I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap pekerjaan di dunia ini pasti masing-masing
memiliki tingkat risiko bahaya. Keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana
bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas
setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap
jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3 diharapkan dapat mencegah dan
mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan
pekerjaan. Dalam pelaksanaan K3 sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu
manusia, bahan, dan metode yang digunakan, yang artinya ketiga unsur tersebut
tidak dapat dipisahkan dalam mencapai penerapan K3 yang efektif dan efisien.
Sebagai bagian dari ilmu Kesehatan Kerja, penerapan K3 dipengaruhi oleh empat
faktor yaitu adanya organisasi kerja, administrasi K3, pendidikan dan
pelatihan, penerapan
prosedur dan peraturan di tempat kerja, dan pengendalian lingkungan kerja. Dalam
Ilmu Kesehatan Kerja, faktor lingkungan kerja merupakan salah satu faktor
terbesar dalam mempengaruhi kesehatan pekerja, namun demikian tidak bisa meninggalkan faktor lainnya
yaitu perilaku. Perilaku seseorang dalam melaksanakan dan menerapkan K3 sangat
berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas keberhasilan K3.
Setiap
tempat kerja selalu mempunyai risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Berdasarkan data ILO
(International Labour Organization) pada tahun 2008, setiap tahun diperkirakan
1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat
kerja. Sementara itu, mengutip data Jamsostek, pada tahun 2010, tercatat 98.711 kasus.
Dari angka tersebut, 2.191 tenaga kerja meninggal dunia, dan menimbulkan cacat permanen
sejumlah 6.667 orang. Jumlah klaim yang harus dibayarkan untuk kasus-kasus
tersebut mencapai lebih dari Rp 401
miliar. Mengingat
kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja, maka banyak usaha yang dilakukan perusahaan untuk
mengurangi dan meminimasi kecelakaan tersebut.
Untuk
mencegah terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja maka di setiap
perusahaan yang memiliki tenaga kerja lebih dari 100 orang dan memiliki risiko
besar terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Permenaker No. 5 Tahun 1996).
Menurut
ILO, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah menjaga dan meningkatkan
kesejahteraan fisik, mental dan sosial
seluruh para pekerja dan pada semua sektor pekerjaan, mencegah pekerja
terjangkit penyakit yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, melindungi pekerja
dari risiko yang berdampak buruk pada kesehatan, menempatkan dan menjaga
pekerja dalam lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisiologi dan psikologi,
menyesuaikan pekerjaan dengan pekerja serta pekerja dengan pekerjaannya
(Markkanen, P.K, 2004).
Salah bahaya yang dapat menganggu keselamatan dan
kesehatan kerja pada pekerja di tempat kerja yaitu penyakit akibat kerja (PAK).
Penyakit Akibat
Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang
kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab, harus ada
hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di tempat kerja (WHO). PAK dapat
disebabkan oleh banyak faktor di antaranya faktor fisik, faktor biologi, faktor
kimia, faktor ergonomi (fisiologi) dan faktor mental (psikologi).
Ergonomi
yang merupakan pendekatan multi dan interdisiplin yang berupaya menserasikan
alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan dan kebolehan dan batasan
tenaga kerja sehingga tercipta kondisi kerja yang sehat, selamat, aman, nyaman,
dan efisien. Penerapan ergonomi di berbagai sektor pembangunan telah
terbukti tidak hanya mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja,
tetapi juga mencegah timbulnya dampak negatif seperti kelelahan, keluhan
muskuloskeletal, kecelakanaan kerja serta penyakit akibat kerja (Tarwaka, 2004).
Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009
menjelaskan pengertian rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Berdasarkan defenisi tersebut, maka suatu rumah sakit sudah
sepatutnya memberikan suatu pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga mampu
memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Selain
dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu, rumah sakit juga perlu
menjadi hospital safety sehingga
mampu melindungi pasien, pengunjung, masyarakat sekitar dan tenaga kerjanya
dari potensi bahaya yang ada di rumah sakit. Hal ini diperjelas dalam
Undang-undang No 36 tahun 2009, yakni pengelola tempat kerja wajib melakukan
segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan
dan pemulihan bagi tenaga kerjanya. Berdasarkan undang-undang tersebut maka pengelola tempat kerja di
rumah sakit mempunyai kewajiban untuk menyehatkan para tenaga kerjanya sehingga
perlu diterapkan
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.
Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 1087 tahun 2010 menetapkan standar pelaksanaan K3
rumah sakit, dimana dalam standar K3RS telah mencakup pula standar penerapan
ergonomi. Ergonomi merupakan bagian dari ilmu K3, dimana ergonomi adalah suatu
ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan
lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan manusia,
sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk dari
pekerjaannya (Kemenkes, 2010).
Dari
sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus
selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai performansi yang tinggi
(Tarwaka, dkk, 2004), dan sebaliknya apabila tidak adanya keseimbangan antara tuntutan tugas
dengan kapasitas kerja, maka performansi seorang pekerja menjadi
rendah.Ketidakseimbangan dalam ergonomi merupakan salah satu potensi bahaya
ditempat kerja.
Bahaya
ergonomi merupakan salah satu potensi
bahaya dalam K3 yang kurang menjadi perhatian dalam suatu tempat kerja. Padahal
bahaya ergonomi dapat menimbulkan kerugian di tempat kerja, dimana bahaya
ergonomi dapat mengakibatkan produktivitas dan kualitas pekerja menurun serta dapat menimbulkan penyakit akibat kerja.
Rumah sakit
dengan segala fasilitas dan peralatannya apabila tidak diketahui dengan baik
dapat menjadi sumber bahaya keselamatan dan kesehatan yang potensial terutama
bagi tenaga kesehatan di rumah sakit khususnya perawat. Dalam memberikan
pelayanan kesehatan perawat merupakan salah satu profesi kesehatan profesional
yang sangat dibutuhkan oleh rumah sakit karena kunci keberhasilan pelayanan
kesehatan secara menyeluruh terdapat pada pelayanan keperawatan. Berdasarkan
Rekapitulasi SDM Kesehatan Indonesia tahun 2012, perawat merupakan jumlah
tenaga kerja terbanyak yakni 104.346 dari 2094 rumah sakit yang ada di
Indonesia (Bank Data SDM Kesehatan, 2012).
Perawat
merupakan tenaga professional yang memberikan pelayanan keperawatan terdiri
atas berbagai macam aktivitas dan tugas yang dilaksanakan selama 24 jam untuk
mengurus pasien. Hal ini terbukti dengan
melihat unit-unit pelayanan di rumah sakit, dimana tenaga kesehatan yang selama
24 jam berada di sisi pasien adalah perawat. Oleh sebab itulah perawat sangat
beresiko terkena penyakit-penyakit akibat kerja.
Penyakit
akibat kerja yang sering terjadi para perawat di rumah sakit yakni dari faktor
ergonomi (fisiologi). Aktivitas dan tugas yang dilaksanakan perawat untuk
mengurus pasien kebanyakan secara manual
handling yakni meliputi mengangkat, mendorong, menarik, mengangkut,
menaikkan, menurunkan suatu objek dari suatu tempat atau dimensi serta beban
tertentu.Hal ini mengakibatkan pemakaian tubuh pada postur tertentu yang
dilakukan secara berulang-ulang sehingga menimbulkan trauma. Olehnya itu risiko
ergonomi PAK pada perawat sering terjadi dan dapat menimbulkan hal yang fatal
jika tidak segera dilakukan pencegahan dan penanganan (Dewi, N.F, 2008).
Pencegahan dan
penanganan dapat dilakukan terhadap PAK yang terjadi pada perawat jika
diketahui besar masalah yang terjadi. Olehnya itu diperlukan data-data yang
akurat mengenai angka kejadian PAK dari segi ergonomi yang terjadi pada perawat
di rumah sakit serta diidentifikasi beberapa penyebabnya sehingga dapat
dilakukan tindakan pencegahan dan penanganannya. Salah satu strategi yang dapat
dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap PAK pada perawat di rumah sakit
yakni strategi pencegahan berbasis surveilans.
Surveilans merupakan analisis terus menerus secara
sistematis terhadap penyakit dan atau masalah kesehatan serta kondisi
yang mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan
melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi untuk
tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien. Surveilans bertujuan
memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga
penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons
pelayanan kesehatan dengan lebih efektif (Last, 2001).
Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa
fungsi utama surveilans epidemiologi adalah “analisis” karena dari
analisis ini semua masalah penyakit dan masalah kesehatan akan dengan
mudah disimpulkan dan dengan kesimpulan ini akan dengan muda di buat
rekomendasi untuk keperluan-keperluan pengendalian penyakit dan masalah
kesehatan pada semua program kesehatan yang ada.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penyusunan makalah
ini adalah bagaimana strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja
berbasis surveilans pada perawat di rumah sakit.
C. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
untuk mengetahui strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja
berbasis surveilans pada perawat di rumah sakit.
D. Manfaat
1.
Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi dan menjadi acuan dalam strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit
akibat kerja berbasis surveilans pada perawat di rumah sakit.
2. Manfaat
Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan bahan informasi yang dapat digunakan
dalam penyusunan makalah
berikutnya.
3. Manfaat
Bagi Penulis
Makalah ini diharapkan bisa menjadi suatu
pengalaman berharga bagi penulis
sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh serta menambah wawasan pengetahuan mengenai strategi pencegahan
risiko ergonomi penyakit akibat kerja berbasis surveilans pada perawat di rumah
sakit.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Tinjauan Tentang Penyakit Akibat Kerja
1. Definisi Penyakit Akibat Kerja
Penyakit
Akibat Kerja adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau
asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, pada umumnya terdiri dari satu agen
penyebab, harus ada hubungan sebab akibat antara proses penyakit dan hazard di
tempat kerja.
Faktor
Lingkungan kerja sangat berpengaruh dan berperan sebagai penyebab timbulnya
Penyakit Akibat Kerja. Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Occupational Diseases) adalah penyakit yang disebabkan oleh
pekerjaan atau lingkungan kerja (Permenaker No. Per. 01/Men/1981) yang akan
berakibat cacat sebagian maupun cacat total.Cacat Sebagian adalah hilangnya
atau tidak fungsinya sebagian anggota tubuh tenaga kerja untuk selama-lamanya.
Sedangkan Cacat Total adalah keadaan tenaga kerja tiadak mampu bekerja
sama sekali untuk selama-lamanya.
2.
Klasifikasi
Faktor Penyebab Penyakit Akibat Kerja
Faktor-fakor penyebab penyakit
akibat kerja dapat dibedakan sebagai berikut:
a.
Faktor
Fisik, yang meliputi:
1) Suara
tinggi/bising yang dapat menyebabkan ketulian.
2) Temperatur/suhu
tinggi yang dapat menyebabkan Hyperpireksi, Milliaria, heat Cramp, Heat
Exhaustion, Heart Stroke.
3) Radiasi
sinar elektromagnetik, di maa infra merah menyebabkan katarak, ultraviolet menyebabkan
konjungtivitis, radioaktrif/alfa/beta/gama/X menyebabkan gangguan terhadap sel
tubuh manusia.
4) Tekanan
udara tinggi yang dapat menyebabkan Coison
Disease.
5) Getaran/vibration yang dapat menyebabkan Reynaud’s Disease, Gangguan proses
metabolisme, Polineurutis.
b.
Faktor
Kimia
1) Berasal
dari bahan baku, bahan tambahan, hasil antara, hasil samping, hasil
(produk), sisa produksi atau bahan buangan.
2) Bentuknya
dapat berupa zat padat, cair, gas, uap maupun partikel.
3) Cara
masuk tubuh dapat melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, kulit dan
mukosa.
4) Masuknya
dapat secara akut dan secara kronis.
5) Efek
terhadap tubuh dapat menyebabkan iritasi, alergi, korosif, Asphyxia, keracunan
sistemik, kanker, kerusakan/kelainan janin, pneumoconiosis, efek bius (narkose)
dan pengaruh genetik.
c.
Faktor
biologi yang dapat berasal dari virus, bakteri, parasit, jamur,
serangga, binatang buas, dan lain-lain.
d.
Faktor
Ergonomi/Fisiologi
1) Penyebabnya
adalah cara kerja, posisi kerja, alat kerja, lingkungan kerja yang salah dan
kontruksi salah.
2) Efek
terhadap tubuh yaitu dapat menyebabkan kelelahan fisik, nyeri otot, deformitas
tulang, perubahan bentuk,
dislokasi.
e.
Faktor
Mental/Psikologi
1) Penyebabnya
yaitu suasana kerja monoton dan tidak nyaman, hubungan kerja kurang baik, upah
kerja kurang, terpencil, tak sesuai bakat.
2) Manifestasinya
berupa stress.
3. Beberapa Contoh Penyakit Akibat Kerja
Beberapa contoh penyakit akibat
kerja yang dapat terjadi pada pekerja yang disebabkan oleh faktor penyebab
fisik, biologi, kimia, ergonomi dan psikologi sebagai berikut:
a.
Penyakit
allergi/hipersensitif
Dapat berup rinitis, rinosinusitis, asma, pneumonitis,
aspergilosis akut bronchopulmoner, hipersensitivitas lateks, penyakit jamur,
dermatitis kontak, anafilaksis. Lokasi biasanya di saluran pernafsan dan kulit
dan penyebabnya dapat disebabkan oleh bahan kimia, mikrobiologi, fisis dapat
merangsang interaksi non spesifik atau spesifik.
b.
Dermatitis
kontak yang terdiri dari iritan dan alergi kokasi di kulit.
c.
Penyakit
Paru
Dapat berupa bronchitis kronis, emfisema, karsinoma bronkus,
fibrosis, TBC, mesetelioma, pneumonia, sarkoidosis dan disebabkan oleh bahan
kimia, fisis, mikrobiologi.
d.
Penyakit
Hati dan Gastro-intestinal
Dapat berupa kanker lambung dan kanker oesofagus (tambang
batubara dan vulkanisir karet), Cirhosis hati (alkohol, karbon tetraklorida,
trichloroethylene, kloroform). Dapat disebabkan oleh bahan kimia.
e.
Penyakit
Saluran Urogenital
Dapat berupa gagal ginjal (upa logam cadmium dan merkuri,
pelarut organik, pestisida, carbon tetrachlorid), kanker vesica urinaria
(karet, manufaktur/bahan pewarna organik, benzidin, 2-naphthylamin).
Penyebabnya dapat disebabkan bahan kimia.
f.
Penyakit
Hematologi
Dapat berupa anemia (Pb), lekemia (benzena) di mana
disebabkan bahan kimia.
g.
Penyakit
Kardiovaskuler
Penyebabnya dari bahan kimia. Penyakit yang disebabkan dapat
berupa jantung koroner (karbon disulfida, viscon rayon, gliceril trinitrat,
ethylene glicol dinitrat), febrilasi ventricel (trichlorethylene).
h.
Gangguan
Alat Reproduksi
Penyakit gangguan alat reproduksi dapat berupa infertilitas
(ethylene bromida, benzena, anasthetic gas, timbal, pelarut organic, karbon
disulfida, vinyl klorida, chlorophene), kerusakan janin (aneteses gas, mercuri,
pelarut organik) keguguran (kerja fisik). Hal ini disebabkan oleh bahan kimia
dan kerja fisik.
i.
Penyakit
Muskuloskeletal
Penyakit musculoskeletal dapat berupa sindroma Raynaud
(getaran 20–400 Hz), Carpal turnel syndroma (tekanan yang berulang pada
lengan), HNP/sakit punggung (pekerjaan fisik berat, tidak ergonomis). Hal
tersebut disebabkan karena kerja fisik dan tidak ergonomis.
j.
Gangguan
Telinga
Gangguan telinga dapat
berupa penurunan pendengaran (bising diatas Nilai Ambang Batas) dan disebabkan
karena faktor fisik yang diperoleh dari pekerjaan.
k.
Gangguan
Mata
Gangguan mata dapat berupa rasa sakit (penataan
pencahayaan), conjungtivitis (sinar UV), katarak (infra merah), gatal (bahan
organik hewan, debu padi), iritasi non alergi (chlor, formaldehid). Hal
tersebut dapat disebabkan oleh faktor fisik dan faktor biologi.
l.
Gangguan
Susunan Saraf
Gangguan susunan saraf dapat berupa pusing, tidak
konsentrasi, sering lupa, depresi, neuropati perifer, ataksia serebeler dan
penyakit motor neuron (cat, carpet-tile lining, laboratorium kimia, petrolium, oli).
Hal ini disebabkan bahan kimia.
m. Stress
Stress dapat berupa neuropsikiatrik; ansietas, depresi
(hubungan kerja kurang baik, monoton, upah kurang, suasana kerja tidak nyaman
dan disebabkan faktor mental psikologi.
n.
Infeksi
Infeksi dapat berupa pneumonia (legionella pada AC),
leptospirosis (leptospira pada petani), brucellosis, antrakosis (brucella,
antrak pada peternak hewan). Hal ini disebabkan oleh faktor biologi.
o.
Keracunan
Dapat berupa keracunan akut (CO, Hidrogen sulfida, hidrogen
sianida), kronis (timah hitam, merkuri, pestisida). Hal tersebut disebabkan
oleh bahan kimia.
4. Cara Deteksi atau Pencegahan Penyakit Akibat Kerja
Mendeteksi penyakit akibat kerja dan kemudian dari hasil
deteksi dilakukan tindakan pencegahan dapat dilakukan seperti berikut:
1) Monitoring Kesehatan Tenaga Kerja
Memonitoring kesehatan tenaga kerja dapat dilakukan dengan:
1) Melihat
riwayat penyakit tenaga kerja.
2) Melihat
riwayat pekerjaan tenaga kerja.
3) Melakukan
pemeriksaan klinik terhadap tenaga kerja.
4) Melakukan
pemeriksaan laboratories.
5) Melakukan
pemeriksaan rontgen.
6) Melakukan
pemeriksaan hubungan antara bekerja dan tidak bekerja dengan gejala penyakit.
2) Monitoring Lingkungan Kerja
Monitoring lingkungan kerja dapat dilakukan dengan hal-hal
sebagai berikut:
1) Pemantauan
personil (diukur dekat masuknya kontaminan).
2) Pemantauan
lingkungan kerja.
3) Pemantauan
biologi.
Tujuan pemantauan lingkungan kerja
yakni:
1) Mengendalikan
faktor lingkungan kerja.
2) Pemeriksaan
berkala terhadap tingkat pemaparan lingkungan kerja.
3) Identifikasi
potensi bahaya.
4) Memantau
tingkat pemaparan pekerja terhadap bahan berbahaya.
5) Mengevaluasi
efektivitas upaya-upaya pengendalian.
6) Menjaga
tempat kerja tetap aman dan sehat.
5. Tata cara pelaporan Penyakit Akibat Kerja
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per. 01/Men/1981
tentang Kewajiban Melapor PAK, antara lain:
a.
Pasal 2 (a) yaitu pengurus dan badan
yang ditunjuk wajib melaporkan secara tertulis kepada Kantor Bina lindung
Tenaga Kerja setempat.
b.
Pasal 3 (a) yaitu laporan dilakukan
dalam waktu paling lama 2 kali 24 jam setelah penyakit dibuat diagnosa.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kepts. 333/Men/1989
tentang Diagnosa dan Pelaporan PAK, antara lain:
a.
Pasal 3 (3) yaitu setelah ditegakkan
diagnosis PAK oleh dokter pemriksa maka wajib membuat laporan medik.
b.
Pasal 4 (a) yaitu PAK harus
dilaporkan oleh pengurus tempat kerjayang bersangkutan selambat-lambatnya 2
kali 24 jam kepada Kanwil Depnaker melalui Kantor Depnaker.
c. Pasal
4 (b) yaitu untuk melaporkan PAK harus menggunakan bentuk B2/F5, B3/F6, B8/F7.
B.
Tinjauan Tentang Rumah Sakit
1. Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit
merupakan salah satu tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan dan
pemeliharaan kesehatan dengan berbagai fasilitas dan peralatan kesehatannya.
Rumah sakit sebagai tempat kerja yang unik dan kompleks tidak saja menyediakan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga merupakan tempat pendidikan
dan penelitian kedokteran. Semakin luas pelayanan kesehatan dan fungsi suatu
rumah sakit maka semakin kompleks pula peralatan dan fasilitasnya (Aditama,
2003).
SK Menteri
Kesehatan RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit umum
adalah rumah sakit yang memberikan pelayananan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik
dan subspesialistik. Rumah sakit mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan
yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat (Aditama, 2003).
Wolper dan
Pena (1987) memberikan definisi rumah sakit yang merupakan tempat di mana orang
sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran, perawat dan berbagai tenaga
profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Sedangkan menurut American Hospital Association (1974)
dalam Azwar (1996) menyebutkan bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang
melalui tenaga medis professional yang terorganisir serta sarana kedotekteran
yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang
berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh
pasien. Menurut Association Hospital Care
dalam Azwar (1996), rumah sakit merupakan pusat di mana pelayanan kesehatan
masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.
Seorang
pekerja di rumah sakit harus merawat pasien yang menderita suatu penyakit yang
mungkin dapat menular dan membahayakan keselamatan dirinya. Misalnya pekerja
rumah sakit yang memberikan layanan pasien penderita penyakit menular, HIV
AIDS, flu burung dan lainnya dapat terkena penyakit. Oleh karena itu, setiap
rumah sakit perlu melaksanakan dan melakukan upaya perlindungan terhadap tenaga
kerjanya atau semua pihak yang terkait dengan aktivitas rumah sakit dengan
menegakkan upaya kesehatan dan keselamatan kerja.
2. Fungsi dan Pelayananan Standar Rumah
Sakit
Menurut Milton Roemer dan Friedman
dalam Aditama (2003), menyatakan bahwa rumah sakit setidaknya mempunyai lima
fungsi, antara lain:
a. Harus ada pelayanan dengan fasilitas
diagnostik dan terapeutiknya.
b. Rumah sakit harus memiliki pelayanan
rawat jalan.
c. Rumah sakit punya tugas untuk
melakukan pendidikan dan pelatihan.
d. Rumah sakit perlu melakukan penelitian
di bidang kedokteran dan kesehatan.
e. Rumah sakit mempunyai tanggung jawab
untuk program pencegahan penyakit dan penyuluhan bagi populasi di sekitarnya.
Selain lima fungsi tersebut, menurut
Wijono (1997), pelayanan standar rumah sakit adalah sebagai berikut:
a. Kamar operasi.
b. Pelayanan radiologi.
c. Pelayanan perinala risiko tinggi.
d. Pelayanan laboratorium.
e. Pengendalian infeksi di rumah sakit.
f. Pelayanan sterilisasi.
g. Keselamatan kerja, kebakaran dan
kewaspadaan bencana.
3. Karakteristik Rumah Sakit
Menurut Wijono (1997), organisasi
rumah sakit mempunyai sejumlah sifat-sifat yang secara serentak tidak dipunyai
oleh organisasi lain pada umumnya. Sifat atau karakteristik itu antara lain:
a.
Sebagian
besar tenaga kerja di rumah sakit adalah tenaga professional.
b.
Wewenang
kepala rumah sakit berbeda dengan wewenang pimpinan perusahaan.
c.
Tugas-tugas
kelompok professional lebih banyak dibandingkan tugas kelompok manajerial.
d.
Beban
kerjanya tidak bisa diatur.
e.
Jumlah
pekerjaan dan sifat pekerjaan di unit kerja beragam.
f.
Hampir semua kegiatannya bersifat urgent.
g.
Pelayanan
rumah sakit sifatnya sangat invidualistik.
h.
Tugas
memberikan pelayanannya bersifat pribadi, pelayanan ini harus cepat dan tepat,
kesalahan tidak bisa ditolerir.
i.
Pelayanan berjalan terus menerus 24 jam dalam
sehari. Akibat dari sifat pelayanan yang terus menerus adalah:
1) Keharusan penyediaan tenaga yang
selalu siap setiap waktu.
2) Keharusan adanya peralatan yang selalu
siap, aliran listrik yang tidak boleh berhenti.
3) Pengawasan yang terus menerus.
4) Harus selalu tersedia dana operasional
setiap saat.
5) Pelayanannya bersifat emergensi harus
segera dilakukan.
j.
Kelalaian, keteledoran pelaksanaan pelayanan
tidak dapat ditolelir.
k.
Rumah
sakit modern adalah institusi dengan padat teknologi, banyak menggunakan
alat-alat canggih.
l.
Latar belakang pendidikan tenaga rumah sakit
yang beragam menuntut kesadaran untuk menciptakan adanya kerjasama yang baik.
m. Pelayanan rumah sakit menjadi fokus
perhatian dan pengontrolan masyarakat.
n. Karakteristik lain yang menandai
keunikan rumah sakit adalah bangunan, tempat memberikan pelayanan adalah berupa
gedung yang dirancang sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan-persyaratan
atau standar yang telah ditetapkan.
4.
Keadaan dan Masalah Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
Kinerja (performance) dari pekerja merupakan resultan dari ketiga komponen
dari kesehatan dan keselamatan kerja yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan
lingkungan kerja yang merupakan beban tambahan bagi pekerja. Bila ketiga
komponen tersebut serasi, maka bisa dicapai suatu kesehatan kerja yang optimal
dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya bila terdapat ketidakserasian dapat
menimbulkan masalah kesehatan kerja yang dapat berupa penyakit atau kecelakaan
akibat kerja hingga pada akhirnya dapat menuruntkan produktivitas kerja
(Kemenkes, 2010).
a. Kapasitas Kerja
Kualitas
sumber daya manusia di Indonesia relatif masih rendah, hal ini tercermin dalam
pendidikan pencari kerja. Hal tersebut terjadi pula di rumah sakit. Tenaga
perawat lulusan akademi masih sedikit, demikian pula tenaga non medis masih
banyak yang memiliki latar belakang pendidikan hingga SMA saja. Selain
pendidikan yang masih kurang, kualitas kesehatannya juga masih rendah pula.
Sementara untuk penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan tenaga
kesehatan yang ahli dan terampil. Tanpa tenaga kerja yang berkualitas maka
pelayanan kesehatan yang makin canggih justru dapat menimbulkan kesulitan.
Kemampuan mengoperasikan alat-alat modern menjadi sangat terbatas dan dapat
menyebabkan kecelakaan kerja.
Di sisi lain, tingkat gaji dan jaminan
sosial di rumah sakit khususnya rumah sakit pemerintah relatif masih belum
mencukupi. Hal ini terpengaruh pada masih banyaknya pekerja yang belum
terpenuhi kebutuhan gizi dan kesehatannya secara memadai. Akibatnya, mereka
sulit bekerja secara produktif dan cenderung menimbulkan masalah kesehatan
kerja. Dengan gaji yang belum mencukupi, banyak pekerja yang melakukan kerja
tambahan secara berlebihan, sehingga kondisi fisik menjadi cepat lelah dan
lemah, sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan kerja.
b. Beban Kerja
Sebagai sumber pemberi jasa pelayanan
kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Dengan demikian, pelayanan di
rumah sakit menuntut adanya pola bergiliran/shift kerja. Tenaga kesehatan yang
bertugas jaga malam dapat mengalami kelelahan yang meningkat akibat terjadinya
perubahan biomitrik (irama tubuh). Fungsi-fungsi biologis manusia tidak dapat
sepenuhnya menyesuaikan dengan pola kerja yang berubah. Terjadinya pengurangan
lamanya waktu tidur sampai empat hingga enam jam oleh karena lamanya waktu
tidur relatif lebih pendek dari seharusnya. Pada 15-20% gangguan tidur dapat
berkembang menjadi gangguan pencernaan. Pola kerja yang berubah dapat pula
memperngaruhi kehidupan keluarga terutama bagi tenaga kerja wanita.
Penyelesaian urusan rumah tangga merupakan masalah yang tidak mudah diatasi
terlebih-lebih bila mempunyai anak yang masih kecil. Beban psikis ini dalam
jangka waktu lama dapat menimbulkan stress. Di lain sisi, dengan masih
kurangnya tenaga kesehatan maka masih banyak tenaga kesehatan yang masih
mempunyai tugas rangkap di beberapa rumah sakit. Hal tersebut tentunya dapat
berakibat pada kelelahan.
c. Lingkungan Kerja
Kondisi
lingkungan di rumah sakit di masa mendatang akan berkembang serba mekanik,
otomatis, kimiawi dengan teknologi canggih yang dapat berpengaruh langsung
terhadap kesehatan. Pekerja yang ada di rumah sakit sangat bervariasi jenis
maupun jumlahnya sesuai dengan tugas dan fungsi rumah sakit. Pekerja di rumah
sakit dapam melaksanakan tugasnya selalu berhubungan dengan berbagai potensial
yang harus dapat diantisipasi dengan baik dan benar.
Lingkungan kegiatan rumah sakit dapat
mempengaruhi kesehatan dalam dua bentuk yaitu kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja.
1) Kecelakaan kerja di rumah sakit.
Ada beberapa bahaya potensial untuk
terjadinya kecelakaan kerja di rumah sakit antara lain ketel uap, kebakaran,
bahan-bahan radioaktif, cedera pada punggung karena mengangkat pasien,
pekerjaan menyuntik, terpeleset dan jatuh.
2) Penyakit akibat kerja di rumah sakit.
Penyakit akibat kerja di rumah sakit
umumnya berkaitan dengan faktor biologik (kuman patogen yang umumnya berasal
dari pasien), faktor kimia (antiseptik pada kulit, gas anestesi dan lain-lain),
faktor ergonomic (cara duduk yang salah, cara mengangkat pasien yang salah, dan
lain-lain), faktor fisik dalam dosis kecil dan terus menerus (panas pada kulit,
radiasi pada sistem reproduksi/pemroduksi darah) faktor psikososial (ketegangan
di kamar bedah, penerimaan pasien gawat darurat, bangsal kesehatan jiwa, dan
lain-lain).
C.
Tinjauan Tentang Penyakit Akibat Kerja
di Rumah Sakit
Citra
masyarakat bahwa rumah sakit adalah tempat yang sangat bersih sudah berlangsung
lama, sehingga tenaga kerjanya tidak akan terserang penyakit karena tempat
kerjanya yang bersih dan tahu seluk beluk penyakit. Menjadi hal sulit dipercaya
masyarakat jika tenaga kesehatan sakit, apalagi dokter jatuh sakit. Data tahun
1994 dari Bureau of Labor Statistic
di Amerika Serikat menyatakan dari 5 juta warganya yang bekerja di rumah sakit,
40% di antaranya adalah dokter, perawat, apoteker serta para asistennya. Sebuah
kelompok tenaga kerja yang mempunyai risiko besar terpajan bahan-bahan
berbahaya di rumah sakit.
1.
Rumah
sakit masa kini, layaknya sebuah industri mempunyai beragam persoalan tenaga
kerja yang rumit dengan berbagai risiko terkena penyakit akibat kerja sesuai
jenis pekerjaannya. Seiring kemajuan teknologi kedokteran, ditemukannya
penyakit baru (HIV), serta kemunculan penyakit lama (TB) menjadikan rumah sakit
tidak lagi menjadi tempat teraman untuk bekerja.
2. Bila dipandang sebagai sebuah
industri, sepatutnya upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit
(K3RS) (Occupational Health and Safety
Program) tidak dilihat sebagai barang mahal, tapi seharusnya menjadi nilai
tambah bagi organisasi rumah sakit itu sendiri. Menjadi sangat tepat bila upaya
K3RS merupakan salah satu bidang penilaian pemberian akreditasi rumah sakit di
Indonesia oleh Depkessos RI.
Dasar hukum
pelaksanaan upaya K3RS dilandasi oleh perangkat hukum
sebagai berikut:
sebagai berikut:
1.
UU
No. 14 Tahun 1969, tentang ketentuan Pokok Tenaga Kerja, yang menyatakan bahwa,
tiap tenaga kerja berhak mendapat perlidungan atas keselamatan, kesehatan,
kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan
martabat manusia dan moral agama.
2.
UU
No. 1 Tahun 1970, tentang Keselamatan Kerja, yang menyatakan bahwa keselamatan
kerja dilaksanakan dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan air maupun di udara yang berada di dalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia.
3.
UU
No. 23 Tahun 1992 pasal 23, menyatakan bahwa Kesehatan Kerja diselenggarakan
untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Kesehatan kerja meliputi
pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan
kerja. Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
4.
UU
No. 25 Tahun 1997, tentang Ketenaga Kerjaan, pasal 108 yang menegaskan kembali
bahwa, setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan pelakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta agama.
5. Rekomendasi ILO/WHO Konvensi No.
155/1981, ILO menetapkan kewajiban setiap negara untuk merumuskan, melaksanakan
dan mengevaluasi kebijakan nasionalnya di bidang kesehatan dan keselamatan
kerja serta lingkungan kerja. Pengelolaan K3RS menjadi percontohan pengembangan
sistim pengelolaan K3 di seluruh sarana kesehatan di tanah air, mengingat rumah
sakit adalah sarana kesehatan yang memiliki banyak kerawanan terjadinya
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja bagi tenaga kerjanya.
Rumah sakit juga berkemungkinan besar
menjadi tempat berkembang biaknya sumber penyakit dan berkumpulnya bahan-bahan
berbahaya biologik, kimia dan fisik (biologic,
chemical and physical hazards) yang setiap saat dapat kontak dengan tenaga
kerja, pasien, keluarga pasien dan pengunjung.
1. Penyakit Akibat Kerja Berdasarkan
Penyebab
a.
Faktor
Biologi
Lingkungan kerja pada Pelayanan
Kesehatan favorable bagi berkembang biaknya strain kuman yang resisten,
terutama kuman-kuman pyogenic, colli,
bacilli dan staphylococci, yang bersumber dari pasien, benda-benda yang
terkontaminasi dan udara. Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah dan
sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi pekerja hanya akibat
kecelakaan kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang
terkontaminasi virus.
b.
Faktor Kimia
Petugas
di tempat kerja kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia dan
obat-obatan seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak
digunakan dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang
paling karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak
negatif terhadap kesehatan mereka. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah
dermatosis kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi
(amoniak, dioksan) dan hanya sedikit saja oleh karena alergi (keton). Bahan
toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau
terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan
kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan
yang irreversible pada daerah yang terpapar.
c.
Faktor
Ergonomi
Ergonomi
sebagai ilmu, teknologi dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan
lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan batasan manusia untuk
terwujudnya kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan tercapai
efisiensi yang setinggi-tingginya.
Sebagian besar pekerja di perkantoran
atau Pelayanan Kesehatan pemerintah, bekerja dalam posisi yang kurang ergonomis,
misalnya tenaga operator peralatan,
Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja (low back pain).
Posisi kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja (low back pain).
d.
Faktor
Fisik
Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat
menimbulkan masalah kesehatan kerja meliputi:
1) Kebisingan,
getaran akibat alat/media elektronik dapat menyebabkan stress dan ketulian.
2) Pencahayaan
yang kurang di ruang kerja, laboratorium, ruang perawatan dan kantor
administrasi dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja.
3) Suhu
dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja.
4) Terimbas
kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.
5) Terkena
radiasi. khusus
untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan, penggunaannya
meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol dapat membahayakan petugas yang
menangani.
e.
Faktor
Psikososial
Beberapa contoh faktor psikososial di laboratorium kesehatan
yang dapat menyebabkan stress:
1) Pelayanan
kesehatan sering kali bersifat emergency
dan menyangkut hidup mati seseorang. Untuk itu pekerja di tempat kerja
kesehatan di tuntut untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai
dengan kewibawaan dan keramahan-tamahan.
2) Pekerjaan
pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
3) Hubungan
kerja yang kurang serasi antara pimpinan dan bawahan atau sesama teman
kerja.Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor formal
ataupun informal.
2.
Penyakit
Akibat Kerja Berdasarkan Pekerjaan
Penyakit
akibat kerja dan kecelakaan kerja dikalangan petugas kesehatan dan non
kesehatan di lingkungan rumah sakit belum teratasi dengan baik, sehingga
terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi. Dalam hal ini perlu
mendapat perhatian, karena seseorang yang bekerja jika mengalami kecelakaan
atau penyakit akibat kerja bukan hanya berpengaruh pada diri sendiri, tetapi
juga produktifitas kerja menurun dalam pemberian pelayanan kesehatan yang
maksimal terhadap pasien.
Resiko petugas rumah sakit terhadap
gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja pada umumnya disebabkan oleh prilaku
petugas dalam kepatuhan melaksanakan setiap prosedur terhadap kewaspadaan.
Melihat hal di atas tentunya kita perlu menyadari bahwa dalam lingkup pekerjaan
di bidang kesehatan mempunyai banyak resiko terhadap kesehatan pekerja. Tenaga
kerja (tenaga medis dan non medis) yang beresiko terhadap penyakit akibat kerja
di rumah sakit antara lain:
a. Tenaga non medis
1) Pencucian (laundry)
Petugas pengumpul,
pencuci dan distribusi kembali linen kotor yang digunakan pasien, akan terpajan
mikroorganisme patogen secara tetap. Untuk menghindari pajanan tetap tersebut,
petugas cuci harus melakukan.
a) Semua linen kotor disatukan dalam
kantong plastik, disimpan secara hati-hati. Sesampai di ruang cuci, linen kotor
langsung dituang dari kantong (tidak dipegang tangan) langsung ke dalam mesin
cuci kosong, tidak bercampur dengan cucian lain.
b) Kantong plastik pengumpul linen kotor
sebaiknya diberi tanda atau terpisah, misalnya kantong plastik linen pasien
berisiko tinggi seperti penderita Hepatitis, AIDS terpisah dengan pasien lain.
Petugas sortir linen bersih, juga harus memperhatikan kebersihan diri, karena
dapat menjadi sumber infeksi. Petugas cuci harus memakai sarung tangan karet
sebagai pencegahan dasar penyebaran infeksi. Petugas cuci dapat menderita
dermatitis kontak akibat deterjen dan bahan kimia lain untuk cuci. Dapat pula
terpajan mikroorganisme yang terbawa aerosol (di rumah sakit maju).
2) Rumah Tangga (Housekeeping)
Petugas kebersihan mempunyai risiko
terbesar terpajan bahan biologi berbahaya (biohazard).
Kontak dengan alat medis sekali pakai (disposable
equipment) seperti jarum suntik bekas, selang infus bekas. Membersihkan
seluruh ruangan rumah sakit dapat meningkatkan faktor terkena infeksi. Mengepel
lantai tidaklah membasmi mikroorganisme, kebanyakan hanya memindahkan debu dan
bahan kimia dari satu ke tempat lain di rumah sakit. Sehingga bila saat
mengepel lantai tidak benar, maka debu yang ditumpangi mikroorganisme patogen
bertebaran di udara, dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan. Debu
sebaiknya dihisap dengan vacuum cleaner.
Desinfektan pembersih lantai yang sudah diencerkan dengan air di dalam ember
pel harus digunakan dalam waktu 24 jam, agar tidak kehilangan sifat
antimikrobanya.
3) Gizi (Penyiapan Makanan)
Petugas penyiapan makanan dapat
terpajan salmonela, botulism dari bahan mentah ikan, daging dan sayuran.
Pencegahan terpenting di bagian ini adalah tangan bersih dan menggunakan alat
bersih. Kulkas penyimpanan bahan makanan mentah yang sudah dibersihkan diatur
suhunya dan kebersihannya agar bakteri atau jamur tidak sempat berkembang biak.
Memasak yang benar-benar matang akan membunuh salmonela. Petugas yang sedang
menderita gangguan gastrointestinal diliburkan dan diobati sampai sembuh.
4) Farmasi
Apoteker yang berkomunikasi dengan
pasien kanker dapat terpajan obat anti neoplastik.
5) Sterilisasi
Gas etilen oksida (ethylene oxide) sering digunakan sebagai
gas sterilisasi alat medis. Menjadi berbahaya bila sistem pembuangan
sterilisasi rusak/macet, sehingga uap gas ini terhirup petugas. Etilen oksida
merupakan gas tidak berwarna, mudah terbakar dan meledak bila mencapai
konsentrasi 3% di udara. Efek etilen oksida bersifat mutagenik, sitogenik,
karsinogenik pada hewan percobaan. Efek toksik utama pada traktus respiratorius
dan saran pada pajanan dosis tinggi, akan menyebabkan katarak. Petugas yang
dalam kondisi hamil dilarang bekerja di ruangan ini. Ruangan sebaiknya dibuka
setelah selesai sterilisasi alat.
6) Laboratorium
Pemeriksa di laboratorium akan
terpajan bakteri, antara lain TB dan virus Hepatitis B. Petugas harus menjaga
kesehatan dan kebersihan pribadi untuk mencegah tertular penyakit, serta selalu
memakai sarung tangan karet pada saat bekerja. Mencuci tangan setiap akan
memulai dan setelah bekerja, mengenakan jas laboratorium, yang harus selalu
ditinggal di dalam laboratorium.
7) Petugas Radiologi
Radiasi adalah risiko berbahaya yang
dikenal baik di lingkungan rumah sakit dan usaha penanggulangannya sudah
dilakukan. Rumah sakit sebaiknya mempunyai petugas yang bertanggung jawab (safety officer) atas keamanan daerah
sekitar radiasi dan perlindungan bagi petugasnya. Petugas hamil sebaiknya
dilarang bekerja, walau hal ini masih diperdebatkan.
b.
Tenaga Medis
1) Perawat
Setiap
hari kontak langsung dengan pasien dalam waktu cukup lama (6-8 jam/hari),
sehingga selalu terpajan mikroorganisme patogen. Dapat menjadi pembawa infeksi
dari satu pasien ke pasien lain, atau ke perawat lainnya. Harus sangat
berhati-hati (bersama apoteker) bila menyiapkan dan memberikan obat-obatan
antineoplastik pada pasien kanker. Selalu mencuci tangan setelah melayani
pasien, melepas masker dan kap (topi perawat) bila memasuki ruangan istirahat
atau ruangan makan bersama. Abortus spontan, lahir prematur dan lahir mati
sering dialami perawat yang bertugas di ruang rawat inap/ bangsal perawatan.
Menurut hasil penelitian di Cleveland Clinic Hospital dan 22 RS di Ohio
(1993-1996) di Amerika Serikat, terbanyak ditemukan cedera sprain dan strain pada
perawat. Nyeri pinggang (back injuries) merupakan keluhan terbanyak dari cedera
tersebut dan lebih banyak menimpa perawat wanita. Penyebabnya ditengarai adalah
seringnya kerja otot statik, seperti mengangkat pasien dan kerja bergilir (work shift). Bagaimana kerja bergilir
mempengaruhi nyeri punggung, perlu diteliti lebih lanjut.
2) Dokter
Dokter
dapat tertular dan menularkan penyakit pada pasiennya. Penyakit yang sering
menular kepada dokter adalah TB, Hepatitis B, HIV, Rubella, Cytomegalovirus,
Hepatitis C. Adler, 1973, meneliti 271 orang dokter rumah sakit California,
hasil tes tuberkulin kulit pertama semuanya negatif. Dua tahun kemudian, 15
orang dokter memberikan hasil tes positif dan 2 orang dokter menderita TB
aktif. Terpajan bahan kimia berbahaya dosis rendah (low level) dapat terjadi di dalam pelayanan sehari-hari. Di kamar
operasi, dokter dan perawat dapat terpajan gas anestesi nitrous oxide dan halotan yang mudah menguap, merembes menembus
masker, dapat pula akibat hembusan nafas pasien yang sedang operasi. Pajanan
kronisnya dapat menyebabkan gangguan somatik, berupa sakit kepala, mual sampai
gangguan susunan saraf pusat (SSP), fertilitas bertambah dan gangguan
kehamilan. Sarung tangan karet yang sedang dipakai dapat robek, apalagi yang
sering digunakan sehingga sering disterilkan. Sebuah penelitian di Amerika
Serikat tentang mekanisme robeknya sarung tangan karet dan terjadinya cedera
tajam pada 2292 operasi selama 3 bulan, menemukan 92% robeknya sarung tangan
akibat tidak rangkap dua, dan 8% karena sebab tidak diketahui. Dari 70 cedera
tajam yang terjadi, 0,7% akibat jarum, 10% akibat skalpel dan 23% akibat cedera
lain. Pada penyelidikan pasangan suami-istri dokter yang bekerja di rumah sakit
yang sama, menemukan tingginya kejadian abortus spontan. Ditengarai bahwa
penyebabnya adalah stres psikologis tingkat tinggi yang berkepanjangan.
3) Dokter
Gigi
Penelitian
pada tenaga kesehatan gigi di Singapura menemukan, tingginya kadar HBs Ag dan
anti HBC para dokter gigi dibandingkan dengan tenaga kesehatan gigi lainnya.
Diduga penularan ini melalui pajanan air ludah pasien. Penyakit infeksi akibat
kerja lainnya adalah TB, AIDS. Penggunaan sarung tangan karet dan masker sangat
berarti dalam upaya pencegahan. Pajanan kronis merkuri dapat terjadi melalui
amalgam, bahan yang biasa digunakan menambal lubang gigi (dental fillings). Pajanan dosis rendah komponen merkuri dapat
menyebabkan kelelahan, lesu, anoreksia berkepanjangan dan gangguan
gastrointestinal. Gejala ini disebut micromericuralism. Tremor adalah utama keracunan
kronis merkuri. Saat ini sudah banyak terdapat bahan pengganti amalgam, bahan
non merkuri, seperti glass ionomer cement atau resin composite, sehingga
penyakit kerja akibat pajanan kronis merkuri amalgam tinggal kenangan. Nyeri
pinggang juga sering dikeluhkan sebagai akibat posisi kerja tubuh yang kurang
ergonomis.
3.
Pencegahan
Penyakit Akibat Kerja
Upaya K3RS dibagi dalam dua bidang,
yaitu kesehatan kerja dan keselamatan kerja, yang dilaksanakan dalam waktu
bersamaan.
a. Kesehatan Kerja
1) Pelayanan berupa promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif.
2) Tujuan yaitu untuk Mendapatkan tenaga
kerja berstatus kesehatan optimal dengan gizi baik, semangat kerja tinggi
sehingga efisien dan produktif.
3) Kegiatan yang dilakukan yaitu:
a) Pemeriksaan kesehatan awal dan berkala
pada tenaga kerja tertentu.
b) Imunisasi Hepatitis B, bagi tenaga
kerja yang sering berhubungan dengan cairan tubuh, seperti perawat yang
memasang infus, transfusi darah.
c) Pengobatan tenaga kerja yang sakit,
untuk menghentikan perjalanan penyakit dan komplikasinya.
b. Keselamatan Kerja
1) Tujuan yaitu untuk menghindari atau
memperkecil kecelakaan kerja di tempat kerja karena ketidaktahuan atau kurang
mengerti penggunaan alat kerja serta risiko bahaya yang menyertainya.
2) Kegiatan yang dilakukan meliputi:
a) Latihan kerja yang aman, latihan
penggunaan alat kerja dan alat pelindung diri (APD).
b) Komunikasi, dengan cara pertemuan
singkat sebelum bekerja (safety talk),
pemasangan poster mengenai keselamatan kerja.
c) Pengawasan dan monitoring dengan alat
terhadap bahan berbahaya secara berkala ruangan kerja dan lingkungan kerja yang
dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang berlaku.
d) Sistem perlindungan bahaya kebakaran
di rumah sakit, dengan merencanakan pintu keluar darurat, sistem peringatan
bahaya (alarm system), sumber air
terdekat, perawatan alat pemadam kebakaran.
4.
Pengendalian
Penyakit Akibat Kerja
Pengendalian
penyakit akibat kerja dapat dilakukan sebagai berikut:
a.
Pengendalian Melalui
Perundang-undangan (Legislative Control)
antara lain:
1) UU
No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Petugas kesehatan dan non
kesehatan.
2) UU
No. 01 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3) UU
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
4) Peraturan
Menteri Kesehatan tentang higene dan sanitasi lingkungan.
5) Peraturan
penggunaan bahan-bahan berbahaya.
6) Peraturan/persyaratan
pembuangan limbah dan lain-lain.
b. Pengendalian
melalui Administrasi/Organisasi (Administrative
control) antara lain:
1) Persyaratan
penerimaan tenaga medis, para medis, dan tenaga non medis yang meliputi batas
umur, jenis kelamin, syarat kesehatan.
2) Pengaturan
jam kerja, lembur dan shift.
3) Menyusun
Prosedur Kerja Tetap (Standard Operating
Procedure) untuk masing-masing instalasi dan melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaannya.
4) Melaksanakan
prosedur keselamatan kerja (safety procedures)
terutama untuk pengoperasian alat-alat yang dapat menimbulkan kecelakaan
(boiler, alat-alat radiologi, dan lain-lain) dan melakukan pengawasan agar
prosedur tersebut dilaksanakan.
5) Melaksanakan
pemeriksaan secara seksama penyebab kecelakaan kerja dan mengupayakan
pencegahannya.
c.
Pengendalian Secara Teknis (Engineering Control) antara lain:
1) Substitusi
dari bahan kimia, alat kerja atau proses kerja.
2) Isolasi
dari bahan-bahan kimia, alat kerja, proses kerja dan petugas kesehatan dan non
kesehatan (penggunaan alat pelindung).
3) Perbaikan
sistim ventilasi, dan lain-lain
d.
Pengendalian Melalui Jalur kesehatan
(Medical Control)
Pengendalian
melalui jalur kesehatan (medical control)
yaitu upaya untuk menemukan gangguan sedini mungkin dengan cara mengenal
(Recognition) kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dapat tumbuh pada
setiap jenis pekerjaan di unit pelayanan kesehatan dan pencegahan meluasnya
gangguan yang sudah ada baik terhadap pekerja itu sendiri maupun terhadap orang
disekitarnya. Dengan deteksi dini, maka penatalaksanaan kasus menjadi lebih
cepat, mengurangi penderitaan dan mempercepat pemulihan kemampuan produktivitas
masyarakat pekerja. Disini diperlukan system rujukan untuk menegakkan diagnosa
penyakit akibat kerja secara cepat dan tepat (prompt-treatment). Pencegahan sekunder ini dilaksanakan melalui
pemeriksaan kesehatan pekerja yang meliputi:
1) Pemeriksaan
Awal
Pemeriksaan
awal merupakan pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum seseorang
calon/pekerja (petugas kesehatan dan non kesehatan) mulai melaksanakan
pekerjaannya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
status kesehatan calon pekerja dan mengetahui apakah calon pekerja tersebut
ditinjau dari segi kesehatannya sesuai dengan pekerjaan yang akan ditugaskan
kepadanya. Pemerikasaan kesehatan awal ini meliputi:
a) Anamnese
umum.
b) Anamnese
pekerjaan.
c) Penyakit
yang pernah diderita.
d) Alergi.
e) Imunisasi
yang pernah didapat.
f)
Pemeriksaan badan.
g) Pemeriksaan
laboratorium rutin.
h) Pemeriksaan
tertentu yang biasanya terdiri dari tuberkulin test dan psikotest.
2) Pemeriksaan
Berkala
Pemeriksaan
berkalan adalah pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan secara berkala dengan
jarak waktu berkala yang disesuaikan dengan besarnya resiko kesehatan yang
dihadapi. Makin besar resiko kerja, makin kecil jarak waktu antar pemeriksaan
berkala Ruang lingkup pemeriksaan disini meliputi pemeriksaan umum dan
pemeriksaan khusus seperti pada pemeriksaan awal dan bila diperlukan ditambah
dengan pemeriksaan lainnya, sesuai dengan resiko kesehatan yang dihadapi dalam
pekerjaan.
3) Pemeriksaan
Khusus
Pemeriksaan
khusis yaitu pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada khusus diluar waktu
pemeriksaan berkala, yaitu pada keadaan dimana ada atau diduga ada keadaan yang
dapat mengganggu kesehatan pekerja. Sebagai unit di sektor kesehatan
pengembangan K3 tidak hanya untuk intern di Tempat Kerja Kesehatan, dalam hal
memberikan pelayanan paripurna juga harus merambah dan memberi panutan pada
masyarakat pekerja di sekitarnya, utamanya pelayanan promotif dan preventif.
Misalnya untuk mengamankan limbah agar tidak berdampak kesehatan bagi pekerja
atau masyarakat disekitarnya, meningkatkan kepekaan dalam mengenali unsafe act dan unsafe condition agar tidak terjadi kecelakaan dan sebagainya.
Kesehatan dan keselamatan kerja di Tempat Kerja Kesehatan bertujuan agar
petugas, masyarakat dan lingkungan tenaga kesehatan saat bekerja selalu dalam
keadaan sehat, nyaman, selamat, produktif dan sejahtera.
D.
Tinjauan Tentang Perawat
Perawat
merupakan tenaga kerja yang bertugas memberikan asuhan keperawatan.Dalam
memberikan asuhan
keperawatan, perawat menggunakan proses keperawatan dengan lima tahapan untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan pasien atau keluarga. Perawat bertanggung jawab
dan bertanggung gugat, memiliki wewenang melakukan asuhan keperawatan secara
utuh berdasarkan standar asuhan keperawatan.Dalam melaksanakan tugas pelayanan
keperawatan kepada klien, cakupan tanggung jawab perawat adalah meningkatkan
derajat kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengurangi dan menghilangkan
penderitaan serta mememulihkan kesehatan yang kesemuanya ini dilaksanakan atas
dasar pelayanan yang paripurna (Hidayat, A, 2008).
Perawat
menggunakan berbagai kelompok otot untuk setiap aktivitas keperawatan seperti
berjalan selama ronde keperawatan, memberikan obat, mengangkat dan memindahkan
klien dan menggerakan objek (Haruna, 2012). Adapun intervensi keperawatan yang
dilakukan oleh perawat kepada pasiennya adalah:
a.
Memenuhi
kebutuhan oksigen
b.
Memenuhi
kebutuhan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit
c.
Memenuhi
kebutuhan eliminasi
d.
Memenuhi
kebutuhan keamanan
e.
Memenuhi
kebutuhan kebersihan dan kenyamanan fisik
f.
Memenuhi
kebutuhan istrahat dan tidur
g.
Memenuhi
kebutuhan gerak dan kesehatan jasmani
h.
Memenuhi
kebutuhan spiritual
i.
Memenuhi
kebutuhan emosional
j.
Mencegah
dan mengatasi reaksi fisiologis
k.
Memenuhi
kebutuhan pengobatan dan membantu proses penyembuhan
l.
Memenuhi
kebutuhan penyuluhan
m. Memenuhi kebutuhan
rehabilitasi (Hidayat, A, 2008).
E.
Tinjauan Tentang Ergonomi
Menurut
ILO, Kesehatan & Keselamatan Kerja (K3) adalah suatu upaya untuk
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesejahteraan fisik, mental dan sosial
yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan
kesehatan diantara pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan
pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan,
penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
diadaptasikan dengan kapabilitas fisiologi dan psikologi (Markkanen, P.K.
2004). K3 terdiri atas
beberapa subdisiplin ilmu yang memiliki posisi, peran, fungsi dan tujuan
masing-masing dalam pencapaian K3.Adapun subdisiplin ilmu tersebut adalah
kesehatan kerja, keselamatan kerja, higiene industri dan ergonomi (Hendra,
2000).
Ergonomi
merupakan suatu ilmu, seni dan teknologi yang berupaya untuk menyerasikan alat,
cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan dan segala keterbatasan
manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara optimal tanpa pengaruh buruk
dari pekerjaannya. Dari sudut pandang ergonomi, antara tuntutan tugas dengan
kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan sehingga dicapai
performansi kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan tugas pekerjaan tidak
boleh terlalu rendah (underload) dan
juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload).
Karena keduanya, baik underload maupun overload
akan menyebabkan stress (Suhardi, 2008). Konsep keseimbangan antara
kapasitas kerja dengan tuntutan tugas tersebut dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
Gambar 1.
Konsep Keseimbangan Ergonomi
1.
Kemampuan
Kerja. Kemampuan seseorang sangat ditentukan oleh:
a.
Personal
Capacity (Karakteristik Pribadi): meliputi faktor usia, jenis kelamin,
antropometri, pendidikan, pengalaman, status sosial, agama dan kepercayaan,
status kesehatan, kesegaran tubuh, dan sebagainya.
b.
Physiological
Capacity (Kemampuan Fisiologis): meliputi kemampuan dan daya tahan tubuh cardiovaskuler, syaraf otot, panca
indera, dan sebagainya.
c.
Psycological
Capacity (Kemampuan Psikologis): berhubungan dengan kemampuan mental, waktu
reaksi, kemampuan adaptasi, stabilitas emosi, dan sebagainya.
d.
Biomechanical
Capacity (Kemampuan Bio-mekanik): berkaitan dengan kemampuan dan daya tahan
sendi dan persendian, tendon dan jalinan tulang.
2.
Tuntunan
Tugas. Tuntunan tugas pekerjaan/ aktivitas tergantung pada:
a.
Task and Material Characteristics
(Karakteristik Tugas dan Material): ditentukan oleh karakteristik peralatan dan
mesin, tipe, kecepatan, dan irama kerja, dsb.
b.
Organization
Characteristics: berhubungan dengan jam kerja dan jam istirahat, kerja malam
dan bergilir, cuti dan libur, manajemen, dsb.
c.
Environmental
Characteristics: berkaitan dengan manusia teman setugas, suhu dan kelembaban,
bising dan getaran, penerangan, sosio-budaya, tabu, norma, adat dan kebiasaan,
bahan-bahan pencemar, dsb.
3.
Performansi.
Performasi atau tampilan seseorang sangat tergantung kepada rasio dari besarnya
tuntutan tugas dengan besarnya kemampuan yang bersangkutan. Dengan demikian,
apabila:
a.
Bila
rasio tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan seseorang atau kapasitas
kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa: ketidaknyamanan,
“Overstress”, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan tidak
produktif.
b.
Sebaliknya,
bila tuntutan tugas lebih rendah daripada kemampuan seseorang atau kapasitas
kerjanya, maka akan terjadi penampilan akhir berupa: “understress”, kebosanan,
kejemuan, kelesuan, sakit dan tidak produktif.
Secara umum
tujuan dari penerapan ergonomi yaitu:
1.
Meningkatkan
kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit
akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan
kepuasan kerja
2.
Meningkatkan
kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan
mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik
selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif
3.
Menciptakan
keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis,
antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga
tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka, dkk, 2004).
F.
Tinjauan Tentang Risiko Ergonomi
Penyakit Akibat Kerja pada Perawat
1.
Musculoskeletal Disorders (MSDs)
a. Definisi
Muskuloskeletal disorder adalah
gangguan pada bagian otot skeletal yang disebabkan oleh karena otot menerima
beban statis secara berulang dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dan
akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi
2, yaitu:
1) Keluhan
sementara (reversible) yaitu keluhan
otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis namun demikian keluhan
tersebut akan segera hilang bila pembebanan dihentikan.
2) Keluhan
menetap (persistent) yaitu keluhan
otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja dihentikan, namun rasa
sakit pada otot masih terus berlanjut.
Studi tentang MSDs pada berbagai jenis industry telah banyak
dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan
adalah otot rangka (skeletal) yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan,
jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah.
b. Faktor Penyebab
Menurut Peter Vi (2001), faktor
penyebab musculoskeletal disorders antara lain:
1) Faktor Penyebab Primer
a) Peregangan
otot yang berlebihan (overexxertion)
Peregangan otot
yang berlebihan pada umumnya dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya
menuntut pengerahan yang besar, seperti aktivitas mengangkat, mendorong,
menarik, menahan beban yang berat.
b) Aktivitas
berulang ddalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus. Seperti
mencangkul, membelah kayu, angkat-angkut dan sebagainya.
c) Sikap
kerja tidak alamiah adalah
sikap kerja yang menyebabkanposisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi
ilmiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk dan
sebagainya.
2) Fator
penyebab sekunder
a) Tekanan yaitu terjadinya
tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak.
b) Getaran
denang frekuensi yang tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah.
Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam
laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
c) Mikroklimat yaitu paparan suhu
dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan
pekerja sehingga pergerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak disertai
dengan menurunnya kekuatan otot.
3) Penyebab
Kombinasi
a) Umur yaitu prevalensi
sebagian besar gangguan tersebut meningkat dengan usia.
b) Jenis
kelamin yaitu prevalensi sebagian besar gangguan tersebut meningkat dan lebih
menonjol pada wanita dibandingkan pria (3:1).
c) Kebiasaan
merokok yaitu semakin
lama dan semakin tinggi tingkat frekuensi merokok, semakin tinggi pula keluhan
otot yang dirasakan.
d) Kesegaran
jasmani yaitu tingkat
kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot.
e) Kekuatan
fisik.
f)
Ukuran tubuh (antropometri).
c.
Cara
Mengukur dan Mengenali Penyebab Musculoskeletal Disorders
1) Checklist
Checklist terdiri dari daftar pertanyaan yang diarahkan
untuk mengidentifikasi sumber keluhan atau penyakit. Pertanyaan bersifat umum (tingkat
beban kerja, tingkat kesulitan pekerjaan, kondisi lingkungan kerja, waktu dan
sikap kerja) dan khusus (berat beban, jenis pekerjaan, jarak angkat dan
frekuensi kerja).
2) Model
Biomekanik
Menerapkan konsep mekanika teknik pada fungsi tubuh untuk
mengetahui reaksi otot yang terjadi akibat tekanan beban kerja.
3) Tabel
Psikofisik
Merupakan cabang ilmu pengetahuan yang digunakan untuk
menguji hubungan antara persepsi dari sensasi tubuh terhadap ransangan fisik.
Contoh:
Tabel 1. Psikofisik Untuk Daya
Dorong Maksimum
Jarak objek dari lantai
ke tangan (cm)
|
Jumlah pekerja wanita
(%)
|
Daya dorong maksimum
(kg) untuk jarak 15,2 m
|
||||||
Satu kali dorong untuk
setiap
|
||||||||
6 det
|
12 det
|
1 mnt
|
2 mnt
|
5 mnt
|
30 mnt
|
8 jam
|
||
89
|
90
|
5
|
6
|
6
|
7
|
7
|
8
|
10
|
75
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
11
|
14
|
|
50
|
9
|
11
|
13
|
13
|
14
|
15
|
19
|
|
25
|
12
|
14
|
16
|
16
|
18
|
19
|
24
|
|
10
|
14
|
17
|
19
|
19
|
21
|
23
|
28
|
Sumber: Waters & Anderson 1996. Manual Material Handling
4) Model
Fisik
Tingkat beban kerja dapat diketahui
melalui indicator denyut nadi, konsumsi oksigen dan kapasitas paru-paru.
Melalui tingkat beban karja ini dapat diketahui tingkat resiko terjadinya
keluhan otot skeletal.
5) Pengukuran
dengan Videotape
Analisis dilakukan dengan
menggunakan video camera, hasil rekaman digunakan sebagai dasar untuk melakukan
analisisterhadap sumber terjadinya keluhan otot.
6) Pengamatan
melalui Monitor
Sistem ini terdiri dari sensor
mekanik yang dipasang pada bagian tubuh pekerja yang akan diukur. Melalui
monitor dapat dilihat secara langsung karakteristik dari perubahan gerakan yang
terjadi yang dapat digunakan untuk mengestimasi dapat dianalisis solusi
ergonomik yang tepat untuk mencegah terjadinya keluhan tersebut.
7) Model
Analitik
Yaitu dengan menghitung Recommended
Weight Limit (RWL) dan Lifting Index (LI). RWL adalah berat beban yang masih
aman untuk dikerjakan oleh pekerja dalam waktu tertentu tanpa meningkatkan
resiko gangguan sakit pinggang (low back
pain). LI adalah estimasi sederhana terhadap resiko cedera yang diakibatkan
oleh overexertion.
8) Nordic
Body Map (NBM)
Melalui NBM dapat diketahui
bagian-bagian otot yang mengalami keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (agak
sakit) sampai sangat sakit.
d.
Langkah-Langkah
Mengatasi Musculoskeletal Disorders
Langkah-langkah dalam mengatasi
MSDs antara lain:
1) Rekayasa
Teknik
a) Eliminasi,
yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada.
b) Substitusi,
yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau bahan baru yang aman,
menyempurnakan proses produksi dan menyempurnakan prosedur penggunaan
peralatan.
c) Partisi,
yaitu pemisahan sumber bahaya dengan pekerja.
d) Ventilasi,
yaitu dengan menambah ventilasi untuk mengurasi risiko sakit.
2) Rekayasan
Manajemen
a)
Pendidikan dan pelatihan.
b)
Pengaturan waktu kerja dan istirahat
seimbang.
c)
Pengawasan yang intensif.
2.
Low Back Pain (LBP) atau Nyeri
Punggung Bagian Bawah (NPB)
a. Definisi
Nyeri punggung bawah adalah nyeri pada daerah punggung bawah
yang berkaitan dengan masalah vertebra
lumbar, diskus intervertebralis, ligamentum di antara
tulang belakang dengan diskus, medula spinalis, dan saraf otot punggung
bawah, organ internal pada pelvis dan abdomen atau kulit
yang menutupi area lumbar
(Medicine Dictionary, 2013).
Sedangkan menurut Kravitz (2009)
dalam Aulia (2014) nyeri punggung bawah mengacu pada nyeri di daerah
lumbosakral tulang belakang meliputi jarak dari vertebra lumbar pertama ke
tulang vertebra sacral pertama. Ini adalah area tulang belakang dimana bentuk
kurva lordotic. Yang paling sering menyebabkan nyeri pinggang adalah di segmen
lumbal 4 dan 5.
Gambar 2. Nyeri
Punggung Bawah
Sumber :
Advance Spine Care, 2010
Penelitian yang dilakukan oleh
Benita naude (2008) mengenai nyeri
punggung bawah pada pekerja rumah sakit Tshwane di Afrika
Selatan menyatakan
bahwa prevalensi nyeri punggung bawah di pekerja rumah sakit adalah 47%. Faktor yang berpengaruh
antara lain adalah jenis kelamin wanita dan keikutsertaan pekerja dalam
aktivitas fisik. Tidak ada pengaruh dari penyakit penyerta dalam resiko nyeri punggung
bawah. Sebanyak 31,25% perawat RSUD Purbalingga melakukan sikap dan posisi
kerja yang beresiko cedera muskuloskeletal. Perawat yang mengalami nyeri
punggung bawah sebanyak 18,75 %. Terdapat hubungan antara usia dan masa kerja
dengan nyeri punggung bawah (Fathoni et al, 2012).
b. Faktor Risiko
1) Umur
Nyeri pinggang merupakan keluhan yang berkaitan erat dengan
umur. Secara teori, nyeri pinggang atau
nyeri punggung bawah dapat dialami oleh siapa saja,
pada umur berapa saja. Namun demikian keluhan ini jarang dijumpai pada
kelompok umur 0-0 tahun, hal ini mungkin berhubungan dengan
beberapa faktor etiologik tertentu yag lebih sering dijumpai pada umur yang
lebih tua. Biasanya nyeri ini mulai
dirasakan pada mereka yang berumur dekade kedua dan insiden
tertinggi dijumpai pada dekade kelima. Bahkan keluhan nyeri
pinggang ini semakin lama
semakin meningkat hingga umur sekitar 55 tahun.
2) Jenis
Kelamin
Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap
keluhan nyeri pinggang sampai umur 60 tahun,
namun pada kenyataannya jenis kelamin seseorang
dapat mempengaruhi timbulnya keluhan nyeri pinggang, karena pada
wanita keluhan ini lebih sering terjadi misalnya pada saat
mengalami siklus menstruasi,
selain itu proses menopause juga dapat menyebabkan kepadatan
tulang berkurang akibat penurunan hormon estrogen sehingga
memungkinkan terjadinya
nyeri pinggang.
3) Indeks
Masa Tubuh (IMT)
Pada orang yang memiliki berat badan yang berlebih risiko
timbulnya nyeri pinggang lebih besar, karena beban pada sendi penumpu berat
badan akan meningkat, sehingga dapat memungkinkan terjadinya nyeri pinggang.
Tinggi badan berkaitan dengan panjangnya sumbu tubuh sebagai lengan beban
anterior maupun lengan posterior untuk mengangkat beban tubuh.
4) Pekerjaan
Keluhan nyeri ini juga berkaitan erat dengan aktivitas
mengangkat beban berat, sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam
penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini. Pada pekerjaan tertentu,
misalnya seorang kuli pasar yang biasanya memikul beban di pundaknya setiap
hari. Mengangkat beban berat lebih dari 25 kg sehari akan memperbesar risiko
timbulnya keluhan nyeri pinggang.
5) Aktivitas
/ Olahraga
Sikap
tubuh yang salah merupakan penyebab nyeri pinggang yang sering tidak disadari
oleh penderitanya. Terutama sikap tubuh yang menjadi kebiasaan. Kebiasaan
seseorang, seperti duduk, berdiri, tidur, mengangkat beban pada posisi yang
salah dapat menimbulkan nyeri pinggang, misalnya, pada pekerja kantoran yang
terbiasa duduk dengan posisi punggung yang tidak tertopang pada kursi, atau
seorang mahasiswa yang seringkali membungkukkan punggungnya pada waktu menulis.
Posisi berdiri yang salah yaitu berdiri dengan membungkuk atau menekuk ke muka.
Posisi tidur yang salah seperti tidur pada kasur yang tidak menopang spinal.
Kasur yang diletakkan di atas lantai lebih baik daripada tempat tidur yang
bagian tengahnya lentur. Posisi mengangkat beban dari posisi berdiri langsung
membungkuk mengambil beban merupakan posisi yang salah, seharusnya beban
tersebut diangkat setelah jongkok terlebih dahulu. Selain sikap tubuh yang
salah yang seringkali menjadi kebiasaan, beberapa aktivitas berat seperti
melakukan aktivitas dengan posisi berdiri lebih dari 1 jam dalam sehari,
melakukan aktivitas dengan posisi duduk yang monoton lebih dari 2 jam dalam
sehari, naik turun anak tangga lebih dari 10 anak tangga dalam sehari, berjalan
lebih dari 3,2 km dalam sehari dapat pula meningkatkan risiko timbulnya nyeri
pinggang (Adelia,Rizma.,2007).
6) Posisi
Tubuh
Posisi lumbar yang berisiko
menyebabkan terjadinya nyeri punggung bawah ialah fleksi ke depan, rotasi, dan
mengangkat beban yang berat dengan tangan yang terbentang. Beban aksial pada
jangka pendek ditahan oleh serat kolagen annular di diskus. Beban aksial yang
lebih lama akan memberi tekanan pada fibrosis annular dan meningkatkan tekanan
pada lempeng ujung. Jika annulus dan lempeng ujung utuh, maka beban dapat
ditahan. Akan tetapi, daya kompresi dari otot dan beban muatan dapat
meingkatkan tekanan intradiskus yang melebihi kekuatan annulus, sehingga
menyebabkan robeknya annulus dan gangguan diskus (Hillus et al, 2010).
3. Hernia
Nucleus Pulposus (HNP)
a) Definisi
Hernia Nucelus Pulposus (HNP) adalah suatu nyeri yang
disebabkan oleh proses patologik
dikolumna vertebralis pada diskus intervertebralis (diskogenik) (Harsono, 2000). Herniasi diskus intervertebralis ke
segala arah dapat terjadi akibat
trauma atau stress fisik. Herniasi ke arah superior atau inferior melalui
lempeng kartilago masuk ke dalam korpus vertebrata dinamakan sebagai nodul schmorl (biasanya dijumpai secara
insidentil pada gambaran radiologist
atau otopsi). Kebanyakan herniasi terjadi pada arah posterolateral sehubungan dengan faktor-faktor nucleus
pulposus yang cenderung terletak
lebih di posterior dan adanya ligamentum
longitudinalis posterior yang cenderung memperkuat annulus fibrosis di posterior yang cenderung memperkuat
annulus fibrosus di posterior tengah. Peristiwa
ini dikenal juga dengan berbagai sebutan lain seperti rupture annulus fibrosis, hernia
nucleus pulposus, rupture diskus, herniasi diskus dan saraf terjepit.
b) Klasifikasi
HNP terbagi
atas:
a) HNP sentral. HNP sentral akan
menimbulkan paraparesis flasid, parestesia,
dan retensi urine.
b) HNP lateral. Rasa nyeri terletak pada
punggung bawah, di tengah-tengah antara pantat dan betis, belakang tumit dan
telapak kaki. Ditempat itu juga akan
terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari
ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan
di punggung bawah, bagian lateral
pantat, tungkai bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patella negatif. Sensibilitas [ada dermatom
yang sesuai dengan radiks yang
terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengangkat tungkai yang lurus (straight leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan
fleksi di sendi panggul, akan
dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda laseque positif). Valsava dan nafsinger akan memberikan hasil positif.
c) Faktor Risiko
Pada
saat perawat bekerja seperti mengangkat atau memindahkan pasien, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan nyeri pada
tulang belakang, yaitu:
a) Faktor
Fisik/ Pekerjaan
Mengangkat
dan membawa beban dan membungkuk serta memutar menunjukkan adanya keterkaitan
dengan cidera tulang belakang (Burdorf et al., 1997). Kebanyakan pekerjaan yang
terdiri dari kombinasi mengangkat dan pergerakan lainnya seperti mengangkat
dengan memutar memiliki resiko yang besar (Battié & Bigos, 1991; Kelsey et
al.,1984; Troup, 1987). NIOSH menyatakan bahwa ada bukti yang kuat untuk
terjadinya cidera pada tulang belakang dengan pekerjaan yang mengangkat dan
pergerakan yang memaksa. Mereka juga menyatakan bahwa ada bukti yang terkait
dengan postur janggal, seperti pekerjaan fisik yang berat yang dikaitkan dengan
cidera pada tulang belakang (Bernard, 1997). Ini juga merupakan temuan bahwa
perawat dengan pekerjaan melayani yang lebih lama memiliki risiko yang lebih
tinggi (Kumar, 1990; Owen et al., 1984; Stubbs et al., 1983).
Faktor
pekerjaan secara umum termasuk juga forceful exertion (gerakan
yang diluar jangkauan), postur janggal, dan gerakan yang berulang. Seperti:
mengangkat atau memindahkan pasien yang berat, gerakan yang dipaksakan atau
spontan, mengangkat pasien pada saat ia terjatuh dilantai. Postur atau posisi
janggal pada saat bekerja seperti membungkuk, memutar dan menjangkau diluar
jangkauan dapat menyebabkan terjadinya nyeri pada leher, bahu dan bagian
belakang. Membungkuk ketika mengangkat pasien dapat menimbulkan beban pada
otot, diskus, dan ligament pada bagian belakang bawah. Karena tekanan pada
diskus pada bagian belakang bawah meningkat, pusat atau nucleus dari diskus
dipaksa untuk keluar. Jika diskus membengkak atau robek, ini dapat merusak
saraf disekitarnya. Misalnya pada postur janggal seperti: membungkuk, memutar
atau menjangkau ketika mencuci kaki pasien pada tempat yang lebih rendah,
memakaikan baju pasien dan menempatkan pasien di tempat tidur, berdiri dan
mengangkat peralatan yang berat dalam jangka waktu yang lama. Menurut Bandriyo
(2006) dalam tesisnya, yang dikutip dari Health Industry Classification
Project (1997) faktor – faktor yang memberikan sumbangan terbesar bagi
terjadinya cidera pada perawat adalah:
1.
Tindakan
manual handling.
2.
Postur
janggal yang menimbulkan kekakuan otot.
3.
Tergelincir,
tersandung dan terjatuh.
4.
Mendorong,
menarik trolley.
5.
Merapihkan
dan membersihkan tempat tidur pasien.
6.
Penanganan
bahan linen dan apron.
Menurut NSW Nurses
Association dalam Manual Handling Guide for Nurses (September,
1999), keseleo dan ketegangan otot merupakan jenis cidera yang dialami oleh
perawat 40% di punggung, 12% pada anggota badan atas, dan 9% pada bagian
belakang bawah. Studi epidemiologi yang lain juga membuat kontribusi yang penting
terhadap etiologi nyeri pada tulang belakang. Beberapa pekerjaan yang dapat
menyebabkan nyeri pada tulang belakang dalam pekerjaan mengangkat beban seperti
mengangkat (lifiting), menarik (pulling), mendorong (pushing),
membawa (carrying), menurunkan (lowering), membungkuk (bending),
memutar (twisting), terjatuh (falling), terpeleset (slipping)
merupakan faktor – faktor yang siginifikan yang dapat menimbulkan terjadinya
nyeri pada tulang belakang (Cady et al., 1979a; Snook et al., 1978, 1980; White
and Panjabi, 1990). Perawat memiliki insiden nyeri pada tulang belakang yang
lebih tinggi karena aktifitas fisik yang berat yang biasanya dibutuhkan untuk
melayani pasien dan kejadian yang biasanya terburu – buru, mengangkat yang
salah (Royal College of Nursing, 1980; State of California, 1980; State of
Wisconsin, 1973; White & Panjabi, 1990).
Selain
itu, dilaporkan juga frekuensi membungkuk (bending) dan memutar (twisting)
adalah penyebab yang paling sering dari cidera belakang di Inggris. Frekuensi
low back pain setelah mengangkat memiliki variabel 15% - 64%. Gerakan yang
tiba-tiba seperti mengangkat yang dikombinasikan dengan dengan mengangkat
keatas dan memutar merupakan tindakan yang berbahaya. Chaffin dan Park
melaporkan insiden cidera pada bagian belakang delapan kali lebih tinggi pada
pekerja yang terlibat pada aktifitas manual handling yang berat
dibandingkan dengan work sedentary.
b) Faktor
Psikososial dan Lingkungan Kerja
Beberapa studi
menunjukkan bahwa cidera tulang belakang terkait dengan lingkungan
psikososial yang buruk (Bigos et al., 1991) dimana yang lainnya tidak
ditemukan hubungan (Feyer et al., 1992). Pengkajian pada pengaruh faktor
psikososial pada nyeri tulang belakang dilaporkan sulit, seperti
pekerjaan dengan physical demand yang tinggi yang biasanya termasuk
lingkungan sosial yang buruk (Vingard & Nachimson, 1999). Hasil dari
studi epidemiologi terkait dengan perubahan generatif ke faktor mekanis
telah dikaburkan oleh kenyataan bahwa ada banyak faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya nyeri pada tulang belakang. Seperti, faktor psikologi yang
biasanya berperan pada orang – orang yang mengeluh nyeri atau sakit.
Dalam hal nyeri pada spinal, tingkat pendidikan yang rendah, status
ekonomi sosial yang rendah, intelegensi yang rendah, dan persepsi dari
kinerja pekerjaan yang menurutnya tidak penting semuanya dapat
mempengaruhi untuk absen/ tidak masuk kerja dikarenakan nyeri pinggang.
(Bobechko and Hirsch, 1965; Westrin, 1973; White & Panjabi, 1990).
Pekerja yang berpikir pekerjaannya penuh tekanan, gelisah, atau penuh
tantangan fisik juga dapat meningkatkan kejadian nyeri pada tulang
belakang (Bandriyo, 2006).
Selain
itu, faktor lingkungan kerja seperti pencahayaan yang ada dilingkungan kerja
juga dapat mempegaruhi postur tubuh seseorang seperti yang terdapat dalam
penelitian sebelumnya oleh Smith, S.W. dan Rea, M.S, 1982; Rose, F.C. dan
Rostas, S.M, 1946; Rea, M.S.,1946 dalam Bandriyo (2006) yang mengatakan bahwa
”pencahayaan dan kondisi pekerjaan mempengaruhi postur seseorang. Seperti, posisi
orang tersebut untuk memperbaiki penglihatannya. Mereka bekerja lebih dekat
ketika tingkat iluminasinya rendah dan berasumsi melihat sudut yang mengurangi
refleksi.
c) Faktor
Individu dan Gaya Hidup (life style)
1.
Umur.
Keberadaan nyeri pada tulang belakang meningkat seiring dengan bertambahnya
usia sekitar umur 50-60 tahun, walaupun itu terlihat akan dipatahkan (Dempsey
et al., 1997). Dengan kata lain, cidera pada tulang belakang karena kecelakaan
telah ditunjukkan terkait dengan umur, mengikuti bentuk kurva U (Laflamme,
1997; Laflamme et al., 1995). Mengangkat beban yang berat yang dikombinasikan
dengan rotasi dan postur membungkuk dapat menimbulkan resiko yang besar jika
diskus telah mengalami degenerasi, dan cidera pada saat berputar dapat
menyebabkan degenerasi (Troup, 1987). Penelitian lain juga menyebutkan HNP
terjadi pada usia 30-50 tahun, saat nukleus pulposus masih bersifat gelatinous.
Kandungan air di dalam diskus akan berkurang secara alamiah akibat bertambahnya
usia. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa HNP dapat terjadi
di usia produktif yaitu diantara umur 30 – 55 tahun (Kesumaningtiyas, 2009).
2.
Jenis kelamin.
Beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi dari cidera tulang belakang lebih
tinggi pada pria daripada wanita, dimana cidera muskuloskeletal pada
ekstremitas atas lebih sering pada wanita (Kilbom et al., 1998). Back Injury
Among Healthcare Workers (2004) menulis perawat laki-laki lebih
berisiko terkena cidera pada tulang belakang dikarenakan mereka lebih sering
mengangkat pasien yang lebih berat dibandingkan dengan perawat wanita.
3.
Overweight.
Pada beberapa studi, kelebihan berat badan dapat meningkatkan risiko terjadinya
cidera tulang belakang (Deyo et al., 1989; Heliövaara, 1987; Liira et al.,
1996; Wohl et al., 1995). Studi lainnya juga yang meneliti hubungan antara
berat badan dan cidera tulang belakang tidak menemukan hubungan. Berdasarkan
Dempsey (1997) efek dari kelebihan berat badan mungkin hanya substansial untuk
kebanyakan mereka yang kelebihan berat badan.
4.
Merokok. Merokok diindikasikan sebagai faktor risiko untuk
terjadinya cidera pada tulang belakang pada beberapa studi. (Battié &
Bigos, 1991; Dempsey et al., 1997; Leboeuf-Yde, 1998). Terutama pada perokok
berat (Deyo & Bass, 1989). Keterkaitan antara merokok dengan batuk telah
ditemukan, yang dapat meningkatkan tekanan intradiscal yang membawa pada
pembengkakan diskus dan hernia (Frymoyer et al.,1983). (Kesumaningtiyas, 2009).
7. Sindrom
Carpal Tunner
a. Definisi
Sindroma
Terowongan Karpal merupakan
neuropati perifer karena tekanan atau
getaran mekanis pada nervus medianus di
dalam terowongan karpal pada pergelangan
tangan, tepatnya di bawah fleksor
retinakulum (Moeliono, 1993). Dalam kepustakaan
lain STK ini dikelompokkan dalam
gangguan pada ekstremitas atas karena trauma
kumulatif (Cumulative Trauma Disorders
of The Extremitas) (Zens, et al., 1994, Levy, et al., 1994).
Sindroma
terowongan karpal akibat kerja adalah sindroma terowongan karpal yang terjadi
karena pekerjaan ataupun keadaan/agen yang ada di lingkungan kerja, misal
getaran, tekanan dan faktor ergonomi (Suma’mur, 2009).
STK pertama
kali dipublikasikan oleh Piere Marie dan C. Foix pada tahun 1913. Istilah
sindroma terowongan karpal diperkenalkan oleh Moersch pada tahun 1938. Steven
dkk. melaporkan pada populasi Rochester, Minnesota ditemukan rata-rata 99 kasus
dari 100.000 orang dalam setahun. Voitk et al. (1983) menemukan jumlah
STK yang cukup tinggi pada kehamilan (Moeliono, 1993). Prevalensi sindroma
terowongan karpal dikaitkan dengan pekerjaan diperkirakan kurang dari 1%, masih
jauh lebih rendah dari gangguan musculoskeletal lainnya, seperti Low Back
Pain Levy, et al., 1994). Meskipun demikian, bila seseorang telah
mengalami gangguan berupa STK ini dapat mengakibatkan keterbatasan dalam
penggunaan tangannya sehari-hari.
b.
Faktor
Risiko
1) Getaran. Getaran yang memicu
terjadinya sindroma terowongan karpal adalah getaran lokal melalui tangan
(Suma’mur, 1995; Moeliono, 1993; Zens, et al., 1994).
2) Tekanan. Berupa tekanan yang terjadi
lokal pada telapak tangan dan berlangsung lama seperti pesenam lantai, anggota
militer atau olahragawan yang sering menggunakan telapak tangan sebagai tumpuan
berat badan tubuh saat berlatih, juga dapat dijumpai pada petani saat
mencangkul (Suma’mur 1995; Zens, et al., 1994).
3) Ergonomi. Berupa sikap atau kebiasaan
tenaga kerja khususnya yang menggunakan tangan atau pergelangan tangan secara
salah menurut ilmu ergonomi dan berlangsung lama, misal operator Video Display
Terminal (VDT), operator komputer, tukang ketik, pengrajin anyaman bambu, dan
sebagainya (Suma’mur, 1995).
c.
Penilaian Paparan
Penilaian
paparan yakni dengan British (BSI) dan ISO memberikan nilai batasan untuk
getaran mekanis selama 8 jam/hari kerja sebesar 2,8 m/det2 rms (Zens, et
al., 1994).
d.
Patogenesis
Semua studi
klinis, laboratoris dan epidemiologis memberikan masukan mengenai mekanisme
terjadinya gangguan muskuloskeletal pada ekstremitas atas dikaitkan dengan
pekerjaan (Levy, et al., 1994). Apapun penyebab kompresi, kenaikan
tekanan jaringan adalah keadaan terakhir sebelum terjadinya gangguan
neurologis. Beberapa faktor yang menaikkan tekanan jaringan:
1) Edema (pascatrauma atau inflamasi,
endokrin, atau mekanik).
2) Volume kanal bertambah (tumor,
synovitis, otot tambahan).
3) Deformitas dinding kanal karena
fraktur atau dislokasi.
4) Posisi lengan dan tangan (fleksi
pergelangan tangan) (Levy, et al., 1994).
Gambar 3.
Skema Terjadinya Sindrom Karpal Tunnel
e.
Gejala Klinik
Keluhan-keluhan
yang timbul pada STK yang umumnya terjadi secara berangsur-angsur dan spesifik
adalah:
1) Rasa nyeri di tangan, yang biasanya
timbul malam atau pagi hari. Penderita sering terbangun karena rasa nyeri ini.
2) Rasa kebas, kesemutan, kurang berasa
pada jari-jari. Biasanya jari ke 1,2,3, dan 4.
3) Kadang-kadang rasa nyeri dapat
menjalar sampai lengan atas dan leher, tetapi rasa kebas hanya terbatas di
distal pergelangan tangan saja.
4) Gerakan jari kurang terampil, misalnya
ketika menyulam atau memungut benda kecil.
5) Ada juga penderita yang datang dengan
keluhan otot telapak tangannya mengecil dan makin lama semakin menciut.
f.
Pencegahan dan Pengendalian
1) Pemeriksaan kesehatan sebelum
penempatan mencakup riwayat medis dan perhatian khusus pada sirkulasi perifer,
sistem saraf.
2) Pemeriksaan kesehatan berkala,
biasanya dilaksanakan setahun sekali diarahkan pada keluhan pergelangan tangan
dan lengan, khusus untuk pemeriksaan foto sinar X hendaknya dilakukan selang
waktu 5 tahun (WHO, 1995).
3) Pengendalian gerakan tangan berulang
dengan menggunakan alat-alat otomatis atau rotasi pekerjaan.
4) Pengendalian terhadap posisi tangan
yang salah dengan menyesuaikan meja kerja ataupun alat kerja terhadap individu.
5) Isolasi sumber getaran dengan pegas,
atau bamper (Suma’mur, 1995; Zens, et al., 1994, Levy, et al.,
1994; WHO, 1995).
G.
Tinjauan Tentang Upaya Pendekatan
Ergonomi terhadap Penyakit Akibat Kerja pada Perawat
Menurut Roslan (2008) dalam Selvianti, R
(2009) ada tiga metode kontrol yang seharusnya dilakukan rumah sakit untuk
mengurangi risiko ergonomi yaitu:
1.
Kontrol Secara Teknis
Banyak dari rumah sakit yang telah
berinvestasi untuk peralatanpenanganan pasien, namun sayangnya beberapa rumah
sakit masih berjuang agar perawat tersebut terbiasa menggunakannya. Bilamembeli
peralatan, rumah sakit seharusnya bekerja sama denganKomite K3/Ergonomi
RS/Vendor untuk menyesuaikan danmemadukan peralatan dengan tugas-tugas umum
perawat. Termasukjuga para perawat harus dilibatkan dalam proses pembelian
untukmenjamin bahwa peralatan mudah digunakan dan sesuai dengan kondisi
perawat.
2.
Kontrol metode kerja
Pembelian peralatan merupakan langkah
dalam mereduksi risiko ergonomi. Penyediaan dan pengadaan staf dengan pelatihan
berbasis keahlian secara kritik menjamin bahwa mereka tahu menggunakan
peralatan secara tepat dan mengetahui bagaimana peralatan tersebut mereduksi
risiko ergonomi. Banyak pihak rumah sakit meminta vendoruntuk datang ke
fasilitasnya dan memberikan service
atau semacam layanan singkat untuk mendemonstrasikan gambaran dan
penggunaanperalatan. Metode ini seharusnya dilakukan sebelum perawat
menggunakan peralatan terhadap pasien sebenarnya, agar dapat menjamin perawat
bisa secara kompeten menggunakan peralatan tersebut tanpa mencederai diri
sendiri ataupun pasien.
3. Kontrol
Administrasi
Pengontrolan pajanan risiko ergonomi
bisa juga melalui control administrasi. Beberapa rumah sakit dalam melaksanakan
layanan telah menyediakan jumlah staf yang cukup untuk menjamin bahwapenanganan
pasien yang dilakukan dapat tertangani dengan baik. Dengan dua orang perawat
secara normal diperlukan untuk memindahkan dan membawa pasien, tapi dalam
kondisi tertentu maka satu orang perawat bisa melakukan tugas-tugas tersebut
dengan syaratterlatih dengan teknik mengangkat pasien yang tepat. Banyak sekali
perawat mengalami cidera karena banyak dari mereka tidak merencanakan dengan
baik teknik mengangkat yang tepat.
Sumber: Patient Transfer Ergo Clinic ,CorpMed.com, 2005
Gambar 4. Pelatihan Mengangkat Pasien
dengan Benar
H.
Tinjauan Tentang Surveilans
1. Definisi Surveilans
Ada beberapa
definisi surveilans, antara lain:
a. Menurut DCP2 (Disease Control Priorities in Developing
Countries, 2nd Edition, 2008) surveilans adalah pengumpulan, analisis,
dan analisis data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian
diinformasikan kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan
penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Surveilans memantau terus-menerus
kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak
pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit,
seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya
surveilans menghubungkan informasi
tersebut kepada pembuat
keputusan agar dapat
dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last,
2001) dalam (Noor, 2008).
b. Menurut WHO (2004), surveilans
adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara
sistemik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Berdasarkan definisi diatas dapat
diketahui bahwa surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan penyakit yang
dilakukan secara terus menerus dan sistematis terhadap kejadian dan distribusi
penyakit serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada masyarakat sehingga
dapat dilakukan penanggulangan untuk dapat mengambil tindakan efektif.
Surveilans memungkinkan pengambil
keeputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan
masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi
pengambil keputusan dan manajer
tentang masalah-masalah kesehatan
yang perlu diperhatikan pada
suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen
penting untuk mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera
ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting
bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk
memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2, 2008).
Gambar
5. Skema Sistem Surveilans
Surveilans
berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara terus-menerus tanpa
terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan kecenderungan
penyakit dan factor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi, sehingga
dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan
tepat.
2. Tujuan
Surveilans
Secara umum surveilans bertujuan untuk
pencegahan dan pengendalian penyakit dalam masyarakat sebagai upaya deteksi
dini terhadap kemungkinan terjadinya kejadian luar biasa (KLB), memperoleh
informasi yang diperlukan bagi perencanaan dalam hal pencegahan, penanggulangan
maupun pemberantasannya pada berbagai tingkat administrasi (Depkes RI, 2004).
Surveilans bertujuan memberikan
informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga penyakit dan
faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons pelayanan
kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans, antara
lain:
a.
Memonitor
kecenderungan (trends) penyakit.
b.
Mendeteksi
perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak.
c.
Memantau
kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden)
pada populasi.
d.
Menentukan
kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring,
dan evaluasi program kesehatan.
e.
Mengevaluasi
cakupan dan efektivitas program kesehatan.
f.
Mengidentifikasi
kebutuhan riset (Giesecke, 2002).
3.
Jenis-jenis Surveilans
Jenis-jenis surveilans antara
lain:
a.
Surveilans Individu
Surveilans
individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu-individu
yang mengalami
kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam
kuning, sifilis.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera
terhadap kontak, sehingga
penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan
isolasi institusional
yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi
telahterpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah
transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last,
2001).
Isolasi
institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an dan SARS.
Dikenal dua jenis
karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total
membatasi kebebasan gerak
semua orang yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah
kontak dengan
orang yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak
secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi penyakit.
Contoh, anak
sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit campak, sedang orang
dewasa diperkenankan terus
bekerja. Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di
pospos lainnya
tetap bekerja. Dewasa
ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal,
politis, etika,
moral, dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas
langkah-langkah pembatasan
tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur,
2007).
b.
Surveilans Penyakit
Surveilans
penyakit (disease surveillance)
melakukan pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi
penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah
penyakit, bukan individu.
Di
banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah).
Contoh, program surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem
surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan
baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal
yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing, dan memberikan informasi
duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
c.
Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan
gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi
indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis.
Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola perilaku,
gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum
diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans
sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional
terhadap penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala
praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan
skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan
membuat laporan mingguan tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan
jenis kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk
memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga
dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen untuk memonitor
krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al., 2004; Sloan et al., 2006).
Suatu
sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas kesehatan, laboratorium, atau
anggota komunitas, pada lokasi tertentu, disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui
sistem surveilans sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan dengan
menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan Quade, 2010).
d.
Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans
berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit
infeksi. Sebagai
contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis,
penggunaan sebuah
laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan
deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan
lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik
(DCP2, 2008).
e.
Surveilans Terpadu Penyakit
Surveilans
terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan
surveilans di suatu
wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan
publik bersama. Surveilans
terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan
fungsi mengumpulkan
informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu
tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu (WHO, 2001, 2002;
Sloan et al., 2006).
Karakteristik
pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services); (2)
Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan
struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan, pelaporan,
analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan
laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan
pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang
berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda (WHO, 2002) dalam Murti
(2010).
f.
Surveilans
Kesehatan Masyarakat Global
Perdagangan
dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan
transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara
berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global
(pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang
manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit
menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit
yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru,
termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Calain, 2006; DCP2,
2008).
4. Pendekatan
Surveilans
Menurut
Gordis (2000) dalam Safrizal (2009) pendekatan surveilans berdasarkan cara
mendapatkan data dapat
dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.
Surveilans
pasif
Surveilans pasif memantau penyakit
secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable
diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Ciri surveilans
pasif yaitu:
1) Unit surveilans epidemiologi
membiarkan penderita melaporkan diri pada klinik/rumah sakit/unit pelayanan
yang berfungsi sebagai unit-unit surveilans terdepan dalam pengumpulan data
surveilans.
2) Unit surveilans epidemiologi
membiarkan klinik/rumah sakit/unit pelayanan sebagai unit surveilans terdepan
melaporkan data surveilans yang ada di tempatnya.
Kelebihan surveilans pasif, relatif murah
dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan
sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans
pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit
internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif
dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung under-reported,
karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain
itu, tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu
petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen
pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas.
b. Surveilans aktif
Surveilans aktif menggunakan
petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala kelapangan, desa-desa, tempat
praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah
sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian,
disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus
indeks. Ciri-ciri surveilans aktif, yaitu:
1) Unit surveilans melakukan
skrining dari rumah ke rumah, sehingga tidak ada satu pun kasus yang lepas dari
pendataan.
2) Unit surveilans mendatangi
setiap unit sumber data untuk meminta data surveilans epidemiologi yang
dibutuhkan sehingga tidak ada satu pun data yang tidak terekam olehnya.
Kelebihan surveilans aktif, lebih
akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan oleh petugas yang memang
dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif
dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih
mahal dan lebih sulit untuk dilakukan daripada surveilans pasif.
Sistem surveilans dapat diperluas pada
level komunitas, disebut community surveilance. Dalam community
surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader
kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan.
Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan
merujuk kasus mungkin (probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat
pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi
kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community
surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu (JHU, 2006).
5. Syarat-Syarat
Sistem Surveilans yang Baik
Syarat-syarat sistem surveilans yang
baik hendaknya memenuhi karakteristik sebagai berikut (Romaguera, 2000) :
a.
Kesederhanaan
(Simplicity)
Kesederhanaan sistem surveilans
menyangkut struktur dan pengorganisasian sistem. Besar dan jenis informasi yang
diperlukan untuk menunjang diagnosis, sumber pelapor, cara pengiriman data,
organisasi yang menerima laporan, kebutuhan pelatihan staf, pengolahan dan
analisa data perlu dirancang agar tidak membutuhkan sumber daya yang terlalu
besar dan prosedur yang terlalu rumit.
b.
Fleksibilitas
(Flexibility)
Sistem surveilans yang fleksibel dapat
menyesuaikan diri dalam mengatasi perubahan-perubahan informasi yang dibutuhkan
atau kondisi operasional tanpa memerlukan peningkatan yang berarti akan
kebutuhan biaya, waktu dan tenaga.
c.
Dapat
diterima (Acceptability)
Penerimaan terhadap sistem surveilans
tercermin dari tingkat partisipasi individu, organisasi dan lembaga kesehatan.
lnteraksi sistem dengan mereka yang terlibat, temasuk pasien atau kasus yang
terdeteksi dan petugas yang melakukan diagnosis dan pelaporan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tesebut. Beberapa indikator penerimaan
terhadap sistem surveilans adalah jumlah proporsi para pelapor, kelengkapan
pengisian formulir pelaporan dan ketepatan waktu pelaporan. Tingkat partisipasi
dalam sistem surveilans dipengaruhi oleh pentingnya kejadian kesehatan yang
dipantau, pengakuan atas kontribusi mereka yang terlibat dalam sistem, tanggapan
sistem terhadap saran atau komentar, beban sumber daya yang tersedia, adanya
peraturan dan perundangan yang dijalankan dengan tepat.
d.
Sensitivitas
(Sensitivity)
Sensitivitas suatu surveilans dapat
dinilai dari kemampuan mendeteksi kejadian kasus-kasus penyakit atau kondisi
kesehatan yang dipantau dan kemampuan mengidentifikasi adanya KLB.
Faktor-faktor yang berpengaruh adalah :
1) Proporsi penderita yang
berobat ke pelayanan kesehatan.
2) Kemampuan mendiagnosa secara
benar dan kemungkinan kasus yang terdiagnosa akan dilaporkan.
3) Keakuratan data yang
dilaporkan.
e.
Nilai
Prediktif Positif (Positive predictive value)
Nilai Prediktif Positif adalah
proporsi dari yang diidentifikasi sebagai kasus, yang kenyataannya memang
menderita penyakit atau kondisi sasaran surveilans. Nilai Prediktif Positif
menggambarkan sensitivitas dan spesifisitas serta prevalensi/ insidensi
penyakit atau masalah kesehatan di masyarakat.
f.
Representatif (Representative)
Sistem
surveilans yang representatif mampu mendeskripsikan secara akurat distribusi
kejadian penyakit menurut karakteristik orang, waktu dan tempat. Kualitas data
merupakan karakteristik sistem surveilans yang representatif. Data surveilans
tidak sekedar pemecahan kasus-kasus tetapi juga diskripsi atau ciri-ciri
demografik dan infomasi mengenai faktor resiko yang penting.
g.
Tepat
Waktu
Ketepatan waktu suatu sistem
surveilans dipengaruhi oleh ketepatan dan kecepatan mulai dari proses
pengumpulan data, pengolahan analisis dan interpretasi data serta
penyebarluasan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaporan
penyakit-penyakit tertentu perlu dilakukan dengan tepat dan cepat agar dapat
dikendalikan secara efektif atau tidak meluas sehingga membahayakan masyarakat.
Ketepatan waktu dalam sistem surveilans dapat dinilai berdasarakan ketersediaan
infomasi untuk pengendalian penyakit baik yang sifatnya segera maupun untuk
perencanaan program dalam jangka panjang.Tekhnologi komputer dapat sebagai
faktor pendukung sistem surveilans dalam ketepatan waktu penyediaan informasi.
6. Aktifitas
Inti Surveilans
Aktivitas
surveilans kesehatan masyarakat meliputi delapan aktivitas inti (McNabb. et
al., 2002), yaitu:
1) Pendeteksian kasus (case
detection) yaitu
proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. Unit sumber data
menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi
termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit
program-sektor dan unit statistik lainnya.
2) Pencatatan kasus (registration) yaitu proses pencatatan kasus hasil
identifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan.
3) Konfirmasi (confirmation) yaitu evaluasi dari ukuran-ukuran
epidemiologi sampai pada hasil percobaan laboratorium.
4) Pelaporan (reporting):
data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi
disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan
penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat penelitian
dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi.
Pengumpulan data kasus pasien dari tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada
fasilitas kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional.
5) Analisis data (data
analysis) yaitu
analisis terhadap data-data dan angka-angka dan menentukan indikator terhadap
tindakan.
6) Respon segera/ kesiapsiagaan
wabah (epidemic preparedness) kesiapsiagaan dalam menghadapi
wabah/kejadian luar biasa.
7) Respon terencana (response
and control) yaitu
sistem pengawasan kesehatan masyarakat hanya dapat digunakan jika data yang ada
bisa digunakan dalam peringatan dini dan munculnya masalah dalam kesehatan
masyarakat.
8) Umpan balik (feedback) yaitu berfungsi penting dari semua
sistem pengawasan, alur pesan dan informasi kembali ke tingkat yang lebih
rendah dari tingkat yang lebih tinggi.
7. Komponen
Kegiatan Surveilans
Komponen-komponen
kegiatan surveilans menurut Depkes. RI, (2004) seperti dibawah ini:
a.
Pengumpulan
data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan ada
hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data
epidemiologi adalah untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko
terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi;
untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk
memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit;
untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu
wabah, sumbernya, cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya.
b.
Kompilasi,
analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi,
dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa teks
tabel, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang
akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana
menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang baru.
c.
Penyebaran
hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi
data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut
dan disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan
kepada atasan atau kepada lintas sektor yang terkait sebagai informasi
lebih lanjut.
Komponen-komponen
dalam pelaksanaan sistem surveilans (WHO, 1999)
adalah sebagai berikut:
a.
Pengumpulan
Data
Pengumpulan
data merupakan komponen yang sangat penting karena kualitas informasi yang
diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang dikumpulkan. Data yang
dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang
bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan surveilans yang baik
pengumpulan data harus dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus. Tujuan
pengumpulan data antara lain:
1) Menentukan kelompok atau golongan
populasi yang mempunyai resiko terbesar terkena penyakit seperti jenis kelamin,
umur, suku, pekerjaan dan lain-lain.
2) Menentukan jenis agent atau
penyebab penyakit dan karakteristiknya.
3) Menentukan reservoir
infeksinya.
4) Memastikan keadaan yang menyebabkan
kelangsungan transmisi penyakit.
5) Mencatat kejadian penyakit, terutama
pada kejadian luar biasa.
Sumber
data yang dikumpulkan berlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber data sistem
surveilans terdiri dari 10 elemen (Langmuir, 1976) yaitu:
a) Data Mortalitas. Pencatatan kematian
yang dilakukan di tingkat desa dilaporkan ke tingkat kelurahan seterusnya ke
tingkat kecamatan dan puskesmas lalu selanjutnya dilaporkan ke Kabupaten daerah
tingkat II. Beberapa seminar di Indonesia telah diadakan pula untuk menilai dan
membahas usaha untuk meningkatkan kelengkapan pencatatan kematian, yang
validitasnya relatif lebih baik karena didiagnosis oleh dokter. Elemen ini akan
bermanfaat bila data pada pencatatan kematian itu cepat diolah dan hasilnya
segera diberitahukan kepada yang berkepentingan (Efendy, 2009)
b) Data Morbiditas, merupakan elemen yang
terpenting dalam surveilans. Data yang diperlukan misalnya nama penderita,
umur, jenis kelamin, alamat, diagnosis dan tanggal mulai sakit. Elemen ini juga
penting untuk mengetahui distribusi penyakit menurut waktu, apakah musiman atau
siklus. Dengan demikian, dapat diketahui pula ukuran endemis suatu penyakit
(Efendy, 2009).
c) Data Pemeriksaan Laboratorium.
Laboratorium merupakan suatu sarana yang penting untuk mengetahui kuman
penyebab penyakit menular dan pemeriksaan tertentu untuk penyakit-penyakit
lainnya, misalnya kadar gula darah untuk penyakit diabetes melitus, trombosit
untuk penyakit demam berdarah, dan lainnya (Efendy, 2009).
1.
Laporan
Penyakit.
2.
Penyelidikan
peristiwa penyakit .
3.
Penyidikan
kejadian luar biasa atau wabah.
d)
Survei
penyakit, vektor, dan reservoir yang memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas.
Survei adalah suatu cara penelitian epidemiologi untuk mengetahui prevalensi
penyakit. Dengan ukuran ini dapat diketahui luasnya masalah penyakit tersebut.
Bila setelah survei pertama dilakukan pengobatan terhadap penderita, maka
dengan survei kedua dapat ditentukan keberhasilan pengobatan tersebut (Efendy,
2009).
e)
Penyelidikan
tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan. Penyakit zoonosis
terdapat pada manusia dan binatang; dalam hal ini binatang dan manusia
merupakan reservoir. Penyakit malaria ditularkan oleh vektor nyamuk Anopheles
dan penyakit demam berdarah ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti.
Vektor-vektor tersebut perlu diselediki oleh entomologi untuk mengetahui apakah
mengandung plasmodium malaria atau virus dari demam berdarah (Efendy, 2009).
f)
Data
penggunaan obat-obatan, serum dan vaksin. Keterangan yang menyangkut mengenai
bahan-bahan tersebut, yaitu mengenai banyak, jenis, dan waktu memberi petunjuk
kepada kita mengenai masalah penyakit. Selain itu, dapat pula dikumpulkan
keterangan mengenai efek samping dari bahan-bahan tersebut.
g)
Data
kependudukan dan lingkungan. Elemen ini penting untuk menetapkan population
at risk. Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kependudukan dan
lingkungan ini perlu selalu dipikirkan dalam rangka analisis epidemiologis.
Data atau keterangan mengenai kependudukan dan lingkungan itu tentu harus
didapat di lembaga-lembaga non kesehatan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan
pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang dicurigai atau population at
risk melalui kunjungan rumah (active surveilance) atau pencatatan
insidensi berdasarkan laporan rutin dari sarana pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit, puskesmas, atau laporan dari petugas surveilans di lapangan, dan
laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan yang lain (pasive
surveilance) (Budiarto, 2002).
b.
Pengolahan
Data. Data yang terkumpul segera diolah, biasanya dilakukan secara manual atau
dengan komputerisasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki.
c.
Analisa
dan interpretasi data. Analisa data dilakukan dengan 2 cara, yaitu:
1) Analisa Deskriptif. Analisa deskriptif
dilakukan berdasarkan variabel orang, tempat, dan waktu sehingga diperoleh
gambaran yang sistematis tentang penyakit yang sedang diamati. Visualisasi
dalam bentuk grafik, tabel, diagram yang disertai uraian atau penjelasan.
2) Analisa Analitik. Analisa analitik
dilakukan dengan cara uji komparasi, korelasi, dan regresi. Uji komparasi untuk
membandingkan kejadian penyakit pada kondisi yang berbeda. Uji korelasi untuk
membuktikan keterkaitan antara satu variabel dengna variabel lainnya. Uji
regresi untuk membuktikan pengaruh suatu variabel (kondisi) terhadap kejadian
penyakit.
Kunci
keberhasilannya yaitu data lengkap, cepat, dan tahu cara memanfaatkannya.
Tahap-tahapnya meliputi coding (membuat
kode-kode dari data yang ada), editing
(melengkapi dan memperjelas tulisan), entry (memasukkan dalam program pengolahan data), dan
pengolahan secara diskriptif dan analitik.
d.
Penyebarluasan
Informasi dan umpan balik. Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama
dipakai sendiri oleh unit kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak
lanjut, juga untuk disebarluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai
infomasi lebih lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back)
kepada unit kesehatan pemberi laporan. Umpan balik atau pengiriman informasi
kembali kepada sumber-sumber data (pelapor) mengenai arti data yang telah
diberikan dan kegunaannya setelah diolah, merupakan suatu tindakan yang
penting, selain tindakan follow up. Sasaran penyebaran informasi
adalah instansi terkait baik secara vertikal maupun horizontal dengan tujuan
untuk memperoleh kesepahaman dan feedback dalam perumusan kebijakan.
Manfaat penyebaran informasi adalah mendapatkan respon dari instansi terkait
sebagai feedback, tindak lanjut, dan kesepahaman. Metode yang dapat
digunakan dalam penyebaran informasi adalah tertulis dan deseminasi laporan,
verbal dalam rapat, media cetak dan elektronik.
8.
Desain Sistem Surveilans
Desain sistem surveilans merupakan
tahap-tahap dalam melaksanakan surveilans hingga menuju proses evaluasi. Desain
sistem surveilans terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a. Menetapkan Tujuan Surveilans
Tujuan utama surveilans adalah untuk
memperoleh gambaran kejadian morbiditas dan mortalitas serta kejadian peristiwa
vital secara teratur sehingga dapat digunakan dalam berbagai kepentingan
perencanaan dan tindakan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat, seperti
memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan populasi, sehingga
penyakit dan faktor resiko dapat terdeteksi dini dan dapat dilakukan respon
pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Menetapkan tujuan surveilans dapat
mempermudah dalam menetukan output yang diinginkan. Contoh dari tujuan
surveilans adalah deteksi dan prediksi KLB, evaluasi program pencegahan,
memproyeksikan perencanaan pelayanan kesehatan dan masih banyak lagi (Noor,
2008).
Menurut WHO (2002), ada lima kriteria
agar surveilans efektif dengan akronim “SMART”, yaitu:
1) Spesific.
Masalah yang
dihadapi harus khusus dan spesifik baik itu rencana maupun tujuannya.
2) Measurable. Indikatornya harus dapat
diukur.
3) Action-Oriented.
Hasil
surveilans harus berguna bagi pengambilan kepututusan dan kebijakan terutama
orientasi kepada sasaran.
4) Realistic. Sesuai dengan sumber daya
yang dimiliki.
5) Time
frame.
Mempunyai batas waktu dalam pencapaian tujuan. Tepat waktu baik sasaran maupun
rencana.
b.
Mengembangkan
Definisi Kasus
Definisi kasus digunakan untuk mengklasifikasikan
kasus kepada individu yang diduga mengalami penyakit. Berdasarkan tingkat
ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Kasus suspect atau
tersangka
Kasus
hanya berdasarkan gejala klinis. Kriterianya adalah tanda dan gejala klinis
cocok dengan penyakit, terdapat bukti epidemiologi, tetapi tidak terdapat bukti
laboratoriium yang menunjukan tengah atau telah terjadi infeksi (bukti
laboratorium negatif, tidak ada atau belum ada).
2) Kasus probable atau
kemungkinan
Kasus
suspek secara epidemiologi berhubungan dengan kasus yang terbukti secara
laboratorium. Kriterianya adalah tanda dan gejala klinis cocok dengan penyakit,
terdapat bukti epidemiologis, terdapat bukti laboratorium yang mengarah tetapi
belum pasti, yang menunjukan tengah atau telah terjadi infeksi (misalnya bukti
dari sebuah tes serologis tunggal)
3) Kasus confirmed atau
pasti
Kasus
suspek dengan hasil laboratorium positif. Kriterianya adalah terdapat bukti
pasti laboratorium (serologis, biokimia, bakteriologis, virologist,
parasitologis) bahwa tengah atau telah terjadi infeksi dengan atau tanpa
kehadiran tanda, gejala klinis atau bukti epidemiologis.
Klasifikasi
kasus bersifat dinamis, bisa berubah dan direvisi selama investigasi seiring
dengan tambahan informasi baru tentang sumber, modus, transmisi, agen etiologi
(Bres, 1986) dalam (Noor, 2000).
c.
Menentukan
Sumber Data, Alat Pengumpul Data dan Mekanisme Laporan
Pengumpulan data merupakan tahap awal
dari rangkaian kegiatan surveilans yang paling penting untuk proses selanjutnya.
Pengumpulan data surveilans dapat secara aktif dan pasif. Pengumpulan data
aktif dapat melalui survei, penelitian, penyelidikan langsung ke lapangan
(masyarakat). Sedangkan, pengumpulan data pasif melalui laporan dari fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta, laporan dari jajaran departemen
kesehatan yang secara aktif memonitor suatu keadaan kesehatan.
Proses pengumpulan data diperlukan
formulir sebagai alat untuk pengumpulan data. Mekanisme pelaporan dalam
pengumpulan data dapat dilakukan harian, mingguan, bulanan, atau laporan nihil.
Pengumpulan data tersebut harus mengumpulkan data-data dari berbagai sumber
data. Sumber data dalam surveilans merupakan sumber data atau subjek dari mana
data dapat diperoleh yang digunakan untuk kegiatan surveilans. Macam-macam
sumber data dalam surveilans menurut Kepmenkes RI No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003:
1) Data kesakitan yang dapat
diperoleh dati unit pelayanan
kesehatan masyarakat.
2) Data kematian yang dapat
diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan kantor pemerintah dan
masyarakat.
3) Data demografi yang dapat
diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat.
4) Data geografi yang dapat
diperoleh dari unit meteorologi dan geofisiska.
5) Data laboratorium yang dapat
diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
6) Data kondisi lingkungan.
7) Laporan wabah.
8) Laporan penyelidikan wabah/KLB.
9) Laporan hasil penyelididkan
kasus perorangan.
10)
Studi
epidemiologi dan hasil penelitian lainnya.
11)
Data
hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit
pelayanan kesehatan dan masyarakat.
12)
Laporan
kondisi pangan
d.
Melaksanakan
Analisis dan Presentasi Data
Analisis dan interpretasi data
digunakan untuk keperluan kegiatan. Data yang telah disususn dan dikompilasi,
selanjutnya dianalisis dan dilakukan interpretasi untuk memberikan arti dan
memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam masyarakat. Analisis dapat
dilakukan berdasarkan orang, tempat dan waktu. Data yang sudah diolah kemudian
dibuat suatu tabulasi, grafik dan peta yang standar dan mudah dipahami (Noor,
2008).
e.
Mengembangkan
Mekanisme Umpan Balik dan Diseminasi Informasi
Setelah analisis dan interpretasi data
serta telah memiliki nilai keterangan yang cukup jelas dan sudah disimpulkan
dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada semua pihak
yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagaimana
mestinya. Penyebarluasan data dan informasi dilakukan dalam tiga arah yang
meliputi:
1) Ditujukan ke tingkat informasi
yang lebih tinggi sebagai informasi untuk menetukan kebijakan selanjutnya.
2) Dikirim kepada instansi
pelapor atau ke tingkat administrasi yang lebih rendah yang berfungsi sebagai
pengumpulan dan pelopor data dalam bentuk umpan balik.
3) Disebarluaskan kepada instansi
terkait dan kepada masyarakat luas (Noor, 2008).
11.
Pembagian
Tugas Surveilans
Pembagian tugas surveilans dapat
melalui pembentukan organisasi dan staffing serta harus memasikan dalam
organisasi dan staffing tersebut tidak mempunyai beban ganda atau jabatan
ganda.
12.
Evaluasi
Surveilans
Evaluasi data surveilans dapat
digunakan untuk perencanaan penanggulangan khusus dan program pelaksanaannya,
untuk kegiatan tindak lanjut (follow up),
untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan
program, serta untuk kepentingan evaluasi atau penilaian hasil kegiatan (Noor,
2008).
III. PEMBAHASAN
Sistem di tempat kerja yang terdiri dari input (pekerja, mesin,
dana, organisasi, dan lain-lain), proses kerja (pekerja dan lingkungan
kerja yang saling berinteraksi satu sama lainnya), output (produk/jasa
yang berkualitas, pekerja yang sehat, tempat kerja yang nyaman dan selamat bagi
pekerja), dalam interaksinya tidak bisa terlepas dari hazard dan risiko
khususnya yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan pekerja, serta outcome
(penyakit dan kecelakaan). Tempat kerja yang terkadang melibatkan teknologi
modern yang memakai berbagai mesin dan peralatan dalam jumlah dan kapasitas
besar. Hazard yang terdapat di area tempat kerja menjadi sangat bervariasi,
dengan tingkat faktor risiko yang berbeda-beda, mulai dari hazard somatik yang
melingkupi kapasitas dan status kesehatan, hazard perilaku yang melingkupi
masalah kebiasaaan merokok dan aktivitas fisik, hazard lingkungan yang
terdiri dari fisik, biologi, kimia dan organizational of work and work
culture yang merupakan hazard psikologi kerja. Faktor fisik seperti ekses
kebisingan, vibrasi dan iluminasi, serta faktor mekanik seperti benturan,
kebakaran dan ledakan diikuti oleh faktor kimia misalnya Benzene Toluen Xylene
(BTX), gas CO, H2S dan lain-lain, serta faktor stres kerja berupa pengaturan
shift kerja malam yang mungkin ada dalam industri ini. Pola hidup tidak sehat,
antara lain kurangnya beraktivitas fisik, konsumsi makanan tidak seimbang yang
rendah serat namun tinggi lemak, serta merokok, terbukit berdampak pada
kesehatan pekerja.
Secara garis besar ruang lingkup surveilans
K3 terbagi dua, yaitu:
A.
Surveilans Efek Kesehatan dan
Keselamatan
Pengumpulan, analisis & diseminasi/komunikasi data
kesehatan (data penyakit) dan data keselamatan (data kecelakaan) spesifik untuk
populasi pekerja berisiko dengan cara sitematik dan berksinabungan yang dapat
digunakan bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia usaha
dan dunia kerja.
B.
Surveilans Hazard Kesehatan dan
Keselamatan
Identifikasi hazard, pengukuran pajanan, analisis dan diseminasi
atau komunikasi hazard kesehatan dan keselamatan yang spesifik bagi populasi
pekerja berisiko dengan cara sistematik dan berkesinambungan digunakan bagi
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia usaha dan dunia kerja.
Perawat yang bekerja di rumah sakit
sangat berisiko terkena penyakit akibat kerja akibat dari pekerjaannya di rumah
sakit khususnya dari segi ergonomi. Olehnya itu untuk mencegah terjadinya hal
tersebut dan mengupayakan untuk mengendalikannya, maka dibutuhkan strategi pencegahan
yang berbasis surveilans terhadap penyakit akibat kerja tersebut. Beberapa
penyakit yang dapat terjadi pada perawat akibat faktor risiko ergonomi di rumah
sakit yaitu musculoskeletal disorders, low
back pain (LBP), hernia nucleus
pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel. Langkah surveilans sebagai bentuk
strategi pencegahan risiko ergonomic terhadap penyakit akibat kerja pada
perawat di rumah sakit meliputi:
a. Perencanaan Surveilans
Perencanaan kegiatan surveilans
dimulai dengan penetapan tujuan surveilans, dilanjutkan dengan penentuan
definisi kasus, perencanaan perolehan data, teknik pengumpulan data, teknik
analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi. Petugas sruveilans benar-benar
harus menentukan kasus apa yang akan diadakan surveilans, kemudian dari mana
saja akan diperoleh data mengenai kasus tersebut. Tentu penentuan kasus ini
akan dilakukan setelah melihat laporan dari berbagai sumber. Misalnya angka
kesakitan atau morbiditas kasus penyakit akibat kerja pada perawat yang terjadi
di rumah sakit, apakah kasus tersebut meningkat dari tahun ke tahun. Data
tersebut akan menjadi pertimbangan dilakukannya surveilans terhadap penyakit
akibat kerja tersebut. Data ini dapat diperoleh dari riwayat penyakit perawat
di rumah sakit.
b. Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan awal dari
rangkaian kegiatan untuk memproses data selanjutnya. Data yang dikumpulkan
memuat informasi yang dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus dan
dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat pasif yang bersumber
dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang diperoleh dari
kegiatan survei. Untuk kasus penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit
data dari surveilans aktif dapa berupa data yang berasal dari riwayat penyakit
perawat yang kemudian dapat diketahui ada berapa kasus penyakit akbibat kerja
yang terjadi pada perawat. Untuk surveilans pasif artinya pihak yang mengadakan
surveilans melakukan survey dalam hal ini pemeriksaan terhadap semua perawat
yang bekerja di rumah sakit mengenai keluhan-keluhan yang dirasakan karena
penyakit akibat kerja yang diderita berdasarkan risiko ergonominya. Pemeriksaan
terhadap musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia
nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel dilakukan berdasarkan
metode dan bahan-bahan yang telah dijelaskan pada bab tinjauan pustaka.
Walaupun untuk memperoleh informasi dan kemudian diolah menjadi data ini akan
memakan waktu yang lama, ini harus dijalan sesuai dengan prosedur yang ada,
agar data yang dihasilkan, benar-benar riil dan sesuai dengan fakta yang
terjadi di lapangan agar tidak salah langkah dalam proses pencegahan dan
penanganannya.
Dari data yang diperoleh kemudian
dibuat pelaporan. Pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil pencatatan
dengan menggunakan formulir tertentu.
Formulir yang digunakan dapat berupa hasil wawancara dengan perawat
mengenai keluhan yang mereka alami kemudian risiko-risiko apa saja yang telah
mereka lakukan sehingga terkena penyakit akibat kerja seperti musculoskeletal
disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan
sindrom carpal tunnel. Dari identifikasi risiko yang dilakukan, dapat diketahui
risiko ergonomic yang menyebabkan perawat menderita musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan
sindrom carpal tunnel. Berdasarkan hal tersebut maka akan mudah untuk melakukan
pencegahan dan penatalaksanaan berbagai penyakit akibat kerja tersebut.
c. Pengolahan dan Penyajian Data
Data yang sudah terkumpul dari
kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik (histogram, poligon
frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan komputer sangat
diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya dengan
menggunakan program (software)
seperti epi info, SPSS, lotus, excel dan lain-lain.
d.
Analisis
Data
Analisis
merupakan langkah penting dalam surveilans karena akan dipergunakan untuk
perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan
penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi
seperti rate, proporsi, rasio dan
lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi penyakit. Dari hasil
analisis data dapat diketahui proporsi perawat yang menderita penyakit akibat
kerja. Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data
bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau
penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit akibat kerja musculoskeletal
disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan
sindrom carpal tunnel
dengan faktor risiko ergonomi.
e.
Diseminasi
(Penyebarluasan Informasi)
Penyebarluasan
informasi dapat dilakukan ke tingkat atas maupun ke bawah. Dalam rangka kerja
sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang terkait dan masyarakat juga
menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk diperlukan informasi yang informatif agar
mudah dipahami terutama bagi instansi di luar bidang kesehatan. Penyebarluasan
informasi yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti dan
dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya pengendalian serta
evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan informasi yang dilakukan
yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan,
membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan, membuat suatu tulisan di
majalah rutin, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat di akses dengan
mudah.
f.
Umpan
balik (Feed Back)
Kegiatan umpan
balik dilakukan secara rutin setiap bulan saat menerima laporan setelah diolah
dan dianalisa melakukan umpan balik kepada unit kesehatan yang melakukan
laporan dengan tujuan agar yang mengirim laporan mengetahui bahwa laporannya
telah diterima dan sekaligus mengoreksi dan memberi petunjuk tentang laporan
yang diterima. Kemudian mengadakan umpan balik laporan berikutnya akan tepat
waktu dan benar pengisiannya. Cara pemberian umpan balik dapat melalui surat
umpan balik, penjelasan pada saat pertemuan serta pada saat melakukan pembinaan/suvervisi.
Bentuk dari
umpan balik bisa berupa ringkasan dari informasi yang dimuat dalam buletin (news letter) atau surat yang berisi
pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan yang dilaporkan atau berupa kunjungan
ke tempat asal laporan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Laporan perlu
diperhatikan waktunya agar terbitnya selalu tepat pada waktunya, selain itu
bila mencantumkan laporan yang diterima dari eselon bawahan, sebaliknya yang
dicantumkan adalah tanggal penerimaan laporan.
g. Investigasi Penyakit
Setelah pengambilan keputusan perlunya
mengambil tindakan maka terlebih dahulu dilakukan investigasi/penyelidikan mengenai
penyakit akibat kerja pada perawat. Dengan investigator membawa ceklis/format
pengisian tentang masalah kesehatan yang terjadi dalam hal ini adalah penyakit akibat
kerja dari segi ergonomi dengan melakukan metode yang dapat mengindetifikasi
terjadinya musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia
nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel pada seseorang.
h. Tindakan Penanggulangan
Tindakan penanggulangan yang dilakukan
melalui penanganan segera pada penderita yang sakit, melakukan rujukan
penderita yang tergolong berat, melakukan tindakan pencegahan kepada perawat
yang belum terkena dengan melakukan langkah-langkah pencegahan dari setiap
penyakit akibat kerja atau dengan mengadakan perbaikan antara lingkungan kerja
dengan pekerja agar penyakit akibat kerja yang terjadi pada perawat di rumah
sakit diminimalisir kejadiannya. Hal ini tentu harus memperoleh dukungan dari
para stakeholder atau pengambil
kebijakan dalam menindaklanjuti laporan kegiatan surveilans risiko ergonomi
penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit.
i.
Evaluasi
Data Sistem Surveilans
Program
surveilans sebaiknya dinilai secara periodik untuk dapat dilakukan evaluasi
manfaat kegiatan surveilans. Sistem dapat berguna apabila memenuhi salah satu
dari pernyataan berikut:
1.
Apakah
kegiatan surveilans dapat mendeteksi kecenderungan dan mengidentifikasi perubahan
dalam kejadian kasus.
2.
Apakah
program surveilans dapat mendeteksi kejadian kasus di tempat kerja tersebut.
3.
Apakah
kegiatan surveilans dapat memberikan informasi tentang besarnya morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan kejadian penyakit di tempat kerja tersebut.
4.
Apakah
program surveilans dapat mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berhubungan
dengan kasus atau penyakit pada tempat kerja dalam hal ini rumah sakit di mana
perawat bekerja.
Dengan
menegakkan strategi pencegahan berbasis surveilans maka dengan mudah dapat
diidentifikasi faktor penyebab risiko ergonomik terjadinya penyakit akibat
kerja pada perawat di rumah sakit sehingga tindakan pencegahan dan tindakan
penatalaksaan penyakit akibat kerja ini dapat tepat sasaran karena telah
dilakukan identifikasi secara rinci mengenai risiko ergonominya. Selain itu,
dengan adanya pelaporan hasil kegiatan surveilans kepada pihak terkait, maka
tindakan pencegahan dan penanggulangan dapat memperoleh sarana dan prasaranan
dalam penegakkannya seperti penyesuai antara lingkungan kerja perawat dengan
beban kerja yang dilakukannya sehingga kasus musculoskeletal
disorders, low back pain (LBP), hernia nucleus pulposus (HNP) dan
sindrom carpal tunnel yang terjadi pada perawat dapat dicegah dan dikendalikan
kejadiannya.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menegakkan
strategi pencegahan berbasis surveilans maka dengan mudah dapat diidentifikasi
faktor penyebab risiko ergonomik terjadinya penyakit akibat kerja pada perawat
di rumah sakit sehingga tindakan pencegahan dan tindakan penatalaksaan penyakit
akibat kerja ini dapat tepat sasaran karena telah dilakukan identifikasi secara
rinci mengenai risiko ergonominya. Selain itu, dengan adanya pelaporan hasil kegiatan
surveilans kepada pihak terkait, maka tindakan pencegahan dan penanggulangan
dapat memperoleh sarana dan prasarana dalam penegakkannya seperti penyesuai
antara lingkungan kerja perawat dengan beban kerja yang dilakukannya sehingga
kasus musculoskeletal disorders, low back pain (LBP), hernia
nucleus pulposus (HNP) dan sindrom carpal tunnel yang terjadi pada perawat
dapat dicegah dan dikendalikan kejadiannya.
Langkah surveilans sebagai bentuk strategi pencegahan risiko
ergonomik terhadap penyakit akibat kerja pada perawat di rumah sakit meliputi:
1.
Perencanaan
Surveilans
2.
Pengumpulan
Data
3.
Pengolahan
dan Penyajian Data
4.
Analisis
Data
5.
Diseminasi
(Penyebarluasan Informasi)
6.
Umpan
balik (Feed Back)
7.
Investigasi
Penyakit
8.
Tindakan
Penanggulangan
9. Evaluasi Data Sistem Surveilans
B. Saran
Saran yang dapat diberikan terkait
dengan strategi pencegahan risiko ergonomi penyakit akibat kerja yakni
sebaiknya dilakukan dengan berbasis surveilans. Hal ini dimaksudkan dengan
tujuan agar tindakan
pencegahan dan tindakan penatalaksaan penyakit akibat kerja dapat tepat sasaran
dan dengan segera dapat menurunkan angka morbiditas penyakit akibat kerja yang
terjadi pada perawat. Selain itu, langkah-langkah dalam
pelaksanaan surveilans harus terstruktur dengan baik dan tersistematis serta
tujuan dari kegiatan surveilans yaitu tersedianya data dan informasi sebagai
untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan yang cepat dan tepat
secara menyeluruh dapat tercapai secara efektif dan efisien dalam hal ini baik
secara normatif, strategik serta secara teknis.
REFERENSI
1.
Adelia,
R., 2007. Nyeri Pinggang/Low Back Pain. Available from: http://www.fkunsri.wordpress.com/2007/09/01/nyeri-pinggang-low-backpain/
diakses 21 Januari 2015.
2. Aditama. dkk. 2003. Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Depok :
Penerbit Universitas Indonesia.
3.
Advance
Spine Care, 2010. Low Back Pain. Available from:
http://www.advancedspinecare.info/lowbackpain.html diakses 23 Januari 2015.
4.
Aulia,
Erizal. 2014. Faktor Resiko Penyebab
Nyeri Punggung Bawah Pada Perawat Di RSUD DR. Pirngadi Medan. Skripsi
Universitas Sumatera Utara. Medan.
5.
Azwar, Azrul. 1996. Pengantar
administrasi kesehatan edisi ketiga.
Jakarta: Binarupa Aksara.
6.
Bandriyo.
2006. Studi Kasus Kontrol Beban Angkat
dan Beban Pindah Kerja Fisik Perawat di Ruang Jalan dan Inap untuk Terjadinya
Penyakit HNP. Lumbalis di RSPP Jakarta Periode 1990-2002. FKMUI. Depok
7.
Bank
Data SDM Kesehatan. 2012. Rekapitulasi
SDM Kesehatan Indonesia.Http://bppsdmk.depkes.go.id/sdmk/.
Diakses 23 Januari 2015.
8.
Basuki
K., 2009. Faktor Resiko Kejadian Low Back Pain Pada Operator Tambang
Perusahaan Nickel di Sulawesi Selatan. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia.
Makassar.
9.
Bensimon
CM, Upshur REG (2007). Evidence and
effectiveness in decisionmaking for quarantine. AmJ Public
Health;97:S44-48.
10.
Brunner
& Suddarth’s Textbook of Medical – Surgical Nursing ed. 8 vol. 3.
Washington Square, Philadelphia, USA.
11.
Charney,
William and Anne Hudson (2004). Back injury among healthcare workers
: causes, solutions, and impacts. New York Washington, D.C. . ACRC Press
CompanyBoca Raton London.
12.
CorpMed.
2005. Patient Transfer Ergo Clinic. Http://www.corpmed.com
/corporate/PatientHandling.html. Diakses 23 Januari 2015.
13.
DCP2.
2008. Public Health Surveillance. The Best Weapon to Avert Epidemics.
Disease Control.
14.
Effendy, dkk. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.
15.
Fathoni,
H. et al, 2012. Hubungan Sikap dan
Posisi Kerja dengan Low Back Pain pada Perawat RSUD Purbalingga. Skripsi
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Soedirman, Jawa Tengah.
16.
Giesecke
J. 2002. Modern Infectious Disease Epidemiology. London: Arnold.
17.
Harsono.
2000. Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
18.
Kesumaningtyas.
2009. Gambaran Faktor-faktor Risiko yang
Berhubungan dengan pajanan HNP pada Perawat di Unit IGD, Operasi dan Syaraf di
Rumah Sakit Abdoel Moeloek Propinsi Lampung Tahun 2009. Skripsi FKM UI.
Depok.
19.
Miller
AL. et al. 2002. Cermin Dunia Kedokteran
No 136 : Occupational Exposure to Biohazard. In : Plog.
20.
Depkes
RI. 2004. Kepmenkes
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan
Penyakit. Jakarta.
21.
Dewi,
N.F. 2008. Tinjuan Risiko Ergonomi Musculoskeletal
Disorders (MSDs) pada Aktivitas Perawat IGD Rumah Sakit Tria Dipa Tahun 2008.
Skripsi Universitas Indonesia. Depok.
22.
Haruna,
2012. Konsep Aktivitas. Http://www.slideshare.net/haruna_06/konsep-aktivitas.
Diakses 23 Januari 2015.
23.
Hendra,
2000. Intro to K3. http://staff.ui.ac.id/internal/132255817/
material/IntrotoK3.pdf. diakses 24 Januari 2015.
24.
Hidayat,
A. 2008. Konsep Dasar Keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika.
25.
ILO.
2010. Ergonomic Checkpoints. www.ilo.org.
Diakses 23 Januari 2013.
26.
Kemenkes
RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1087 tahun 2010 tentang Standar Kesehatandan Keselamatan Kerja di Rumah
Sakit. Jakarta. http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/05/Kepmenkes-1087-Standar-K3-RS.pdf
diakses 24 Januari 2015.
27.
Last,
JM. 2001. A dictionary of epidemiology.
New York : Oxford University Press, Inc.
28.
Markkanen,
P.K. 2004. Occupational and Health in Indonesia. Filipina : ILO.
29.
Medical
dictionary, 2013. Low back pain research.available
from: http://www.online-medical-dictionary.org/ diakses 22 Januari 2015.
30.
Menaker. 1996. Permenaker No.5/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Jakarta http://betterwork.org/in-labourguide/wp-content/uploads/PERATURAN.MENTERI.TENAGA.KERJA_.NOMOR_..PER_..05MEN1996.TENTANG.SISTEM.MANAJEMEN.KESELAMATAN.DAN_.KE_1.pdf
diakses 24 Januari 2015.
31.
Menteri Nakertrans. 1981. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Tansmigrasi Nomor : Per.01/Men/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat
Kerja. Jakarta. http://betterwork.org/in-labourguide/wp-content/uploads/Permenakertrans-No-1-Th-1981-Kewajiban-Melapor-Penyakit-Akibat-Kerja.pdf
diakses 24 Januari 2015.
32.
Moeliono
F. 1993. Etiologi, Diagnosis dan Terapi
Sindroma Terowongan Karpal (S.T.K.) atau (Carpal Tunnel Syndrome/CTS).
Neurona. 1993; 10 : 16-27.
33.
Murti,
Bhisma. 2010. Surveilans. Surakarta : Universitas Negeri Surakarta.
34.
Noor, Nasri Noer. 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular.
Penerbit PT Rineka Cipta. Jakarta.
35.
_________. 2008. Dasar Epidemiologi. Penerbit PT Rineka
Cipta. Jakarta.
36.
Peter, Vi. 2000. Musculoskeletal Disorders. http://www.csao.org/uploadfiles/magazine/vol.11no3/musculo.html
diakses 21 Januari 2015.
37.
Safrizal. 2009. Pengaruh Sumber Daya Organisasi Puskesmas Terhadap Kinerja Petugas Surveilans Epidemiologi
dalam Pelaporan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kabupaten Bireuen. Tesis Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara. Medan.
38.
Selvianti,
Rizka. 2009. Gambaran Tingkat Risiko
Musculoskeletal Disorders (MSDs) dengan Metode Rapid Entire Body Assessment
(REBA) pada Pekerjaan Mengangkat Pasien oleh Perawat Unit Gawat Darurat (UGD)
di Rumah Sakit Atma Jaya Tahun 2009. Skripsi Universitas Indonesia. Depok.
39.
Suhardi Bambang, 2008. Buku Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi. Jakarta :
Direktorat Pembinaan Sekolah menengah Kejuruan.
40.
Suma’mur,
P.K. 1995.
Higiene Perusahaan dan Kesehatan
Kerja. Jakarta : Gunung Agung.
41.
Tarwaka,
dkk. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan,
Keselamatan & Produktivitas. Surakarta : UNIBA Press.
42.
Thomas R. Waters, Vern Putz
Anderson, Arun Garg, 1994. Aplications
Manual for The Revised NIOSH Lifting Equation. www.cdc.gov/NIOSH/html diakses 21
Januari 2015
43.
Wijono, Djoko., 1997. Manajemen Kepemimpinan dan Organisasi
Kesehatan. Surabaya
: Penerbit Airlangga University Press.
cara yang bagus dan tdk sulit...
BalasHapussemoga bermanfaat.
www.sepatusafetyonline.com
Informasi yang bermanfaat. Apakah K3 untuk tenaga kesehatan sudah diterapkan di indonesia?
BalasHapus