Sabtu, 12 November 2011

RABIES

Dokter hewan, yang menjadi Direktur Pusat Veterinaria Farma Surabaya pada tahun 1997, merasa beruntung. Ia ikut menangani penyakit rabies atau anjing gila di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Waktu itu ia ditugasi Direktur Jenderal Peternakan Departemen Pertanian untuk meneliti kejadian rabies di sebuah desa pantai di Larantuka, Flores Timur. Sebelumnya Pulau Flores bebas rabies. Ia segera mencari kasus pertama rabies yang menyerang manusia. Ia mencari saksi-saksi dan mencari sampel untuk uji laboratorium.
Seorang warga melihat sendiri bahwa orang yang meninggal itu sebelumnya digigit anjing. Ada saksi juga bahwa ketiga anjing itu dibawa nelayan Larantuka dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Pulau Buton adalah pulau tertular rabies.
”Setelah mempelajari epidemiologinya (studi tentang penyebab dan penyebaran penyakit), rabies di Pulau Flores bisa diketahui masuk dari Pulau Buton,” kata Budi Tri Akoso, mantan Direktur Kesehatan Hewan dan Kepala Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian, Sabtu (23/10).
Sekali seekor anjing tertular Lyssavirus, virus penyebab rabies, memasuki suatu pulau, penyakit itu tak lama lagi menyebar. Dalam Kongres Ke-16 Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) dan Konferensi Ilmiah Veteriner Ke-11, 10-13 Oktober 2010 di Kota Semarang, Jawa Tengah, sejumlah makalah juga memaparkan rabies, termasuk di Flores Timur tersebut.
Makalah dari Ewaldus Wera, Maria Geong, dan Marthen B Malole, yang memaparkan epidemiologi rabies di Flores Timur, menyebutkan, dalam periode 1997-2000, di antara 723 orang yang tergigit anjing di Flores Timur, 21 orang di antaranya meninggal karena rabies. Hal itu berarti setiap 34 orang tergigit, satu orang meninggal. Umur korban bervariasi dari 2,5 tahun hingga 68 tahun, sebanyak 66,7 persen adalah laki-laki.
”Dari kejadian di Flores itu saya waktu itu (tahun 1997) sudah menduga, rabies akan segera sampai ke Bali,” tutur Budi Tri Akoso, penulis buku Pencegahan & Pengendalian Rabies (Penerbit Kanisius, 2007) itu.
Benar, 11 tahun kemudian, rabies sampai ke Bali. Pulau Bali, yang dinyatakan bebas rabies secara historis selama 82 tahun sejak ada Ordonansi Rabies tahun 1926, itu akhirnya tak mampu mencegah menyebarnya virus rabies. Penghalang alami, yaitu lautan yang memisahkan pulau-pulau, akhirnya kalah dari lalu lintas manusia dan hewan yang semakin intens tahun-tahun terakhir ini.
Kejadian rabies pada manusia di Bali pertama kali terjadi di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, di ujung selatan Pulau Bali. Pada November 2008, empat orang meninggal dengan gejala ensefalitis atau radang otak dengan riwayat pernah digigit anjing.

Sejak itu rabies mewabah di seluruh Bali. Apalagi kasus gigitan anjing cukup tinggi karena anjing liar yang banyak. Dinas Peternakan Bali mencatat, sekitar 50.000 kejadian manusia digigit anjing. Berdasarkan data terakhir dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga 15 Oktober 2010, sebanyak 102 orang meninggal dunia karena rabies (Kompas, 16/10).
Menurut Kepala Dinas Peternakan Provinsi Bali Putu Sumantra, seperti dikutip Antara, Sabtu, kegiatan vaksinasi telah menjangkau 80,91 persen dari perkiraan populasi anjing di Bali yang berjumlah 447.966 ekor, yaitu 362.473 ekor. Eliminasi anjing liar telah menjangkau 117.315 ekor atau 23,76 persen dari seluruh populasi anjing.
Dampak ekonomi

Rabies adalah tragedi bagi kemanusiaan dan kehewanan karena korban jiwa yang diakibatkannya. Selain itu, dampak ekonomi juga sangat signifikan. Ewaldus Wera, Maria Geong, dan Maxs UE Sanam, dalam makalah di Kongres Ke-16 PDHI tersebut, memaparkan analisis ekonomi akibat rabies menggunakan model ekonomi.
Total kerugian ekonomi atas rabies di NTT tahun 1998-2007 mencapai Rp 142 miliar atau Rp 14,2 miliar per tahun. Biaya itu dihabiskan untuk biaya pengobatan pascagigitan anjing pada manusia Rp 19,9 miliar serta biaya vaksinasi dan biaya eliminasi hewan tertular sebesar Rp 122,5 miliar.
Tak hanya itu, seperti dilaporkan AFP Agustus 2010, Pemerintah Amerika Serikat dan Australia juga telah memperingatkan warganya agar berhati-hati berkunjung ke Bali karena wabah rabies tersebut.
Para dokter hewan di Bali atau mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang sebelum tahun 2008 hanya mempelajari rabies dari buku-buku, sekarang dapat mempelajari langsung penyakit ini. Dokter hewan Soeharsono, praktisi hewan kecil di Klinik Hewan Canifeli di Denpasar, Bali, bersama sejumlah rekannya, misalnya, memaparkan kasus rabies alami pada anak anjing. Selain anjing dewasa, anak anjing juga bisa menularkan rabies.
Menurut Soeharsono, gejala klinis dari rabies pada anak anjing itu memang tidak terlalu spesifik. Namun, dari pengamatan di Denpasar, kecurigaan terhadap rabies harus sudah ada apabila seekor anjing menggigit seseorang atau seekor hewan lain disertai gejala menyimpang (bersembunyi, suka menggigit meski tidak kelihatan agresif). Apabila anak anjing tersebut mempunyai sejarah pernah digigit anjing lain, hal ini akan lebih menguatkan dugaan. Untuk memantapkan diagnostik, perlu dilakukan uji antibodi fluoresen (fluorescent antibody test).
Sekarang, setelah dua tahun terjadi wabah rabies di Bali, sebuah tim gabungan tengah meneliti dari mana datangnya anjing yang menularkan rabies tersebut ke anjing di Bali. Tim gabungan tersebut terdiri atas ahli dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, serta Balai Besar Veteriner Denpasar. ”Kita tunggu hasil penelitian ini,” ujar Guru Besar Virologi FKH Universitas Udayana Prof Dr IGN Kade Mahardika.

Namun, sejumlah indikasi dikemukakan Mahardika, yaitu bahwa kecil kemungkinan anjing rabies masuk dari Pulau Lombok yang bebas rabies atau Pulau Jawa yang memiliki riwayat rabies. Kemungkinan anjing berasal dari Pulau Flores atau Pulau Sulawesi.
Beberapa faktor yang mungkin dapat menyebabkan perpindahan anjing tertular ke Bali adalah transportasi anjing tanpa pengawasan yang ketat, perpindahan anjing oleh nelayan, dan permintaan akan anjing untuk status sosial.

Kampanye antirabies
Untuk itu, Mahardika menyarankan upaya untuk menanggulangi rabies di Bali secara radikal. Vaksinasi dan eliminasi anjing harus dilakukan secara massal dan serentak, tidak seperti selama ini yang sporadis dan lambat.
Kampanye besar-besaran untuk menyadarkan bahaya rabies kepada masyarakat perlu dilakukan, seperti sedang diupayakan FKH Universitas Udayana dengan Unicef. Selain itu, pengawasan ketat terhadap lalu lintas hewan juga perlu digalakkan.
Provinsi Bali telah mencanangkan Bali Bebas Rabies tahun 2012. Untuk mengatur anjing telah pula dibuat Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Penanggulangan Rabies.
Upaya mendasar itu perlu karena Kementerian Kesehatan pada 2009 telah mengumumkan 24 dari 33 provinsi di Indonesia tertular rabies. Sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies adalah Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua.
Secara internasional, lebih dari 150 negara tertular rabies. Untuk itu, kampanye pemberantasan rabies itu antara lain dilakukan oleh Alliance for Rabies Control dengan menetapkan 28 September sebagai Hari Rabies sejak 2006. Kampanye ini penting terlebih setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan rabies sebagai salah satu dari 17 penyakit tropis yang terabaikan dan memerlukan perhatian dunia.
Di atas semua itu, untuk Indonesia, diperlukan suatu otoritas veteriner yang kuat dengan memberi peran dokter hewan lebih besar guna mengurusi persoalan kedokteran hewan. Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia sudah berulang kali mengusulkan kepada pemerintah agar otoritas veteriner ini diperkuat untuk menanggulangi berbagai penyakit hewan di Tanah Air. Sekarang bola berada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar