan penggunaan metode ini, presisi pengukuran (penimbangan makanan) diabaikan. Hal ini untuk dapat menggali informasi kebiasaan makan makanan tertentu pada waktu yang lebih lama (Gibson, 1990).

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

a. Pengertian
Surveilans Epidemiologi dapat didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan dalam pengumpulan, analisis, interpretasi data dan penyampaian informasi dalam upaya menguraikan dan memantau suatu penyakit/peristiwa kesehatan. Kaitannya dengan penyakit menular, kegiatan surveilans epidemiologi bertujuan untuk mengidentifikasi kelompok risiko tinggi dalam masyarakat, memahami cara penularan penyakit serta berusaha memutuskan rantai penularan. Dalam hal ini setiap penyakit harus dilaporkan secara lengkap dan tepat, yang meliputi keterangan mengenai orang (person), tempat (place) dan waktu (time) (Budioro, 1997).
Kaitannya dengan penyakit, kegiatan surveilans epidemiologi dapat diaplikasikan untuk kegiatan:
a. Laporan rutin kasus penyakit tertentu, baik penyakit menular maupun tidak menular, atau berbagai kejadian yang berhubungan dengan kesehatan secara umum.
b. Pencatatan dan pelaporan khusus kejadian tertentu dalam masyarakat.
c. Pelaksanaan pencatatan dan pelaporan penyakit yang wajib dilaporkan.
d. Surveilans ekologi dan lingkungan: vektor, pengotoran lingkungan dan lain-lain.
e. Pengamatan dan pengawasan pemakaian zat tertentu seperti insektisida, vaksin dan zat lain yang berbahaya.
f. Pelaksanaan survei berkala untuk hal tertentu.
g. Pengamatan/ penelitian aktif penyakit tertentu.
h. Pengamatan khusus oleh dokter praktek, di klinik dan lain-lain.
Selain kegiatan surveilans secara aktif, maka sistem pelaporan penderita dan kejadian lainnya hanya dilakukan secara pasif melalui pusat pelayanan kesehatan (Noor, 2000).
Kadang digunakan istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public health).
b. Visi Surveilans
Tersedianya informasi epidemiologi yang berkualitas dalam rangka menunjang pembangunan Nasional menuju Indonesia Sehat 2015.
c. Misi Surveilans
a. Meningkatkan kemampuan petugas surveilans dalam melakukan analisis data dalam seluruh jenjang andministrasi.
b. Menggalang serta meningkatkan kemitraaan unit surveilans dalam pertukaran/ penyebaran informasi dengan pusat penelitian, perguruan tinggi, LSM, dan semua pihak yang terkait.
c. Memperkuat sistem surveilans penyakit ayang telah menjadi prioritas program pemberantasan Internasional, Regional, Nasional maupun daerah.
d. Memperkuat pengembangan SDM di bidang epidemiologi disetiap unit pelaksana program kesehatan.
d. Manfaat dan tujuan surveilans
Manfaat surveilans epidemiologi yaitu deteksi perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya, perhitungan trend, identifikasi pola penyakit, identifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat, identifikasi faktor risiko dan penyebab lainnya, deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi, dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis, mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya, memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan dimasa akan datang, membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program pada tahap perencanaan. Inti kegiatan surveilans pada akhirnya adalah bagaimana data yang sudah dikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke pemegang kebijakan guna ditindaklanjuti dalam pembuatan program intervensi yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia (HIMAPID, 2008).
Tujuan surveilans epidemiologi tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat secara menyeluruh (Buton, 2010).
e. Langkah-langkah kegiatan surveilans
1. Perencanaan surveilans
Perencanaan kegiatan surveilans dimulai dengan penetapan tujuan surveilans, dilanjutkan dengan penentuan definisi kasus, perencanaan perolehan data, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi.
2. Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses data selanjutnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologi yang dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus dan dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat pasif yang bersumber dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang diperoleh dari kegiatan survei (Budioro, 1997).
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang dianggap penderita malaria atau population at risk melalui kunjungan rumah (active surveillance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan sarana pelayanan kesehatan yaitu dari laporan rutin poli umum setiap hari, laporan bulanan Puskesmas desa dan Puskesmas pembantu, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan harian dari laboratorium dan laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan lain (pasive surveillance). Atau dengan kata lain, data dikumpulkan dari unit kesehatan sendiri dan dari unit kesehatan yang paling rendah, misalnya laporan dari Pustu, Posyandu, Barkesra, Poskesdes (Arias, 2010).
Proses pengumpulan data diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara umum pencatatan di Puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar gedung. Sedangkan pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil pencatatan dengan menggunakan formulir tertentu, misalnya form W1 Kejadian Luar Biasa (KLB) , form W2 (laporan mingguan) dan lain-lain (Noor, 2000).
3. Pengolahan dan penyajian data
Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya dengan menggunakan program (software) seperti epi info, SPSS, lotus, excel dan lain-lain (Budioro, 1997).
4. Analisis data
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit (Noor, 2000).
Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit malaria dengan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian malaria (Arias, 2010).
5. Penyebarluasan informasi
Penyebarluasan informasi dapat dilakukan ketingkat atas maupun ke bawah. Dalam rangka kerja sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang terkait dan masyarakat juga menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk diperlukan informasi yang informatif agar mudah dipahami terutama bagi instansi diluar bidang kesehatan (Budioro, 1997).
Penyebarluasan informasi yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan informasi yang dilakukan yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan, membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan, membuat suatu tulisan di majalah rutin, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat di akses dengan mudah (Depkes RI, 2003).
6. Umpan balik
Kegiatan umpan balik dilakukan secara rutin biasanya setiap bulan saat menerima laporan setelah diolah dan dianalisa melakukan umpan balik kepada unit kesehatan yang melakukan laporan dengan tujuan agar yang mengirim laporan mengetahui bahwa laporannya telah diterima dan sekaligus mengoreksi dan memberi petunjuk tentang laporan yang diterima. Kemudian mengadakan umpan balik laporan berikutnya akan tepat waktu dan benar pengisiannya. Cara pemberian umpan balik dapat melalui surat umpan balik, penjelasan pada saat pertemuan serta pada saat melakukan pembinaan/suvervisi (Arias, 2010).
Bentuk dari umpan balik bisa berupa ringkasan dari informasi yang dimuat dalam buletin (news letter) atau surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan yang dilaporkan atau berupa kunjungan ke tempat asal laporan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Laporan perlu diperhatikan waktunya agar terbitnya selalu tepat pada waktunya, selain itu bila mencantumkan laporan yang diterima dari eselon bawahan, sebaliknya yang dicantumkan adalah tanggal penerimaan laporan (Depkes RI, 2003).
7. Investigasi penyakit
Setelah pengambilan keputusan perlunya mengambil tindakan maka terlebih dahulu dilakukan investigasi/penyelidikan epidemiologi penyakit malaria. Dengan investigator membawa ceklis/format pengisian tentang masalah kesehatan yang terjadi dalam hal ini adalah penyakit malaria dan bahan untuk pengambilan sampel di laboratorium. Setelah melakukan investigasi penyelidikan kemudian disimpulkan bahwa benar-benar telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria yang perlu mengambil tindakan atau sebaliknya (Arias, 2010).
8. Tindakan penanggulangan
Tindakan penanggulangan yang dilakukan melalui pengobatan segera pada penderita yang sakit, melakukan rujukan penderita yang tergolong berat, melakukan penyuluhan mengenai penyakit malaria kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran agar tidak tertular penyakit atau menghindari penyakit tersebut, melakukan gerakan kebersihan lingkungan untuk memutuskan rantai penularan (Arias, 2010).

9. Evaluasi data sistem surveilans
Program surveilans sebaiknya dinilai secara periodik untuk dapat dilakukan evaluasi manfaat kegiatan surveilans. Sistem dapat berguna apabila memenuhi salah satu dari pernyataan berikut:
a. Apakah kegiatan surveilans dapat mendeteksi kecenderungan dan mengidentifikasi perubahan dalam kejadian kasus.
b. Apakah program surveilans dapat mendeteksi epidemik kejadian kasus di wilayah tersebut.
c. Apakah kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang besarnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan kejadian penyakit di wilayah tersebut.
d. Apakah program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kasus atau penyakit (Arias, 2010).
f. Indikator surveilans
Indikator surveilans meliputi:
a. Kelengkapan laporan.
b. Jumlah dan kualitas kajian epidemiologi dan rekomendasi yang dapat dihasilkan.
c. Terdistribusinya berita epidemiologi lokal dan nasional.
d. Pemanfaatan informasi epidemiologi dalam manajemen program kesehatan.
e. Meningkatnya kajian Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) penyakit (Depkes RI, 2003).

ISPA

a. Penyebab Penyakit ISPA
ISPA disebabkan oleh berbagai infectious agent yang terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri, jamur, dan aspirasi.
1) Virus
Virus penyebab ISPA antara lain, golongan Paramyksovirus termasuk didalamnya virus Influenza, Parainfluenza, dan virus campak, adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Herpesvirus dan lain-lain.
2) Bakteri
Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri. Di negara berkembang yang tersering sebagai penyebab pneumonia pada anak ialah Streptococcus pneumonia dan Haemofilus influenza. Sedangkan di negara maju, dewasa ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.

3) Jamur
Jamur penyebab ISPA ialah Aspergilus sp, Candida albicans, Histoplasma, dll.
4) Aspirasi
Aspirasi yang dimaksud ialah makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (Bahan Bakar Minyak) biasanya minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir.
b. Tanda dan Gejala Penyakit ISPA
Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.
Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris.
1) Tanda-tanda klinis
Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.
Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest. Pada sistem cerebral adalah: gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan coma. Pada hal umum adalah: letih dan berkeringat banyak.
2) Tanda-Tanda Laboratoris
a) hypoxemia,
b) hypercapnia dan
c) acydosis (metabolik dan atau respiratorik)
Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun ampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam dan dingin
c. Pengobatan Penyakit ISPA
1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya.
2) Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.
3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein, dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.
Perawatan Di Rumah
Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.
1) Mengatasi panas (demam)
Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).
2) Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh, diberikan tiga kali sehari.
3) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.
4) Pemberian minuman
Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.
5) Lain-lain
Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang.

2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA
a. Pencegahan
Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyakit ISPA dapat dilaksanakan dengan mengaplikasikan dalam lima tingkat pencegahan penyakit (five level prevention), sebagai berikut:
1) Promosi Kesehatan (Health Promotion)
Promosi Kesehatan (Health Promotion) adalah upaya meningkatkan peran kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal, mengurangi penyebabnya serta derajat resiko serta meningkatkan secara optimal lingkungan yang sehat. Sasaran dari pencegahan ini yaitu orang sehat dengan usaha meningkatkan derajat kesehatan.
Promosi Kesehatan (Health Promotion) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya:
a) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara pemberantasan serta manfaat menegakkan diagnosis dini dari suatu penyakit seperti ISPA.
b) Penyediaan makanan sehat dan cukup (kualitas maupun kuantitas)
c) Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan, misalnya penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan tinja dan limbah.
d) Pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
e) Olahraga secara teratur sesuai kemampuan individu.
2) Perlindungan khusus (spesific protection)
Sasaran pada perlindungan khusus (spesific protection) yang utama adalah ditujukan kepada penjamu (host) dan penyebab untuk meningkatkan daya tahan tubuh maupun untuk mengurangi resiko terhadap penyakit ISPA.
Perlindungan khusus (spesific protection) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a) Perbaikan status gizi individu/perorangan ataupun masyarakat untuk membentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan dapat melawan agent penyakit yang akan masuk ke dalam tubuh, seperti mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat gizi yang lebih baik dan diperlukan tubuh.
b) Pemberian ASI eksklusif kepada bayi yang baru lahir, karena ASI banyak mengandung kalori, protein, dan vitamin, yang banyak dibutuhkan oleh tubuh, pencegahan ini bertujuan untuk membentuk sistem kekebalan tubuh bayi sehingga terlindung dari berbagai penyakit infeksi termasuk ISPA.
3) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment)
Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) merupakan pencegahan yang ditujukan bagi mereka yang menderita atau terancam akan menderita penyakit ISPA, dengan tujuan mencegah meluasnya penyakit/terjadinya wabah penyakit menular dan menghentikan proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi.
Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya:
a) Mencari kasus sedini mungkin.
b) Mencari penderita dalam masyarakat dengan jalan pemeriksaan .
c) Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera diberikan pengobatan.
d) Meningkatkan keteraturan pengobatan terhadap penderita.
e) Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan kasus.
4) Pembatasan cacat (disability limitation)
Pembatasan cacat (disability limitation) merupakan pencegahan yang mencegah terjadinya kecacatan atau kematian akibat penyakit ISPA. Pembatasan cacat (disability limitation) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya:
a) Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi komplikasi.
b) Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan.
c) Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk dimungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif.
5) Rehabilitasi (rehabilitation)
Rehabilitasi (rehabilitation) merupakan pencegahan yang bertujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik, psikologis dan sosial secara optimal. Rehabilitasi (rehabilitation) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan rehabilitasi fisik/medis apabila terdapat gangguan kesehatan fisik akibat penyakit ISPA.
b. Pemberantasan
Pemberantasan yang dilakukan adalah :
1) Penyuluhan kesehatan yang terutama di tuj ukan pada para ibu.
2) Pengelolaan kasus yang disempurnakan.
3) Immunisasi
Pelaksana pemberantasan
Tugas pemberatasan penyakit ISPA merupakan tanggung jawab bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya. Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat'membantu menemukan kasus-kasus pneumonia yang perlu mendapat pengobatan antibiotik (kotrimoksasol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlusegera dirujuk ke rumah sakit.
1) Dokter Puskesmas
Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut :
a) Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau sarana dan tenaga yang tersedia.
b) Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.
c) Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus- kasus pneumonia berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.
d) Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah sakit.
e) Bersama dengan staff puskesmas memberi kan penyuluhan kepada ibu-ibu yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,
f) Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,
g) Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,
h) Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA. menditeksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target.
2) Paramedis Puskesmas Puskesmas Pembantu
a) Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk yang ada.
b) Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus ISPA tertentu seperti pneumoni berat, penderita dengan weezhing dan stridor.
c) Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.
d) Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.
e) Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA.
3) Kader Kesehatan
a) Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.
b) Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit
c) Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk tradisional obat batuk putih.
d) Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.
e) Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-daerah yang terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut) dapat diberi wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak berat) dengan antibiotik kontrimoksasol.
f) Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk.