Minggu, 29 Maret 2015

Strategi Pencegahan Risiko Ergonomi Penyakit Akibat Kerja Berbasis Surveilans pada Perawat di Rumah Sakit


I.    PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Setiap pekerjaan di dunia ini pasti masing-masing memiliki tingkat risiko bahaya. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3 diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan. Dalam pelaksanaan K3 sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu manusia, bahan, dan metode yang digunakan, yang artinya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam mencapai penerapan K3 yang efektif dan efisien. Sebagai bagian dari ilmu Kesehatan Kerja, penerapan K3 dipengaruhi oleh empat faktor yaitu adanya organisasi kerja, administrasi K3, pendidikan dan pelatihan, penerapan prosedur dan peraturan di tempat kerja, dan pengendalian lingkungan kerja. Dalam Ilmu Kesehatan Kerja, faktor lingkungan kerja merupakan salah satu faktor terbesar dalam mempengaruhi kesehatan pekerja, namun demikian tidak bisa meninggalkan faktor lainnya yaitu perilaku. Perilaku seseorang dalam melaksanakan dan menerapkan K3 sangat berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas keberhasilan K3.
Setiap tempat kerja selalu mempunyai risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Berdasarkan data ILO (International Labour Organization) pada tahun 2008, setiap tahun diperkirakan 1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Sementara itu, mengutip data Jamsostek, pada tahun 2010, tercatat 98.711 kasus. Dari angka tersebut, 2.191 tenaga kerja meninggal dunia, dan menimbulkan cacat permanen sejumlah 6.667 orang. Jumlah klaim yang harus dibayarkan untuk kasus-kasus tersebut mencapai lebih dari Rp 401 miliar. Mengingat kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja, maka banyak usaha yang dilakukan perusahaan untuk mengurangi dan meminimasi kecelakaan tersebut.
Untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja maka di setiap perusahaan yang memiliki tenaga kerja lebih dari 100 orang dan memiliki risiko besar terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Permenaker No. 5 Tahun 1996).
Menurut ILO, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah menjaga dan meningkatkan kesejahteraan fisik, mental  dan sosial seluruh para pekerja dan pada semua sektor pekerjaan, mencegah pekerja terjangkit penyakit yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, melindungi pekerja dari risiko yang berdampak buruk pada kesehatan, menempatkan dan menjaga pekerja dalam lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiologi dan psikologi, menyesuaikan pekerjaan dengan pekerja serta pekerja dengan pekerjaannya (Markkanen, P.K, 2004).
Salah bahaya yang dapat menganggu keselamatan dan kesehatan kerja pada pekerja di tempat kerja yaitu penyakit akibat kerja (PAK). Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab, harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di tempat kerja (WHO). PAK dapat disebabkan oleh banyak faktor di antaranya faktor fisik, faktor biologi, faktor kimia, faktor ergonomi (fisiologi) dan faktor mental (psikologi).
Ergonomi yang merupakan pendekatan multi dan interdisiplin yang berupaya menserasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan dan kebolehan dan batasan tenaga kerja sehingga tercipta kondisi kerja yang sehat, selamat, aman, nyaman, dan efisien. Penerapan ergonomi di berbagai sektor pembangunan telah terbukti tidak hanya mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja, tetapi juga mencegah timbulnya dampak negatif seperti kelelahan, keluhan muskuloskeletal, kecelakanaan kerja serta penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2004).
Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 menjelaskan pengertian rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Berdasarkan defenisi tersebut, maka suatu rumah sakit sudah sepatutnya memberikan suatu pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Selain dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu, rumah sakit juga perlu menjadi hospital safety sehingga mampu melindungi pasien, pengunjung, masyarakat sekitar dan tenaga kerjanya dari potensi bahaya yang ada di rumah sakit. Hal ini diperjelas dalam Undang-undang No 36 tahun 2009, yakni pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerjanya. Berdasarkan undang-undang tersebut maka pengelola tempat kerja di rumah sakit mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya sehingga perlu diterapkan keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1087 tahun 2010 menetapkan standar pelaksanaan K3 rumah sakit, dimana dalam standar K3RS telah mencakup pula standar penerapan ergonomi. Ergonomi merupakan bagian dari ilmu K3, dimana ergonomi adalah suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya (Kemenkes, 2010).
Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi yang tinggi (Tarwaka, dkk, 2004), dan sebaliknya apabila tidak adanya keseimbangan antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja, maka performansi seorang pekerja menjadi rendah.Ketidakseimbangan dalam ergonomi merupakan salah satu potensi bahaya ditempat kerja.
Bahaya ergonomi merupakan salah satu  potensi bahaya dalam K3 yang kurang menjadi perhatian dalam suatu tempat kerja. Padahal bahaya ergonomi dapat menimbulkan kerugian di tempat kerja, dimana bahaya ergonomi dapat mengakibatkan produktivitas dan kualitas pekerja menurun serta dapat menimbulkan penyakit akibat kerja.
Rumah sakit dengan segala fasilitas dan peralatannya apabila tidak diketahui dengan baik dapat menjadi sumber bahaya keselamatan dan kesehatan yang potensial terutama bagi tenaga kesehatan di rumah sakit khususnya perawat. Dalam memberikan pelayanan kesehatan perawat merupakan salah satu profesi kesehatan profesional yang sangat dibutuhkan oleh rumah sakit karena kunci keberhasilan pelayanan kesehatan secara menyeluruh terdapat pada pelayanan keperawatan. Berdasarkan Rekapitulasi SDM Kesehatan Indonesia tahun 2012, perawat merupakan jumlah tenaga kerja terbanyak yakni 104.346 dari 2094 rumah sakit yang ada di Indonesia (Bank Data SDM Kesehatan, 2012).
Perawat merupakan tenaga professional yang memberikan pelayanan keperawatan terdiri atas berbagai macam aktivitas dan tugas yang dilaksanakan selama 24 jam untuk mengurus pasien.  Hal ini terbukti dengan melihat unit-unit pelayanan di rumah sakit, dimana tenaga kesehatan yang selama 24 jam berada di sisi pasien adalah perawat. Oleh sebab itulah perawat sangat beresiko terkena penyakit-penyakit akibat kerja.
Penyakit akibat kerja yang sering terjadi para perawat di rumah sakit yakni dari faktor ergonomi (fisiologi). Aktivitas dan tugas yang dilaksanakan perawat untuk mengurus pasien kebanyakan secara manual handling yakni meliputi mengangkat, mendorong, menarik, mengangkut, menaikkan, menurunkan suatu objek dari suatu tempat atau dimensi serta beban tertentu.Hal ini mengakibatkan pemakaian tubuh pada postur tertentu yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menimbulkan trauma. Olehnya itu risiko ergonomi PAK pada perawat sering terjadi dan dapat menimbulkan hal yang fatal jika tidak segera dilakukan pencegahan dan penanganan (Dewi, N.F, 2008).
Pencegahan dan penanganan dapat dilakukan terhadap PAK yang terjadi pada perawat jika diketahui besar masalah yang terjadi. Olehnya itu diperlukan data-data yang akurat mengenai angka kejadian PAK dari segi ergonomi yang terjadi pada perawat di rumah sakit serta diidentifikasi beberapa penyebabnya sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanganannya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap PAK pada perawat di rumah sakit yakni strategi pencegahan berbasis surveilans.
Surveilans merupakan analisis terus menerus secara sistematis terhadap penyakit dan atau masalah kesehatan serta kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi untuk tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien. Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif (Last, 2001).
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa fungsi utama surveilans epidemiologi adalah “analisis” karena dari analisis ini semua masalah penyakit dan masalah kesehatan  akan dengan mudah disimpulkan dan dengan kesimpulan ini akan dengan muda di buat rekomendasi  untuk keperluan-keperluan pengendalian penyakit dan masalah kesehatan pada semua program kesehatan yang ada.
B.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah bagaimana strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja berbasis surveilans pada perawat di rumah sakit.
C.  Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja berbasis surveilans pada perawat di rumah sakit.
D.  Manfaat
1.   Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan menjadi acuan dalam strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja berbasis surveilans pada perawat di rumah sakit.
2.   Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan bahan informasi yang dapat digunakan dalam penyusunan makalah berikutnya.
3.   Manfaat Bagi Penulis
Makalah ini diharapkan bisa menjadi suatu pengalaman berharga bagi penulis sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh serta menambah wawasan pengetahuan mengenai strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja berbasis surveilans pada perawat di rumah sakit.

II.  TINJAUAN PUSTAKA
A.  Tinjauan Tentang Penyakit Akibat Kerja
1.   Definisi Penyakit Akibat Kerja
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab, harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di tempat kerja.
Faktor Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai penyebab timbulnya Penyakit Akibat Kerja. Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Occupational Diseases) adalah penyakit yang disebabkan oleh  pekerjaan atau lingkungan kerja (Permenaker No. Per. 01/Men/1981) yang akan berakibat cacat sebagian maupun cacat total.Cacat Sebagian adalah hilangnya atau tidak fungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja untuk selama-lamanya. Sedangkan Cacat Total adalah keadaan tenaga kerja tiadak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya.
2.   Klasifikasi Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Faktor-fakor penyebab penyakit akibat kerja dapat dibedakan sebagai berikut:
a.   Faktor Fisik, yang meliputi:
1)  Suara tinggi/bising yang dapat menyebabkan ketulian.
2)  Temperatur/suhu tinggi yang dapat menyebabkan Hyperpireksi, Milliaria, heat Cramp, Heat Exhaustion, Heart Stroke.
3)  Radiasi sinar elektromagnetik, di maa infra merah menyebabkan katarak, ultraviolet menyebabkan konjungtivitis, radioaktrif/alfa/beta/gama/X menyebabkan gangguan terhadap sel tubuh manusia.
4)  Tekanan udara tinggi yang dapat menyebabkan Coison Disease.
5)  Getaran/vibration yang dapat menyebabkan Reynaud’s Disease, Gangguan proses metabolisme, Polineurutis.
b.   Faktor Kimia
1)  Berasal dari bahan baku, bahan tambahan, hasil antara, hasil samping, hasil (produk), sisa produksi atau bahan buangan.
2)  Bentuknya dapat berupa zat padat, cair, gas, uap maupun partikel.
3)  Cara masuk tubuh dapat melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, kulit dan mukosa.
4)  Masuknya dapat secara akut dan secara kronis.
5)  Efek terhadap tubuh dapat menyebabkan iritasi, alergi, korosif, Asphyxia, keracunan sistemik, kanker, kerusakan/kelainan janin, pneumoconiosis, efek bius (narkose) dan pengaruh genetik.
c.   Faktor biologi yang dapat berasal dari virus, bakteri, parasit, jamur, serangga, binatang buas, dan lain-lain.
d.   Faktor Ergonomi/Fisiologi
1)  Penyebabnya adalah cara kerja, posisi kerja, alat kerja, lingkungan kerja yang salah dan kontruksi salah.
2)  Efek terhadap tubuh yaitu dapat menyebabkan kelelahan fisik, nyeri otot, deformitas tulang, perubahan bentuk, dislokasi.                                                          
e.   Faktor Mental/Psikologi
1)  Penyebabnya yaitu suasana kerja monoton dan tidak nyaman, hubungan kerja kurang baik, upah kerja kurang, terpencil, tak sesuai bakat.
2)  Manifestasinya berupa stress.
3.   Beberapa Contoh Penyakit Akibat Kerja
Beberapa contoh penyakit akibat kerja yang dapat terjadi pada pekerja yang disebabkan oleh faktor penyebab fisik, biologi, kimia, ergonomi dan psikologi sebagai berikut:
a.   Penyakit allergi/hipersensitif
Dapat berup rinitis, rinosinusitis, asma, pneumonitis, aspergilosis akut bronchopulmoner, hipersensitivitas lateks, penyakit jamur, dermatitis kontak, anafilaksis. Lokasi biasanya di saluran pernafsan dan kulit dan penyebabnya dapat disebabkan oleh bahan kimia, mikrobiologi, fisis dapat merangsang interaksi non spesifik atau spesifik.
b.   Dermatitis kontak yang terdiri dari iritan dan alergi kokasi di kulit.
c.   Penyakit Paru
Dapat berupa bronchitis kronis, emfisema, karsinoma bronkus, fibrosis, TBC, mesetelioma, pneumonia, sarkoidosis dan disebabkan oleh bahan kimia, fisis, mikrobiologi.
d.   Penyakit Hati dan Gastro-intestinal
Dapat berupa kanker lambung dan kanker oesofagus (tambang batubara dan vulkanisir karet), Cirhosis hati (alkohol, karbon tetraklorida, trichloroethylene, kloroform). Dapat disebabkan oleh bahan kimia.
e.   Penyakit Saluran Urogenital
Dapat berupa gagal ginjal (upa logam cadmium dan merkuri, pelarut organik, pestisida, carbon tetrachlorid), kanker vesica urinaria (karet, manufaktur/bahan pewarna organik, benzidin, 2-naphthylamin). Penyebabnya dapat disebabkan bahan kimia.
f.     Penyakit Hematologi
Dapat berupa anemia (Pb), lekemia (benzena) di mana disebabkan bahan kimia.
g.   Penyakit Kardiovaskuler
Penyebabnya dari bahan kimia. Penyakit yang disebabkan dapat berupa jantung koroner (karbon disulfida, viscon rayon, gliceril trinitrat, ethylene glicol dinitrat), febrilasi ventricel (trichlorethylene).
h.   Gangguan Alat Reproduksi
Penyakit gangguan alat reproduksi dapat berupa infertilitas (ethylene bromida, benzena, anasthetic gas, timbal, pelarut organic, karbon disulfida, vinyl klorida, chlorophene), kerusakan janin (aneteses gas, mercuri, pelarut organik) keguguran (kerja fisik). Hal ini disebabkan oleh bahan kimia dan kerja fisik.
i.     Penyakit Muskuloskeletal
Penyakit musculoskeletal dapat berupa sindroma Raynaud (getaran 20–400 Hz), Carpal turnel syndroma (tekanan yang berulang pada lengan), HNP/sakit punggung (pekerjaan fisik berat, tidak ergonomis). Hal tersebut disebabkan karena kerja fisik dan tidak ergonomis.
j.    Gangguan Telinga
Gangguan telinga dapat berupa penurunan pendengaran (bising diatas Nilai Ambang Batas) dan disebabkan karena faktor fisik yang diperoleh dari pekerjaan.
k.   Gangguan Mata
Gangguan mata dapat berupa rasa sakit (penataan pencahayaan), conjungtivitis (sinar UV), katarak (infra merah), gatal (bahan organik hewan, debu padi), iritasi non alergi (chlor, formaldehid). Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor biologi.
l.     Gangguan Susunan Saraf
Gangguan susunan saraf dapat berupa pusing, tidak konsentrasi, sering lupa, depresi, neuropati perifer, ataksia serebeler dan penyakit motor neuron (cat, carpet-tile lining, laboratorium kimia, petrolium, oli). Hal ini disebabkan bahan kimia.
m. Stress
Stress dapat berupa neuropsikiatrik; ansietas, depresi (hubungan kerja kurang baik, monoton, upah kurang, suasana kerja tidak nyaman dan disebabkan faktor mental psikologi.


n.   Infeksi
Infeksi dapat berupa pneumonia (legionella pada AC), leptospirosis (leptospira pada petani), brucellosis, antrakosis (brucella, antrak pada peternak hewan). Hal ini disebabkan oleh faktor biologi.
o.   Keracunan
Dapat berupa keracunan akut (CO, Hidrogen sulfida, hidrogen sianida), kronis (timah hitam, merkuri, pestisida). Hal tersebut disebabkan oleh bahan kimia.

4.   Cara Deteksi atau Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Mendeteksi penyakit akibat kerja dan kemudian dari hasil deteksi dilakukan tindakan pencegahan dapat dilakukan seperti berikut:
1)  Monitoring Kesehatan Tenaga Kerja
Memonitoring kesehatan tenaga kerja dapat dilakukan dengan:
1)  Melihat riwayat penyakit tenaga kerja.
2)  Melihat riwayat pekerjaan tenaga kerja.
3)  Melakukan pemeriksaan klinik terhadap tenaga kerja.
4)  Melakukan pemeriksaan laboratories.
5)  Melakukan pemeriksaan rontgen.
6)  Melakukan pemeriksaan hubungan antara bekerja dan tidak bekerja dengan gejala penyakit.
2)  Monitoring Lingkungan Kerja
Monitoring lingkungan kerja dapat dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut:
1)  Pemantauan personil (diukur dekat masuknya kontaminan).
2)  Pemantauan lingkungan kerja.
3)  Pemantauan biologi.
Tujuan pemantauan lingkungan kerja yakni:
1)  Mengendalikan faktor lingkungan kerja.
2)  Pemeriksaan berkala terhadap tingkat pemaparan lingkungan kerja.
3)  Identifikasi potensi bahaya.
4)  Memantau tingkat pemaparan pekerja terhadap bahan berbahaya.
5)  Mengevaluasi efektivitas upaya-upaya pengendalian.
6)  Menjaga tempat kerja tetap aman dan sehat.
5.   Tata cara pelaporan Penyakit Akibat Kerja
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor PAK, antara lain:
a.   Pasal 2 (a) yaitu pengurus dan badan yang ditunjuk wajib melaporkan secara tertulis kepada Kantor Bina lindung Tenaga Kerja setempat.
b.   Pasal 3 (a) yaitu laporan dilakukan dalam waktu paling lama 2 kali 24 jam setelah penyakit dibuat diagnosa.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kepts. 333/Men/1989 tentang Diagnosa dan Pelaporan PAK, antara lain:
a.   Pasal 3 (3) yaitu setelah ditegakkan diagnosis PAK oleh dokter pemriksa maka wajib membuat laporan medik.
b.   Pasal 4 (a) yaitu PAK harus dilaporkan oleh pengurus tempat kerjayang bersangkutan selambat-lambatnya 2 kali 24 jam kepada Kanwil Depnaker melalui Kantor Depnaker.
c.   Pasal 4 (b) yaitu untuk melaporkan PAK harus menggunakan bentuk B2/F5, B3/F6, B8/F7.
B.  Tinjauan Tentang Rumah Sakit
1.   Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan salah satu tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan dan pemeliharaan kesehatan dengan berbagai fasilitas dan peralatan kesehatannya. Rumah sakit sebagai tempat kerja yang unik dan kompleks tidak saja menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga merupakan tempat pendidikan dan penelitian kedokteran. Semakin luas pelayanan kesehatan dan fungsi suatu rumah sakit maka semakin kompleks pula peralatan dan fasilitasnya (Aditama, 2003).
SK Menteri Kesehatan RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayananan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik. Rumah sakit mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Aditama, 2003).
Wolper dan Pena (1987) memberikan definisi rumah sakit yang merupakan tempat di mana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Sedangkan menurut American Hospital Association (1974) dalam Azwar (1996) menyebutkan bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional yang terorganisir serta sarana kedotekteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien. Menurut Association Hospital Care dalam Azwar (1996), rumah sakit merupakan pusat di mana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.
Seorang pekerja di rumah sakit harus merawat pasien yang menderita suatu penyakit yang mungkin dapat menular dan membahayakan keselamatan dirinya. Misalnya pekerja rumah sakit yang memberikan layanan pasien penderita penyakit menular, HIV AIDS, flu burung dan lainnya dapat terkena penyakit. Oleh karena itu, setiap rumah sakit perlu melaksanakan dan melakukan upaya perlindungan terhadap tenaga kerjanya atau semua pihak yang terkait dengan aktivitas rumah sakit dengan menegakkan upaya kesehatan dan keselamatan kerja.
2.   Fungsi dan Pelayananan Standar Rumah Sakit
Menurut Milton Roemer dan Friedman dalam Aditama (2003), menyatakan bahwa rumah sakit setidaknya mempunyai lima fungsi, antara lain:
a.   Harus ada pelayanan dengan fasilitas diagnostik dan terapeutiknya.
b.   Rumah sakit harus memiliki pelayanan rawat jalan.
c.   Rumah sakit punya tugas untuk melakukan pendidikan dan pelatihan.
d.   Rumah sakit perlu melakukan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan.
e.   Rumah sakit mempunyai tanggung jawab untuk program pencegahan penyakit dan penyuluhan bagi populasi di sekitarnya.
Selain lima fungsi tersebut, menurut Wijono (1997), pelayanan standar rumah sakit adalah sebagai berikut:
a.   Kamar operasi.
b.   Pelayanan radiologi.
c.   Pelayanan perinala risiko tinggi.
d.   Pelayanan laboratorium.
e.   Pengendalian infeksi di rumah sakit.
f.      Pelayanan sterilisasi.
g.   Keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana.
3.   Karakteristik Rumah Sakit
Menurut Wijono (1997), organisasi rumah sakit mempunyai sejumlah sifat-sifat yang secara serentak tidak dipunyai oleh organisasi lain pada umumnya. Sifat atau karakteristik itu antara lain:
a.   Sebagian besar tenaga kerja di rumah sakit adalah tenaga professional.
b.   Wewenang kepala rumah sakit berbeda dengan wewenang pimpinan perusahaan.
c.   Tugas-tugas kelompok professional lebih banyak dibandingkan tugas kelompok manajerial.
d.   Beban kerjanya tidak bisa diatur.
e.   Jumlah pekerjaan dan sifat pekerjaan di unit kerja beragam.
f.      Hampir semua kegiatannya bersifat urgent.
g.   Pelayanan rumah sakit sifatnya sangat invidualistik.
h.   Tugas memberikan pelayanannya bersifat pribadi, pelayanan ini harus cepat dan tepat, kesalahan tidak bisa ditolerir.
i.      Pelayanan berjalan terus menerus 24 jam dalam sehari. Akibat dari sifat pelayanan yang terus menerus adalah:
1)  Keharusan penyediaan tenaga yang selalu siap setiap waktu.
2)  Keharusan adanya peralatan yang selalu siap, aliran listrik yang tidak boleh berhenti.
3)  Pengawasan yang terus menerus.
4)  Harus selalu tersedia dana operasional setiap saat.
5)  Pelayanannya bersifat emergensi harus segera dilakukan.
j.      Kelalaian, keteledoran pelaksanaan pelayanan tidak dapat ditolelir.
k.   Rumah sakit modern adalah institusi dengan padat teknologi, banyak menggunakan alat-alat canggih.
l.      Latar belakang pendidikan tenaga rumah sakit yang beragam menuntut kesadaran untuk menciptakan adanya kerjasama yang baik.
m. Pelayanan rumah sakit menjadi fokus perhatian dan pengontrolan masyarakat.
n.   Karakteristik lain yang menandai keunikan rumah sakit adalah bangunan, tempat memberikan pelayanan adalah berupa gedung yang dirancang sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan-persyaratan atau standar yang telah ditetapkan.
4.   Keadaan dan Masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
Kinerja (performance) dari pekerja merupakan resultan dari ketiga komponen dari kesehatan dan keselamatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja yang merupakan beban tambahan bagi pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi, maka bisa dicapai suatu kesehatan kerja yang optimal dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidakserasian dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja yang dapat berupa penyakit atau kecelakaan akibat kerja hingga pada akhirnya dapat menuruntkan produktivitas kerja (Kemenkes, 2010).
a.   Kapasitas Kerja
Kualitas sumber daya manusia di Indonesia relatif masih rendah, hal ini tercermin dalam pendidikan pencari kerja. Hal tersebut terjadi pula di rumah sakit. Tenaga perawat lulusan akademi masih sedikit, demikian pula tenaga non medis masih banyak yang memiliki latar belakang pendidikan hingga SMA saja. Selain pendidikan yang masih kurang, kualitas kesehatannya juga masih rendah pula. Sementara untuk penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan tenaga kesehatan yang ahli dan terampil. Tanpa tenaga kerja yang berkualitas maka pelayanan kesehatan yang makin canggih justru dapat menimbulkan kesulitan. Kemampuan mengoperasikan alat-alat modern menjadi sangat terbatas dan dapat menyebabkan kecelakaan kerja.
Di sisi lain, tingkat gaji dan jaminan sosial di rumah sakit khususnya rumah sakit pemerintah relatif masih belum mencukupi. Hal ini terpengaruh pada masih banyaknya pekerja yang belum terpenuhi kebutuhan gizi dan kesehatannya secara memadai. Akibatnya, mereka sulit bekerja secara produktif dan cenderung menimbulkan masalah kesehatan kerja. Dengan gaji yang belum mencukupi, banyak pekerja yang melakukan kerja tambahan secara berlebihan, sehingga kondisi fisik menjadi cepat lelah dan lemah, sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan kerja.
b.   Beban Kerja
Sebagai sumber pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Dengan demikian, pelayanan di rumah sakit menuntut adanya pola bergiliran/shift kerja. Tenaga kesehatan yang bertugas jaga malam dapat mengalami kelelahan yang meningkat akibat terjadinya perubahan biomitrik (irama tubuh). Fungsi-fungsi biologis manusia tidak dapat sepenuhnya menyesuaikan dengan pola kerja yang berubah. Terjadinya pengurangan lamanya waktu tidur sampai empat hingga enam jam oleh karena lamanya waktu tidur relatif lebih pendek dari seharusnya. Pada 15-20% gangguan tidur dapat berkembang menjadi gangguan pencernaan. Pola kerja yang berubah dapat pula memperngaruhi kehidupan keluarga terutama bagi tenaga kerja wanita. Penyelesaian urusan rumah tangga merupakan masalah yang tidak mudah diatasi terlebih-lebih bila mempunyai anak yang masih kecil. Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stress. Di lain sisi, dengan masih kurangnya tenaga kesehatan maka masih banyak tenaga kesehatan yang masih mempunyai tugas rangkap di beberapa rumah sakit. Hal tersebut tentunya dapat berakibat pada kelelahan.
c.   Lingkungan Kerja
Kondisi lingkungan di rumah sakit di masa mendatang akan berkembang serba mekanik, otomatis, kimiawi dengan teknologi canggih yang dapat berpengaruh langsung terhadap kesehatan. Pekerja yang ada di rumah sakit sangat bervariasi jenis maupun jumlahnya sesuai dengan tugas dan fungsi rumah sakit. Pekerja di rumah sakit dapam melaksanakan tugasnya selalu berhubungan dengan berbagai potensial yang harus dapat diantisipasi dengan baik dan benar.
Lingkungan kegiatan rumah sakit dapat mempengaruhi kesehatan dalam dua bentuk yaitu kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
1)  Kecelakaan kerja di rumah sakit.
Ada beberapa bahaya potensial untuk terjadinya kecelakaan kerja di rumah sakit antara lain ketel uap, kebakaran, bahan-bahan radioaktif, cedera pada punggung karena mengangkat pasien, pekerjaan menyuntik, terpeleset dan jatuh.
2)  Penyakit akibat kerja di rumah sakit.
Penyakit akibat kerja di rumah sakit umumnya berkaitan dengan faktor biologik (kuman patogen yang umumnya berasal dari pasien), faktor kimia (antiseptik pada kulit, gas anestesi dan lain-lain), faktor ergonomic (cara duduk yang salah, cara mengangkat pasien yang salah, dan lain-lain), faktor fisik dalam dosis kecil dan terus menerus (panas pada kulit, radiasi pada sistem reproduksi/pemroduksi darah) faktor psikososial (ketegangan di kamar bedah, penerimaan pasien gawat darurat, bangsal kesehatan jiwa, dan lain-lain).
C.  Tinjauan Tentang Penyakit Akibat Kerja di Rumah Sakit
Citra masyarakat bahwa rumah sakit adalah tempat yang sangat bersih sudah berlangsung lama, sehingga tenaga kerjanya tidak akan terserang penyakit karena tempat kerjanya yang bersih dan tahu seluk beluk penyakit. Menjadi hal sulit dipercaya masyarakat jika tenaga kesehatan sakit, apalagi dokter jatuh sakit. Data tahun 1994 dari Bureau of Labor Statistic di Amerika Serikat menyatakan dari 5 juta warganya yang bekerja di rumah sakit, 40% di antaranya adalah dokter, perawat, apoteker serta para asistennya. Sebuah kelompok tenaga kerja yang mempunyai risiko besar terpajan bahan-bahan berbahaya di rumah sakit.
1.   Rumah sakit masa kini, layaknya sebuah industri mempunyai beragam persoalan tenaga kerja yang rumit dengan berbagai risiko terkena penyakit akibat kerja sesuai jenis pekerjaannya. Seiring kemajuan teknologi kedokteran, ditemukannya penyakit baru (HIV), serta kemunculan penyakit lama (TB) menjadikan rumah sakit tidak lagi menjadi tempat teraman untuk bekerja.
2.   Bila dipandang sebagai sebuah industri, sepatutnya upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS) (Occupational Health and Safety Program) tidak dilihat sebagai barang mahal, tapi seharusnya menjadi nilai tambah bagi organisasi rumah sakit itu sendiri. Menjadi sangat tepat bila upaya K3RS merupakan salah satu bidang penilaian pemberian akreditasi rumah sakit di Indonesia oleh Depkessos RI.
Dasar hukum pelaksanaan upaya K3RS dilandasi oleh perangkat hukum
sebagai berikut:
1.   UU No. 14 Tahun 1969, tentang ketentuan Pokok Tenaga Kerja, yang menyatakan bahwa, tiap tenaga kerja berhak mendapat perlidungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama.
2.   UU No. 1 Tahun 1970, tentang Keselamatan Kerja, yang menyatakan bahwa keselamatan kerja dilaksanakan dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air maupun di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia.
3.   UU No. 23 Tahun 1992 pasal 23, menyatakan bahwa Kesehatan Kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
4.   UU No. 25 Tahun 1997, tentang Ketenaga Kerjaan, pasal 108 yang menegaskan kembali bahwa, setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan pelakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta agama.
5.   Rekomendasi ILO/WHO Konvensi No. 155/1981, ILO menetapkan kewajiban setiap negara untuk merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi kebijakan nasionalnya di bidang kesehatan dan keselamatan kerja serta lingkungan kerja. Pengelolaan K3RS menjadi percontohan pengembangan sistim pengelolaan K3 di seluruh sarana kesehatan di tanah air, mengingat rumah sakit adalah sarana kesehatan yang memiliki banyak kerawanan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja bagi tenaga kerjanya.
Rumah sakit juga berkemungkinan besar menjadi tempat berkembang biaknya sumber penyakit dan berkumpulnya bahan-bahan berbahaya biologik, kimia dan fisik (biologic, chemical and physical hazards) yang setiap saat dapat kontak dengan tenaga kerja, pasien, keluarga pasien dan pengunjung.
1.   Penyakit Akibat Kerja Berdasarkan Penyebab
a.   Faktor Biologi
Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan favorable bagi berkembang biaknya strain kuman yang resisten, terutama kuman-kuman pyogenic, colli, bacilli dan staphylococci, yang bersumber dari pasien, benda-benda yang terkontaminasi dan udara. Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah dan sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi pekerja hanya akibat kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi virus.
b.   Faktor Kimia
Petugas di tempat kerja kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak digunakan dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan mereka. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton). Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang terpapar.
c.   Faktor Ergonomi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai efisiensi yang setinggi-tingginya.
Sebagian besar pekerja di perkantoran atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis, misalnya tenaga operator peralatan,
Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja (low back pain).
d.   Faktor Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja meliputi:
1)  Kebisingan, getaran akibat alat/media elektronik dapat menyebabkan stress dan ketulian.
2)  Pencahayaan yang kurang di ruang kerja, laboratorium, ruang perawatan dan kantor administrasi dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja.
3)  Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja.
4)  Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.
5)  Terkena radiasi. khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan, penggunaannya meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol dapat membahayakan petugas yang menangani.

e.   Faktor Psikososial
Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium kesehatan yang dapat menyebabkan stress:
1)  Pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di tempat kerja kesehatan di tuntut untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan kewibawaan dan keramahan-tamahan.
2)  Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
3)  Hubungan kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama teman kerja.Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor formal ataupun informal.
2.   Penyakit Akibat Kerja Berdasarkan Pekerjaan
Penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja  dikalangan petugas kesehatan dan non kesehatan di lingkungan rumah sakit belum teratasi dengan baik, sehingga terjadi kecenderungan peningkatan  prevalensi. Dalam hal ini perlu mendapat perhatian, karena seseorang yang bekerja jika mengalami kecelakaan atau penyakit akibat kerja bukan hanya berpengaruh pada diri sendiri, tetapi juga produktifitas kerja menurun dalam pemberian pelayanan kesehatan yang maksimal terhadap pasien.
Resiko petugas rumah sakit terhadap gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja pada umumnya disebabkan oleh prilaku petugas dalam kepatuhan melaksanakan setiap prosedur terhadap kewaspadaan. Melihat hal di atas tentunya kita perlu menyadari bahwa dalam lingkup pekerjaan di bidang kesehatan mempunyai banyak resiko terhadap kesehatan pekerja. Tenaga kerja (tenaga medis dan non medis) yang beresiko terhadap penyakit akibat kerja di rumah sakit antara lain:
a.   Tenaga non medis
1)  Pencucian (laundry)
Petugas pengumpul, pencuci dan distribusi kembali linen kotor yang digunakan pasien, akan terpajan mikroorganisme patogen secara tetap. Untuk menghindari pajanan tetap tersebut, petugas cuci harus melakukan.
a)  Semua linen kotor disatukan dalam kantong plastik, disimpan secara hati-hati. Sesampai di ruang cuci, linen kotor langsung dituang dari kantong (tidak dipegang tangan) langsung ke dalam mesin cuci kosong, tidak bercampur dengan cucian lain.
b)  Kantong plastik pengumpul linen kotor sebaiknya diberi tanda atau terpisah, misalnya kantong plastik linen pasien berisiko tinggi seperti penderita Hepatitis, AIDS terpisah dengan pasien lain. Petugas sortir linen bersih, juga harus memperhatikan kebersihan diri, karena dapat menjadi sumber infeksi. Petugas cuci harus memakai sarung tangan karet sebagai pencegahan dasar penyebaran infeksi. Petugas cuci dapat menderita dermatitis kontak akibat deterjen dan bahan kimia lain untuk cuci. Dapat pula terpajan mikroorganisme yang terbawa aerosol (di rumah sakit maju).
2)  Rumah Tangga (Housekeeping)
Petugas kebersihan mempunyai risiko terbesar terpajan bahan biologi berbahaya (biohazard). Kontak dengan alat medis sekali pakai (disposable equipment) seperti jarum suntik bekas, selang infus bekas. Membersihkan seluruh ruangan rumah sakit dapat meningkatkan faktor terkena infeksi. Mengepel lantai tidaklah membasmi mikroorganisme, kebanyakan hanya memindahkan debu dan bahan kimia dari satu ke tempat lain di rumah sakit. Sehingga bila saat mengepel lantai tidak benar, maka debu yang ditumpangi mikroorganisme patogen bertebaran di udara, dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan. Debu sebaiknya dihisap dengan vacuum cleaner. Desinfektan pembersih lantai yang sudah diencerkan dengan air di dalam ember pel harus digunakan dalam waktu 24 jam, agar tidak kehilangan sifat antimikrobanya.
3)  Gizi (Penyiapan Makanan)
Petugas penyiapan makanan dapat terpajan salmonela, botulism dari bahan mentah ikan, daging dan sayuran. Pencegahan terpenting di bagian ini adalah tangan bersih dan menggunakan alat bersih. Kulkas penyimpanan bahan makanan mentah yang sudah dibersihkan diatur suhunya dan kebersihannya agar bakteri atau jamur tidak sempat berkembang biak. Memasak yang benar-benar matang akan membunuh salmonela. Petugas yang sedang menderita gangguan gastrointestinal diliburkan dan diobati sampai sembuh.
4)  Farmasi
Apoteker yang berkomunikasi dengan pasien kanker dapat terpajan obat anti neoplastik.
5)  Sterilisasi
Gas etilen oksida (ethylene oxide) sering digunakan sebagai gas sterilisasi alat medis. Menjadi berbahaya bila sistem pembuangan sterilisasi rusak/macet, sehingga uap gas ini terhirup petugas. Etilen oksida merupakan gas tidak berwarna, mudah terbakar dan meledak bila mencapai konsentrasi 3% di udara. Efek etilen oksida bersifat mutagenik, sitogenik, karsinogenik pada hewan percobaan. Efek toksik utama pada traktus respiratorius dan saran pada pajanan dosis tinggi, akan menyebabkan katarak. Petugas yang dalam kondisi hamil dilarang bekerja di ruangan ini. Ruangan sebaiknya dibuka setelah selesai sterilisasi alat.
6)  Laboratorium
Pemeriksa di laboratorium akan terpajan bakteri, antara lain TB dan virus Hepatitis B. Petugas harus menjaga kesehatan dan kebersihan pribadi untuk mencegah tertular penyakit, serta selalu memakai sarung tangan karet pada saat bekerja. Mencuci tangan setiap akan memulai dan setelah bekerja, mengenakan jas laboratorium, yang harus selalu ditinggal di dalam laboratorium.
7)  Petugas Radiologi
Radiasi adalah risiko berbahaya yang dikenal baik di lingkungan rumah sakit dan usaha penanggulangannya sudah dilakukan. Rumah sakit sebaiknya mempunyai petugas yang bertanggung jawab (safety officer) atas keamanan daerah sekitar radiasi dan perlindungan bagi petugasnya. Petugas hamil sebaiknya dilarang bekerja, walau hal ini masih diperdebatkan.
b.   Tenaga Medis
1)  Perawat
Setiap hari kontak langsung dengan pasien dalam waktu cukup lama (6-8 jam/hari), sehingga selalu terpajan mikroorganisme patogen. Dapat menjadi pembawa infeksi dari satu pasien ke pasien lain, atau ke perawat lainnya. Harus sangat berhati-hati (bersama apoteker) bila menyiapkan dan memberikan obat-obatan antineoplastik pada pasien kanker. Selalu mencuci tangan setelah melayani pasien, melepas masker dan kap (topi perawat) bila memasuki ruangan istirahat atau ruangan makan bersama. Abortus spontan, lahir prematur dan lahir mati sering dialami perawat yang bertugas di ruang rawat inap/ bangsal perawatan. Menurut hasil penelitian di Cleveland Clinic Hospital dan 22 RS di Ohio (1993-1996) di Amerika Serikat, terbanyak ditemukan cedera sprain dan strain pada perawat. Nyeri pinggang (back injuries) merupakan keluhan terbanyak dari cedera tersebut dan lebih banyak menimpa perawat wanita. Penyebabnya ditengarai adalah seringnya kerja otot statik, seperti mengangkat pasien dan kerja bergilir (work shift). Bagaimana kerja bergilir mempengaruhi nyeri punggung, perlu diteliti lebih lanjut.

2)  Dokter
Dokter dapat tertular dan menularkan penyakit pada pasiennya. Penyakit yang sering menular kepada dokter adalah TB, Hepatitis B, HIV, Rubella, Cytomegalovirus, Hepatitis C. Adler, 1973, meneliti 271 orang dokter rumah sakit California, hasil tes tuberkulin kulit pertama semuanya negatif. Dua tahun kemudian, 15 orang dokter memberikan hasil tes positif dan 2 orang dokter menderita TB aktif. Terpajan bahan kimia berbahaya dosis rendah (low level) dapat terjadi di dalam pelayanan sehari-hari. Di kamar operasi, dokter dan perawat dapat terpajan gas anestesi nitrous oxide dan halotan yang mudah menguap, merembes menembus masker, dapat pula akibat hembusan nafas pasien yang sedang operasi. Pajanan kronisnya dapat menyebabkan gangguan somatik, berupa sakit kepala, mual sampai gangguan susunan saraf pusat (SSP), fertilitas bertambah dan gangguan kehamilan. Sarung tangan karet yang sedang dipakai dapat robek, apalagi yang sering digunakan sehingga sering disterilkan. Sebuah penelitian di Amerika Serikat tentang mekanisme robeknya sarung tangan karet dan terjadinya cedera tajam pada 2292 operasi selama 3 bulan, menemukan 92% robeknya sarung tangan akibat tidak rangkap dua, dan 8% karena sebab tidak diketahui. Dari 70 cedera tajam yang terjadi, 0,7% akibat jarum, 10% akibat skalpel dan 23% akibat cedera lain. Pada penyelidikan pasangan suami-istri dokter yang bekerja di rumah sakit yang sama, menemukan tingginya kejadian abortus spontan. Ditengarai bahwa penyebabnya adalah stres psikologis tingkat tinggi yang berkepanjangan.
3)  Dokter Gigi
Penelitian pada tenaga kesehatan gigi di Singapura menemukan, tingginya kadar HBs Ag dan anti HBC para dokter gigi dibandingkan dengan tenaga kesehatan gigi lainnya. Diduga penularan ini melalui pajanan air ludah pasien. Penyakit infeksi akibat kerja lainnya adalah TB, AIDS. Penggunaan sarung tangan karet dan masker sangat berarti dalam upaya pencegahan. Pajanan kronis merkuri dapat terjadi melalui amalgam, bahan yang biasa digunakan menambal lubang gigi (dental fillings). Pajanan dosis rendah komponen merkuri dapat menyebabkan kelelahan, lesu, anoreksia berkepanjangan dan gangguan gastrointestinal. Gejala ini disebut micromericuralism. Tremor adalah utama keracunan kronis merkuri. Saat ini sudah banyak terdapat bahan pengganti amalgam, bahan non merkuri, seperti glass ionomer cement atau resin composite, sehingga penyakit kerja akibat pajanan kronis merkuri amalgam tinggal kenangan. Nyeri pinggang juga sering dikeluhkan sebagai akibat posisi kerja tubuh yang kurang ergonomis.
3.   Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Upaya K3RS dibagi dalam dua bidang, yaitu kesehatan kerja dan keselamatan kerja, yang dilaksanakan dalam waktu bersamaan.
a.   Kesehatan Kerja
1)  Pelayanan berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
2)  Tujuan yaitu untuk Mendapatkan tenaga kerja berstatus kesehatan optimal dengan gizi baik, semangat kerja tinggi sehingga efisien dan produktif.
3)  Kegiatan yang dilakukan yaitu:
a)  Pemeriksaan kesehatan awal dan berkala pada tenaga kerja tertentu.
b)  Imunisasi Hepatitis B, bagi tenaga kerja yang sering berhubungan dengan cairan tubuh, seperti perawat yang memasang infus, transfusi darah.
c)  Pengobatan tenaga kerja yang sakit, untuk menghentikan perjalanan penyakit dan komplikasinya.
b.   Keselamatan Kerja
1)  Tujuan yaitu untuk menghindari atau memperkecil kecelakaan kerja di tempat kerja karena ketidaktahuan atau kurang mengerti penggunaan alat kerja serta risiko bahaya yang menyertainya.
2)  Kegiatan yang dilakukan meliputi:
a)  Latihan kerja yang aman, latihan penggunaan alat kerja dan alat pelindung diri (APD).
b)  Komunikasi, dengan cara pertemuan singkat sebelum bekerja (safety talk), pemasangan poster mengenai keselamatan kerja.
c)  Pengawasan dan monitoring dengan alat terhadap bahan berbahaya secara berkala ruangan kerja dan lingkungan kerja yang dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang berlaku.
d)  Sistem perlindungan bahaya kebakaran di rumah sakit, dengan merencanakan pintu keluar darurat, sistem peringatan bahaya (alarm system), sumber air terdekat, perawatan alat pemadam kebakaran.
4.   Pengendalian Penyakit Akibat Kerja
Pengendalian penyakit akibat kerja dapat dilakukan sebagai berikut:
a.   Pengendalian Melalui Perundang-undangan (Legislative Control) antara lain:
1)  UU No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Petugas kesehatan dan non kesehatan.
2)  UU No. 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3)  UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
4)  Peraturan Menteri Kesehatan tentang higene dan sanitasi lingkungan.
5)  Peraturan penggunaan bahan-bahan berbahaya.
6)  Peraturan/persyaratan pembuangan limbah dan lain-lain.
b.   Pengendalian melalui Administrasi/Organisasi (Administrative control) antara lain:
1)  Persyaratan penerimaan tenaga medis, para medis, dan tenaga non medis yang meliputi batas umur, jenis kelamin, syarat kesehatan.
2)  Pengaturan jam kerja, lembur dan shift.
3)  Menyusun Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating Procedure) untuk masing-masing instalasi dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya.
4)  Melaksanakan prosedur keselamatan kerja (safety procedures) terutama untuk pengoperasian alat-alat yang dapat menimbulkan kecelakaan (boiler, alat-alat radiologi, dan lain-lain) dan melakukan pengawasan agar prosedur tersebut dilaksanakan.
5)  Melaksanakan pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan mengupayakan pencegahannya.
c.   Pengendalian Secara Teknis (Engineering Control) antara lain:
1)  Substitusi dari bahan kimia, alat kerja atau proses kerja.
2)  Isolasi dari bahan-bahan kimia, alat kerja, proses kerja dan petugas kesehatan dan non kesehatan (penggunaan alat pelindung).
3)  Perbaikan sistim ventilasi, dan lain-lain
d.   Pengendalian Melalui Jalur kesehatan (Medical Control)
Pengendalian melalui jalur kesehatan (medical control) yaitu upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal (Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk menegakkan diagnosa penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment). Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi:


1)  Pemeriksaan Awal
Pemeriksaan awal merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang calon/pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan) mulai melaksanakan pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang status kesehatan calon pekerja dan mengetahui apakah calon pekerja tersebut ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan pekerjaan yang akan ditugaskan kepadanya. Pemerikasaan kesehatan awal ini meliputi:
a)  Anamnese umum.
b)  Anamnese pekerjaan.
c)  Penyakit yang pernah diderita.
d)  Alergi.
e)  Imunisasi yang pernah didapat.
f)   Pemeriksaan badan.
g)  Pemeriksaan laboratorium rutin.
h)  Pemeriksaan tertentu yang biasanya terdiri dari tuberkulin test dan psikotest.
2)  Pemeriksaan Berkala
Pemeriksaan berkalan adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara berkala dengan jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya resiko kesehatan yang dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan berkala Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam pekerjaan.
3)  Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan khusis yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada khusus diluar waktu pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada atau diduga ada keadaan yang dapat mengganggu kesehatan pekerja. Sebagai unit di sektor kesehatan pengembangan K3 tidak hanya untuk intern di Tempat Kerja Kesehatan, dalam hal memberikan pelayanan paripurna juga harus merambah dan memberi panutan pada masyarakat pekerja di sekitarnya, utamanya pelayanan promotif dan preventif. Misalnya untuk mengamankan limbah agar tidak berdampak kesehatan bagi pekerja atau masyarakat disekitarnya, meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya. Kesehatan dan keselamatan kerja di Tempat Kerja Kesehatan bertujuan agar petugas, masyarakat dan lingkungan tenaga kesehatan saat bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera.
D.  Tinjauan Tentang Perawat
Perawat merupakan tenaga kerja yang bertugas memberikan asuhan keperawatan.Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat menggunakan proses keperawatan dengan lima tahapan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan pasien atau keluarga. Perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat, memiliki wewenang melakukan asuhan keperawatan secara utuh berdasarkan standar asuhan keperawatan.Dalam melaksanakan tugas pelayanan keperawatan kepada klien, cakupan tanggung jawab perawat adalah meningkatkan derajat kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengurangi dan menghilangkan penderitaan serta mememulihkan kesehatan yang kesemuanya ini dilaksanakan atas dasar pelayanan yang paripurna (Hidayat, A, 2008).
Perawat menggunakan berbagai kelompok otot untuk setiap aktivitas keperawatan seperti berjalan selama ronde keperawatan, memberikan obat, mengangkat dan memindahkan klien dan menggerakan objek (Haruna, 2012). Adapun intervensi keperawatan yang dilakukan oleh perawat kepada pasiennya adalah:
a.   Memenuhi kebutuhan oksigen
b.   Memenuhi kebutuhan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit
c.   Memenuhi kebutuhan eliminasi
d.   Memenuhi kebutuhan keamanan
e.   Memenuhi kebutuhan kebersihan dan kenyamanan fisik
f.    Memenuhi kebutuhan istrahat dan tidur
g.   Memenuhi kebutuhan gerak dan kesehatan jasmani
h.   Memenuhi kebutuhan spiritual
i.    Memenuhi kebutuhan emosional
j.    Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologis
k.   Memenuhi kebutuhan pengobatan dan membantu proses penyembuhan
l.    Memenuhi kebutuhan penyuluhan
m. Memenuhi kebutuhan rehabilitasi (Hidayat, A, 2008).
E.  Tinjauan Tentang Ergonomi
Menurut ILO, Kesehatan & Keselamatan Kerja (K3) adalah suatu upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan diantara pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang diadaptasikan dengan kapabilitas fisiologi dan psikologi (Markkanen, P.K. 2004). K3 terdiri atas beberapa subdisiplin ilmu yang memiliki posisi, peran, fungsi dan tujuan masing-masing dalam pencapaian K3.Adapun subdisiplin ilmu tersebut adalah kesehatan kerja, keselamatan kerja, higiene industri dan ergonomi (Hendra, 2000).
Ergonomi merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload). Karena keduanya, baik underload maupun overload akan menyebabkan stress (Suhardi, 2008). Konsep keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
 








Gambar 1. Konsep Keseimbangan Ergonomi
1.   Kemampuan Kerja. Kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh:
a.   Personal Capacity (Karakteristik Pribadi): meliputi faktor usia, jenis kelamin, antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan, status kesehatan, kesegaran tubuh, dan sebagainya.
b.   Physiological Capacity (Kemampuan Fisiologis): meliputi kemampuan dan daya tahan tubuh cardiovaskuler, syaraf otot, panca indera, dan sebagainya.
c.   Psycological Capacity (Kemampuan Psikologis): berhubungan dengan kemampuan mental, waktu reaksi, kemampuan adaptasi, stabilitas emosi, dan sebagainya.
d.   Biomechanical Capacity (Kemampuan Bio-mekanik): berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan sendi dan persendian, tendon dan jalinan tulang.
2.   Tuntunan Tugas. Tuntunan tugas pekerjaan/ aktivitas tergantung pada:
a.   Task and Material Characteristics (Karakteristik Tugas dan Material): ditentukan oleh karakteristik peralatan dan mesin, tipe, kecepatan, dan irama kerja, dsb.
b.   Organization Characteristics: berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam dan bergilir, cuti dan libur, manajemen, dsb.
c.   Environmental Characteristics: berkaitan dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban, bising dan getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan, bahan-bahan pencemar, dsb.
3.   Performansi. Performasi atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari besarnya tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan. Dengan demikian, apabila:
a.   Bila rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa: ketidaknyamanan, “Overstress”, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak produktif.
b.   Sebaliknya, bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan seseorang atau kapasitas kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa: “understress”, kebosanan, kejemuan, kelesuan, sakit dan tidak produktif.
Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi yaitu:
1.    Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja
2.    Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif
3.    Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka, dkk, 2004).
F.  Tinjauan Tentang Risiko Ergonomi Penyakit Akibat Kerja pada Perawat
1.   Musculoskeletal Disorders (MSDs)
a.   Definisi
Muskuloskeletal disorder adalah gangguan pada bagian otot skeletal yang disebabkan oleh karena otot menerima beban statis secara berulang dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1)  Keluhan sementara (reversible) yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis namun demikian keluhan tersebut akan segera hilang bila pembebanan dihentikan.
2)  Keluhan menetap (persistent) yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut. Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industry telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah.
b.   Faktor Penyebab
Menurut Peter Vi (2001), faktor penyebab musculoskeletal disorders antara lain:
1)  Faktor Penyebab Primer
a)  Peregangan otot yang berlebihan (overexxertion)
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan yang besar, seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, menahan beban yang berat.
b)  Aktivitas berulang ddalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Seperti mencangkul, membelah kayu, angkat-angkut dan sebagainya.
c)  Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkanposisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi ilmiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk dan sebagainya.
2)  Fator penyebab sekunder
a)  Tekanan yaitu terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak.
b)  Getaran denang frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
c)  Mikroklimat yaitu paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak disertai dengan menurunnya kekuatan otot.
3)  Penyebab Kombinasi
a)  Umur yaitu prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dengan usia.
b)  Jenis kelamin yaitu prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dan lebih menonjol pada wanita dibandingkan pria (3:1).
c)  Kebiasaan merokok yaitu semakin lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok, semakin tinggi pula keluhan otot yang dirasakan.
d)  Kesegaran jasmani yaitu tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot.
e)  Kekuatan fisik.
f)   Ukuran tubuh (antropometri).
c.   Cara Mengukur dan Mengenali Penyebab Musculoskeletal Disorders
1)  Checklist
Checklist terdiri dari daftar pertanyaan yang diarahkan untuk mengidentifikasi sumber keluhan atau penyakit.  Pertanyaan bersifat umum (tingkat beban kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kondisi lingkungan kerja, waktu dan sikap kerja) dan khusus (berat beban, jenis pekerjaan, jarak angkat dan frekuensi kerja).
2)  Model Biomekanik
Menerapkan konsep mekanika teknik pada fungsi tubuh untuk mengetahui reaksi otot yang terjadi akibat tekanan beban kerja.
3)  Tabel Psikofisik
Merupakan cabang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk menguji hubungan antara persepsi dari sensasi tubuh terhadap ransangan fisik. Contoh:
Tabel 1. Psikofisik Untuk Daya Dorong Maksimum
Jarak objek dari lantai ke tangan (cm)
Jumlah pekerja wanita (%)
Daya dorong maksimum (kg) untuk jarak 15,2 m
Satu kali dorong untuk setiap
6 det
12 det
1 mnt
2 mnt
5 mnt
30 mnt
8 jam
89
90
5
6
6
7
7
8
10
75
7
8
9
10
11
11
14
50
9
11
13
13
14
15
19
25
12
14
16
16
18
19
24
10
14
17
19
19
21
23
28
Sumber: Waters & Anderson 1996. Manual Material Handling
4)  Model Fisik
Tingkat beban kerja dapat diketahui melalui indicator denyut nadi, konsumsi oksigen dan kapasitas paru-paru. Melalui tingkat beban karja ini dapat diketahui tingkat resiko terjadinya keluhan otot skeletal.


5)  Pengukuran dengan Videotape
Analisis dilakukan dengan menggunakan video camera, hasil rekaman digunakan sebagai dasar untuk melakukan analisisterhadap sumber terjadinya keluhan otot.
6)  Pengamatan melalui Monitor
Sistem ini terdiri dari sensor mekanik yang dipasang pada bagian tubuh pekerja yang akan diukur. Melalui monitor dapat dilihat secara langsung karakteristik dari perubahan gerakan yang terjadi yang dapat digunakan untuk mengestimasi dapat dianalisis solusi ergonomik yang tepat untuk mencegah terjadinya keluhan tersebut.
7)  Model Analitik
Yaitu dengan menghitung Recommended Weight Limit (RWL) dan Lifting Index (LI). RWL adalah berat beban yang masih aman untuk dikerjakan oleh pekerja dalam waktu tertentu tanpa meningkatkan resiko gangguan sakit pinggang (low back pain). LI adalah estimasi sederhana terhadap resiko cedera yang diakibatkan oleh overexertion.
8)  Nordic Body Map (NBM)
Melalui NBM dapat diketahui bagian-bagian otot yang mengalami keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (agak sakit) sampai sangat sakit.
d.   Langkah-Langkah Mengatasi  Musculoskeletal Disorders
Langkah-langkah dalam mengatasi MSDs antara lain:
1)  Rekayasa Teknik
a)  Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada.
b)  Substitusi, yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau bahan baru yang aman, menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan.
c)  Partisi, yaitu pemisahan sumber bahaya dengan pekerja.
d)  Ventilasi, yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurasi risiko sakit.
2)  Rekayasan Manajemen
a)            Pendidikan dan pelatihan.
b)            Pengaturan waktu kerja dan istirahat seimbang.
c)            Pengawasan yang intensif.





2.   Low Back Pain (LBP) atau Nyeri Punggung Bagian Bawah (NPB)
a.   Definisi
Nyeri punggung bawah adalah nyeri pada daerah punggung bawah yang berkaitan dengan masalah vertebra lumbar, diskus intervertebralis, ligamentum di antara tulang belakang dengan diskus, medula spinalis, dan saraf otot punggung bawah, organ internal pada pelvis dan abdomen atau kulit yang menutupi area lumbar (Medicine Dictionary, 2013).
Sedangkan menurut Kravitz (2009) dalam Aulia (2014) nyeri punggung bawah mengacu pada nyeri di daerah lumbosakral tulang belakang meliputi jarak dari vertebra lumbar pertama ke tulang vertebra sacral pertama. Ini adalah area tulang belakang dimana bentuk kurva lordotic. Yang paling sering menyebabkan nyeri pinggang adalah di segmen lumbal 4 dan 5.







Gambar 2. Nyeri Punggung Bawah
Sumber : Advance Spine Care, 2010
Penelitian yang dilakukan oleh Benita naude (2008) mengenai nyeri punggung bawah pada pekerja rumah sakit Tshwane di Afrika Selatan menyatakan bahwa prevalensi nyeri punggung bawah di pekerja rumah sakit adalah 47%. Faktor yang berpengaruh antara lain adalah jenis kelamin wanita dan keikutsertaan pekerja dalam aktivitas fisik. Tidak ada pengaruh dari penyakit penyerta dalam resiko nyeri punggung bawah. Sebanyak 31,25% perawat RSUD Purbalingga melakukan sikap dan posisi kerja yang beresiko cedera muskuloskeletal. Perawat yang mengalami nyeri punggung bawah sebanyak 18,75 %. Terdapat hubungan antara usia dan masa kerja dengan nyeri punggung bawah (Fathoni et al, 2012).

b.   Faktor Risiko
1)  Umur
Nyeri pinggang merupakan keluhan yang berkaitan erat dengan umur. Secara teori, nyeri pinggang atau nyeri punggung bawah dapat dialami oleh siapa saja, pada umur berapa saja. Namun demikian keluhan ini jarang dijumpai pada kelompok umur 0-0 tahun, hal ini mungkin berhubungan dengan beberapa faktor etiologik tertentu yag lebih sering dijumpai pada umur yang lebih tua. Biasanya nyeri ini mulai dirasakan pada mereka yang berumur dekade kedua dan insiden tertinggi dijumpai pada dekade kelima. Bahkan keluhan nyeri pinggang ini semakin lama semakin meningkat hingga umur sekitar 55 tahun.
2)  Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap keluhan nyeri pinggang sampai umur 60 tahun, namun pada kenyataannya jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi timbulnya keluhan nyeri pinggang, karena pada wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada saat mengalami siklus menstruasi, selain itu proses menopause juga dapat menyebabkan kepadatan tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen sehingga memungkinkan terjadinya nyeri pinggang.
3)  Indeks Masa Tubuh (IMT)
Pada orang yang memiliki berat badan yang berlebih risiko timbulnya nyeri pinggang lebih besar, karena beban pada sendi penumpu berat badan akan meningkat, sehingga dapat memungkinkan terjadinya nyeri pinggang. Tinggi badan berkaitan dengan panjangnya sumbu tubuh sebagai lengan beban anterior maupun lengan posterior untuk mengangkat beban tubuh.
4)  Pekerjaan
Keluhan nyeri ini juga berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat, sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini. Pada pekerjaan tertentu, misalnya seorang kuli pasar yang biasanya memikul beban di pundaknya setiap hari. Mengangkat beban berat lebih dari 25 kg sehari akan memperbesar risiko timbulnya keluhan nyeri pinggang.
5)  Aktivitas / Olahraga
Sikap tubuh yang salah merupakan penyebab nyeri pinggang yang sering tidak disadari oleh penderitanya. Terutama sikap tubuh yang menjadi kebiasaan. Kebiasaan seseorang, seperti duduk, berdiri, tidur, mengangkat beban pada posisi yang salah dapat menimbulkan nyeri pinggang, misalnya, pada pekerja kantoran yang terbiasa duduk dengan posisi punggung yang tidak tertopang pada kursi, atau seorang mahasiswa yang seringkali membungkukkan punggungnya pada waktu menulis. Posisi berdiri yang salah yaitu berdiri dengan membungkuk atau menekuk ke muka. Posisi tidur yang salah seperti tidur pada kasur yang tidak menopang spinal. Kasur yang diletakkan di atas lantai lebih baik daripada tempat tidur yang bagian tengahnya lentur. Posisi mengangkat beban dari posisi berdiri langsung membungkuk mengambil beban merupakan posisi yang salah, seharusnya beban tersebut diangkat setelah jongkok terlebih dahulu. Selain sikap tubuh yang salah yang seringkali menjadi kebiasaan, beberapa aktivitas berat seperti melakukan aktivitas dengan posisi berdiri lebih dari 1 jam dalam sehari, melakukan aktivitas dengan posisi duduk yang monoton lebih dari 2 jam dalam sehari, naik turun anak tangga lebih dari 10 anak tangga dalam sehari, berjalan lebih dari 3,2 km dalam sehari dapat pula meningkatkan risiko timbulnya nyeri pinggang (Adelia,Rizma.,2007).
6)  Posisi Tubuh
Posisi lumbar yang berisiko menyebabkan terjadinya nyeri punggung bawah ialah fleksi ke depan, rotasi, dan mengangkat beban yang berat dengan tangan yang terbentang. Beban aksial pada jangka pendek ditahan oleh serat kolagen annular di diskus. Beban aksial yang lebih lama akan memberi tekanan pada fibrosis annular dan meningkatkan tekanan pada lempeng ujung. Jika annulus dan lempeng ujung utuh, maka beban dapat ditahan. Akan tetapi, daya kompresi dari otot dan beban muatan dapat meingkatkan tekanan intradiskus yang melebihi kekuatan annulus, sehingga menyebabkan robeknya annulus dan gangguan diskus (Hillus et al, 2010).
3.   Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
a)  Definisi
Hernia Nucelus Pulposus (HNP) adalah suatu nyeri yang disebabkan oleh proses patologik dikolumna vertebralis pada diskus intervertebralis (diskogenik) (Harsono, 2000). Herniasi diskus intervertebralis ke segala arah dapat terjadi akibat trauma atau stress fisik. Herniasi ke arah superior atau inferior melalui lempeng kartilago masuk ke dalam korpus vertebrata dinamakan sebagai nodul schmorl (biasanya dijumpai secara insidentil pada gambaran radiologist atau otopsi). Kebanyakan herniasi terjadi pada arah posterolateral sehubungan dengan faktor-faktor nucleus pulposus yang cenderung terletak lebih di posterior dan adanya ligamentum longitudinalis posterior yang cenderung memperkuat annulus fibrosis di posterior yang cenderung memperkuat annulus fibrosus di posterior tengah. Peristiwa ini dikenal juga dengan berbagai sebutan lain seperti rupture annulus fibrosis, hernia nucleus pulposus, rupture diskus, herniasi diskus dan saraf terjepit.
b)  Klasifikasi
HNP terbagi atas:
a)  HNP sentral. HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine.
b)  HNP lateral. Rasa nyeri terletak pada punggung bawah, di tengah-tengah antara pantat dan betis, belakang tumit dan telapak kaki. Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patella negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sesuai dengan radiks yang terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengangkat tungkai yang lurus (straight leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda laseque positif). Valsava dan nafsinger akan memberikan hasil positif.
c)  Faktor Risiko
Pada saat perawat bekerja seperti mengangkat atau memindahkan pasien, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan nyeri pada tulang belakang, yaitu:
a)  Faktor Fisik/ Pekerjaan
Mengangkat dan membawa beban dan membungkuk serta memutar menunjukkan adanya keterkaitan dengan cidera tulang belakang (Burdorf et al., 1997). Kebanyakan pekerjaan yang terdiri dari kombinasi mengangkat dan pergerakan lainnya seperti mengangkat dengan memutar memiliki resiko yang besar (Battié & Bigos, 1991; Kelsey et al.,1984; Troup, 1987). NIOSH menyatakan bahwa ada bukti yang kuat untuk terjadinya cidera pada tulang belakang dengan pekerjaan yang mengangkat dan pergerakan yang memaksa. Mereka juga menyatakan bahwa ada bukti yang terkait dengan postur janggal, seperti pekerjaan fisik yang berat yang dikaitkan dengan cidera pada tulang belakang (Bernard, 1997). Ini juga merupakan temuan bahwa perawat dengan pekerjaan melayani yang lebih lama memiliki risiko yang lebih tinggi (Kumar, 1990; Owen et al., 1984; Stubbs et al., 1983).
Faktor pekerjaan secara umum termasuk juga forceful exertion (gerakan yang diluar jangkauan), postur janggal, dan gerakan yang berulang. Seperti: mengangkat atau memindahkan pasien yang berat, gerakan yang dipaksakan atau spontan, mengangkat pasien pada saat ia terjatuh dilantai. Postur atau posisi janggal pada saat bekerja seperti membungkuk, memutar dan menjangkau diluar jangkauan dapat menyebabkan terjadinya nyeri pada leher, bahu dan bagian belakang. Membungkuk ketika mengangkat pasien dapat menimbulkan beban pada otot, diskus, dan ligament pada bagian belakang bawah. Karena tekanan pada diskus pada bagian belakang bawah meningkat, pusat atau nucleus dari diskus dipaksa untuk keluar. Jika diskus membengkak atau robek, ini dapat merusak saraf disekitarnya. Misalnya pada postur janggal seperti: membungkuk, memutar atau menjangkau ketika mencuci kaki pasien pada tempat yang lebih rendah, memakaikan baju pasien dan menempatkan pasien di tempat tidur, berdiri dan mengangkat peralatan yang berat dalam jangka waktu yang lama. Menurut Bandriyo (2006) dalam tesisnya, yang dikutip dari Health Industry Classification Project (1997) faktor – faktor yang memberikan sumbangan terbesar bagi terjadinya cidera pada perawat adalah:
1.   Tindakan manual handling.
2.   Postur janggal yang menimbulkan kekakuan otot.
3.   Tergelincir, tersandung dan terjatuh.
4.   Mendorong, menarik trolley.
5.   Merapihkan dan membersihkan tempat tidur pasien.
6.   Penanganan bahan linen dan apron.
Menurut NSW Nurses Association dalam Manual Handling Guide for Nurses (September, 1999), keseleo dan ketegangan otot merupakan jenis cidera yang dialami oleh perawat 40% di punggung, 12% pada anggota badan atas, dan 9% pada bagian belakang bawah. Studi epidemiologi yang lain juga membuat kontribusi yang penting terhadap etiologi nyeri pada tulang belakang. Beberapa pekerjaan yang dapat menyebabkan nyeri pada tulang belakang dalam pekerjaan mengangkat beban seperti mengangkat (lifiting), menarik (pulling), mendorong (pushing), membawa (carrying), menurunkan (lowering), membungkuk (bending), memutar (twisting), terjatuh (falling), terpeleset (slipping) merupakan faktor – faktor yang siginifikan yang dapat menimbulkan terjadinya nyeri pada tulang belakang (Cady et al., 1979a; Snook et al., 1978, 1980; White and Panjabi, 1990). Perawat memiliki insiden nyeri pada tulang belakang yang lebih tinggi karena aktifitas fisik yang berat yang biasanya dibutuhkan untuk melayani pasien dan kejadian yang biasanya terburu – buru, mengangkat yang salah (Royal College of Nursing, 1980; State of California, 1980; State of Wisconsin, 1973; White & Panjabi, 1990).
Selain itu, dilaporkan juga frekuensi membungkuk (bending) dan memutar (twisting) adalah penyebab yang paling sering dari cidera belakang di Inggris. Frekuensi low back pain setelah mengangkat memiliki variabel 15% - 64%. Gerakan yang tiba-tiba seperti mengangkat yang dikombinasikan dengan dengan mengangkat keatas dan memutar merupakan tindakan yang berbahaya. Chaffin dan Park melaporkan insiden cidera pada bagian belakang delapan kali lebih tinggi pada pekerja yang terlibat pada aktifitas manual handling yang berat dibandingkan dengan work sedentary.
b)  Faktor Psikososial dan Lingkungan Kerja
Beberapa studi menunjukkan bahwa cidera tulang belakang terkait dengan lingkungan psikososial yang buruk (Bigos et al., 1991) dimana yang lainnya tidak ditemukan hubungan (Feyer et al., 1992). Pengkajian pada pengaruh faktor psikososial pada nyeri tulang belakang dilaporkan sulit, seperti pekerjaan dengan physical demand yang tinggi yang biasanya termasuk lingkungan sosial yang buruk (Vingard & Nachimson, 1999). Hasil dari studi epidemiologi terkait dengan perubahan generatif ke faktor mekanis telah dikaburkan oleh kenyataan bahwa ada banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri pada tulang belakang. Seperti, faktor psikologi yang biasanya berperan pada orang – orang yang mengeluh nyeri atau sakit. Dalam hal nyeri pada spinal, tingkat pendidikan yang rendah, status ekonomi sosial yang rendah, intelegensi yang rendah, dan persepsi dari kinerja pekerjaan yang menurutnya tidak penting semuanya dapat mempengaruhi untuk absen/ tidak masuk kerja dikarenakan nyeri pinggang. (Bobechko and Hirsch, 1965; Westrin, 1973; White & Panjabi, 1990). Pekerja yang berpikir pekerjaannya penuh tekanan, gelisah, atau penuh tantangan fisik juga dapat meningkatkan kejadian nyeri pada tulang belakang (Bandriyo, 2006).
Selain itu, faktor lingkungan kerja seperti pencahayaan yang ada dilingkungan kerja juga dapat mempegaruhi postur tubuh seseorang seperti yang terdapat dalam penelitian sebelumnya oleh Smith, S.W. dan Rea, M.S, 1982; Rose, F.C. dan Rostas, S.M, 1946; Rea, M.S.,1946 dalam Bandriyo (2006) yang mengatakan bahwa ”pencahayaan dan kondisi pekerjaan mempengaruhi postur seseorang. Seperti, posisi orang tersebut untuk memperbaiki penglihatannya. Mereka bekerja lebih dekat ketika tingkat iluminasinya rendah dan berasumsi melihat sudut yang mengurangi refleksi.

c)  Faktor Individu dan Gaya Hidup (life style)
1.   Umur. Keberadaan nyeri pada tulang belakang meningkat seiring dengan bertambahnya usia sekitar umur 50-60 tahun, walaupun itu terlihat akan dipatahkan (Dempsey et al., 1997). Dengan kata lain, cidera pada tulang belakang karena kecelakaan telah ditunjukkan terkait dengan umur, mengikuti bentuk kurva U (Laflamme, 1997; Laflamme et al., 1995). Mengangkat beban yang berat yang dikombinasikan dengan rotasi dan postur membungkuk dapat menimbulkan resiko yang besar jika diskus telah mengalami degenerasi, dan cidera pada saat berputar dapat menyebabkan degenerasi (Troup, 1987). Penelitian lain juga menyebutkan HNP terjadi pada usia 30-50 tahun, saat nukleus pulposus masih bersifat gelatinous. Kandungan air di dalam diskus akan berkurang secara alamiah akibat bertambahnya usia. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa HNP dapat terjadi di usia produktif yaitu diantara umur 30 – 55 tahun (Kesumaningtiyas, 2009).
2.   Jenis kelamin. Beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi dari cidera tulang belakang lebih tinggi pada pria daripada wanita, dimana cidera muskuloskeletal pada ekstremitas atas lebih sering pada wanita (Kilbom et al., 1998). Back Injury Among Healthcare Workers (2004) menulis perawat laki-laki lebih berisiko terkena cidera pada tulang belakang dikarenakan mereka lebih sering mengangkat pasien yang lebih berat dibandingkan dengan perawat wanita.
3.   Overweight. Pada beberapa studi, kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko terjadinya cidera tulang belakang (Deyo et al., 1989; Heliövaara, 1987; Liira et al., 1996; Wohl et al., 1995). Studi lainnya juga yang meneliti hubungan antara berat badan dan cidera tulang belakang tidak menemukan hubungan. Berdasarkan Dempsey (1997) efek dari kelebihan berat badan mungkin hanya substansial untuk kebanyakan mereka yang kelebihan berat badan.
4.   Merokok. Merokok diindikasikan sebagai faktor risiko untuk terjadinya cidera pada tulang belakang pada beberapa studi. (Battié & Bigos, 1991; Dempsey et al., 1997; Leboeuf-Yde, 1998). Terutama pada perokok berat (Deyo & Bass, 1989). Keterkaitan antara merokok dengan batuk telah ditemukan, yang dapat meningkatkan tekanan intradiscal yang membawa pada pembengkakan diskus dan hernia (Frymoyer et al.,1983). (Kesumaningtiyas, 2009).
7.   Sindrom Carpal Tunner
a.   Definisi
Sindroma Terowongan Karpal merupakan neuropati perifer karena tekanan atau getaran mekanis pada nervus medianus di dalam terowongan karpal pada pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor retinakulum (Moeliono, 1993). Dalam kepustakaan lain STK ini dikelompokkan dalam gangguan pada ekstremitas atas karena trauma kumulatif (Cumulative Trauma Disorders of The Extremitas) (Zens, et al., 1994, Levy, et al., 1994).
Sindroma terowongan karpal akibat kerja adalah sindroma terowongan karpal yang terjadi karena pekerjaan ataupun keadaan/agen yang ada di lingkungan kerja, misal getaran, tekanan dan faktor ergonomi (Suma’mur, 2009).
STK pertama kali dipublikasikan oleh Piere Marie dan C. Foix pada tahun 1913. Istilah sindroma terowongan karpal diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938. Steven dkk. melaporkan pada populasi Rochester, Minnesota ditemukan rata-rata 99 kasus dari 100.000 orang dalam setahun. Voitk et al. (1983) menemukan jumlah STK yang cukup tinggi pada kehamilan (Moeliono, 1993). Prevalensi sindroma terowongan karpal dikaitkan dengan pekerjaan diperkirakan kurang dari 1%, masih jauh lebih rendah dari gangguan musculoskeletal lainnya, seperti Low Back Pain Levy, et al., 1994). Meskipun demikian, bila seseorang telah mengalami gangguan berupa STK ini dapat mengakibatkan keterbatasan dalam penggunaan tangannya sehari-hari.
b.   Faktor Risiko
1)  Getaran. Getaran yang memicu terjadinya sindroma terowongan karpal adalah getaran lokal melalui tangan (Suma’mur, 1995; Moeliono, 1993; Zens, et al., 1994).
2)  Tekanan. Berupa tekanan yang terjadi lokal pada telapak tangan dan berlangsung lama seperti pesenam lantai, anggota militer atau olahragawan yang sering menggunakan telapak tangan sebagai tumpuan berat badan tubuh saat berlatih, juga dapat dijumpai pada petani saat mencangkul (Suma’mur 1995; Zens, et al., 1994).
3)  Ergonomi. Berupa sikap atau kebiasaan tenaga kerja khususnya yang menggunakan tangan atau pergelangan tangan secara salah menurut ilmu ergonomi dan berlangsung lama, misal operator Video Display Terminal (VDT), operator komputer, tukang ketik, pengrajin anyaman bambu, dan sebagainya (Suma’mur, 1995).
c.    Penilaian Paparan
Penilaian paparan yakni dengan British (BSI) dan ISO memberikan nilai batasan untuk getaran mekanis selama 8 jam/hari kerja sebesar 2,8 m/det2 rms (Zens, et al., 1994).
d.   Patogenesis
Semua studi klinis, laboratoris dan epidemiologis memberikan masukan mengenai mekanisme terjadinya gangguan muskuloskeletal pada ekstremitas atas dikaitkan dengan pekerjaan (Levy, et al., 1994). Apapun penyebab kompresi, kenaikan tekanan jaringan adalah keadaan terakhir sebelum terjadinya gangguan neurologis. Beberapa faktor yang menaikkan tekanan jaringan:
1)  Edema (pascatrauma atau inflamasi, endokrin, atau mekanik).
2)  Volume kanal bertambah (tumor, synovitis, otot tambahan).
3)  Deformitas dinding kanal karena fraktur atau dislokasi.
4)  Posisi lengan dan tangan (fleksi pergelangan tangan) (Levy, et al., 1994).



 









Gambar 3. Skema Terjadinya Sindrom Karpal Tunnel
e.    Gejala Klinik
Keluhan-keluhan yang timbul pada STK yang umumnya terjadi secara berangsur-angsur dan spesifik adalah:
1)  Rasa nyeri di tangan, yang biasanya timbul malam atau pagi hari. Penderita sering terbangun karena rasa nyeri ini.
2)  Rasa kebas, kesemutan, kurang berasa pada jari-jari. Biasanya jari ke 1,2,3, dan 4.
3)  Kadang-kadang rasa nyeri dapat menjalar sampai lengan atas dan leher, tetapi rasa kebas hanya terbatas di distal pergelangan tangan saja.
4)  Gerakan jari kurang terampil, misalnya ketika menyulam atau memungut benda kecil.
5)  Ada juga penderita yang datang dengan keluhan otot telapak tangannya mengecil dan makin lama semakin menciut.
f.      Pencegahan dan Pengendalian
1)  Pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan mencakup riwayat medis dan perhatian khusus pada sirkulasi perifer, sistem saraf.
2)  Pemeriksaan kesehatan berkala, biasanya dilaksanakan setahun sekali diarahkan pada keluhan pergelangan tangan dan lengan, khusus untuk pemeriksaan foto sinar X hendaknya dilakukan selang waktu 5 tahun (WHO, 1995).
3)  Pengendalian gerakan tangan berulang dengan menggunakan alat-alat otomatis atau rotasi pekerjaan.
4)  Pengendalian terhadap posisi tangan yang salah dengan menyesuaikan meja kerja ataupun alat kerja terhadap individu.
5)  Isolasi sumber getaran dengan pegas, atau bamper (Suma’mur, 1995; Zens, et al., 1994, Levy, et al., 1994; WHO, 1995).

G. Tinjauan Tentang Upaya Pendekatan Ergonomi terhadap Penyakit Akibat Kerja pada Perawat
Menurut Roslan (2008) dalam Selvianti, R (2009) ada tiga metode kontrol yang seharusnya dilakukan rumah sakit untuk mengurangi risiko ergonomi yaitu:
1.   Kontrol Secara Teknis
Banyak dari rumah sakit yang telah berinvestasi untuk peralatanpenanganan pasien, namun sayangnya beberapa rumah sakit masih berjuang agar perawat tersebut terbiasa menggunakannya. Bilamembeli peralatan, rumah sakit seharusnya bekerja sama denganKomite K3/Ergonomi RS/Vendor untuk menyesuaikan danmemadukan peralatan dengan tugas-tugas umum perawat. Termasukjuga para perawat harus dilibatkan dalam proses pembelian untukmenjamin bahwa peralatan mudah digunakan dan sesuai dengan kondisi perawat.
2.   Kontrol metode kerja
Pembelian peralatan merupakan langkah dalam mereduksi risiko ergonomi. Penyediaan dan pengadaan staf dengan pelatihan berbasis keahlian secara kritik menjamin bahwa mereka tahu menggunakan peralatan secara tepat dan mengetahui bagaimana peralatan tersebut mereduksi risiko ergonomi. Banyak pihak rumah sakit meminta vendoruntuk datang ke fasilitasnya dan memberikan service atau semacam layanan singkat untuk mendemonstrasikan gambaran dan penggunaanperalatan. Metode ini seharusnya dilakukan sebelum perawat menggunakan peralatan terhadap pasien sebenarnya, agar dapat menjamin perawat bisa secara kompeten menggunakan peralatan tersebut tanpa mencederai diri sendiri ataupun pasien.
3.   Kontrol Administrasi
Pengontrolan pajanan risiko ergonomi bisa juga melalui control administrasi. Beberapa rumah sakit dalam melaksanakan layanan telah menyediakan jumlah staf yang cukup untuk menjamin bahwapenanganan pasien yang dilakukan dapat tertangani dengan baik. Dengan dua orang perawat secara normal diperlukan untuk memindahkan dan membawa pasien, tapi dalam kondisi tertentu maka satu orang perawat bisa melakukan tugas-tugas tersebut dengan syaratterlatih dengan teknik mengangkat pasien yang tepat. Banyak sekali perawat mengalami cidera karena banyak dari mereka tidak merencanakan dengan baik teknik mengangkat yang tepat.

Sumber: Patient Transfer Ergo Clinic ,CorpMed.com, 2005
Gambar 4.  Pelatihan Mengangkat Pasien dengan Benar

H.  Tinjauan Tentang Surveilans
1.   Definisi Surveilans
Ada beberapa definisi surveilans, antara lain:
a.   Menurut DCP2 (Disease Control Priorities in Developing Countries, 2nd Edition, 2008) surveilans adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian diinformasikan kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans   menghubungkan  informasi   tersebut   kepada   pembuat   keputusan   agar   dapat   dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit  (Last,  2001) dalam (Noor, 2008).
b.   Menurut WHO (2004), surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan distribusi penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif.
sistem surveilans.pngSurveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi  kewaspadaan dini   bagi   pengambil keputusan  dan   manajer  tentang   masalah-masalah   kesehatan   yang   perlu   diperhatikan   pada   suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi  kementerian kesehatan,    kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008).






Gambar 5. Skema Sistem Surveilans
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans   dilakukan secara terus-menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan penyakit dan factor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.
2.   Tujuan Surveilans
Secara umum surveilans bertujuan untuk pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi (Depkes RI, 2004).
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.  Tujuan  khusus surveilans, antara lain:
a.   Memonitor kecenderungan (trends) penyakit.
b.   Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak.
c.   Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden) pada populasi.
d.   Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan.
e.   Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan.
f.    Mengidentifikasi kebutuhan riset (Giesecke, 2002).
3.   Jenis-jenis Surveilans
Jenis-jenis surveilans antara lain:
a.   Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telahterpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode  menular. Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last, 2001).
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya tetap bekerja. Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
b.   Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing, dan memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
c.   Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
d.   Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
e.   Surveilans Terpadu Penyakit
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002; Sloan et al., 2006).
Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002) dalam Murti (2010).
f.      Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2, 2008).
4.   Pendekatan Surveilans
Menurut Gordis (2000) dalam Safrizal (2009) pendekatan surveilans berdasarkan cara mendapatkan data dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.   Surveilans pasif
Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Ciri surveilans pasif yaitu:
1)  Unit surveilans epidemiologi membiarkan penderita melaporkan diri pada klinik/rumah sakit/unit pelayanan yang berfungsi sebagai unit-unit surveilans terdepan dalam pengumpulan data surveilans.
2)  Unit surveilans epidemiologi membiarkan klinik/rumah sakit/unit pelayanan sebagai unit surveilans terdepan melaporkan data surveilans yang ada di tempatnya.
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional.  Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
b.   Surveilans aktif
Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala kelapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Ciri-ciri surveilans aktif, yaitu:
1)  Unit surveilans melakukan skrining dari rumah ke rumah, sehingga tidak ada satu pun kasus yang lepas dari pendataan.
2)  Unit surveilans mendatangi setiap unit sumber data untuk meminta data surveilans epidemiologi yang dibutuhkan sehingga tidak ada satu pun data yang tidak terekam olehnya.
Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).
5.   Syarat-Syarat Sistem Surveilans yang Baik
Syarat-syarat sistem surveilans yang baik hendaknya memenuhi karakteristik sebagai berikut (Romaguera, 2000) :
a.   Kesederhanaan (Simplicity)
Kesederhanaan sistem surveilans menyangkut struktur dan pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang diperlukan untuk menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data, organisasi yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan analisa data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu besar dan prosedur yang terlalu rumit.
b.   Fleksibilitas (Flexibility)
Sistem surveilans yang fleksibel dapat menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan atau kondisi operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan kebutuhan biaya, waktu dan tenaga.
c.   Dapat diterima (Acceptability)
Penerimaan terhadap sistem surveilans tercermin dari tingkat partisipasi individu, organisasi dan lembaga kesehatan. lnteraksi sistem dengan mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang terdeteksi dan petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor, kelengkapan pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan. Tingkat partisipasi dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya kejadian kesehatan yang dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang terlibat dalam sistem, tanggapan sistem terhadap saran atau komentar, beban sumber daya yang tersedia, adanya peraturan dan perundangan yang dijalankan dengan tepat.
d.   Sensitivitas (Sensitivity)
Sensitivitas suatu surveilans dapat dinilai dari kemampuan mendeteksi kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi kesehatan yang dipantau dan kemampuan mengidentifikasi adanya KLB. Faktor-faktor yang berpengaruh adalah :
1)  Proporsi penderita yang berobat ke pelayanan kesehatan.
2)  Kemampuan mendiagnosa secara benar dan kemungkinan kasus yang terdiagnosa akan dilaporkan.
3)  Keakuratan data yang dilaporkan.
e.   Nilai Prediktif Positif (Positive predictive value)
Nilai Prediktif Positif adalah proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, yang kenyataannya memang menderita penyakit atau kondisi sasaran surveilans. Nilai Prediktif Positif menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi/ insidensi penyakit atau masalah kesehatan di masyarakat.
f.      Representatif (Representative)
Sistem surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara akurat distribusi kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan tempat. Kualitas data merupakan karakteristik sistem surveilans yang representatif. Data surveilans tidak sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi juga diskripsi atau ciri-ciri demografik dan infomasi mengenai faktor resiko yang penting.
g.   Tepat Waktu
Ketepatan waktu suatu sistem surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan kecepatan mulai dari proses pengumpulan data, pengolahan analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaporan penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat dikendalikan secara efektif atau tidak meluas sehingga membahayakan masyarakat. Ketepatan waktu dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan infomasi untuk pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk perencanaan program dalam jangka panjang.Tekhnologi komputer dapat sebagai faktor pendukung sistem surveilans dalam ketepatan waktu penyediaan informasi.

6.   Aktifitas Inti Surveilans
Aktivitas surveilans kesehatan masyarakat meliputi delapan aktivitas inti (McNabb. et al., 2002), yaitu:
1)  Pendeteksian kasus (case detection) yaitu proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit program-sektor dan unit statistik lainnya.
2)  Pencatatan kasus (registration) yaitu proses pencatatan kasus hasil identifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan.
3)  Konfirmasi (confirmation) yaitu evaluasi dari ukuran-ukuran epidemiologi sampai pada hasil percobaan laboratorium.
4)  Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya  peningkatan program kesehatan, pusat penelitian dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi. Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional.
5)  Analisis data (data analysis) yaitu analisis terhadap data-data dan angka-angka dan menentukan indikator terhadap tindakan.
6)  Respon segera/ kesiapsiagaan wabah (epidemic preparedness) kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah/kejadian luar biasa.
7)  Respon terencana (response and control) yaitu sistem pengawasan kesehatan masyarakat hanya dapat digunakan jika data yang ada bisa digunakan dalam peringatan dini dan munculnya masalah dalam kesehatan masyarakat.
8)  Umpan balik (feedback) yaitu berfungsi penting dari semua sistem pengawasan, alur pesan dan informasi kembali ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat yang lebih tinggi.
7.   Komponen Kegiatan Surveilans
Komponen-komponen kegiatan surveilans menurut Depkes. RI, (2004) seperti dibawah ini:
a.   Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data epidemiologi adalah untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi; untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu wabah, sumbernya, cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya.
b.   Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi, dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa teks tabel, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang baru.
c.   Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut.
Komponen-komponen dalam pelaksanaan sistem surveilans (WHO, 1999) adalah sebagai berikut:
a.   Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan komponen yang sangat penting karena kualitas informasi yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan surveilans yang baik pengumpulan data harus dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus. Tujuan pengumpulan data antara lain:
1)  Menentukan kelompok atau golongan populasi yang mempunyai resiko terbesar terkena penyakit seperti jenis kelamin, umur, suku, pekerjaan dan lain-lain.
2)  Menentukan jenis agent atau penyebab penyakit dan karakteristiknya.
3)  Menentukan  reservoir infeksinya.
4)  Memastikan keadaan yang menyebabkan kelangsungan transmisi penyakit.
5)  Mencatat kejadian penyakit, terutama pada kejadian luar biasa.
Sumber data yang dikumpulkan berlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber data sistem surveilans terdiri dari 10 elemen (Langmuir, 1976) yaitu:
a)  Data Mortalitas. Pencatatan kematian yang dilakukan di tingkat desa dilaporkan ke tingkat kelurahan seterusnya ke tingkat kecamatan dan puskesmas lalu selanjutnya dilaporkan ke Kabupaten daerah tingkat II. Beberapa seminar di Indonesia telah diadakan pula untuk menilai dan membahas usaha untuk meningkatkan kelengkapan pencatatan kematian, yang validitasnya relatif lebih baik karena didiagnosis oleh dokter. Elemen ini akan bermanfaat bila data pada pencatatan kematian itu cepat diolah dan hasilnya segera diberitahukan kepada yang berkepentingan (Efendy, 2009)
b)  Data Morbiditas, merupakan elemen yang terpenting dalam surveilans. Data yang diperlukan misalnya nama penderita, umur, jenis kelamin, alamat, diagnosis dan tanggal mulai sakit. Elemen ini juga penting untuk mengetahui distribusi penyakit menurut waktu, apakah musiman atau siklus. Dengan demikian, dapat diketahui pula ukuran endemis suatu penyakit (Efendy, 2009).
c)  Data Pemeriksaan Laboratorium. Laboratorium merupakan suatu sarana yang penting untuk mengetahui kuman penyebab penyakit menular dan pemeriksaan tertentu untuk penyakit-penyakit lainnya, misalnya kadar gula darah untuk penyakit diabetes melitus, trombosit untuk penyakit demam berdarah, dan lainnya (Efendy, 2009).
1.   Laporan Penyakit.
2.   Penyelidikan peristiwa penyakit .
3.   Penyidikan kejadian luar biasa atau wabah.
d)   Survei penyakit, vektor, dan reservoir yang memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas. Survei adalah suatu cara penelitian epidemiologi untuk mengetahui prevalensi penyakit. Dengan ukuran ini dapat diketahui luasnya masalah penyakit tersebut. Bila setelah survei pertama dilakukan pengobatan terhadap penderita, maka dengan survei kedua dapat ditentukan keberhasilan pengobatan tersebut (Efendy, 2009).
e)   Penyelidikan tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan. Penyakit zoonosis terdapat pada manusia dan binatang; dalam hal ini binatang dan manusia merupakan reservoir. Penyakit malaria ditularkan oleh vektor nyamuk Anopheles dan penyakit demam berdarah ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti. Vektor-vektor tersebut perlu diselediki oleh entomologi untuk mengetahui apakah mengandung plasmodium malaria atau virus dari demam berdarah (Efendy, 2009).
f)    Data penggunaan obat-obatan, serum dan vaksin. Keterangan yang menyangkut mengenai bahan-bahan tersebut, yaitu mengenai banyak, jenis, dan waktu memberi petunjuk kepada kita mengenai masalah penyakit. Selain itu, dapat pula dikumpulkan keterangan mengenai efek samping dari bahan-bahan tersebut.
g)   Data kependudukan dan lingkungan. Elemen ini penting untuk menetapkan population at risk. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kependudukan dan lingkungan ini perlu selalu dipikirkan dalam rangka analisis epidemiologis. Data atau keterangan mengenai kependudukan dan lingkungan itu tentu harus didapat di lembaga-lembaga non kesehatan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang dicurigai atau population at risk melalui kunjungan rumah (active surveilance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan rutin dari sarana pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, atau laporan dari petugas surveilans di lapangan, dan laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan yang lain (pasive surveilance) (Budiarto, 2002).
b.   Pengolahan Data. Data yang terkumpul segera diolah, biasanya dilakukan secara manual atau dengan komputerisasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki.
c.   Analisa dan interpretasi data. Analisa data dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1)  Analisa Deskriptif. Analisa deskriptif dilakukan berdasarkan variabel orang, tempat, dan waktu sehingga diperoleh gambaran yang sistematis tentang penyakit yang sedang diamati. Visualisasi dalam bentuk grafik, tabel, diagram yang disertai uraian atau penjelasan.
2)  Analisa Analitik. Analisa analitik dilakukan dengan cara uji komparasi, korelasi, dan regresi. Uji komparasi untuk membandingkan kejadian penyakit pada kondisi yang berbeda. Uji korelasi untuk membuktikan keterkaitan antara satu variabel dengna variabel lainnya. Uji regresi untuk membuktikan pengaruh suatu variabel (kondisi) terhadap kejadian penyakit.
Kunci keberhasilannya yaitu data lengkap, cepat, dan tahu cara memanfaatkannya. Tahap-tahapnya meliputi coding (membuat kode-kode dari data yang ada), editing (melengkapi dan memperjelas tulisan), entry (memasukkan dalam program pengolahan data), dan pengolahan secara diskriptif dan analitik.
d.   Penyebarluasan Informasi dan umpan balik. Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh unit kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk disebarluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi lebih lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit kesehatan pemberi laporan. Umpan balik atau pengiriman informasi kembali kepada sumber-sumber data (pelapor) mengenai arti data yang telah diberikan dan kegunaannya setelah diolah, merupakan suatu tindakan yang penting, selain tindakan follow up. Sasaran penyebaran informasi adalah instansi terkait baik secara vertikal maupun horizontal dengan tujuan untuk memperoleh kesepahaman dan feedback dalam perumusan kebijakan. Manfaat penyebaran informasi adalah mendapatkan respon dari instansi terkait sebagai feedback, tindak lanjut, dan kesepahaman. Metode yang dapat digunakan dalam penyebaran informasi adalah tertulis dan deseminasi laporan, verbal dalam rapat, media cetak dan elektronik.
8.      Desain Sistem Surveilans
Desain sistem surveilans merupakan tahap-tahap dalam melaksanakan surveilans hingga menuju proses evaluasi. Desain sistem surveilans terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a.   Menetapkan Tujuan Surveilans
Tujuan utama surveilans adalah untuk memperoleh gambaran kejadian morbiditas dan mortalitas serta kejadian peristiwa vital secara teratur sehingga dapat digunakan dalam berbagai kepentingan perencanaan dan tindakan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat, seperti memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan faktor resiko dapat terdeteksi dini dan dapat dilakukan respon pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Menetapkan tujuan surveilans dapat mempermudah dalam menetukan output yang diinginkan. Contoh dari tujuan surveilans adalah deteksi dan prediksi KLB, evaluasi program pencegahan, memproyeksikan perencanaan pelayanan kesehatan dan masih banyak lagi (Noor, 2008).
Menurut WHO (2002), ada lima kriteria agar surveilans efektif dengan akronim “SMART”, yaitu:
1)  Spesific. Masalah yang dihadapi harus khusus dan spesifik baik itu rencana maupun tujuannya.
2)  Measurable. Indikatornya harus dapat diukur.
3)  Action-Oriented. Hasil surveilans harus berguna bagi pengambilan kepututusan dan kebijakan terutama orientasi kepada sasaran.
4)  Realistic. Sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
5)  Time frame. Mempunyai batas waktu dalam pencapaian tujuan. Tepat waktu baik sasaran maupun rencana.
b.   Mengembangkan Definisi Kasus
Definisi kasus digunakan untuk mengklasifikasikan kasus kepada individu yang diduga mengalami penyakit. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan menjadi:
1)  Kasus suspect atau tersangka
Kasus hanya berdasarkan gejala klinis. Kriterianya adalah tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit, terdapat bukti epidemiologi, tetapi tidak terdapat bukti laboratoriium yang menunjukan tengah atau telah terjadi infeksi (bukti laboratorium negatif, tidak ada atau belum ada).
2)  Kasus probable atau kemungkinan
Kasus suspek secara epidemiologi berhubungan dengan kasus yang terbukti secara laboratorium. Kriterianya adalah tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit, terdapat bukti epidemiologis, terdapat bukti laboratorium yang mengarah tetapi belum pasti, yang menunjukan tengah atau telah terjadi infeksi (misalnya bukti dari sebuah tes serologis tunggal)
3)  Kasus confirmed atau pasti
Kasus suspek dengan hasil laboratorium positif. Kriterianya adalah terdapat bukti pasti laboratorium (serologis, biokimia, bakteriologis, virologist, parasitologis) bahwa tengah atau telah terjadi infeksi dengan atau tanpa kehadiran tanda, gejala klinis atau bukti epidemiologis.
Klasifikasi kasus bersifat dinamis, bisa berubah dan direvisi selama investigasi seiring dengan tambahan informasi baru tentang sumber, modus, transmisi, agen etiologi (Bres, 1986) dalam (Noor, 2000).
c.   Menentukan Sumber Data, Alat Pengumpul Data dan Mekanisme Laporan
Pengumpulan data merupakan tahap awal dari rangkaian kegiatan surveilans yang paling penting untuk proses selanjutnya. Pengumpulan data surveilans dapat secara aktif dan pasif. Pengumpulan data aktif dapat melalui survei, penelitian, penyelidikan langsung ke lapangan (masyarakat). Sedangkan, pengumpulan data pasif melalui laporan dari fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, laporan dari jajaran departemen kesehatan yang secara aktif memonitor suatu keadaan kesehatan.
Proses pengumpulan data diperlukan formulir sebagai alat untuk pengumpulan data. Mekanisme pelaporan dalam pengumpulan data dapat dilakukan harian, mingguan, bulanan, atau laporan nihil. Pengumpulan data tersebut harus mengumpulkan data-data dari berbagai sumber data. Sumber data dalam surveilans merupakan sumber data atau subjek dari mana data dapat diperoleh yang digunakan untuk kegiatan surveilans. Macam-macam sumber data dalam surveilans menurut Kepmenkes RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003:
1)  Data kesakitan yang dapat diperoleh dati unit pelayanan kesehatan masyarakat.
2)  Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan kantor pemerintah dan masyarakat.
3)  Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat.
4)  Data geografi yang dapat diperoleh dari unit meteorologi dan geofisiska.
5)  Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
6)  Data kondisi lingkungan.
7)  Laporan wabah.
8)  Laporan penyelidikan wabah/KLB.
9)  Laporan hasil penyelididkan kasus perorangan.
10)   Studi epidemiologi dan hasil penelitian lainnya.
11)   Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
12)   Laporan kondisi pangan
d.   Melaksanakan Analisis dan Presentasi Data
Analisis dan interpretasi data digunakan untuk keperluan kegiatan. Data yang telah disususn dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam masyarakat. Analisis dapat dilakukan berdasarkan orang, tempat dan waktu. Data yang sudah diolah kemudian dibuat suatu tabulasi, grafik dan peta yang standar dan mudah dipahami (Noor, 2008).
e.   Mengembangkan Mekanisme Umpan Balik dan Diseminasi Informasi
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki nilai keterangan yang cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Penyebarluasan data dan informasi dilakukan dalam tiga arah yang meliputi:
1)  Ditujukan ke tingkat informasi yang lebih tinggi sebagai informasi untuk menetukan kebijakan selanjutnya.
2)  Dikirim kepada instansi pelapor atau ke tingkat administrasi yang lebih rendah yang berfungsi sebagai pengumpulan dan pelopor data dalam bentuk umpan balik.
3)  Disebarluaskan kepada instansi terkait dan kepada masyarakat luas (Noor, 2008).
11.   Pembagian Tugas Surveilans
Pembagian tugas surveilans dapat melalui pembentukan organisasi dan staffing serta harus memasikan dalam organisasi dan staffing tersebut tidak mempunyai beban ganda atau jabatan ganda.
12.   Evaluasi Surveilans
Evaluasi data surveilans dapat digunakan untuk perencanaan penanggulangan khusus dan program pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi atau penilaian hasil kegiatan (Noor, 2008).

III. PEMBAHASAN
Sistem di tempat kerja yang terdiri dari input (pekerja, mesin, dana, organisasi, dan lain-lain), proses kerja (pekerja dan lingkungan kerja yang saling berinteraksi satu sama lainnya), output (produk/jasa yang berkualitas, pekerja yang sehat, tempat kerja yang nyaman dan selamat bagi pekerja), dalam interaksinya tidak bisa terlepas dari hazard dan risiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan pekerja, serta outcome (penyakit dan kecelakaan). Tempat kerja yang terkadang melibatkan teknologi modern yang memakai berbagai mesin dan peralatan dalam jumlah dan kapasitas besar. Hazard yang terdapat di area tempat kerja menjadi sangat bervariasi, dengan tingkat faktor risiko yang berbeda-beda, mulai dari hazard somatik yang melingkupi kapasitas dan status kesehatan, hazard perilaku yang melingkupi masalah kebiasaaan merokok dan aktivitas fisik, hazard lingkungan yang terdiri dari fisik, biologi, kimia dan organizational of work and work culture yang merupakan hazard psikologi kerja. Faktor fisik seperti ekses kebisingan, vibrasi dan iluminasi, serta faktor mekanik seperti benturan, kebakaran dan ledakan diikuti oleh faktor kimia misalnya Benzene Toluen Xylene (BTX), gas CO, H2S dan lain-lain, serta faktor stres kerja berupa pengaturan shift kerja malam yang mungkin ada dalam industri ini. Pola hidup tidak sehat, antara lain kurangnya beraktivitas fisik, konsumsi makanan tidak seimbang yang rendah serat namun tinggi lemak, serta merokok, terbukit berdampak pada kesehatan pekerja.
Secara garis besar ruang lingkup surveilans K3 terbagi dua, yaitu:
A.  Surveilans Efek Kesehatan dan Keselamatan
Pengumpulan, analisis & diseminasi/komunikasi data kesehatan (data penyakit) dan data keselamatan (data kecelakaan) spesifik untuk populasi pekerja berisiko dengan cara sitematik dan berksinabungan yang dapat digunakan bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia usaha dan dunia kerja.
B.  Surveilans Hazard Kesehatan dan Keselamatan
Identifikasi hazard, pengukuran pajanan, analisis dan diseminasi atau komunikasi hazard kesehatan dan keselamatan yang spesifik bagi populasi pekerja berisiko dengan cara sistematik dan berkesinambungan digunakan bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia usaha dan dunia kerja.
Perawat yang bekerja di rumah sakit sangat berisiko terkena penyakit akibat kerja akibat dari pekerjaannya di rumah sakit khususnya dari segi ergonomi. Olehnya itu untuk mencegah terjadinya hal tersebut dan mengupayakan untuk mengendalikannya, maka dibutuhkan strategi pencegahan yang berbasis surveilans terhadap penyakit akibat kerja tersebut. Beberapa penyakit yang dapat terjadi pada perawat akibat faktor risiko ergonomi di rumah sakit yaitu musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel. Langkah surveilans sebagai bentuk strategi pencegahan risiko ergonomic terhadap penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit meliputi:
a.   Perencanaan Surveilans
Perencanaan kegiatan surveilans dimulai dengan penetapan tujuan surveilans, dilanjutkan dengan penentuan definisi kasus, perencanaan perolehan data, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi. Petugas sruveilans benar-benar harus menentukan kasus apa yang akan diadakan surveilans, kemudian dari mana saja akan diperoleh data mengenai kasus tersebut. Tentu penentuan kasus ini akan dilakukan setelah melihat laporan dari berbagai sumber. Misalnya angka kesakitan atau morbiditas kasus penyakit akibat kerja pada perawat yang terjadi di rumah sakit, apakah kasus tersebut meningkat dari tahun ke tahun. Data tersebut akan menjadi pertimbangan dilakukannya surveilans terhadap penyakit akibat kerja tersebut. Data ini dapat diperoleh dari riwayat penyakit perawat di rumah sakit.
b.   Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses data selanjutnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi yang dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus dan dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat pasif yang bersumber dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang diperoleh dari kegiatan survei. Untuk kasus penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit data dari surveilans aktif dapa berupa data yang berasal dari riwayat penyakit perawat yang kemudian dapat diketahui ada berapa kasus penyakit akbibat kerja yang terjadi pada perawat. Untuk surveilans pasif artinya pihak yang mengadakan surveilans melakukan survey dalam hal ini pemeriksaan terhadap semua perawat yang bekerja di rumah sakit mengenai keluhan-keluhan yang dirasakan karena penyakit akibat kerja yang diderita berdasarkan risiko ergonominya. Pemeriksaan terhadap musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel dilakukan berdasarkan metode dan bahan-bahan yang telah dijelaskan pada bab tinjauan pustaka. Walaupun untuk memperoleh informasi dan kemudian diolah menjadi data ini akan memakan waktu yang lama, ini harus dijalan sesuai dengan prosedur yang ada, agar data yang dihasilkan, benar-benar riil dan sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan agar tidak salah langkah dalam proses pencegahan dan penanganannya.
Dari data yang diperoleh kemudian dibuat pelaporan. Pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil pencatatan dengan menggunakan formulir tertentu.  Formulir yang digunakan dapat berupa hasil wawancara dengan perawat mengenai keluhan yang mereka alami kemudian risiko-risiko apa saja yang telah mereka lakukan sehingga terkena penyakit akibat kerja seperti musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel. Dari identifikasi risiko yang dilakukan, dapat diketahui risiko ergonomic yang menyebabkan perawat menderita musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel. Berdasarkan hal tersebut maka akan mudah untuk melakukan pencegahan dan penatalaksanaan berbagai penyakit akibat kerja tersebut.
c.   Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya dengan menggunakan program (software) seperti epi info, SPSS, lotus, excel dan lain-lain.
d.   Analisis Data
Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans karena akan dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit. Dari hasil analisis data dapat diketahui proporsi perawat yang menderita penyakit akibat kerja. Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit akibat kerja musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel dengan faktor risiko ergonomi.
e.   Diseminasi (Penyebarluasan Informasi)
Penyebarluasan informasi dapat dilakukan ke tingkat atas maupun ke bawah. Dalam rangka kerja sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang terkait dan masyarakat juga menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk diperlukan informasi yang informatif agar mudah dipahami terutama bagi instansi di luar bidang kesehatan. Penyebarluasan informasi yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan informasi yang dilakukan yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan, membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan, membuat suatu tulisan di majalah rutin, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat di akses dengan mudah.
f.    Umpan balik (Feed Back)
Kegiatan umpan balik dilakukan secara rutin setiap bulan saat menerima laporan setelah diolah dan dianalisa melakukan umpan balik kepada unit kesehatan yang melakukan laporan dengan tujuan agar yang mengirim laporan mengetahui bahwa laporannya telah diterima dan sekaligus mengoreksi dan memberi petunjuk tentang laporan yang diterima. Kemudian mengadakan umpan balik laporan berikutnya akan tepat waktu dan benar pengisiannya. Cara pemberian umpan balik dapat melalui surat umpan balik, penjelasan pada saat pertemuan serta pada saat melakukan pembinaan/suvervisi.
Bentuk dari umpan balik bisa berupa ringkasan dari informasi yang dimuat dalam buletin (news letter) atau surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan yang dilaporkan atau berupa kunjungan ke tempat asal laporan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Laporan perlu diperhatikan waktunya agar terbitnya selalu tepat pada waktunya, selain itu bila mencantumkan laporan yang diterima dari eselon bawahan, sebaliknya yang dicantumkan adalah tanggal penerimaan laporan.
g.   Investigasi Penyakit
Setelah pengambilan keputusan perlunya mengambil tindakan maka terlebih dahulu dilakukan investigasi/penyelidikan mengenai penyakit akibat kerja pada perawat. Dengan investigator membawa ceklis/format pengisian tentang masalah kesehatan yang terjadi dalam hal ini adalah penyakit akibat kerja dari segi ergonomi dengan melakukan metode yang dapat mengindetifikasi terjadinya musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel pada seseorang.
h.   Tindakan Penanggulangan
Tindakan penanggulangan yang dilakukan melalui penanganan segera pada penderita yang sakit, melakukan rujukan penderita yang tergolong berat, melakukan tindakan pencegahan kepada perawat yang belum terkena dengan melakukan langkah-langkah pencegahan dari setiap penyakit akibat kerja atau dengan mengadakan perbaikan antara lingkungan kerja dengan pekerja agar penyakit akibat kerja yang terjadi pada perawat di rumah sakit diminimalisir kejadiannya. Hal ini tentu harus memperoleh dukungan dari para stakeholder atau pengambil kebijakan dalam menindaklanjuti laporan kegiatan surveilans risiko ergonomi penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit.
i.    Evaluasi Data Sistem Surveilans
Program surveilans sebaiknya dinilai secara periodik untuk dapat dilakukan evaluasi manfaat kegiatan surveilans. Sistem dapat berguna apabila memenuhi salah satu dari pernyataan berikut:
1.   Apakah kegiatan surveilans dapat mendeteksi kecenderungan dan mengidentifikasi perubahan dalam kejadian kasus.
2.   Apakah program surveilans dapat mendeteksi kejadian kasus di tempat kerja tersebut.
3.   Apakah kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang besarnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan kejadian penyakit di tempat kerja tersebut.
4.   Apakah program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kasus atau penyakit pada tempat kerja dalam hal ini rumah sakit di mana perawat bekerja.
Dengan menegakkan strategi pencegahan berbasis surveilans maka dengan mudah dapat diidentifikasi faktor penyebab risiko ergonomik terjadinya penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit sehingga tindakan pencegahan dan tindakan penatalaksaan penyakit akibat kerja ini dapat tepat sasaran karena telah dilakukan identifikasi secara rinci mengenai risiko ergonominya. Selain itu, dengan adanya pelaporan hasil kegiatan surveilans kepada pihak terkait, maka tindakan pencegahan dan penanggulangan dapat memperoleh sarana dan prasaranan dalam penegakkannya seperti penyesuai antara lingkungan kerja perawat dengan beban kerja yang dilakukannya sehingga kasus musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel yang terjadi pada perawat dapat dicegah dan dikendalikan kejadiannya.

IV. PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menegakkan strategi pencegahan berbasis surveilans maka dengan mudah dapat diidentifikasi faktor penyebab risiko ergonomik terjadinya penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit sehingga tindakan pencegahan dan tindakan penatalaksaan penyakit akibat kerja ini dapat tepat sasaran karena telah dilakukan identifikasi secara rinci mengenai risiko ergonominya. Selain itu, dengan adanya pelaporan hasil kegiatan surveilans kepada pihak terkait, maka tindakan pencegahan dan penanggulangan dapat memperoleh sarana dan prasarana dalam penegakkannya seperti penyesuai antara lingkungan kerja perawat dengan beban kerja yang dilakukannya sehingga kasus musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel yang terjadi pada perawat dapat dicegah dan dikendalikan kejadiannya.
Langkah surveilans sebagai bentuk strategi pencegahan risiko ergonomik terhadap penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit meliputi:
1.   Perencanaan Surveilans
2.   Pengumpulan Data
3.   Pengolahan dan Penyajian Data
4.   Analisis Data
5.   Diseminasi (Penyebarluasan Informasi)
6.   Umpan balik (Feed Back)
7.   Investigasi Penyakit
8.   Tindakan Penanggulangan
9.   Evaluasi Data Sistem Surveilans
B.  Saran
Saran yang dapat diberikan terkait dengan strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja yakni sebaiknya dilakukan dengan berbasis surveilans. Hal ini dimaksudkan dengan tujuan agar tindakan pencegahan dan tindakan penatalaksaan penyakit akibat kerja dapat tepat sasaran dan dengan segera dapat menurunkan angka morbiditas penyakit akibat kerja yang terjadi pada perawat. Selain itu, langkah-langkah dalam pelaksanaan surveilans harus terstruktur dengan baik dan tersistematis serta tujuan dari kegiatan surveilans yaitu tersedianya data dan informasi sebagai untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan yang cepat dan tepat secara menyeluruh dapat tercapai secara efektif dan efisien dalam hal ini baik secara normatif, strategik serta secara teknis.

REFERENSI

1.   Adelia, R., 2007. Nyeri Pinggang/Low Back Pain. Available from: http://www.fkunsri.wordpress.com/2007/09/01/nyeri-pinggang-low-backpain/ diakses 21 Januari 2015.
2.   Aditama. dkk. 2003. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Depok : Penerbit Universitas Indonesia.
3.   Advance Spine Care, 2010. Low Back Pain. Available from: http://www.advancedspinecare.info/lowbackpain.html diakses 23 Januari 2015.
4.   Aulia, Erizal. 2014. Faktor Resiko Penyebab Nyeri Punggung Bawah Pada Perawat Di RSUD DR. Pirngadi Medan. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Medan.
5.   Azwar, Azrul. 1996. Pengantar administrasi kesehatan edisi ketiga. Jakarta: Binarupa Aksara.
6.   Bandriyo. 2006. Studi Kasus Kontrol Beban Angkat dan Beban Pindah Kerja Fisik Perawat di Ruang Jalan dan Inap untuk Terjadinya Penyakit HNP. Lumbalis di RSPP Jakarta Periode 1990-2002. FKMUI. Depok
7.   Bank Data SDM Kesehatan. 2012. Rekapitulasi SDM Kesehatan Indonesia.Http://bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/. Diakses 23 Januari 2015.
8.   Basuki K., 2009. Faktor Resiko Kejadian Low Back Pain Pada Operator Tambang Perusahaan Nickel di Sulawesi Selatan. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia. Makassar.
9.   Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for quarantine. AmJ Public Health;97:S44-48.
10.   Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical – Surgical Nursing ed. 8 vol. 3. Washington Square, Philadelphia, USA.
11.   Charney, William and Anne Hudson (2004). Back injury among healthcare workers : causes, solutions, and impacts. New York Washington, D.C. . ACRC Press CompanyBoca Raton London.
12.   CorpMed. 2005. Patient Transfer Ergo Clinic. Http://www.corpmed.com /corporate/PatientHandling.html. Diakses 23 Januari  2015.
13.   DCP2. 2008. Public Health Surveillance. The Best Weapon to Avert Epidemics. Disease Control.
14.   Effendy, dkk. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.
15.   Fathoni, H. et al, 2012. Hubungan Sikap dan Posisi Kerja dengan Low Back Pain pada Perawat RSUD Purbalingga. Skripsi Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Soedirman, Jawa Tengah.
16.   Giesecke J. 2002. Modern Infectious Disease Epidemiology. London: Arnold.
17.   Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi.  Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
18.   Kesumaningtyas. 2009. Gambaran Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan pajanan HNP pada Perawat di Unit IGD, Operasi dan Syaraf di Rumah Sakit Abdoel Moeloek Propinsi Lampung Tahun 2009. Skripsi FKM UI. Depok.
19.   Miller AL. et al. 2002. Cermin Dunia Kedokteran No 136 : Occupational Exposure to Biohazard. In : Plog.
20.   Depkes RI. 2004. Kepmenkes tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit. Jakarta.
21.   Dewi, N.F. 2008. Tinjuan Risiko Ergonomi Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Aktivitas Perawat IGD Rumah Sakit Tria Dipa Tahun 2008. Skripsi Universitas Indonesia. Depok.
23.   Hendra, 2000. Intro to K3. http://staff.ui.ac.id/internal/132255817/ material/IntrotoK3.pdf. diakses 24 Januari 2015.
24.   Hidayat, A. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
25.   ILO. 2010. Ergonomic Checkpoints. www.ilo.org. Diakses 23 Januari 2013.
26.   Kemenkes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1087 tahun 2010 tentang Standar Kesehatandan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit. Jakarta. http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/05/Kepmenkes-1087-Standar-K3-RS.pdf diakses 24 Januari 2015.
27.   Last, JM. 2001. A dictionary of epidemiology. New York : Oxford University Press, Inc.
28.   Markkanen, P.K.  2004. Occupational and Health in Indonesia. Filipina : ILO.
29.   Medical dictionary, 2013. Low back pain research.available from: http://www.online-medical-dictionary.org/ diakses 22 Januari 2015.
31.   Menteri Nakertrans. 1981. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Tansmigrasi  Nomor : Per.01/Men/1981  tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja. Jakarta. http://betterwork.org/in-labourguide/wp-content/uploads/Permenakertrans-No-1-Th-1981-Kewajiban-Melapor-Penyakit-Akibat-Kerja.pdf diakses 24 Januari 2015.
32.   Moeliono F. 1993. Etiologi, Diagnosis dan Terapi Sindroma Terowongan Karpal (S.T.K.) atau (Carpal Tunnel Syndrome/CTS). Neurona. 1993; 10 : 16-27.
33.   Murti, Bhisma. 2010. Surveilans.  Surakarta : Universitas Negeri Surakarta.
34.   Noor, Nasri Noer. 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Penerbit PT Rineka Cipta. Jakarta.
35.   _________. 2008. Dasar Epidemiologi. Penerbit PT Rineka Cipta. Jakarta.
37.   Safrizal. 2009. Pengaruh Sumber Daya Organisasi Puskesmas Terhadap Kinerja Petugas Surveilans Epidemiologi dalam Pelaporan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kabupaten Bireuen. Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Medan.
38.   Selvianti, Rizka. 2009. Gambaran Tingkat Risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) dengan Metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) pada Pekerjaan Mengangkat Pasien oleh Perawat Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit Atma Jaya Tahun 2009. Skripsi Universitas Indonesia. Depok.
39.   Suhardi Bambang, 2008. Buku Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi. Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah menengah Kejuruan.
40.   Suma’mur, P.K. 1995. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : Gunung Agung.
41.   Tarwaka, dkk. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan & Produktivitas. Surakarta : UNIBA Press.
42.   Thomas R. Waters, Vern Putz Anderson, Arun Garg, 1994. Aplications Manual for The Revised NIOSH Lifting Equation. www.cdc.gov/NIOSH/html diakses 21 Januari 2015
43.   Wijono, Djoko., 1997. Manajemen Kepemimpinan dan Organisasi Kesehatan. Surabaya : Penerbit Airlangga University Press.