1. Definisi Typus
Abdominalis
Penyakit
Typus Abdominalis (typhoid
fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang
menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut
bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan
dilepaskan ke aliran darah (Algerina, 2008; Darmowandowo, 2006).
Demam tifoid
termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah
(Sudoyo A.W., 2010). Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga
dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya (Soedarno et al, 2010).
Penyakit ini dapat
menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama, perasaan lemah, sakit kepala,
sakit perut, gangguan buang air besar, serta gangguan kesadaran yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi yang berkembang biak di dalam sel-sel
darah putih di berbagai organ tubuh. Demam tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus
abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Istilah
tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos yang berarti kabut,
karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan
sampai yang berat (Rampengan, 1993).
2. Epidemiologi Typus
Abdominalis
Typus Abdominalis merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia,
secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas
sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah
yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A., 2012).
Dari laporan World
Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17 juta kasus demam
tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian
dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit demam
tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun
sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate demam
tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam
tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di
Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk
(Crump, 2004). Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000
penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan
rata-rata kasus per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam
tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens
rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan
status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan
(Nainggolan R., 2009).
3. Etiologi Typhus
Abdominalis
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini
berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan
mempunyai flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup
sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60ºC) selama 15 – 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu E., 2013).
Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang
menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab
infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene
yang buruk (Brook, 2001).
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara
fekal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna
akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus
dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella
typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung
berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan
memudahkan infeksi Salmonella typhi (Salyers dan Whitt, 2002).
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai
usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus
dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella
typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama
dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali
memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu
jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran
darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder,
dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Salyers dan Whitt,
2002). Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak
pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia
lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas
dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
b. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak
pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur
kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap
panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope)
dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen
tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).
4.
Faktor yang Mempengaruhi Typhus Abdominalis
a. Faktor Host
Manusia adalah
sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh
kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama
dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari
seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.
Penelitian yang
dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai risiko terkena penyakit
demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak
jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan
sebelum makan berisiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).
b. Faktor Agen
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah
kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang
tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah
Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit
demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang
dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber
air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah.
Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah
urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di
RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control , mengatakan bahwa
higiene perorangan yang kurang, mempunyai risiko terkena penyakit demam tifoid
20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik
(OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar
berat coliform berisiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid
dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform
(OR=6,4).
5. Sumber Penularan
(Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella
typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses
atau urin dari penderita tifoid. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi,
yaitu:
a. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah
manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika
ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa
penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam
kandung empedu dan ginjalnya.
b. Karier Demam Tifoid
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang
kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu
tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam
tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella
typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier
kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan
anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid
gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki
kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis,
yaitu:
1) Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak
pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi
mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada
penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
2) Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam
masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai
sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus
hepatitis.
3) Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru
sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan
penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya
sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
4) Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang
cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
6.
Patogenesis Typhus Abdominalis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak
di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010).
Imunitas humoral
pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan kenaikan
titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan
dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler.
Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel
limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis
immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah
antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H
(IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain
yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam (Marleni, 2012;
Rustandi 2010).
7. Gejala
Klinis Typus Abdominalis
Gejala klinis demam tifoid
seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis
demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari
asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan
sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas
tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman, 2002).
Gejala klinis demam tifoid
pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa
inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala
prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan
sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).
Demam merupakan keluhan dan
gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam
dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang
menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi.
Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita
yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo A.W., 2010).
Demam tifoid dan
malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat
yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.typhi
juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi,
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan
apendisitis.
Penderita pada
tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Sudoyo
A.W., 2010). Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:
a. Demam
Pada kasus-kasus
yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak
berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada
akhir minggu ketiga.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut
terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden).
Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut
kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan.
Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat
terjadi diare.
c.
Gangguan
kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun
tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma
atau gelisah (Sudoyo, A. W., 2010).
8. Komplikasi
Typus Abdominalis
Menurut Sudoyo
(2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
a. Komplikasi Intestinal
1) Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan
akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
2) Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang
dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada
minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut
yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke
seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun
dan bahkan sampai syok.
b. Komplikasi Ekstraintestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan
sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2) Komplikasi darah: anemia hemolitik,
trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia
hemolitik.
3) Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan
pleuritis.
4) Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis
dan kolelitiasis.
5) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis,
pielonefritis, dan perinefritis.
6) Komplikasi tulang: osteomielitis,
periostitis, spondilitis, dan artritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus,
meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
9. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Typus
Abdominalis
Penegakan
diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan berbagai metode
diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan
penderita demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat ini
(Sudoyo A.W., 2010).
Diagnosis
definitif demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi dari darah,
sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis dari
karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah
sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold standard
dari penyakit ini (WHO, 2004).
Dalam
pemeriksaan laboratorium diagnostik, dimana patogen lainnya dicurigai, kultur
darah dapat digunakan. Lebih dari 80% pasien dengan demam tifoid terdapat Salmonella
typhi di dalam darahnya. Kegagalan untuk mengisolasi organisme dapat
disebabkan oleh beberapa faktor: (i) keterbatasan media laboratorium, (ii)
penggunaan antibiotik, (iii) volume spesimen, atau (iv) waktu pengumpulan,
pasien dengan riwayat demam selama 7 sampai 10 hari menjadi lebih mungkin
dibandingkan dengan pasien yang memiliki kultur darah positif (WHO, 2004).
Aspirasi sum-sum
tulang adalah standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan sangat berguna bagi
pasien yang sebelumnya telah diobati, yang memiliki sejarah panjang penyakit
dan pemeriksaan kultur darah yang negatif. Aspirasi duodenum juga telah
terbukti sangat memuaskan sebagai tes diagnostik namun belum diterima secara
luas karena toleransi yang kurang baik pada aspirasi duodenum, terutama pada
anak-anak (WHO, 2004).
Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
empat kelompok, yaitu:
a. Pemeriksaan Darah Tepi
Penderita demam
tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau
meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke
kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada
fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang
cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan
kuat diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2002).
Penelitian oleh Darmowandowo
(1998) di RSU Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah
penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit
normal (65.9%) (Darmowandowo, 2006).
b. Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan
Biakan Kuman
Diagnosis pasti
demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urin dan feses (Hardi et al, 2002).
Kultur organisme
penyebab merupakan prosedur yang paling efektif dalam menduga demam enterik,
dimana kultur untuk demam tifoid dapat menjelaskan dua pertiga dari kasus
septikemia yang diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit (Wain dan
Hosoglu, 2008).
Kultur darah adalah prosedur
untuk mendeteksi infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri atau jamur.
Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi dan fungemi dengan cara kultur
secara aerob dan anerob, identifikasi bakteri dan tes sensitivitas antibiotik
yang diisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu klinisi dalam pemberian
terapi antibiotik yang terarah dan rasiona1 (Provan, 2005). Media pembiakan
yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya S.typhi dan S.paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut (Sudoyo A.W., 2010).
Masing-masing koloni
terpilih diamati morfologinya, meliputi: warna koloni, bentuk, diameter 1-2 mm,
tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan kemampuannya untuk memfermentasikan
laktosa, atau kemampuannya untuk menghemolisa sel darah merah (Bourbeau dan
Pohlman, 2001).
Hasil yang menunjukkan
ditemukannya bakteri dalam darah dengan cara kultur disebut bakteremi, dan
merupakan penyakit yang mengancam jiwa, maka pendeteksiannya dengan segera
sangat penting. Indikasi kultur darah adalah jika dicurigai terjadi bakteremi
atau septikemi dilihat dari gejala klinik, mungkin akan timbul gejala seperti
demam, mual, muntah, menggigil, denyut jantung cepat (tachycardia),
pusing, hipotensi, syok, leukositosis, serta perubahan lain dalam sistem organ
dan atau laboratoris (Provan, 2005).
Biakan darah
terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90%
dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu
ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio
darah dengan media kultur yang dipakai. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan
kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil
yang cukup baik, akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa
sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang (Wain et al, 2008).
Hasil biakan
yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang
diambil, perbandingan volume darah dari media empedu dan waktu pengambilan
darah (Sudoyo A. W., 2010).
Bakteri dalam
feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga
(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode
ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi
atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari. Pemeriksaan pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik
akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi pada
anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Handoyo,
2004).
Volume 5-10 ml dianjurkan
untuk orang dewasa, sedangkan pada anak-anak dibutuhkan 2-4 ml, sedangkan
volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 ml.
Bakteri dalam sumsum tulang juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika
daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Spesifisitasnya walaupun tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
c. Uji Serologis
1) Uji Widal
Uji Widal
merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896.
Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titernya, semakin besar
kemungkinan infeksi ini. Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi antibodi
terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji ini terjadi suatu reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal
adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
(Sudoyo A.W., 2010).
Tes aglutinasi
Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) dan
uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan dengan cepat dan
digunakan dalam prosedur penapisan. Uji hapusan dilakukan dengan menggunakan
antigen S. typhi komersial yang tersedia, setetes suspensi antigen
ditambahkan pada sejumlah serum pasien yang diduga terinfeksi Salmonella
typhi. Hasil penapisan positif membutuhkan determinasi kekuatan dari
antibodi (Olopienia, 2000).
Di Indonesia
pengambilan titer O aglunitin ≥ 1/40 dengan memakai slide test (prosedur
pemeriksaan membutuhkan waktu 15 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%
(Sudarno et al, 2008). Campuran suspensi antigen dan antibodi diinkubasi
selama 20 jam pada suhu 370 C di dalam air. Tes ini dapat digunakan untuk
konfirmasi hasil dari uji hapusan (Olopienia, 2000).
Penelitian pada
anak oleh Choo et.al (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata
hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar
76-83% (Choo et al, 1990). Interpretasi dari uji Widal ini harus
memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium
penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat
(daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang
digunakan (Olopienia, 2000).
Kelemahan uji
Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan
pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara luas di
seluruh dunia, namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off
point). Upaya untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) pada orang sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O
dan H pada orang-orang sehat (Hosoglu et al, 2008).
Kelemahan lain adalah banyak
terjadi hasil negatif palsu dan positif palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu
tes Widal terjadi jika darah diambil terlalu dini dari fase tifoid. Pemberian
antibiotik merupakan salah satu peyebab penting terjadinya negatif palsu.
Penyebab hasil negatif lainnya adalah tidak adanya infeksi S. typhi,
status karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang tidak cukup untuk melawan
antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam melakukan tes dan variabilitas antigen
(Hosoglu et al, 2008).
Hasil positif palsu dapat
terjadi apabila sudah pernah melakukan tes demam tifoid sebelumnya, sudah
pernah imunisasi antigen Salmonella sp., ada reaksi silang sebelumnya dengan
antigen selain Salmonella sp., variabilitas dan kurangnya standar pemeriksaan
antigen, infeksi malaria atau bakteri enterobacteriaceae lainnya, serta
penyakit lain seperti dengue (Hosoglu et al, 2008).
2) Uji Tubex
Uji Tubex
merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah
untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang
terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara
spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan
memberikan hasil negatif (Sudoyo A.W., 2010).
Secara
imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respon
imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa
bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9
berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini,
yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi
sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak
dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi infeksi lampau (Sudoyo A.W., 2010). Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menggunakan 3 macam komponen, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang juga
berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen A, yang mengandung
partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S.typhi O9, 3) Reagen
B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan
antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur
pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 μL) dicampurkan ke dalam tabung dengan
satu tetes (25 μL) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 μL) ditambahkan
ke dalam tabung. Hal tesebut dilakukan pada kelima tabung lainnya.
Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung
magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil
dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari
kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang
interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Interpretasi Skor
Pemeriksaan Tubex
Skor
|
Interpretasi
|
|
<
2
|
Negatif
|
Tidak menunjuk infeksi tifoid
aktif
|
3
|
Borderline
|
Pengkuran tidak dapat
disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila masih meragukan lakukan pengulangan
beberapa hari kemudian
|
4-5
|
Positif
|
Menunjukkan infeksi tiofid
aktif
|
>
6
|
Positif
|
Indikasi kuat infeksi tifoid
|
Sumber:
Sudoyo A.W., 2010
Jika serum tidak mengandung
antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan
pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang
dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna
yang dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada
tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila
serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan
reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan
warna biru pada larutan (Sudoyo A.W., 2010). Berbagai penelitian menunjukkan
uji ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik (berturut-turut 75-80%
dan 75-90%). Pada tahun 2006, penelitian Surya H dkk melakukan penelitian pada
52 sampel darah pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid untuk membandingkan
spesifisitas, sensitivitas, positive predictive value (PPV) dan negative
predictive value uji Tubex dengan uji Widal. Pada penelitian tersebut,
didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100% (Widal: 53,1%), spesifisitas 90%
(Widal: 65%), PPV 94,11% (Widal: 70,8%), NPV 100% (Widal: 46,4%) (Sudoyo A.W.,
2010).
3)
Uji
Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM
dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil
positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat
mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi
seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa (Sudoyo A.W., 2010).
Pada penelitian Gopalakhrisnan dkk 2002, didapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan
spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78%
dan 89% (Sudoyo A.W., 2010).
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder
(IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat
bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan
untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen
pada kasus uji primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG
pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M,
memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum
pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 lebih
sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila
dibandingkan dengan kultur (Sudoyo A.W., 2010).
4)
Pemeriksaan kuman secara
molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S.
typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin
bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Wain dan Hosoglu,
2008).
Penelitian oleh Haque et al. (1999)
mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali
lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana
mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Penelitian lain oleh Massi et al. (2003)
mendapatkan sensitivitas sebesar 63% pada tes Tubex bila dibandingkan dengan uji
Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR
ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan
dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam
spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya
yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari
spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian (Wain dan Hosoglu,
2008).
10. Pencegahan Typus
Abdominalis
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan
sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder, dan pencegahan tersier.
a) Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat
menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan
vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di
Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu:
1)
Vaksin
oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi
pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik di mana
lama proteksi yaitu 5 tahun.
2)
Vaksin
parenteral sel utuh Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved).
Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1
ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam,
nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam, hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
3)
Vaksin
polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah
bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita
karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan
daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku
hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai
sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara
yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan.
b) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan
tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ada tiga metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu:
1) Diagnosis Klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak
tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau
gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis
demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa
hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
2) Diagnosis Mikrobiologik/Pembiakan Kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode
yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur
darahnya positif dalam minggu pertama. Hasil ini
menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip
menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil
yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur
darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut
positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan
selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan
kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
3) Diagnosis Serologik
a) Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi
antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella
typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah
tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah
suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin
(aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang
aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali
lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai
berikut:
1) Titer O yang tinggi (> 160) menunjukkan
adanya infeksi akut.
2) Titer H yang tinggi (> 160) menunjukkan
telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
3) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen
Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain:
1) Faktor-faktor yang berhubungan dengan
Penderita
a) Keadaan umum gizi penderita. Gizi buruk dapat
menghambat pembentukan antibodi.
b) Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama
satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c) Pengobatan dini dengan antibiotik. Pemberian
antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d) Penyakit-penyakit tertentu. Pada beberapa
penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi,
misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e) Pemakaian obat imunosupresif atau
kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.
f) Vaksinasi. Pada orang yang divaksinasi demam
tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang
setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g) Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella
sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal
positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid
dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2) Faktor-faktor teknis
a) Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat
mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies
dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu
spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b) Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan
pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c) Strain salmonella yang digunakan untuk
suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain
salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
b) Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
1) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap
antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA
yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji
ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
2) Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella
typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan
diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai
untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double
antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa:
1) Penemuan penderita maupun carrier secara
dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid.
2) Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan
gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan
lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring
dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi.
Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita.
Nutrisi pada penderita demam
tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung
elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi
biasa.
3) Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera
diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan
pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu
pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh
diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan
partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang
paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
c) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang
dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah
dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola
hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari
infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu
dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman
masih ada atau tidak.
11. Pengobatan
Kloramfenikol merupakan
salah satu obat pilihan untuk demam tifoid. Obat ini bersifat bakteriostatik.
Dia dapat mengikat 50S subunit dari ribosom dan menghambat sintesa protein
bakteri. Obat ini memiliki spektrum yang luas, dapat menyerang bakteri gram
positif dan gram negatif termasuk bakteri anaerob dan ricketsia. Kloramfenikol
baik diabsorbsi secara oral dan juga tersedia dalam bentuk intravena. Kloramfenikol
dimetabolisme didalam hati (Ismail dalam Zulfadli, 2013).
Kloramfenikol diberikan
dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam empat kali pemberian. Studi yang dilakukan di Malaysia terhadap
anak-anak yang menderita demam tifoid mendapatkan 97% anak tersebut sembuh, setelah diobati dengan kloramfenikol dosis 40.5 mg/kg BB/hari
untuk neonatus, dan 75.5 mg/kg BB/hari untuk anak-anak, dosis dibagi dalam
empat kali pemberian selama 14 hari. Saat ini diketahui ada beberapa
negara yang telah mengalami resisten terhadap kloramfenikol untuk pengobatan
demam tifoid, diantaranya adalah Kairo dan India. Alternatif lain
untuk pengobatan demam tifoid adalah pemberian sefalosporin generasi ketiga
seperti seftriakson 100 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis, atau sefotaksim
150-200 mg/kg/hr dalam 3-4 dosis. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan
untuk anak. Sefiksim oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan
sebagai terapi untuk demam tifoid. (Soedarmono, dkk, 2012).
DAFTAR
PUSTAKA
Algerina, A. 2008. Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari
Bakteri Salmonella. http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html. diakses 4 April 2015.
Bourbeau,
P.P., Pohlman J.K. 2001. Three days of incubation may be sufficient for
routine blood cultures with Bact/Alert FAN blood Culture bottles. Journal
of Clinical Microbiology. 39 (6): 2078-2082.
Butler
T. 1990. Typhoid fever. Dalam: Warren
KS, Mahmoud AF, penyunting. Tropical and geographical medicine, edisi ke-2. New
York: Mc Graw-Hill Information Services Co, 1990. H.753-7.
Darmowandowo
W. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi 1. BP FKUI. Jakarta. 2002:367-75.
Hadinogoro. 2011. Data Demam Tifoid. http://www.depkes.go.id diakses tanggal 3 April 2015.
Hardi,
S. Soeharyo, Karnadi E. 2002. The diagnostic value of the Widal test in
typhoid fever patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnostic and
treatment in 2001. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesia.
Heru
Laksono, 2009. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Tifoid Pada Anak
Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun 2009. Tesis Program Pasca
Sarjana FK- Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hoffman,
S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunter’s tropical
medicine. 7th ed Philadelphia WB Saunders Co.
Hosoglu
S, Bosnak V, Akalin S, Geyik MF, Ayaz C. 2008. Evaluation of false negativity of the Widal test among culture proven typhoid fever cases. J Infect
Dev Ctries 2(6): 475-8.
Indro
Handojo. 2004. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga
University Press. Surabaya.
James
S. 2011. Mechanism of pathogenesis of
salmonellae: Linking in vitro, Animal and Human studies. Diunduh dari www.jifsan.com diakses tanggal 10 April 2015.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Keptusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006. Jakarta.
SLubis,
R, 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas
Airlangga. Surabaya.
Marleni
M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF
dibandingkan Nested-PCR dalam Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam
Hari ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.
Meylie. 2010.
Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Demam Tifoid. Universitas. Diponegoro Semarang.
Nainggolan
Rani F, 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit Tentara
TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun 2008. Skripsi FKM USU.
Medan.
Olopoenia
LA. 2000. Widal agglutination test-100
years later: still plagues by controversy. Postgrad Med J;
76(892): 80-84.
Putra,
A. 2012. Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang demam tifoid dengan
kebiasaan jajan anak sekolah dasar. FK UNDIP. Semarang.
Rahayu
E. 2013. Sensitivitas Uji Widal dan Tubex
Untuk Diagnosis Demam Tifoid berdasarkan
Kultur Darah. Universitas Muhammadiyah. Semarang.
Rustandi
D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Universitas Padjajaran. Bandung.
Salyers
A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular Approach 2nd Edition.
ASM Press.
Simanjuntak,
C. H, 1993. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin
Dunia Kedokteran No. 83.
Sudoyo
AW. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Soedarmo,
2010. Buku Infeksi Dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter
Indonesia. Jakarta.
Soedarno
SS, Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
T.
H. Rampengan. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
Wain
J, Hosoglu S. 2008. The Laboratory
Diagnosis of Enteric Fever. J Infect Dev Ctries 2(6):421-425.
Wain
J, Diept TS, Bay OV, Wals AL, Vinh H, Duong NM. 2008. Specimens and Culture Media for
The Laboratory Diagnosis of Typhoid Fever. J Infect Dev Ctries
2(6):469-474.
Whidy, Y, 2012. Diagnosis
Dan Penatalaksanaan Demam Tifoid. EGC. Jakarta.
WHO,
2004. Thypoid Fever. www. WHO. Int.
Widoyono.
2011. Penyakit Tropis.
Erlangga. Jakarta.
Zulfadli. 2013. Demam Tifoid (Sari Kepustakaan dan Laporan Kasus).
Divisi
Imunologi Klinik Departemen Patologi Klinik FK-USU/ RSUP H. Adam malik. Medan
Gan, ganteng banget kok sumpah
BalasHapuscara menyembuhkan tipes secara total