Senin, 29 Juni 2015

LEPTOSPIROSIS


A.  Definisi Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.
Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa, penyakit weil, demam canicola. Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso, 2003).
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus (Swastiko, 2009).
Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang disebabkan oleh semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. Hubungan gejala klinis dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda membawa pada kesimpulan bahwa satu serotipe Leptospira mungkin bertanggung jawab terhadap berbagai macam gambaran klinis; sebaliknya, satu gejala seperti meningitis aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Karena itu lebih disukai untuk menggunakan istilah umum leptospirosis dibandingkan dengan nama serupa seperti penyakit Weil dan demam kanikola (Depkes RI, 2005).
Menurut Widoyono (2011) leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira. Penyakit ini disebut juga dengan Weil Disease, Canicola Fever, Hemorragic jaundice, Mud fever atau Swineherd disease. Adolf Weil pertama kali meneliti penyakit ini pada tahun 1886. Ia menemukan bahwa leptospirosis menyerang manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. Pada tahun 1915 Inada menemukan penyebab leptospirosis, yaitu bakteri Spirochaeta icterohemorrhagiae.
Di China, leptospirosis disebut sebagai penyakit akibat pekerjaan (occupational disease) karena banyak menyerang para petani. Di Jepang, penyakit ini disebut dengan penyakit ‘demam musim gugur’. Leptospirosis juga banyak ditemuka di Rusia, Inggris, Argentina dan Australia.
Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedangkan isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada tahun 1922. Beberaa serovar sudah berhasil diisolasi di berbagai daerah, antara lain Leptospira bataviae, L. javanica, L.australis, L. semaranga, L. icterohaemorrhagiae dan L.canicola dari Jakarta, Ambarawa, Riau, Bangka dan Bogor.
B. Epidemiologi Leptospirosis
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, di daerah pedesaan maupun perkotaan. Suatu penelitian melaporkan 31% anak di daerah perkotaan dan 10% anak di pinggiran kota pernah terpapar  leptospira, yang ditunjukkan dengan adanya antibodi terhadap leptospira.
Di Indonesia penyakit ini tersebar di Pulau Jawa, Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. KLB pernah terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002) (diperoleh 138 spesimen dengan 44,2% positif, Bekasi (2002) dan Semarang (2003).
Leptospirosis dapat menyerang semua mamalia seperti tikus, anjing, kucing, landak, sapi, burung, dan ikan. Hewan yang terinfeksi dapat tanpa gejala sampai meninggal. Suatu laporan hasil penelitian tahun 1974 di Amerika Serikat menyatakan 15- 40% anjing terinfeksi dan penelitian lain melaporkan 90% tikus terinfeksi leptospira. Hewan-hewan tersebut merupakan vector penyakit pada manusia. Manusia merupakan ujung rantai penularan penyakit ini
Manusia yang berisiko tertular adalah para pekerja yang berhubungan dengan hewan liar dan peliharaan, seperti peternak, petani, petugas laboratorium hewan dan bahkan tentara. Wanita dan anak di perkotaan sering terinfeksi setelah berenang dan piknik di luar rumah. Orang yang hobi berenang juga sering terkena penyakit ini.
Angka kematian akibat leptospirosis relatif rendah, tetapi meningkat dengan bertambahnya usia. Mortalitas bisa mencapai lebih dari 20% jika disertai ikterus dan kerusakan ginjal. Mortalitas pada penderita yang berusia lebih dari 51 tahun mencapai 56%.
C. Etiologi Leptospirosis
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005).
Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L. grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis, L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.
Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat, bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi.
Genus Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta dari famili Trepanometaceae adalah baktei yang berbentuk seperti benang dengan panjang 6-12 μm. Spesies L.interrogans adalah spesies yang dapat meninfeksi manusia dan hewan. Saat ini terdapat minimal 23 serogrup dan 250 serovar yang sudah teridentifikasi dan hampir setengahnya terdapat diIndonesia.
Tabel 1 Serogrup dan Beberapa Serovar L. interrogans
Serogrup
Serovar
Icterohaemorrhagiae,
icterohaemorrhagiae, copenhageni, lai, zimbabwe
Hebdomadis
hebdomadis, jules, kremastos
Autumnalis
Autumnalis autumnalis, fortbragg, bim, weerasinghe
Pyrogenes
pyrogenes
Bataviae bataviae
bataviae
Grippotyphosa
grippotyphosa, canalzonae, ratnapura
Canicola
canicola
Australis
australis, bratislava, lora
Pomona pomona
pomona
Javanica
javanica
Sejroe
sejroe, saxkoebing, hardjo
Panama
Cynopteri Cynopteri
panama, mangus
Cynopteri
Cynopteri
Djasiman
djasiman
Sarmin Sarmin
Sarmin
Mini
mini, georgia
Tarassovi
tarassovi
Ballum
ballum, aroborea
Celledoni
celledoni
Louisiana
louisiana, lanka
Ranarum
ranarum
Manhao
manhao
Shermani
shermani
Hurstbridge
Hurstbridge
Sumber: Levett (2001) Clinical Microbiology Reviews
Karena ukurannya yang sangat kecil, leptospira hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop elektron. Bakteri leptospira berbentuk spiral dengan ujung-ujung seperti pengait. Bentuk yang demikian menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk maju, mundur, atau berbelok. Bakteri ini peka terhadap asam, bersifat aerobik obligat dengan pertumbuhan optimum pada suhu 280-300C dan pH 7,2-8,0. Meskipun di dalam air tawar dapat bertahan hidup sampai sekitar satu bulan, namun dalam air yang pekat seperti air selokan dan air laut leptospira akan cepat mati. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah tanah panas dan lembab seperti kondisi daerah tropis. Bakteri ini dapat hidup sampai 43 hari pada tanah yang sesuai dan sampai berminggu minggu dalam air terutama air tawar (Widoyono, 2011; Levett, 2001).
D. Reservoir
Hewan hewan yang menjadi sumber penularan leptospirosis adalah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, landak, kelalawar, tupai, dan rubah. Di dalam tubuh binatang mikroorganisme leptospira hidup didalam ginjal/ air kemih. Di Indonesia penularan paling sering melalui tikus (Depkes RI, 2008). Menurut penelitian di Amerika tahun 1974 menyatakan bahwa infeksi pada anjing 15-40%, sedangkan pada tikus mencapai 90% (Widoyono, 2011)
E.  Faktor Risiko
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia. Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik, biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari organisme hidup manusia. Lingkungan dan manusia harus ada keseimbangan, apabila terjadi ketidak seimbangan lingkungan maka akan menimbulkan berbagai macam penyakit (Mukono, 2006; Soemirat, 2005).
Menurut John Gordon, triangulasi epidemiologi penyebaran penyakit keseimbangannya tergantung adanya interaksi tiga faktor dasar epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan karakteristiknya) dan environment (lingkungan).
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu komponen akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaiknya kejadian penyakit (Soemirat, 2005).
1.  Faktor Agen
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen yang disebut Leptospira. Spesies yang menginfeksi adalah terdiri dari kelompok leptospira patogen yaitu L. Intterogans. Leptospira ini terdiri dari 25 serogrup dan 250 serovar (Depkes RI, 2008).
2.  Faktor Pejamu
Leptospirosis pada manusia dapat terjadi pada semua kelompok umur dan jenis kelamin (Soedin, 1998; Sanford, 1994).
3.  Faktor Lingkungan
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi lingkungan fisik seperti keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah, keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air, keberadaan sampah, keberadaan tempat pengumpulan sampah, jarak rumah dengan sungai, jarak rumah dengan parit/selokan, jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah, sumber air yang digunakan untuk mandi/mencuci, lingkungan biologik seperti keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara (kucing, anjing, kambing, sapi, kerbau, babi), lingkungan sosial seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, kondisi tempat bekerja, ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat, ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan, ketersediaan sistem pembuangan air limbah dengan saluran tertutup.
a.  Lingkungan Fisik
1)  Adanya Riwayat Banjir
Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah dapat menjadi media untuk menularkan berbagai jenis penyakit termasuk penyakit leptospirosis.Hal ini terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira sehingga cara penularannya disebut Water-Borne Infection. Adanya riwayat banjir mempunyai risiko 2,36 kali lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibanding tidak adanya riwayat banjir (Suratman, 2005).
2)  Kondisi Selokan yang Buruk
Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus sehingga dapat menjadi media untuk menularkan penyakit leptospirosis. Kondisi selokan yang menggenang, sering meluap serta jarak dari rumah kurang dari 2 meter merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis (Suratman, 2005; Priyanto, 2008).
3)  Genangan Air
Air tergenang seperti yang selalu dijumpai di negeri-negeri beriklim sedang pada penghujung musim panas, hal ini memainkan peranan penting dalam penularan penyakit leptospirosis. Tikus biasanya kencing digenangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke tubuh manusia (Rejeki, 2005).
4)  Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari kehadiran tikus (Barcellos, 2001).
5)  Sumber Air
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat diperoleh dari beberapa macam sumber diantaranya air PDAM dan air tanah. Penempatan air secara terbuka dapat menimbulkan kontaminasi oleh berbagai macam bakteri. Dalam penelitian Mari Okatini tahun 2005 menyebutkan bahwa responden yang mempunyai sarana air bersih ang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 4,5 kali lebih besar dibanding responden yang mempunyai sarana air bersih yang memenuhi syarat.
6)  Jarak Rumah dengan Tempat Pengumpulan Sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan. Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpul sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 meter dari tempat pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding yang lebih dari 500 meter (Barcellos, 2001).
b.  Lingkungan Biologik
1)  Populasi Tikus di Dalam dan Sekitar Rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus). Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada waktu terjadi Kejadian Luar Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah: R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus dan R.exulat. Dalam risalah Partoatmodjo (1964), Sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar Leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan.  Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara keberadaan tikus dengan kejadian leptospirosis.  (Johnson, 2004 ; Suratman, 2005 ; Priyanto, 2008).
2)  Keberadaan Hewan Peliharaan sebagai Hospes Perantara
Disamping menginfeksi pada hewan liar kuman Leptospira dapat juga menginfeksi binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau, kucing dan lain-lain . Di dalam tubuh binatang yang bertindak sebagai hospes reservoar, mikroorganisme leptospira hidup di dalam ginjal/air kemih. Kontak dengan urin atau bangkai binatang yang terinfeksi merupakan risiko terjadinya penularan Leptospirosis (Thingan, 2000; Suratman, 2005 ; Kusmiyati dkk, 2005).


c.   Lingkungan Sosial
1)  Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam penularan penyakit khususnya leptospirosis. Pendidikan masyarakat yang rendah akan berpengaruh terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat,akan membawa dampak yang cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur transmisi penyakit leptospirosis (Okatini dkk, 2007).
2)  Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian penyakit leptospirosis. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan,pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang.
Faktor risiko leptospirosis akibat pekerjaan yang ditemukan pertama kali adalah buruh tambang. Pekerja-pekerja selokan, parit/saluran air, petani yang bekerja di sawah, ladang-ladang tebu, pekerja tambang, petugas survei di hutan belantara, mereka yang dalam aktivitas pekerjaan selalu kontak dengan urin berbagai binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal di rumah potong, atau para pekerja laboratorium, merupakan orang-orang yang berisiko tinggi untuk mendapat leptospirosis. Dari beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa pekerjaan sangat berpengaruh pada kejadian leptospirosis.
Pekerjaan yang berhubungan dengan sampah mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena leptospirosis; kontak dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis; kontak dengan air banjir mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis; kontak dengan lumpur mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (Speelman,1998; Priyanto, 2008).
3)  Sistem distribusi air bersih dengan saluran tertutup
Sistem distribusi air bersih dengan saluran tertutup dapat menghambat penularan penyakit leptospirosis dari binatang ke manusia karena dapat mencegah kontaminasi atau pencemaran air yang digunakan untuk konsumsi manusia.
4)  Ketersediaan pengumpulan limbah padat
Tidak adanya pelayanan pengumpulan limbah padat menyebabkan akumulasi limbah organik, meningkatkan perkembang biakan binatang pengerat sehingga memungkinkan terjadinya penularan leptospirosis dari binatang kepada manusia.
d.  Faktor Perilaku
Ada beberapa macam teori tentang perilaku, antara lain menurut Solita (1993) dikatakan bahwa perilaku merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan. Sedangkan Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari berbagai gejolak seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan sarana fisik dan sosial budaya masyarakat.
Menurut Blum dalam Notoatmodjo (2007) disebutkan bahwa perilaku sesorang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau tanggapan dan psikomotor diukur melalui tindakan (praktik) yang dilakukan.
Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu. Faktor dari dalam individu mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi dan motivasi yang berfungsi untuk pengolahan rangsangan dari luar. Faktor dari luar individu meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti iklim, manusia, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Aspek perilaku yang berkaitan dengan proses penularan penyakit leptospirosis adalah sebagai berikut:
1)  Kebiasaan Mandi di Sungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung dengan bakteri leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak karena terkena air, kulit terluka, selaput mukosa maupun selaput lendir. Kegiatan mencuci dan mandi di sungai atau danau akan berisiko terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan terjadi kontak dengan urin binatang yang mengandung leptospira akan lebih besar. Penelanan air yang tercemar selama menyelam berhubungan dengan angka serangan yang tinggi. Kebiasaan mandi dan mencuci di sungai mempunyai risiko 2,5 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (Sejvar, 2000; David dkk, 2000).
2)  Pemakaian Sabun Mandi
Sabun mandi yang mengandung zat anti kuman atau bakteri dapat membantu membunuh atau menghambat masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh manusia sehingga proses penularan dapat dicegah (Levett, 2001; Hadisaputro, 2002).
3)  Pemakaian Alat Pelindung Diri
Dengan tidak memakai alat pelindung diri akan mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan. Oleh karena itu dianjurkan bagi para pekerja yang selalu kontak dengan air kotor atau lumpur supaya memakai alat pelindung diri seperti sepatu bot dan sarung tangan. Banyak infeksi leptospirosis terjadi karena berjalan di air dan kebun tanpa alas pelindung diri. Tidak memakai sepatu saat bekerja di sawah mempunyai risiko 2,17 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (Johnson, 2004).
4)  Kebiasaan Merawat Luka
Jalan masuk leptospira yang biasa pada manusia adalah kulit yang terluka lecet, terutama sekitar kaki dan kelopak mata, hidung, dan selaput lendir yang terpapar. Orang yang tidak melakukan perawatan luka mempunyai risiko 2,69 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (Sanford, 1994).
5)  Kebiasaan Menggunakan Deterjen atau Desinfektan
Keadaan kondisi lingkungan yang tidak cocok untuk berkembang biak bakteri leptospira dapat menyebabkan bakteri tersebut terhambat pertumbuhannya bahkan menjadi mati. Udara yang kering, sinar matahari yang cukup kuat, pH di luar range 6,2 – 8,0 merupakan suasana yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan pertumbuhan leptospira. Kelangsungan hidup leptospira patogen dalam alam ditentukan oleh berbagai faktor seperti pH urin pejamu, pH tanah atau air dimana mereka berada, dan perubahan suhu. Leptospira dalam sebagian besar “bekas urin” pada tanah tetap infeksius selama 6 - 48 jam. Urin yang asam akan membatasi kelangsungan hidup leptospira; walau demikian, jika urin netral atau basa dan disimpan dalam kelembaban lingkungan serupa dengan kadar garam rendah, tidak tercemar oleh mikroorganisme atau sabun cuci, dan mempunyai suhu di atas 22°C, leptospira dapat bertahan hidup sampai beberapa minggu. Keberadaan air limbah yang mengandung deterjen dapat mengurangi lama waktu hidup leptospira dalam saluran pembuangan, pertumbuhan leptospira terhambat oleh konsentrasi deterjen yang rendah. Penggunaan bahan-bahan kimiawi yang berfungsi sebagai desinfektan juga menyebabkan leptospira mudah terbasmi (Hadisaputro, 2002).
6)  Kebiasaan Menyimpan Makanan dan Alat Makan
Jalan masuk kuman leptospira dapat melalui makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus. Tikus sering berkeliaran ditempat tempat penyimpanan makanan untuk mencari makan. Makanan dan alat makan yang disimpan dalam keadaan terbuka berisiko menjadi sumber penularan leptospirosis (Sehgal, 1991; Sarkar, 2001).
F.  Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan fagositosis.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian. Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.
Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis (Poerwo, 2002).
G. Cara Penularan
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini:
1.  Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang tercemar bakteri.
2.  Kontak dengan organ, darah dan urin hewan yang terinfeksi.
3.  Menkonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit yang luka atau lecet dan selaput mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat terutama bila kontak lama dengan air. Di Indonesia infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir. Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi. Penularan dari manusia ke manusia dapat ditularkan melalui hubungan seksual, plasenta ibu dan air susu ibu. Urin dari pasien yang terinfeksi juga dapat menginfeksi.
Terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu:
1.  Penularan melalui kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim sedang, sering terjadi di peternakan sapi atau babi.
2.  Penularan atau penyebaran penyakit karena kontaminasi pada lingkungan, biasanya pada musim penghujan. Paparan pada manusia lebih luas karena faktor pekerjaan.
3.  Penularan melalui infeksi rodensia pada lingkungan perkotaan yang kumuh.(Widoyono, 2002; Faine, 1994)
H. Gambaran Klinis
Masa inkubasi leptospirosis adalah 4-19 hari, dengan rata rata 10 hari. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredaran darah dan beredar ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan di mana saja termasuk organ jantung, otak dan ginjal. Manifestasi klinis leptospirosis terbagi menjadi tiga fase:
1.  Fase pertama (leptospiremia)
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, skin rash, conjunctival (mata merah), nyeri otot hebat terutama di otot belakang paha dan betis sehingga kadang- kadang penderita mengeluh sulit berjalan, ikterus, sakit kepala berat dan nyeri perut yang disebabkan oleh gangguan hati, ginjal dan meningitis. Fase ini berlangsung selama 4-9 hari.


2.  Fase kedua (imun)
Titer antibodi IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan klinis akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (leptospira dalam urin) selama satu minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4-30 hari.
3.  Fase ketiga (konvalesen)
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul kembali dan berlangsung selama 4-30 hari (Depkes RI, 2005 ; Gasem, 2002).
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.
1.  Leptospirosis Anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis.
 Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya.
Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi (fase imun). Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri (self - limited) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.
2.  Leptospirosis Ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
Tabel 2 Perbedaan Gambaran Klinik Leptospirosis Aninkterik dan Ikterik
Sindroma, Fase
Gambaran Klinik
Spesimen Laboratorium
Leptospirosis Anikterik
Fase Leptospiremia
(3 -7 hari )


Fase Imun (3-30 hari)
Demam tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjunctiva suffusion

Demam ringan, nyeri kepala, muntah,

Darah, LCS




Urine

Leptospirosis ikterik
Fase Leptospiremia dan
fase Imun (sering menjadi
satu atau overlapping )
Demam, nyeri kepala, mialgia, ikterik, gagal ginjal, hipotensi, manifestasi pendarahan,pneumonitis, pneumonitis hemorhagik, leukositosis
Darah, LCS minggu I
Urin minggu II

I.    Pencegahan
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi:
1.  Jalur sumber infeksi
a.  Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
b.  Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
c.   Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
d.  Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
e.  Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar, menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
f.      Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
g.  Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak menimbulkan kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
2.  Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan:
a.  Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker).
b.  Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
c.   Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan air yang terkontaminasi.
d.  Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
e.  Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat merawat hewan yang sakit.
f.      Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
g.  Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
h.  Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
i.      Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
j.      Manajemen ternak yang baik.
3.  Jalur pejamu manusia
a.  Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi kuman leptospira.
b.  Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara edukasi yang meliputi:
1)  Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor televon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut.




2)  Melakukan penyebaran informasi.
J.  Pengobatan
Pemeriksaan complete blood count (CBC). Penurunan hemoglobin yang menurun dapat terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui komponen DIC. Blood urea nitrogen dan serum creatinin dapat meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis yang dapat terjadi pada penyakit Weil. Terapi antimikrobial adalah pengobatan yanhg utama pada leptospirosis. Pada infeksi tidak dengan komplikasi tidak membutuhkan rawat inap. Penggunaan doksisiklin oral menunjukkan penurunan durasi demam. Rawat inap diperlukan untuk penderita dengan pemberian terapi penicillin G intravena sebagai pilihan utama. Penelitian terakhir menunjukkan cephalosporins sama efektifnya dengan doksisiklin dan penicillin pada pengobatan fase akut.
Erythromycin digunakan pada kasus kehamilan yang alergi terhadap penicillin sedangkan amoxicillin adalah terapi alternatif. Pada kasus berat mengakibatkan gangguan beberapa organ dan gagal multiorgan. Tatalaksana penderita yang paling penting adalah memonitor dengan cermat perubahan klinis karena berpotensi terjadi gangguan kolap kardiovaskular dan syok dapat terjadi secara cepat dan mendadak. Fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat dan diperlukan dialisis pada kasus gagal ginjal. Pada umumnya kerusakan ginjal adalah reversibel jika penderita dapat bertahan dalam fase akut. Penyediaan ventilasi mekanik dan proteksi jalan napas harus tersedia bila terjadi gangguan pernapasan berat. Continuous cardiac monitoring untuk memantau keadaan yang dapat timbul seperti ventricular tachycardia, kontaksi ventrikel prematur premature ventricular contractions, fibrilasi atrial, flutter, dan takikardia.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2005. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Ditjen P2M dan PLP.
Febrian, Ferry. dkk. 2013. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. http://journal.uad.ac.id/index.php/KesMas/article/viewFile/1012/750. Diakese pada tanggal 2013.
Kusmiati, dkk. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Mansjoer, A. (2005). Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius, FKUI. Jakarta.
Mukono. (2006). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Airlangga University Press.
Muliyani, Titik Guntari. 2014. Pembelian Ternak dan Kelembaban Tinggi merupakan Faktor Risiko Leptospirosis pada Sapi di Girimulyo, Kulon Progo, Jogjakarta. Pusat Kesehatan Hewan. Jogjakarta.
Notoadmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Cet.pertama. Rineka Cipta : Jakarta.
Nurhadi, Muhammad. 2012. Kesehatan Masyarakat Veteriner Higiene bahan pangan asal Hewan dan Zoonosis. Gosyen Publising. Yogyakarta.
Priyanto, A. (2008). Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan Terhadap Kejadian Leptospirosis Studi Kasus di Kabupaten Demak. Program Magister Epidemiologi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Profil Kesehatan Indonesia. 2012. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
_______. 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Profil Pengendalian Zoonosis. 2013. Kementerian Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. 
Saroso, S. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan R.I. : Jakarta.
Soemirat, J. (2005). Epidemiologi Lingkungan. Edisi 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Suratman. (2008). Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat di Kota Semarang (Studi Kasus Leptospirosis yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang)dalam Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol 7 No 2.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan. Erlangga : Jakarta.
Tunissea, Asyhar. 2008. Analisis Spasila Faktor Risiko Lingkungan pada Kejadian Leptospirosis di Kota Semarang (sebagai Sistem Kewaspadaan Dini). Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.