A. Definisi Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat
menyerang manusia dan binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang
dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering
terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan
banjir.
Di beberapa negara leptospirosis dikenal dengan nama
demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam
rawa, penyakit weil, demam canicola. Leptospirosis adalah
penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso, 2003).
Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit
penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan
oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan
urine tikus (Swastiko, 2009).
Leptospirosis merupakan istilah untuk
penyakit yang disebabkan oleh semua leptospira tanpa memandang serotipe
tertentu. Hubungan gejala klinis dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda
membawa pada kesimpulan bahwa satu serotipe Leptospira mungkin
bertanggung jawab terhadap berbagai macam gambaran klinis; sebaliknya, satu
gejala seperti meningitis aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe.
Karena itu lebih disukai untuk menggunakan istilah umum leptospirosis dibandingkan
dengan nama serupa seperti penyakit Weil dan demam kanikola
(Depkes RI, 2005).
Menurut Widoyono (2011) leptospirosis adalah infeksi akut
yang disebabkan oleh bakteri Leptospira.
Penyakit ini disebut juga dengan Weil
Disease, Canicola Fever, Hemorragic jaundice, Mud fever atau Swineherd disease. Adolf Weil pertama kali meneliti penyakit ini
pada tahun 1886. Ia menemukan bahwa leptospirosis menyerang manusia dengan
gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. Pada
tahun 1915 Inada menemukan penyebab leptospirosis, yaitu bakteri Spirochaeta icterohemorrhagiae.
Di China, leptospirosis disebut sebagai penyakit akibat
pekerjaan (occupational disease) karena banyak menyerang para petani. Di
Jepang, penyakit ini disebut dengan penyakit ‘demam musim gugur’. Leptospirosis
juga banyak ditemuka di Rusia, Inggris, Argentina dan Australia.
Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis
dilaporkan pertama kali oleh Van der Scheer di Jakarta pada tahun 1892,
sedangkan isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada tahun 1922. Beberaa serovar
sudah berhasil diisolasi di berbagai daerah, antara lain Leptospira bataviae, L.
javanica, L.australis, L. semaranga, L. icterohaemorrhagiae dan L.canicola
dari Jakarta, Ambarawa, Riau, Bangka dan Bogor.
B. Epidemiologi Leptospirosis
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, baik di negara
berkembang maupun negara maju, di daerah pedesaan maupun perkotaan. Suatu
penelitian melaporkan 31% anak di daerah perkotaan dan 10% anak di pinggiran
kota pernah terpapar leptospira, yang
ditunjukkan dengan adanya antibodi terhadap leptospira.
Di Indonesia penyakit ini tersebar di Pulau Jawa,
Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat. KLB pernah terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002) (diperoleh 138
spesimen dengan 44,2% positif, Bekasi (2002) dan Semarang (2003).
Leptospirosis dapat menyerang semua mamalia seperti
tikus, anjing, kucing, landak, sapi, burung, dan ikan. Hewan yang terinfeksi
dapat tanpa gejala sampai meninggal. Suatu laporan hasil penelitian tahun 1974
di Amerika Serikat menyatakan 15- 40% anjing terinfeksi dan penelitian lain
melaporkan 90% tikus terinfeksi leptospira. Hewan-hewan tersebut merupakan
vector penyakit pada manusia. Manusia merupakan ujung rantai penularan penyakit
ini
Manusia yang berisiko tertular adalah para pekerja yang
berhubungan dengan hewan liar dan peliharaan, seperti peternak, petani, petugas
laboratorium hewan dan bahkan tentara. Wanita dan anak di perkotaan sering
terinfeksi setelah berenang dan piknik di luar rumah. Orang yang hobi berenang
juga sering terkena penyakit ini.
Angka
kematian akibat leptospirosis relatif rendah, tetapi meningkat dengan
bertambahnya usia. Mortalitas bisa mencapai lebih dari 20% jika disertai
ikterus dan kerusakan ginjal. Mortalitas pada penderita yang berusia lebih dari
51 tahun mencapai 56%.
C. Etiologi Leptospirosis
Penyakit yang terdapat di semua negara dan
terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira
interrogans dengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas
serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti
anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus,
musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada
kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan
sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi
leptospira (Mansjoer, 2005).
Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks,
yang patogen L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs
kelompok patogen terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau
L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas
berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah
ditemukan 240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat
menginfeksi manusia di antaranya adalah L.
icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L ballum, L.
pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L.
bufonis, L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.
Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang
berat, bahkan dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada
serogrup atau seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes,
dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia
adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan
reservoir tikus, L.canicola, dengan
reservoirnya anjing dan L. pomona
dengan reservoirnya sapi dan babi.
Genus Leptospira yang termasuk dalam ordo Spirochaeta
dari famili Trepanometaceae adalah baktei yang berbentuk seperti
benang dengan panjang 6-12 μm. Spesies L.interrogans adalah spesies yang
dapat meninfeksi manusia dan hewan. Saat ini terdapat minimal 23 serogrup dan
250 serovar yang sudah teridentifikasi dan hampir setengahnya terdapat
diIndonesia.
Tabel
1 Serogrup dan Beberapa Serovar L. interrogans
Serogrup
|
Serovar
|
Icterohaemorrhagiae,
|
icterohaemorrhagiae,
copenhageni, lai, zimbabwe
|
Hebdomadis
|
hebdomadis,
jules, kremastos
|
Autumnalis
|
Autumnalis
autumnalis, fortbragg, bim, weerasinghe
|
Pyrogenes
|
pyrogenes
|
Bataviae
bataviae
|
bataviae
|
Grippotyphosa
|
grippotyphosa,
canalzonae, ratnapura
|
Canicola
|
canicola
|
Australis
|
australis,
bratislava, lora
|
Pomona
pomona
|
pomona
|
Javanica
|
javanica
|
Sejroe
|
sejroe,
saxkoebing, hardjo
|
Panama
Cynopteri
Cynopteri
|
panama,
mangus
|
Cynopteri
|
Cynopteri
|
Djasiman
|
djasiman
|
Sarmin
Sarmin
|
Sarmin
|
Mini
|
mini,
georgia
|
Tarassovi
|
tarassovi
|
Ballum
|
ballum,
aroborea
|
Celledoni
|
celledoni
|
Louisiana
|
louisiana,
lanka
|
Ranarum
|
ranarum
|
Manhao
|
manhao
|
Shermani
|
shermani
|
Hurstbridge
|
Hurstbridge
|
Sumber: Levett (2001) Clinical Microbiology Reviews
Karena ukurannya yang sangat kecil, leptospira
hanya dapat dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop elektron.
Bakteri leptospira berbentuk spiral dengan ujung-ujung seperti pengait.
Bentuk yang demikian menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk
maju, mundur, atau berbelok. Bakteri ini peka terhadap asam, bersifat aerobik
obligat dengan pertumbuhan optimum pada suhu 280-300C dan pH 7,2-8,0.
Meskipun di dalam air tawar dapat bertahan hidup sampai sekitar satu bulan,
namun dalam air yang pekat seperti air selokan dan air laut leptospira akan
cepat mati. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah tanah panas
dan lembab seperti kondisi daerah tropis. Bakteri ini dapat hidup sampai 43
hari pada tanah yang sesuai dan sampai berminggu minggu dalam air terutama air
tawar (Widoyono, 2011; Levett, 2001).
D. Reservoir
Hewan hewan yang menjadi sumber penularan
leptospirosis adalah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing,
serangga, burung, landak, kelalawar, tupai, dan rubah. Di dalam tubuh binatang
mikroorganisme leptospira hidup didalam ginjal/ air kemih. Di Indonesia
penularan paling sering melalui tikus (Depkes RI, 2008). Menurut penelitian di
Amerika tahun 1974 menyatakan bahwa infeksi pada anjing 15-40%, sedangkan pada
tikus mencapai 90% (Widoyono, 2011)
E. Faktor Risiko
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar
manusia. Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan
fisik, biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari
semua kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari
organisme hidup manusia. Lingkungan dan manusia harus ada keseimbangan, apabila
terjadi ketidak seimbangan lingkungan maka akan menimbulkan berbagai macam
penyakit (Mukono, 2006; Soemirat, 2005).
Menurut John Gordon, triangulasi epidemiologi penyebaran
penyakit keseimbangannya tergantung adanya interaksi tiga faktor dasar
epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan
karakteristiknya) dan environment (lingkungan).
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut
maka akan tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu
komponen akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaiknya
kejadian penyakit (Soemirat, 2005).
1. Faktor
Agen
Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh bakteri patogen yang disebut Leptospira. Spesies yang menginfeksi
adalah terdiri dari kelompok leptospira patogen yaitu L. Intterogans. Leptospira
ini terdiri dari 25 serogrup dan 250 serovar (Depkes RI, 2008).
2. Faktor
Pejamu
Leptospirosis pada manusia dapat terjadi pada semua
kelompok umur dan jenis kelamin (Soedin, 1998; Sanford, 1994).
3. Faktor
Lingkungan
Perubahan komponen lingkungan yang memiliki
potensi bahaya kesehatan masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi
lingkungan fisik seperti keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar
rumah, keberadaan parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air,
keberadaan sampah, keberadaan tempat pengumpulan sampah, jarak rumah dengan
sungai, jarak rumah dengan parit/selokan, jarak rumah dengan tempat pengumpulan
sampah, sumber air yang digunakan untuk mandi/mencuci, lingkungan biologik
seperti keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan
sebagai hospes perantara (kucing, anjing, kambing, sapi, kerbau, babi),
lingkungan sosial seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, kondisi tempat
bekerja, ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat, ketersediaan
sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan, ketersediaan sistem
pembuangan air limbah dengan saluran tertutup.
a. Lingkungan
Fisik
1) Adanya
Riwayat Banjir
Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan
sekitar rumah dapat menjadi media untuk menularkan berbagai jenis penyakit
termasuk penyakit leptospirosis.Hal ini terjadi ketika air sungai
terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri
leptospira sehingga cara penularannya disebut Water-Borne Infection.
Adanya riwayat banjir mempunyai risiko 2,36 kali lebih besar untuk terjadinya
leptospirosis dibanding tidak adanya riwayat banjir (Suratman, 2005).
2) Kondisi
Selokan yang Buruk
Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan
tempat tinggal tikus sehingga dapat menjadi media untuk menularkan penyakit
leptospirosis. Kondisi selokan yang menggenang, sering meluap serta jarak dari
rumah kurang dari 2 meter merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
leptospirosis (Suratman, 2005; Priyanto, 2008).
3) Genangan
Air
Air tergenang seperti yang selalu dijumpai di
negeri-negeri beriklim sedang pada penghujung musim panas, hal ini memainkan
peranan penting dalam penularan penyakit leptospirosis. Tikus biasanya kencing
digenangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk ke
tubuh manusia (Rejeki, 2005).
4) Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan
sekitarnya akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang
jelek seperti adanya kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel
determinan kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari
kehadiran tikus (Barcellos, 2001).
5) Sumber
Air
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat
diperoleh dari beberapa macam sumber diantaranya air PDAM dan air tanah.
Penempatan air secara terbuka dapat menimbulkan kontaminasi oleh berbagai macam
bakteri. Dalam penelitian Mari Okatini tahun 2005 menyebutkan bahwa responden yang
mempunyai sarana air bersih ang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 4,5 kali
lebih besar dibanding responden yang mempunyai sarana air bersih yang memenuhi
syarat.
6) Jarak Rumah dengan Tempat Pengumpulan
Sampah
Tikus senang
berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan. Jarak rumah yang dekat
dengan tempat pengumpul sampah mengakibatkan tikus dapat masuk ke rumah dan
kencing di sembarang tempat. Jarak rumah yang kurang dari 500 meter dari tempat
pengumpulan sampah menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding yang
lebih dari 500 meter (Barcellos, 2001).
b. Lingkungan Biologik
1) Populasi Tikus di Dalam dan Sekitar
Rumah
Bakteri
leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae banyak menyerang
tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan tikus rumah (Rattus
diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil (mus musculus).
Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada waktu terjadi Kejadian Luar
Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah: R.norvegicus, R.diardii, Suncus
murinus dan R.exulat. Dalam risalah Partoatmodjo (1964), Sejak 1936
telah diisolasi berbagai serovar Leptospira, baik dari hewan liar maupun
hewan peliharaan. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara keberadaan tikus dengan kejadian
leptospirosis. (Johnson, 2004 ;
Suratman, 2005 ; Priyanto, 2008).
2) Keberadaan Hewan Peliharaan sebagai
Hospes Perantara
Disamping menginfeksi pada hewan liar
kuman Leptospira dapat juga menginfeksi binatang piaraan seperti anjing, lembu,
babi, kerbau, kucing dan lain-lain . Di dalam tubuh binatang yang bertindak
sebagai hospes reservoar, mikroorganisme leptospira hidup di dalam
ginjal/air kemih. Kontak dengan urin atau bangkai binatang yang terinfeksi
merupakan risiko terjadinya penularan Leptospirosis (Thingan, 2000;
Suratman, 2005 ; Kusmiyati dkk, 2005).
c. Lingkungan Sosial
1) Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor
yang cukup penting dalam penularan penyakit khususnya leptospirosis. Pendidikan
masyarakat yang rendah akan berpengaruh terhadap berbagai risiko paparan
penyakit yang ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat,akan
membawa dampak yang cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur transmisi
penyakit leptospirosis (Okatini dkk, 2007).
2) Jenis Pekerjaan
Jenis
pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian penyakit
leptospirosis. Jenis pekerjaan yang berisiko terjangkit leptospirosis antara
lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan,pekerja pengontrol tikus,
tukang sampah, pekerja selokan, buruh tambang, tentara, pembersih septic
tank dan pekerjaan yang selalu kontak dengan binatang.
Faktor risiko
leptospirosis akibat pekerjaan yang ditemukan pertama kali adalah buruh
tambang. Pekerja-pekerja selokan, parit/saluran air, petani yang bekerja di
sawah, ladang-ladang tebu, pekerja tambang, petugas survei di hutan belantara,
mereka yang dalam aktivitas pekerjaan selalu kontak dengan urin berbagai
binatang seperti dokter hewan, mantri hewan, penjagal di rumah potong, atau
para pekerja laboratorium, merupakan orang-orang yang berisiko tinggi untuk
mendapat leptospirosis. Dari beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa
pekerjaan sangat berpengaruh pada kejadian leptospirosis.
Pekerjaan yang berhubungan dengan
sampah mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena leptospirosis; kontak
dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis;
kontak dengan air banjir mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis; kontak dengan lumpur mempunyai risiko 3 kali lebih tinggi
terkena leptospirosis (Speelman,1998; Priyanto, 2008).
3) Sistem distribusi air bersih dengan
saluran tertutup
Sistem distribusi air bersih dengan
saluran tertutup dapat menghambat penularan penyakit leptospirosis dari
binatang ke manusia karena dapat mencegah kontaminasi atau pencemaran air yang
digunakan untuk konsumsi manusia.
4) Ketersediaan pengumpulan limbah padat
Tidak adanya pelayanan pengumpulan
limbah padat menyebabkan akumulasi limbah organik, meningkatkan perkembang
biakan binatang pengerat sehingga memungkinkan terjadinya penularan
leptospirosis dari binatang kepada manusia.
d. Faktor
Perilaku
Ada beberapa macam teori tentang perilaku, antara lain
menurut Solita (1993) dikatakan bahwa perilaku merupakan hasil dari segala
macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud
dalam bentuk pengetahuan, sikap dan praktik atau tindakan. Sedangkan
Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku manusia dapat dilihat dari tiga aspek,
yaitu fisik, psikis dan sosial yang secara terinci merupakan refleksi dari
berbagai gejolak seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya
yang ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor pengalaman, keyakinan sarana fisik
dan sosial budaya masyarakat.
Menurut Blum dalam Notoatmodjo (2007) disebutkan bahwa
perilaku sesorang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu kognitif, afektif dan
psikomotor. Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau
tanggapan dan psikomotor diukur melalui tindakan (praktik) yang dilakukan.
Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan luar individu. Faktor dari
dalam individu mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, sikap, emosi dan
motivasi yang berfungsi untuk pengolahan rangsangan dari luar. Faktor dari luar
individu meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non-fisik seperti
iklim, manusia, sosial, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Aspek
perilaku yang berkaitan dengan proses penularan penyakit leptospirosis adalah
sebagai berikut:
1) Kebiasaan
Mandi di Sungai
Penularan
bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung dengan bakteri
leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak karena terkena air, kulit
terluka, selaput mukosa maupun selaput lendir. Kegiatan mencuci dan mandi di
sungai atau danau akan berisiko terpapar bakteri leptospira karena kemungkinan
terjadi kontak dengan urin binatang yang mengandung leptospira akan lebih
besar. Penelanan air yang tercemar selama menyelam berhubungan dengan angka
serangan yang tinggi. Kebiasaan mandi dan mencuci di sungai mempunyai risiko
2,5 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (Sejvar, 2000; David dkk, 2000).
2) Pemakaian
Sabun Mandi
Sabun
mandi yang mengandung zat anti kuman atau bakteri dapat membantu membunuh atau
menghambat masuknya kuman penyakit ke dalam tubuh manusia sehingga proses
penularan dapat dicegah (Levett, 2001; Hadisaputro, 2002).
3) Pemakaian
Alat Pelindung Diri
Dengan
tidak memakai alat pelindung diri akan mengakibatkan kemungkinan masuknya
bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin besar. Bakteri leptospira masuk
tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan. Oleh karena itu
dianjurkan bagi para pekerja yang selalu kontak dengan air kotor atau lumpur
supaya memakai alat pelindung diri seperti sepatu bot dan sarung tangan. Banyak
infeksi leptospirosis terjadi karena berjalan di air dan kebun tanpa alas
pelindung diri. Tidak memakai sepatu saat bekerja di sawah mempunyai risiko
2,17 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (Johnson, 2004).
4) Kebiasaan
Merawat Luka
Jalan
masuk leptospira yang biasa pada manusia adalah kulit yang terluka lecet,
terutama sekitar kaki dan kelopak mata, hidung, dan selaput lendir yang
terpapar. Orang yang tidak melakukan perawatan luka mempunyai risiko 2,69 kali
lebih tinggi terkena leptospirosis (Sanford, 1994).
5) Kebiasaan
Menggunakan Deterjen atau Desinfektan
Keadaan
kondisi lingkungan yang tidak cocok untuk berkembang biak bakteri leptospira
dapat menyebabkan bakteri tersebut terhambat pertumbuhannya bahkan menjadi
mati. Udara yang kering, sinar matahari yang cukup kuat, pH di luar range 6,2
– 8,0 merupakan suasana yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan pertumbuhan
leptospira. Kelangsungan hidup leptospira patogen dalam alam ditentukan oleh
berbagai faktor seperti pH urin pejamu, pH tanah atau air dimana mereka berada,
dan perubahan suhu. Leptospira dalam sebagian besar “bekas urin” pada tanah
tetap infeksius selama 6 - 48 jam. Urin yang asam akan membatasi kelangsungan
hidup leptospira; walau demikian, jika urin netral atau basa dan disimpan dalam
kelembaban lingkungan serupa dengan kadar garam rendah, tidak tercemar oleh
mikroorganisme atau sabun cuci, dan mempunyai suhu di atas 22°C, leptospira
dapat bertahan hidup sampai beberapa minggu. Keberadaan air limbah yang
mengandung deterjen dapat mengurangi lama waktu hidup leptospira dalam saluran
pembuangan, pertumbuhan leptospira terhambat oleh konsentrasi deterjen yang
rendah. Penggunaan bahan-bahan kimiawi yang berfungsi sebagai desinfektan juga
menyebabkan leptospira mudah terbasmi (Hadisaputro, 2002).
6) Kebiasaan Menyimpan Makanan dan Alat
Makan
Jalan masuk kuman leptospira dapat
melalui makanan yang terkontaminasi oleh urin tikus. Tikus sering berkeliaran
ditempat tempat penyimpanan makanan untuk mencari makan. Makanan dan alat makan
yang disimpan dalam keadaan terbuka berisiko menjadi sumber penularan
leptospirosis (Sehgal, 1991; Sarkar, 2001).
F. Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus
jaringan mukosa seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus
kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan menyebar keseluruh
tubuh. Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan
ruang subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang
bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya
leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi
tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam
serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira
dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan
fagositosis.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis
dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan
gejala-gejala klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin
yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis,
walaupun didalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya
terbatas pada kulit dan mukosa, pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan
gastrointestinal atau organ vital dan dapat menyebabkan kematian. Beberapa
penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik tersebut disebabkan
rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun terbukti, walaupun aktivitas
protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis
hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak selalu ditemukan pada
pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari
kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab kerusakan endotel ini belum
jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada
leptospirosis. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah
penyebab ikterus, disamping itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal
perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir
ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus.
Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin
dapat menimbulkan ikterus pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga
sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT
hanya sedikit meningkat.
Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus,
gangguan factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat.
Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada
kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan
atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu
ke dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan
yang meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang
menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan korteks). Penurunan fungsi ginjal
disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran
darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat
terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis,
perikarditis dan aritmia dapat menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis.
Gangguan jantung ini terjadi sekunder karena hipotensi, gangguan elektrolit,
hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal
ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang
dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis,
meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis perifer.
Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak disertai peningkatan antibody
leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira
masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini
penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus
leptospirosis (Poerwo, 2002).
G. Cara Penularan
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara
berikut ini:
1. Kontak
dengan air, tanah dan lumpur yang tercemar bakteri.
2. Kontak
dengan organ, darah dan urin hewan yang terinfeksi.
3. Menkonsumsi
makanan yang terkontaminasi.
Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit yang
luka atau lecet dan selaput mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa
penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat terutama bila
kontak lama dengan air. Di Indonesia infeksi ini banyak terjadi di daerah
banjir. Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi. Penularan dari
manusia ke manusia dapat ditularkan melalui hubungan seksual, plasenta ibu dan
air susu ibu. Urin dari pasien yang terinfeksi juga dapat menginfeksi.
Terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu:
1. Penularan
melalui kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim sedang, sering terjadi
di peternakan sapi atau babi.
2. Penularan
atau penyebaran penyakit karena kontaminasi pada lingkungan, biasanya pada
musim penghujan. Paparan pada manusia lebih luas karena faktor pekerjaan.
3. Penularan
melalui infeksi rodensia pada lingkungan perkotaan yang kumuh.(Widoyono, 2002;
Faine, 1994)
H. Gambaran Klinis
Masa inkubasi leptospirosis adalah 4-19 hari, dengan rata
rata 10 hari. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke
peredaran darah dan beredar ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan
kerusakan di mana saja termasuk organ jantung, otak dan ginjal. Manifestasi
klinis leptospirosis terbagi menjadi tiga fase:
1. Fase
pertama (leptospiremia)
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, skin
rash, conjunctival (mata merah), nyeri otot hebat terutama di otot belakang
paha dan betis sehingga kadang- kadang penderita mengeluh sulit berjalan,
ikterus, sakit kepala berat dan nyeri perut yang disebabkan oleh gangguan hati,
ginjal dan meningitis. Fase ini berlangsung selama 4-9 hari.
2. Fase
kedua (imun)
Titer antibodi IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan
cepat. Gangguan klinis akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (leptospira
dalam urin) selama satu minggu sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama
4-30 hari.
3. Fase ketiga (konvalesen)
Fase ini
ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul kembali dan
berlangsung selama 4-30 hari (Depkes RI, 2005 ; Gasem, 2002).
Menurut berat ringannya, leptospirosis
dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan
penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi
leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.
1. Leptospirosis Anikterik
Onset
leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang
umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri
kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri
retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan
paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase
pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin
phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis.
Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien
kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan
oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival
suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali,
hepatomegali dan rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan
mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis
anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik
adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya.
Dalam fase
leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal,
tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi
(fase imun). Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat
sembuh sendiri (self - limited) dan
biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena
gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka pada setiap
kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai
salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan
penyebab utama Fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti
Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup
penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon version, infeksi
dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga
infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis
dan malaria.
2. Leptospirosis Ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai
indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi
perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis
ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau
nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga
dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi,
status imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang
tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
Tabel 2 Perbedaan Gambaran Klinik
Leptospirosis Aninkterik dan Ikterik
Sindroma, Fase
|
Gambaran Klinik
|
Spesimen Laboratorium
|
Leptospirosis
Anikterik
Fase
Leptospiremia
(3
-7 hari )
Fase
Imun (3-30 hari)
|
Demam
tinggi, nyeri kepala, mialgia, nyeri perut, mual, muntah, conjunctiva
suffusion
Demam
ringan, nyeri kepala, muntah,
|
Darah,
LCS
Urine
|
Leptospirosis
ikterik
Fase
Leptospiremia dan
fase
Imun (sering menjadi
satu
atau overlapping )
|
Demam,
nyeri kepala, mialgia, ikterik, gagal ginjal, hipotensi,
manifestasi pendarahan,pneumonitis, pneumonitis hemorhagik, leukositosis
|
Darah,
LCS minggu I
Urin
minggu II
|
I.
Pencegahan
Menurut
Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui
tiga jalur yang meliputi:
1. Jalur
sumber infeksi
a. Melakukan
tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
b. Memberikan
antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin, atau dihydrostreptomycin,
agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara pemberian
berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
c. Mengurangi
populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan
jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
d. Meniadakan
akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan membangun
gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber penampungan air, dan
perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa makanan serta sampah jauh
dari jangkauan tikus.
e. Mencengah
tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara
lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar,
menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan kamar
mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
f. Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan
peliharaan.
g. Membuang
kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak menimbulkan
kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
2. Jalur
penularan
Penularan dapat dicegah dengan:
a. Memakai
pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker).
b. Mencuci
luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
c. Mencuci
atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan
air yang terkontaminasi.
d. Menumbuhkan
kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau mengurangi
pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak menyentuh
bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan tangan
telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
e. Mengenakan
sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin hewan,
cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat
merawat hewan yang sakit.
f. Melakukan desinfektan daerah yang
terkontaminasi, dengan membersihkan lantai kandang, rumah potong hewan dan
lain-lain.
g. Melindungi
sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik, filtrasi dan
korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
h. Menurunkan
PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan kimia sehingga
jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
i. Memberikan peringatan kepada masyarakat
mengenai air kolam, genagan air dan sungai yang telah atau diduga
terkontaminasi kuman leptospira.
j. Manajemen ternak yang baik.
3. Jalur
pejamu manusia
a. Menumbuhkan
sikap waspada
Diperlukan
pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi terinfeksi
kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira,
cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga
terinfeksi kuman leptospira.
b. Melakukan
upaya edukasi
Dalam
upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara
edukasi yang meliputi:
1) Memberikan
selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi militer,
dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan
diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor televon
yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut.
2) Melakukan
penyebaran informasi.
J. Pengobatan
Pemeriksaan complete
blood count (CBC). Penurunan hemoglobin yang menurun dapat terjadi pada
perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit untuk mengetahui
komponen DIC. Blood urea nitrogen dan serum creatinin dapat meningkat pada
anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis yang dapat terjadi pada penyakit
Weil. Terapi antimikrobial adalah pengobatan yanhg utama pada leptospirosis.
Pada infeksi tidak dengan komplikasi tidak membutuhkan rawat inap. Penggunaan
doksisiklin oral menunjukkan penurunan durasi demam. Rawat inap diperlukan
untuk penderita dengan pemberian terapi penicillin G intravena sebagai pilihan
utama. Penelitian terakhir menunjukkan cephalosporins sama efektifnya dengan
doksisiklin dan penicillin pada pengobatan fase akut.
Erythromycin digunakan pada kasus kehamilan
yang alergi terhadap penicillin sedangkan amoxicillin adalah terapi alternatif.
Pada kasus berat mengakibatkan gangguan beberapa organ dan gagal multiorgan.
Tatalaksana penderita yang paling penting adalah memonitor dengan cermat
perubahan klinis karena berpotensi terjadi gangguan kolap kardiovaskular dan
syok dapat terjadi secara cepat dan mendadak. Fungsi ginjal harus dievaluasi
secara cermat dan diperlukan dialisis pada kasus gagal ginjal. Pada umumnya
kerusakan ginjal adalah reversibel jika penderita dapat bertahan dalam fase
akut. Penyediaan ventilasi mekanik dan proteksi jalan napas harus tersedia bila
terjadi gangguan pernapasan berat. Continuous
cardiac monitoring untuk memantau keadaan yang dapat timbul seperti
ventricular tachycardia, kontaksi ventrikel prematur premature ventricular
contractions, fibrilasi atrial, flutter, dan takikardia.
DAFTAR
PUSTAKA
Depkes
RI. 2005. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI Ditjen P2M dan PLP.
Febrian,
Ferry. dkk. 2013. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di Kabupaten
Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. http://journal.uad.ac.id/index.php/KesMas/article/viewFile/1012/750.
Diakese pada tanggal 2013.
Kusmiati,
dkk. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan
Manusia di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Mansjoer,
A. (2005). Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media
Aesculapius, FKUI. Jakarta.
Mukono.
(2006). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Airlangga
University Press.
Muliyani,
Titik Guntari. 2014. Pembelian Ternak dan
Kelembaban Tinggi merupakan Faktor Risiko Leptospirosis pada Sapi di Girimulyo,
Kulon Progo, Jogjakarta. Pusat Kesehatan Hewan. Jogjakarta.
Notoadmodjo,
S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Cet.pertama. Rineka Cipta
: Jakarta.
Nurhadi,
Muhammad. 2012. Kesehatan Masyarakat
Veteriner Higiene bahan pangan asal Hewan dan Zoonosis. Gosyen Publising.
Yogyakarta.
Priyanto,
A. (2008). Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan Terhadap Kejadian
Leptospirosis Studi Kasus di Kabupaten Demak. Program Magister Epidemiologi
Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Profil
Kesehatan Indonesia. 2012. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
_______. 2013. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Profil
Pengendalian Zoonosis. 2013. Kementerian Kesejahteraan Rakyat Republik
Indonesia.
Saroso,
S. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan R.I. : Jakarta.
Soemirat,
J. (2005). Epidemiologi Lingkungan. Edisi 2. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Suratman.
(2008). Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat di Kota Semarang (Studi Kasus
Leptospirosis yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang)dalam Jurnal
Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol 7 No 2.
Widoyono.
2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasan. Erlangga : Jakarta.
Tunissea, Asyhar. 2008. Analisis Spasila Faktor
Risiko Lingkungan pada Kejadian Leptospirosis di Kota Semarang (sebagai Sistem
Kewaspadaan Dini). Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar