Rabu, 01 Juli 2015

DEMAM TIFOID (TYPHUS ABDOMINALIS)


1.  Definisi Typus Abdominalis
Penyakit Typus Abdominalis (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Algerina, 2008; Darmowandowo, 2006).
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo A.W., 2010). Penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya (Soedarno et al, 2010).
Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama, perasaan lemah, sakit kepala, sakit perut, gangguan buang air besar, serta gangguan kesadaran yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang berkembang biak di dalam sel-sel darah putih di berbagai organ tubuh. Demam tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos yang berarti kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai yang berat (Rampengan, 1993).
2.  Epidemiologi Typus Abdominalis
Typus Abdominalis merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A., 2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003 terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000 penduduk (Crump, 2004). Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan (Nainggolan R., 2009).
3.  Etiologi Typhus Abdominalis
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60ºC) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu E., 2013).
Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene yang buruk (Brook, 2001).
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi Salmonella typhi (Salyers dan Whitt, 2002).
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid (Salyers dan Whitt, 2002). Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
a.  Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
b.  Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
c.   Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).
4.  Faktor yang Mempengaruhi Typhus Abdominalis
a.  Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control, mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai risiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan berisiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).

b.  Faktor Agen
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c.   Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai risiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform berisiko 6,4 kali lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4).
5.  Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita tifoid. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu:
a.  Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan ginjalnya.
b.  Karier Demam Tifoid
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu:
1)  Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
2)  Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
3)  Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
4)  Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
6.  Patogenesis Typhus Abdominalis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W., 2010).
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam (Marleni, 2012; Rustandi 2010).
7.  Gejala Klinis Typus Abdominalis
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman, 2002).
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo A.W., 2010).
Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis.
Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus (Sudoyo A.W., 2010). Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:
a.  Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b.  Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c.   Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (Sudoyo, A. W., 2010).
8.  Komplikasi Typus Abdominalis
Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:
a.  Komplikasi Intestinal
1)  Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
2)  Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.
b.  Komplikasi Ekstraintestinal
1)  Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2)  Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
3)  Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.
4)  Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5)  Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
6)  Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
7)  Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
9.  Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Typus Abdominalis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat ini (Sudoyo A.W., 2010).
Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis dari karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold standard dari penyakit ini (WHO, 2004).
Dalam pemeriksaan laboratorium diagnostik, dimana patogen lainnya dicurigai, kultur darah dapat digunakan. Lebih dari 80% pasien dengan demam tifoid terdapat Salmonella typhi di dalam darahnya. Kegagalan untuk mengisolasi organisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor: (i) keterbatasan media laboratorium, (ii) penggunaan antibiotik, (iii) volume spesimen, atau (iv) waktu pengumpulan, pasien dengan riwayat demam selama 7 sampai 10 hari menjadi lebih mungkin dibandingkan dengan pasien yang memiliki kultur darah positif (WHO, 2004).
Aspirasi sum-sum tulang adalah standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan sangat berguna bagi pasien yang sebelumnya telah diobati, yang memiliki sejarah panjang penyakit dan pemeriksaan kultur darah yang negatif. Aspirasi duodenum juga telah terbukti sangat memuaskan sebagai tes diagnostik namun belum diterima secara luas karena toleransi yang kurang baik pada aspirasi duodenum, terutama pada anak-anak (WHO, 2004).
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
a.  Pemeriksaan Darah Tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Hoffman, 2002).
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%) (Darmowandowo, 2006).
b.  Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan Biakan Kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses (Hardi et al, 2002).
Kultur organisme penyebab merupakan prosedur yang paling efektif dalam menduga demam enterik, dimana kultur untuk demam tifoid dapat menjelaskan dua pertiga dari kasus septikemia yang diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit (Wain dan Hosoglu, 2008).
Kultur darah adalah prosedur untuk mendeteksi infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri atau jamur. Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi dan fungemi dengan cara kultur secara aerob dan anerob, identifikasi bakteri dan tes sensitivitas antibiotik yang diisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu klinisi dalam pemberian terapi antibiotik yang terarah dan rasiona1 (Provan, 2005). Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.typhi dan S.paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut (Sudoyo A.W., 2010).
Masing-masing koloni terpilih diamati morfologinya, meliputi: warna koloni, bentuk, diameter 1-2 mm, tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan kemampuannya untuk memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya untuk menghemolisa sel darah merah (Bourbeau dan Pohlman, 2001).
Hasil yang menunjukkan ditemukannya bakteri dalam darah dengan cara kultur disebut bakteremi, dan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, maka pendeteksiannya dengan segera sangat penting. Indikasi kultur darah adalah jika dicurigai terjadi bakteremi atau septikemi dilihat dari gejala klinik, mungkin akan timbul gejala seperti demam, mual, muntah, menggigil, denyut jantung cepat (tachycardia), pusing, hipotensi, syok, leukositosis, serta perubahan lain dalam sistem organ dan atau laboratoris (Provan, 2005).
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik, akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Wain et al, 2008).
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan volume darah dari media empedu dan waktu pengambilan darah (Sudoyo A. W., 2010).
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pemeriksaan pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang (Handoyo, 2004).
Volume 5-10 ml dianjurkan untuk orang dewasa, sedangkan pada anak-anak dibutuhkan 2-4 ml, sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 ml. Bakteri dalam sumsum tulang juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Spesifisitasnya walaupun tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

c.   Uji Serologis
1)  Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini. Uji Widal ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji ini terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid (Sudoyo A.W., 2010).
Tes aglutinasi Widal dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) dan uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan dengan cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan. Uji hapusan dilakukan dengan menggunakan antigen S. typhi komersial yang tersedia, setetes suspensi antigen ditambahkan pada sejumlah serum pasien yang diduga terinfeksi Salmonella typhi. Hasil penapisan positif membutuhkan determinasi kekuatan dari antibodi (Olopienia, 2000).
Di Indonesia pengambilan titer O aglunitin ≥ 1/40 dengan memakai slide test (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 15 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96% (Sudarno et al, 2008). Campuran suspensi antigen dan antibodi diinkubasi selama 20 jam pada suhu 370 C di dalam air. Tes ini dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan (Olopienia, 2000).
Penelitian pada anak oleh Choo et.al (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83% (Choo et al, 1990). Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan (Olopienia, 2000).
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Upaya untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada orang sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada orang-orang sehat (Hosoglu et al, 2008).
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika darah diambil terlalu dini dari fase tifoid. Pemberian antibiotik merupakan salah satu peyebab penting terjadinya negatif palsu. Penyebab hasil negatif lainnya adalah tidak adanya infeksi S. typhi, status karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang tidak cukup untuk melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam melakukan tes dan variabilitas antigen (Hosoglu et al, 2008).
Hasil positif palsu dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan tes demam tifoid sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen Salmonella sp., ada reaksi silang sebelumnya dengan antigen selain Salmonella sp., variabilitas dan kurangnya standar pemeriksaan antigen, infeksi malaria atau bakteri enterobacteriaceae lainnya, serta penyakit lain seperti dengue (Hosoglu et al, 2008).
2)  Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif (Sudoyo A.W., 2010).
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau (Sudoyo A.W., 2010). Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi: 1) tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas, 2) Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen S.typhi O9, 3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 μL) dicampurkan ke dalam tabung dengan satu tetes (25 μL) reagen A. Setelah itu dua tetes reagen B (50 μL) ditambahkan ke dalam tabung. Hal tesebut dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Interpretasi Skor Pemeriksaan Tubex
Skor
Interpretasi

< 2
Negatif
Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3
Borderline
Pengkuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian
4-5
Positif
Menunjukkan infeksi tiofid aktif
> 6
Positif
Indikasi kuat infeksi tifoid
Sumber: Sudoyo A.W., 2010

Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. Sebagai akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan (Sudoyo A.W., 2010). Berbagai penelitian menunjukkan uji ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik (berturut-turut 75-80% dan 75-90%). Pada tahun 2006, penelitian Surya H dkk melakukan penelitian pada 52 sampel darah pasien dengan diagnosis klinis demam tifoid untuk membandingkan spesifisitas, sensitivitas, positive predictive value (PPV) dan negative predictive value uji Tubex dengan uji Widal. Pada penelitian tersebut, didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100% (Widal: 53,1%), spesifisitas 90% (Widal: 65%), PPV 94,11% (Widal: 70,8%), NPV 100% (Widal: 46,4%) (Sudoyo A.W., 2010).
3)  Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa (Sudoyo A.W., 2010). Pada penelitian Gopalakhrisnan dkk 2002, didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89% (Sudoyo A.W., 2010).
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus uji primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien. Studi evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 lebih sensitif (sensitivitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jam) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur (Sudoyo A.W., 2010).
4)  Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi (Wain dan Hosoglu, 2008).
Penelitian oleh Haque et al. (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Penelitian lain oleh Massi et al. (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% pada tes Tubex bila dibandingkan dengan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian (Wain dan Hosoglu, 2008).
10.  Pencegahan Typus Abdominalis
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
a)  Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu:
1)  Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik di mana lama proteksi yaitu 5 tahun.
2)  Vaksin parenteral sel utuh Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam, hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
3)  Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
b)  Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada tiga metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu:
1)  Diagnosis Klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
2)  Diagnosis Mikrobiologik/Pembiakan Kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
3)  Diagnosis Serologik
a)  Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:
1)  Titer O yang tinggi (> 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
2)  Titer H yang tinggi (> 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi.
3)  Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain:
1)  Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a)  Keadaan umum gizi penderita. Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b)  Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit. Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c)  Pengobatan dini dengan antibiotik. Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d)  Penyakit-penyakit tertentu. Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e)  Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan antibodi.
f)   Vaksinasi. Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g)  Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2)  Faktor-faktor teknis
a)  Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b)  Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c)  Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
b)  Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
1)  Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
2)  Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa:
1)  Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid.
2)  Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.  Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.  Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
3)  Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
c)  Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
11.  Pengobatan
Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan untuk demam tifoid. Obat ini bersifat bakteriostatik. Dia dapat mengikat 50S subunit dari ribosom dan menghambat sintesa protein bakteri. Obat ini memiliki spektrum yang luas, dapat menyerang bakteri gram positif dan gram negatif termasuk bakteri anaerob dan ricketsia. Kloramfenikol baik diabsorbsi secara oral dan juga tersedia dalam bentuk intravena. Kloramfenikol dimetabolisme didalam hati (Ismail dalam Zulfadli, 2013).
Kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi dalam empat kali pemberian.  Studi yang dilakukan di Malaysia terhadap anak-anak yang menderita demam tifoid mendapatkan 97%  anak tersebut sembuh, setelah diobati  dengan kloramfenikol dosis 40.5 mg/kg BB/hari untuk neonatus, dan 75.5 mg/kg BB/hari untuk anak-anak, dosis dibagi dalam empat kali pemberian selama 14 hari. Saat ini diketahui ada beberapa negara yang telah mengalami resisten terhadap kloramfenikol untuk pengobatan demam tifoid, diantaranya adalah Kairo dan India. Alternatif lain untuk pengobatan demam tifoid adalah pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100 mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis, atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hr dalam 3-4 dosis. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak. Sefiksim oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai terapi untuk demam tifoid. (Soedarmono, dkk, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Algerina, A. 2008. Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari Bakteri Salmonella. http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_Tifoid.html. diakses 4 April 2015.
Bourbeau, P.P., Pohlman J.K. 2001. Three days of incubation may be sufficient for routine blood cultures with Bact/Alert FAN blood Culture bottles. Journal of Clinical Microbiology. 39 (6): 2078-2082.
Butler T. 1990. Typhoid fever. Dalam: Warren KS, Mahmoud AF, penyunting. Tropical and geographical medicine, edisi ke-2. New York: Mc Graw-Hill Information Services Co, 1990. H.753-7.
Darmowandowo W. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi 1. BP FKUI. Jakarta. 2002:367-75.
Hadinogoro. 2011. Data Demam Tifoid. http://www.depkes.go.id diakses tanggal 3 April 2015.
Hardi, S. Soeharyo, Karnadi E. 2002. The diagnostic value of the Widal test in typhoid fever patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnostic and treatment in 2001. 1st ISAC International Symposium. Acta Medica Indonesia.
Heru Laksono, 2009. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Tifoid Pada Anak Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun 2009. Tesis Program Pasca Sarjana FK- Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunter’s tropical medicine. 7th ed Philadelphia WB Saunders Co.
Hosoglu S, Bosnak V, Akalin S, Geyik MF, Ayaz C. 2008. Evaluation of false negativity of the Widal test among culture proven typhoid fever cases. J Infect Dev Ctries 2(6): 475-8.
Indro Handojo. 2004. Imunoasai Terapan Pada Beberapa Penyakit Infeksi. Airlangga University Press. Surabaya.
James S. 2011. Mechanism of pathogenesis of salmonellae: Linking in vitro, Animal and Human studies. Diunduh dari www.jifsan.com diakses tanggal 10 April 2015.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Keptusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006. Jakarta.
SLubis, R, 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga. Surabaya.
Marleni M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR dalam Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.
Meylie. 2010. Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Demam Tifoid. Universitas. Diponegoro Semarang.
Nainggolan Rani F, 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun 2008. Skripsi FKM USU. Medan.
Olopoenia LA. 2000. Widal agglutination test-100 years later: still plagues by controversy. Postgrad Med J; 76(892): 80-84.
Putra, A. 2012. Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang demam tifoid dengan kebiasaan jajan anak sekolah dasar. FK UNDIP. Semarang.
Rahayu E. 2013. Sensitivitas Uji Widal dan Tubex Untuk Diagnosis Demam Tifoid berdasarkan Kultur Darah. Universitas Muhammadiyah. Semarang.
Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Universitas Padjajaran. Bandung.
Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular Approach 2nd Edition. ASM Press.
Simanjuntak, C. H, 1993. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.
Sudoyo AW. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Soedarmo, 2010. Buku Infeksi Dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.
Soedarno SS, Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
T. H. Rampengan. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.
Wain J, Hosoglu S. 2008. The Laboratory Diagnosis of Enteric Fever. J Infect Dev Ctries 2(6):421-425.
Wain J, Diept TS, Bay OV, Wals AL, Vinh H, Duong NM. 2008. Specimens and Culture Media for The Laboratory Diagnosis of Typhoid Fever. J Infect Dev Ctries 2(6):469-474.
Whidy, Y, 2012. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Demam Tifoid. EGC. Jakarta.
WHO, 2004. Thypoid Fever. www. WHO. Int.
Widoyono.  2011. Penyakit Tropis. Erlangga. Jakarta.
Zulfadli. 2013. Demam Tifoid (Sari Kepustakaan dan Laporan Kasus). Divisi Imunologi Klinik Departemen  Patologi  Klinik FK-USU/ RSUP H. Adam malik. Medan

1 komentar: