Jumat, 27 Maret 2015

PERSONAL MASTERY SEBAGAI DISIPLIN PENINGKATAN PERAN KEPALA KELUARGA DALAM MEMBINA KELUARGA

A.  Tinjauan Tentang Keluarga
1.    Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas Kepala Keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998). Sedangkan definisi keluarga menurut WHO (1969) merupakan anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah adaptasi atau perkawinan (WHO, 1969). Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat (Helvie, 1981).
Dalam pengertian sosiologis, secara umum keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putrinya, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Jadi keluarga merupakan kesatuan sosial yang terikat oleh hubungan darah dan masing-masing anggotanya mempunyai peranan yang berlainan sesuai dengan fungsinya.
Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri (Soelaeman, 1994:5-10).
Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua (Soelaeman, 1994:12).
Kalau kita mempersempit pengertiannya, keluarga dapat diartikan sebagai sekumpulan orang-orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dimana satu sama lainnya saling ketergantungan (BKKBN, 1990:37). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dikatakan keluarga adalah mereka yang tinggal di dalam satu rumah atau satu atap baik itu adanya ikatan darah maupun bukan ikatan darah. Jadi dalam hal ini, pengertian keluarga dibatasi oleh tempat tinggal.
2.    Bentuk-bentuk Keluarga
Bentuk-bentuk keluarga dapat dibedakan sebagai berikut:
a.    Tradisional
Pembagian bentuk keluarga secara tradisional dibedakan sebagai berikut:
1)   Nuclear Family (Kelurga Inti)
Ayah, ibu, anak tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.
2)   Reconstituted Nuclear
Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami atau istri. Tinggal dalam satu rumah dengan anak-anaknya baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru.
3)   Niddle Age atau Aging Cauple
Suami sebagai pencari uang, istri di rumah atau kedua-duanya bekerja di rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah atau perkawinan / meniti karier.
4)   Keluarga Dyad / Dyadie Nuclear
Keluarga yang terdiri dari suami istri dan tanpa adanya anak.
5)   Single Parent
Satu orang tua (ayah atau ibu) dengan anak.
6)   Dual Carrier
Suami istri / keluarga orang karier dan tanpa anak.
7)   Commuter Married
Suami istri / keduanya orang karier dan tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.
8)   Single Adult
Orang dewasa hidup sendiri dan tidak ada keinginan untuk kawin.
9)   Extended Family
1, 2, 3 geneasi bersama dalam satu rumah tangga.
10)    Keluarga Usila
Usila dengan atau tanpa pasangan, anak sudah pisah.
b.    Non Tradisional
1)      Commune Family
Beberapa keluarga hidup bersama dalam satu rumah, sumber yang sama, pengalaman yang sama.
2)      Cohibing Coiple
Dua orang / satu pasangan yang tinggal bersama tanpa kawin.
3)      Homosexual / Lesbian
Sama jenis hidup bersama sebagai suami istri.
4)      Institusional
Anak-anak/orang-orang dewasa tinggal dalam suatu panti-panti.
5)      Keluarga orang tua (pasangan) yang tidak kawin dengan anak
3.    Fungsi Keluarga
Fungsi dari keluarga adalah memenuhi kebutuhan anggota individu keluarga dan masyarakat yang lebih luas. WHO (1978) membagi fungsi keluarga menjadi beberapa bagian, antara lain:
a.    Fungsi Biologis
Fungsi biologis sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga, dan merawat serta memelihara anggota keluarga.
b.    Fungsi Psikologis
Fungsi psikologis sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian di antara anggota keluarga, membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga, dan memberikan identitas keluarga.
c.    Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosiologi sebagai fungsi keluarga bertujuan membina sosialiasasi pada anak, membina norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkah perkembangan anak, dan meneruskan nilai-nilai keluarga.
d.   Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan dan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang misalnya untuk pendidikan anak dan jaminan hari tua.
e.    Fungsi Pendidikan
Fungsi pendidikan sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa, dan mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
Friedman (1998) mengkategorikan fungsi keluarga sebagai berikut:
a.    Fungsi Affective
Fungsi affective sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan sehat secara mental, saling mengasuh, menghargai, terikat dan berhubungan, mengenal identitas individu dan memberikan rasa aman.
b.    Fungsi Sosialisasi Peran
Fungsi sosialiasasi peran sebagai fungsi keluarga bertujuan sebagai proses perubahan dan perkembangan individu untuk menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan, sebagai fungsi dan peran di masyarakat dan sebagai sasaran untuk kontak sosial di dalam atau di luar rumah.
c.    Fungsi Reproduksi
Fungsi reproduksi sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk menjamin kelangsungan generasi dan kelangsungan hidup masyarakat.
d.   Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tiap anggota keluarga, menambah penghasilan keluarga sampai dengan pengalokasian dana.
e.    Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk mengetahui konsep sehat sakit keluarga dan memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang sakit, tujuan kesehatan keluarga dan keluarga mandiri.
Sedangkan fungsi keluarga menurut BKKBN (1992) antara lain:
a.    Fungsi keagamaan: memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di dunia ini.
b.    Fungsi sosial budaya: membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
c.    Fungsi cinta kasih: memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga
d.   Fungsi melindungi: melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman
e.    Fungsi reproduksi: meneruskan keturunan, memelihara dan membesar-kan anak, memelihara dan merawat anggota keluarga.
f.       Fungsi sosialisasi dan pendidikan: mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya, menyekolahkan anak, bagaimana keluarga memper-siapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik
g.    Fungsi ekonomi: mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang
h.    Fungsi pembinaan lingkungan

4.    Peran Keluarga
Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal yang berhubungan dengan posisi dan situasi tertentu. Berbagai peran ayng terdapat dalam keluarga adalah sebagai berikut:
a.    Peran ayah sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, kepala rumah tangga, anggota dari kelompok sosialnya dan anggota masyarakat.
b.    Peran ibu sebagai isteri, ibu dari anaknya, mengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik dan pelindung bagi anak-anaknya, anggota kelompok social dan anggota masyarakat serta berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarga.
c.    Peran anak-anak sebagai pelaksana peran psikososial sesuai dengan tingkat perkembangan baik fisik, mental dan spiritual.
5.    Pendekatan-pendekatan dalam Keluarga
Pendekatan-Pendekatan dalam keluarga sebagai berikut:
a.    Pendekatan Peranan
Keluarga sebagai sistem peran merupakan gambaran yang mengandung harapan, kebudayaan terhadap tingkah laku dalam keluarga merupakan tempat dimana peranan tersebut dipelajari dan diterapkan.
b.    Pendekatan Sebab-Akibat
Menurut Nimkof, keluarga dapat dipandang sebagai:
1)   Keluarga sebagai variabel terikat
Keluarga merupakan tujuan terhadap harapan, tuntutan dan keinginan dari sistem sosial yang lebih besar.
2)   Keluarga sebagai variabel bebas
Keluarga merupakan pendukung kekuatan potensial bagi suatu generasi sebagai gambaran alternatif di masa yang akan datang.
c.    Pendekatan Sistem Evolusi
Keluarga sebagai sistem evolusi menurur Bouiding, kehidupan keluarga merupakan perubahan secara lambat dari berbagai usia yang disosialisasikan melalui peran.
6.    Konsep-konsep Keluarga
Konsep keluarga mencakup pendekatan untuk memahami keluarga. Konsep yang dimaksud sebagai berikut:
a.    Pendekatan Fungsionalis Struktural
Menurut pendekatan ini, keluarga dipandang sebagai sistem sosial yang mempunyai fungsi beberapa tugas atau fungsi bagi masyarakat dan bagi anggota keluarga, sebagai suatu sistem anggota mempunyai hubungan dan saling ketergantungan satu sama lain. Pendekatan fungsionalis memandang keluarga berdasarkan beberapa teori:
1)   Teori peranan
Keluarga merupakan suatu sistem peranan dimana setiap anggotanya nempunyai peranan yang berbeda yang tentunya saling melengkapi.
2)   Teori konflik
Di dalam keluarga dapat terjadi konflik peranan sebagai akibat dari peranan yang berbeda dalam keluarga.
b.    Teori Konflik Sosial
Dalam suatu keluarga tidak dapat dihindarkan terjadinya konflik, namun konflik ini berfungsi positif untuk mempererat hubungan diantara anggota keluarga.
c.    Teori Interaksi Simbolis
Interaksi anggota keluarga didasarkan pada pemahaman secara obyektif pada suatu situasi dalam keluarga. Interaksi simbolis dalam keluarga bertujuan untuk memelihara proses sosialisasi, nilai, keyakinan, dan sikap.
d.   Teori Pertukaran Sosial
Berasumsi bahwa hubungan manusia didorong oleh pertimbangan akan keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya dengan orang lain.
e.    Pendekatan Perkembangan
Memfokuskan pada tugas perkembangan individu dalam rentang kehidupannya, dalam hal ini keluarga diharapkan dapat menyelesaikan tugas-tugas dalam setiap tahapan-tahapan tersebut.
B.  Tinjauan Tentang Leadership (Kepemimpinan) dalam Keluarga
1.    Definisi Leadership
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kepemimpinan dapat berfungsi sebagai kedudukan sosial dan sekaligus sebagai proses sosial. Sebagai kedudukan sosial pemimpin merupakan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai proses sosial kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang yang dapat bergeraknya warga masyarakat. (Sutikno, 2014)
Kepemimpinan berbeda dengan dengan pemimpin, pemimpin adalah orang yang tugasnya memimpin, sedangkan kepemimpinan adalah suatu bakat atau sifat  yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam mewujudkan tujuan organisasi atau lembaga yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2.    Tujuan dan Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan mempunyai penekanan yang sama yaitu arah dan tujuan bagi organisasi. Kepemimpinan lebih banyak berfokus menciptakan visi ke depan bagi organisasi dan mengembangkan strategi jauh ke depan tentang perubahan-perubahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi tersebut bagi organisasi. Kepemimpinan lebih banyak memandang pada horizon yang luas (keeping eye on the horizon) dan menekankan hasil-hasil jangka panjang (long term result) (Kotter, 1996) dalam Kartono (2003).
Tujuan kepemimpinan meliputi tujuan organisasi, tujuan kelompok, tujuan pribadi anggota kelompok, dan tujuan pribadi pemimpin.
a.    Tujuan organisasi dimaksudkan untuk memajukan organisasi yang bersangkutan dan menghindari diri dari maksud-maksud yang irasional organisasi yang ada.
b.    Tujuan kelompok dimaksudkan untuk menanamkan tujuankelompok pada masing-masing anggota sehingga tujuan kelompok dapat segera tercapai.
c.    Tujuan pribadi anggota kelompok maksudnya untuk memberi pengajaran, pelatihan, penyuluhan, konsultasi bagi tiap anggota kelompok sehingga anggota kelompok dapat mengembangkan pribadinya.
d.   Tujuan pribadi pemimpin maksudnya untuk memberi kesempatan pada pimpinan berkembang dalam tugasnya, seperti mempengaruhi, memberi nasehat, dan sebagainya.
Fungsi kepemimpinan yaitu membantu kelompok:
a.    Menentukan kegunaan dan tujuan.
b.    Memfokuskan diri pada proses kerja secara bersama.
c.    Lebih waspada/memperhatikan akan sumber-sumber yang dimiliki, dan cara yang terbaik untuk memanfaatkannya.
d.   Mengevaluasi kemajuan dan perkembangan.
e.    Menjadi terbuka untuk ide baru dan ide yang berbeda tanpa menjadi berhenti karena konflik.
f.       Belajar baik dari kegagalan dan frustasi, maupun dari keberhasilan.
3.    Jenis-jenis Kepemimpinan
Secara sosiologi kepemimpinan dapat dibagi menjadi dua macam, yakni kepemimpinan formal (resmi) dan kepemimpinan informal (tidak resmi). Kepemimpinan resmi adalah kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu jabatan yang bersifat struktural, yaitu kepemimpinan didasarkan pada struktur organisasi secara resmi dalam suatu kelompok atau masyarakat, sedangkan kepemimpinan informal adalah kepemimpinan karena adanya pengakuan masyarakat akan adanya kemampuan (capability) seseorang untuk menjalankan kepemimpinan yang bersifat fungsional, di mana kepemimpinan dilihat dari segi fungsi-fungsi sosial dalam suatu interaksi sosial. Dalam diskursus teori kepemimpinan, terdapat tiga teori yang menonjol mengenai timbulnya seorang pemimpin, antara lain sebagai berikut.
a.    Teori Genetis
Dalam teori ini pendapat yang munculadalah bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia merupakan keturunan pemimpin yang telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan seperti apa pun ditempatkan suatu saat ia akan muncul menjadi pemimpin karena ia telah ditakdirkan atau sering disebut dengan istilah leaders are born and nor made (pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat).
b.    Teori Sosial
Teori ini lebih mengetengahkan bahwa setiap orang dapat menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup (leaders are made and nor born). Pada hakikatnya setiap orang dapat menjadi pemimpin meskipun bukan keturunan dari seorang pemimpin.
c.    Teori Ekologis
Teori ini mengedepankan bahwa seorang akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia sejak lahirnya telah memiliki bakat kepemimpinan dan bakat-bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimilikinya.

Dalam perkembangannya ada pendapat lain yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang pemimpin itu tidak hanya bakat dan lingkungan, tetapi ada faktor lainyaitu kegiatan pribadi (kemauan dan usaha sendiri). Hal inilah yang mendorong munculnya teori keempat, yaitu tiga dimensi atau teori kontigensi. Artinya, ada tiga faktor yang mempengaruhi dalam proses perkembangan menjadi seorang pemimpin atau tidak, yakni; pertama, bakat kepemimpinan yang dimiliki; kedua, pendidikan, pengalaman dan latihan kepemimpinan yang dimilikinya; ketiga, kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut. Disebut teori kontigensi karena dapat tidaknya seorang menjadi pemimpin merupakan serba memungkinkan, bukan suatu yang pasti. Sesorang bisa atau mungkin menjadi pemimpin jika bakat, lingkungan, kesempatan, dan kepribadiannya sendirimemungkinkan (motivasi dan minat).
Jika dikaitkan dengan teori tiga dimensi atau teori kontigensi di atas, seseorang menjadi pemimpin merupakan proses gabungan dari tiga faktor yang terlibat yakni bakat kepemimpinan yang dimiliki, pendidikan dan pengalaman, serta kesempatan mengembangkan diri. Maka faktor kedua dan terakhir inilah yang mengakibatkan peluang dan kesempatan perempuan terbatasdan terlambat untuk mengembangkan diri tumbuh menjadi pemimpin. Dari diskursus kepemimpinan di atas, baikteori genetis, sosial, dan ekologis tidak satu pun yang mempersoalkan jenis kelamin atau seks tertentu sebagai pemilik dominan untuk menjadi seorang pemimpin, terlebih lagi bahwa kepemimpinan adalah suatu yang harus dilatih dan diupayakan, bukan suatu yang melekat sejak lahir. Hal ini berarti bahwa laki-laki maupun perempuan sesungguhnya sama-sama mempunyai hak kepemimpinan dalam keluarga, tergantung siapa yang berhasil memperolehnya. Dari penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses mempengaruhi aktivitas dari individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.
Sementara itu, keluarga adalah sebuah institusi yang merupakan wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tenteram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang antara suami dan istri. Dengan demikian, demi mewujudkan tujuan tersebut sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab. Dalam pandangan sosiologis, keluarga meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah atau keturunan, secara khusus keluarga meliputi orang tua (bapak & ibu) dan anak-anak yang tinggal dalam kesatuan sosial ekonomi. Keluarga yang terdiri dari ketiga unsur tersebut mempunyai fungsi, sebagai tempat pertama bagi proses sosialisasi dan enkulturasi anak-anak yang dilahirkan dari ikatan pasangan suami dan istri. Ikatan suami dan istri dalam keluarga merupakan kesetiaan cinta kasih. Dari pengertian itu keluarga mempunyai peran sosial yang diikat oleh relasi seks, cinta, kesetiaan, dalam bentuk pernikahan. Dalam hal ini, laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri dengan konsepsi istriadalah patner hidup bagi suami, dan sebaliknya. Begitu juga dalam kepemimpinan keluarga.
Secara jelas kalau kita gabungkan dari pengertian kepemimpinan dalam keluarga adalah termasuk dalam katerori kepemimpinan non formal. Artinya seseorang dapat menjadi pemimpin ataudapat menduduki posisi yang ia inginkan dengan catatan ia bisa memenuhi syaratdari posisi tersebut, karena dalam keluarga tidak ada diskriminatif terhadap jenis kelamin. Adanya kerja sama yang baik antara suami dan istri dengan masing-masing melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang disepakai kedua belah pihak.
4.    Tipe Kepemimpinan
Tipe/gaya kepemimpinan menurut Lippite dan Whyte dalam Kartono (2003), terdiri atas:
a.    Gaya kepemimpinan yang autocratic (autocratic, restrictive, directive), Pemimpin menentukan semua kebijakan, kemudian memberikan petunjuk untuk penerapannya. Pengumuman keputusannya tanpa memerlukan feed back atau umpan balik dari kelompok yang dipimpin. Metode untuk melaksanakan keputusan tersebut hanya dijelaskan secara bertahap. Hanya pemimpinlah yang perlu memiliki wawasan menyeluruh tentang apa yang perlu dilaksanakan. Umpan balik kepada anggota hanya diberikan dalam bentuk pujian atau kritik kepada seseorang. Memberikan umpan balik terhadap informasi dari pemimpin akan mengembangkan figur kepemimpinan yang menjurus ke gaya paternalistis (father knows best). Pemimpin mempunyai hubungan interpersonal dengan yang dipimpinnya. Ia dapat memberikan rasa aman dan penghargaan wajar kepada kelompoknya sepanjang mereka mampu menunjukkan kesetiaan kelompok terhadap perintah. Pemimpin yang autoritarian cenderung yang disebut birokrat. Adapun variasi gaya autocrat yang berkembang menjadi mature autocrate atau autocrat yang dewasa (diplomat). Ciri gaya pemimpin seperti ini adalah memberikan kebebasan kepada staf sesuai dengan batas-batas kebijakannya yang cukup ketat.
b.    Gaya democratic (participative, egalitarian), Pemimpin menyarankan kepada anggota kelompok untuk mengembangkan keputusannya sendiri. Kelompok diberikan kebebasan melakukan kegiatan dan berinteraksi satu sama lain. Umpan balik diberikan secara objektif kepada kelompok sesuai dengan situasi yang berkembang di lingkungannya. Versi lain dari gaya kepemimpinan democratic adalah collaborative dan collegial democratic style.
c.    Gaya Laissez-faire (permissive, free rein), Gaya kepemimpinan ini memberikan kebebasan penuh kepada kelompok. Dukungan fasilitas dan sumber daya sudah tersedia dan anggota diminta bekerja secara optimal. Pemimpin hanya bertugas memberikan tanggapan jika ada pertanyaan yang diajukan kepadanya. Umpan balik tidak pernah diberikan kepada anggota kecuali diminta. Pemimpin dengan gaya laissez-faire disebut seorang liberator.
Dalam pelaksanaannya ketiga kepemimpinan yang dijelaskan pada bagian dua, orang tua memiliki khas/kecerdasan yang dapat memadai apakah kepentingan orang tua tersebut termasuk dalam bentuk kepemimpinan yang demokratis, otoriter ataukah liberal (Laissez Faire). Sesuai yang dikemukakan dalam buku menuju keluarga Sakinah (Salman, 2000:80-81). Bahwa ciri khas/kecenderungan dari masing-masing bentuk kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Kepemimpinan yang demokratis, orang tua menunjukkan perhatian dan kasih sayang, berperan serta dalam kegiatan anak, percaya pada anak, tidak terlalu banyak mengharap dari anak serta memberi dorongan dan nasehat kebijaksanaan pada anak
b.    Kepemimpinan yang otoriter, dimana orang tua (keluarga) menuntut kepatuhan mutlak anak, pengawasan ketat terhadap anak dalam segala kegiatannya, memperhatikan hal-hal yang sepele dan banyak mengeritik anak.
c.    Kepemimpinan yang liberal (Laissez Faire), orang tua tidak dapat mengendalikan anaknya, disiplin lemah dan tidak konsisten, anak dibiarkan mengikuti aturan-aturan di rumah serta anak dibiarkan mendominir orang tua (Salam, 2000:80-81).
Kepemimpinan orang tua tersebut di atas, tentunya akan membawa dampak yang berbeda-beda terhadap kematangan diri anak-anaknya. Dampak pola asuhan demokratis ini adalah anak memliki kepercayaan diri yang wajar, bersikap optimis, memiliki daya kreatif yang pada akhir berpengaruh positif terhadap kematangan diri anaknya, dampak pola asuhan ototiter ini adalah anak yang tidak aman, kurang percaya diri, mudah ragu dan putus asa, pasif dan tidak bisa berkembang. Sedangkan dampak pola asuh liberal ini anak masa bodoh, acuh ta’acuh, tidak menghargai orang lain serta tidak memperdulikan keadaan orang lain dan dampaknya tidak baik terhadap pembentukan kematangan diri anak. Oleh karena itu keluarga merupakan yang terdekat membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Orang tua memiliki perananan yang sangat penting dalam perkembangan anaknya.
Empat Peran Kepemimpinan Dalam Keluarga yang diajarkan oleh Stephen R. Covey:
a.    Modelling: Berikan teladan yang baik.
b.    Mentoring: Jadilah sahabat yang baik.
c.    Organizing: Ciptakan lingkungan yang baik.
d.   Teaching: Ajarkan prinsip hidup yang baik.
C.  Tinjauan Tentang Learning Organization
1.    Definisi Learning Organization
Learning Organization adalah suatu konsep yang berawal dari fenomena yang terjadi yaitu individu dan organisasi mengalami masalah persaingan. Sehingga bagaimana individu dalam organisasi tersebut dapat memper-tahankan bahkan meningkatkan kemampuannnya dalam persaingan tersebut.  Bagaimana organisasi dianggap mampu untuk terus menerus melakukan proses pembelajaran mandiri (self learning) sehingga organisasi tersebut memiliki ‘kecepatan berpikir dan bertindak’ dalam merespon beragam perubahan yang muncul. Istilah learning organization sudah lama ada, sekurang-kurangnya sudah ditemukan dalam buku C. Argyris dan D. Schon, Organizational Learning: A Theory of Action Perpective. Namun demikian istilah ini baru mengglobal dalam kosakata manajemen setelah terbitnya buku Peter M. Senge, The Fifth Discipline; The Art and Practice of the Learning Organization. Buku ini dinyatakan oleh Harvard Business Review pada tahun 1997 sebagai salah satu paling berpengaruh di bidang manajemen dalam 75 tahun terakhir.
Peter M. Senge menjelaskan tentang learning organization sebagai berikut: This then, is the basic meaning of a “learning organization” – an organization that is continually expanding its capacity to create its future. For such an organization, it is not enaugh merely to survive. “Survival learning” or what is more often termed “adaptive learning” is important – indeed it is necessary. But for a learning, “adaptive learning” must be joined by “generative learning”, learning that enhances our capacity to create.
Konsep LO adalah konsep generic dengan penerapan yang harus berciri lokal di dalam sistem organisasi oleh anggota organisasi sendiri. Penerapannya menghendaki perubahan yang bersifat transformasi bukan transplantasi. Inti tugas dari organisasi belajar (LO):
a.    Meningkatkan kapasitas sejawat.
b.    Membangun kemampuan kolektif untuk memahami sistem.
c.    Menghilangkan permainan lama di tempat kerja.
d.   Teori dan pemahaman mendasar tentang dunia yang dikaji dan dikuasai agar bisa dipraktekkan.
e.    Didasarkan atas lima disiplin belajar.
f.       Menjadikan pembelajar seumur hidup pada jalur yang tidak berujung: paham akan “hakekat” institusi pembelajar
Organisasi pembelajaran adalah organisasi yang terus menerus belajar meningkatkan kemampuannya untuk dapat bertahan dan berkembang menuju pencapaian visi bersamanya dalam lingkungan yang terus berubah. Senge mencatat tujuh penyakit yang menghambat pembelajaran (learning disabilities) yaitu:
a.    I am my position : kebiasaan melihat masalah dari sudut kepentingan sendiri ketimbang keseluruhan kepentingan didalam satu sistem. Semua boleh berubah, kecuali posisiku. Perilaku melihat masalah dari sudut pandang sendiri; tidak melihat kepentingan menyeluruh yang lebih besar.
b.    The enemy is out three: kebiasaan melihat kesalahan pada pihak lain, diluar diri sendiri, sebagai “kambing hitam”.
c.    The illusion of taking charge: kebiasaan sibuk bekerja tanpa mencari akar sebab dari masalah untuk memecahkan pada skala yang lebih luas.
d.   The fixation on events: kebiasaan melihat masalah pada peristiwa masa kini saja, ketimbang pada sebabnya yang berada jauh di belakang, dan dampaknya ke masa depan yang panjang.
e.    The parable of the boiled frog: kebiasaan menyesuaikan diri dengan sebab-sebab masalah yang kecil hingga sebab-sebab tersebut menumpuk, membesar, dan melumpuhkan kemampuan diri untuk mengatasinya.
f.       The delusion of learning from experience: kebiasaan untuk hanya belajar dari pengalaman sendiri, bukan dari pengalaman pihak yang terkena dampak sesuatu keputusan.
g.    The myth oh the management team: kebiasaan membentuk kelompok kerja untuk menangani sesuatu masalah dimana para anggotanya secara sempit hanya memperhatikan kepentingan diri dan satuan organisasinya, bukan kepentingan keseluruhan organisasi yang menjangkau jauh kemasa depan.
Untuk mengatasi “tujuh penyakit” tersebut Senge mengemukakan lima Disiplin sebagai “obatnya”. Senge mendefinisikan “disiplin” sebagai berikut: By “discipline” I do not mean an “enforced order” or “means of punishment,” but a body of theory and technique that must be studied and mastered to be put into practice.
Peter Senge (1995) mengemukakan definisi organisasi belajar sebagai suatu disiplin untuk mengembangkan potensi kapabilitas individu dalam organisasi yang dikenal dengan The Fifth Dicipline yang telah diterjemahkan oleh Adiarni (1996) yang dikenal dengan Disiplin Kelima, sebagai berikut:
a.    Berpikir Sistem (Systems Thinking)
Setiap usaha manusia, termasuk bisnis, merupakan sistem karena senantiasa merupakan bagian dari jalinan tindakan atau peristiwa yang saling berhubungan, meskipun hubungan itu tidak selalu tampak. Oleh karena itu organisasi harus mampu melihat pola perubahan secara keseluruhan, dengan cara berpikir bahwa segala usaha manusia saling berkaitan, saling mempengaruhi dan membentuk sinergi.
b.    Penguasaan Pribadi (Personal Mastery)
Setiap orang harus mempunyai komitmen untuk belajar sepanjang hayat dan sebagai anggota organisasi perlu mengembangkan potensinya secara optimal. Penguasaan pribadi ini merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan enerji, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif. Kenyataan menunjukkan bahwa seseorang memasuki suatu organisasi dengan penuh semangat, tetapi setelah merasa “mapan” dalam organisasi itu lalu kehilangan semangatnya. Oleh karena itu, disiplin ini sangat penting artinya bahkan menjadi landasan untuk organisasi belajar.
c.    Pola Mental (Mental Models)
Setiap orang mempunyai pola mental tentang bagaimana ia memandang dunia di sekitarnya dan bertindak atas dasar asumsi atau generalisasi dari apa yang dilihatnya itu. Seringkali seseorang tidak menyadari pola mental yang mempengaruhi pikiran dan tindakannya tersebut. Oleh karena itu setiap orang perlu berpikir secara reflektif dan senantiasa memperbaiki gambaran internalnya mengenai dunia sekitarnya, dan atas dasar itu bertindak dan mengambil keputusan yang sesuai.

d. Visi Bersama (Shared Vision)
Organisasi yang berhasil berusaha mempersatukan orang-orang berdasarkan identitas yang sama dan perasaan senasib. Hal ini perlu dijabarkan dalam suatu visi yang dimiliki bersama. Visi bersama ini bukan sekedar rumusan keinginan suatu organisasi melainkan sesuatu yang merupakan keinginan bersama. Visi bersama adalah komitmen dan tekad dari semua orang dalam organisasi, bukan sekedar kepatuhan terhadap pimpinan.
e.  Belajar Beregu (Team Learning)
Dalam suatu regu atau tim telah terbukti bahwa regu dapat belajar dengan menampilkan hasil jauh lebih berarti daripada jumlah penampilan perorangan masing-masing anggotanya. Belajar beregu diawali dengan dialog yang memungkinkan regu itu menemukan jati dirinya. Dengan dialog ini berlangsung kegiatan belajar untuk memahami pola interaksi dan peran masing-masing anggota dalam regu. Belajar beregu merupakan unsur penting, karena regu bukan perorangan merupakan unit belajar utama dalam organisasi.
2.    Pentingnya Learning Organization
Yusufhadi Miarso (2002) mengemukakan beberapa alasan mengapa saat ini diperlukan organisasi belajar. Alasan tersebut antara lain:
a.    Dalam rangka pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, kita tidak lagi dapat mengandalkan pada tersedianya tenaga kerja yang banyak dan murah, melainkan tenaga kerja yang terdidik dengan baik, terlatih dengan baik dan menguasai informasi dengan baik (well educated, well trained, and well informed). Perubahan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan merupakan azas dari organisasi belajar.
b.    Pengembangan organisasi yang lebih berorientasi pada lingkungan internal dianggap tidak tepat lagi. Sejalan dengan gerakan masyarakat informasi (information society), maka organisasi perlu menguasai informasi mengenai lingkungan secara komrehensif. Organisasi memerlukan lebih banyak tenaga kerja berpengetahuan (knowledge worker). Perkembangan ekonomi lebih dilandaskan pada pengetahuan dengan tenaga kerja berpengetahuan sebagai aset paling utama.
Konsep organisasi belajar muncul dalam konteks perubahan lingkungan dan daya saing, dimana organisasi membutuhkan kompetensi dan kepemimpinan untuk mentransformasi pengetahuan kepada seluruh anggota organisasi. Dengan dukungan lingkungan organisasi belajar yang kondusif diharapkan dapat diciptakan orang-orang yang berpengetahuan (knowledge pople) dengan kompetensi yang dapat diandalkan. Selain itu dukungan kepemimpinan yang memberdayakan (empowerement), artinya memberikan pendelegasian dan dukungan positif kepada setiap anggota organisasi dalam aktivitas pembelajaran dan memperbaiki kinerja.
3.    Karakteristik Learning Organization
Karakteristik LO memiliki piranti-piranti yang berbeda dengan organisasi tradisional yang bukan belajar seperti di bawah ini:




Tabel 1 Karakteristik Learning Organization
Karakteristik
Organisasi Tradisional
Organisasi Belajar
Siapa yang belajar?
Siapa yang mengajar?
Siapa yang ber- tanggungjawab
Piranti belajar yang digunakan?
Kapan belajar?
Kompetensi apa yang dipelajari?
Dimana belajar?
Waktu?
Motivasi?
Para manajer/karyawan yang ditunjuk
Pelatih atau nara sumber dari luar
Departemen Diklat
Kursus, magang, pelatihan formal, bimbingan, rencana pelatihan
Ketika dibutuhkan, saat orientasi atau sesuai kebutuhan
Teknik
Ruang kelas, tempat kerja
Untuk saat ini sesuai kebutuhan
Ekstrinsik dan terpaksa
Seluruh manajer/karyawan dari semua unit kerja
Atasan langsung, pelatih dan nara sumber
Setiap manajer/karyawan
Kursus, magang, rencana belajar, tim, mitra kerja, ukuran kinerja, refleksi pribadi
Sepanjang hayat, untuk jangka pnjang
Teknis dan manajerial, hubungan pribadi, bagaimana belajar
Ruang rapat, saat melakukan pekerjaan, di mana saja
Untuk masa yang akan datang
Intrinsik dan semangat
Sumber: Braham, 2003

D.  Tinjauan Tentang Personal Mastery
1.    Definisi Personal Mastery
Secara etimologi, Mastery berasal dari bahasa Inggris dan Latin yang berarti penguasaan atau keahlian dominasi terhadap sesuatu. Sedangkan dari bahasa Perancis, berasal dari kata Maitre yang berarti seseorang mempunyai keahlian khusus, cakap, dan ahli dalam sesuatu.
Menurut Peter Senge, personal mastery adalah sebuah disiplin yang terus menerus, memperjelas dan memperdalam penglihatan personal kita, memfokuskan energi kita, menyampaikan kesabaran dan melihat objek secara realistis. Sedangkan Fran Sayers Ph.D  mendefinisikan Penguasaan diri sebagai pengembangan diri seseorang yang prosesnya terus berkesinambungan, selalu mencari jalan untuk terus berkembang, hal baru untuk dipelajari, bertemu dengan orang baru, merupakan suatu jalan kehidupan yang menekankan pada perkembangan dan kepuasan dalam kehidupan personal dan professional.
Penguasaan diri adalah suatu cara yang berkesinambungan untuk menjernihkan dan memperdalam visi, energi, dan kesabaran seseorang (Michael J. Marquardt). Mastery tidak berarti mengontrol orang lain, maupun diri sendiri. Seiring berjalannya waktu yang dilakukan adalah menggabungkan berbagai variasi dan kadang-kadang konflik kepribadian seseorang (Leonard).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penguasaan diri adalah sebuah proses pembelajaran kehidupan seseorang, bukan sesuatu yang sudah dimiliki. Penguasaan diri itu tentang mencintai diri sendiri dan mengembangkan bakat yang dimiliki semaksimal mungkin. Beberapa orang berpikir bahwa penguasaan diri itu membatasi dan mengontrol diri sendiri, tetapi sesungguhnya hal ini mengenai pemahaman akan diri sendiri. Seseorang harus mengidentifikasi tentang bagaimana suatu kebiasaan muncul untuk mengontrol suatu kebiasaan tersebut.
2.    Prinsip-prinsip Personal Mastery
Penguasaan pribadi ini merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara objektif. Kenyataan menunjukkan bahwa seseorang memasuki organisasi dengan penuh semangat, tetapi setelah merasa mapan dalam organisasi itu lalu kehilangan semangatnya. Oleh karena itu, disiplin ini sangat penting artinya bahkan menjadi landasan untuk organisasi belajar. Prinsip-prinsip dari personal mastery adalah sebagai berikut:
a.    Visi Pribadi
Visi pribadi datang dari dalam. Bentuk yang lebih halur dari visi pribadi adalah memfokuskan pada cara bukan hasil. Kemampuan untuk memfokuskan pada keinginan intrinsikakhir, tidak hanya pada tujuan sekunder, adaah suatu batu pijakan dari keahlian pribadi. Visi sesungguhnya tidak dapat dipahami secara terpisah dari ide tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah, sebagai kesadaran individual akan mengapa ia hidup. Tetapi visi berbeda dari tujuan. Tujuan serupa dengan arah, suatu gambaran masa depan yang diinginkan. Visi adalah suatu destinasi yang spesifik, suatu gambaran dari masa depan yang diinginkan. Tujuan adalah abstrak. Visi lebih konkrit.
b.    Menahan Tegangan Kreatif
Orang sering kali mengalami kesulitan besar dalam membicarakan visi mereka, bahkan ketika visinya jelas. Mengapa? Karena kita sadar secara tajam akan jurang antara visi dan realita. Jurang-jurang ini dapat membuat suatu visi tampak tidak realistikatau suatu impian. Hal tersebut dapat membuat keberanian kita surut atau membuat kita merasa tidak berdaya. Tetapi jurang antara visi dan realita saat ini juga merupakan suatu sumber energi. Bila tidak ada jurang, tentu tidak akan ada kebutuhan akan tindakan apapununtuk bergerak terhadap visi. Bahkan jurang adalah sumber dari energi kreatif. Jurang ini disebut sebagai tegangan kreatif. Prinsip dari tegangan kreatif adalah merupakan prinsip sentral dari keahlian pribadi, yang mengintegrasikan semua elemen disiplin tersebut.
c.    “Konflik Struktural” Kekuatan dari Ketidakberdayaan
Dengan adanya kepercayaan ketidakberdayaan atau ketidakberhar-gaan kita, konflik struktural mengimplikasikan kekuatan-kekuatan sistemik yang berperan untuk menjaga kita dari mencapai keberhasilan kapan pun kita mencari suatu visi. Rober Fritz telah mengidentifikasi tiga strategi generik untuk berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari konflik struktural, yang mana masing-masing memiliki keterbatasannya. membiarkan visi kita terkikis adalah satu dari strategi untuk menghadapinya. Yang kedua adalah “manipulasi konflik” dimana kita mencoba memanipulasi diri kita kedalam usaha yang lebih besar kearah apa yang kita inginkan dengan menciptakan konflik artifisial, seperti memfokuskan pada upaya menghindari apa yang tidak kita inginkan. Manipulasi konflik adalah strategi yang disenangi oleh orang-orang yang tiada putusnya mencemaskan mengenai kegagalan. Strategi yang ketiga adalah “kekuatan kemauan” dimana kita cukup mempengaruhi jiwa kita sendiri untuk menguasai semua bentuk perlawanan untk mencapai tujuan kita.
c.    Komitmen terhadap Kebenaran
Melihat dan mengatakan kebenaran merupakan suatu unsur fundamental dari keahlian pribadi, dan unsur fundamental dari disiplin yang terkait dengan visi bersama. (Kebenaran, dalam hal ini, tidak berarti “kebenaran mutlak,” melainkan sekedar kebenaran seperti Anda lihat). “Karena ketegangan kreatif tergantung pada suatu pemahaman yang jernih tentang realitas saat ini, maka ketegangan kreatif itu segera hilang ketika orang-orang berbohong kepada diri mereka sendiri atau satu sama lain.
d.   Menggunakan Alam Bawah Sadar, atau Anda Sebenarnya Tidak Perlu Memikirkan Semuanya
Secara implisit dalam praktek dari keahlian pribadi adalah dimensi lain dari pikiran bawah sadar. Apa yang membedakan orang dengan keahlian pribadi tinggi adalah mereka telah membentuk hubungan baik yang lebih tinggi antara kesadaran normal mereka dengan bawah sadar mereka.
e.      Mengintegrasikan Penalaran dan Intuisi
Dengan mengintegrasikan antara penalaran dan intuisi kita dapat menemukan jalan keluar. Orang dengan keahlian pribadi tingkat tinggi tidak secara khusus menetukan untuk mengintegrasikan penalaran dan intuisi. Lebih dari itu, mereka mencapainya secara alamiah sebagai suatu hasil samping dari komitmen mereka untuk menggunakan semua sumber daya yang dapat mereka peroleh. Mereka tidak mmapu memilih antara penlaran atau intuisi, atau kepala dan hati, lebih daripada seperti apa yang mereka pilih untuk berjalan diatas satu kaki atau berjalan dengan satu mata.
f.       Melihat Keterikatan Kita dengan Dunia
Einstein mengekspresikan tantangan belajar ketika ia mengatakan: “manusia merasakan dirinya, pikiran, dan perasaanya sebagai sesuatu yang terpisah dari lainnya. Suatu jenis selusi optikal dari kesadaran kita. Delusi ini adalah sejenis tahanan bagi kita, yang membatasi kita pada keinginan-keingina pribadi dan pada afeksi bagi beberapa orang yang terdekat dengan kita. Tugas kita haruslah membebaskan diri kita sendiri dari penjara ini dengan memperluas lingkaran perasaan kita untuk merangkul semua makshluk hidup dan seluruh alam dan keindahannya”. Pengalaman dari meningkatkan keterkaitan yang digambarkan Einstein adalah salah satu dari aspek paling halus dari penguasaan pribadi.
g.    Perasaan
Kecenderungan spontan kita untuk mencari kesalahn dengan satu sama lainnya secara perlahn-lahan memudar, meninggalkan suatu rasa menghargai yang lebih dalam terhadap kekuatan dalam dimana kita semua beroperasi.
h.      Komitmen terhadap Keseluruhan
Komitmen yang tulus menurut Bill O’Brien adalah selalu terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri. Individu yang memiliki komitmen terhadap visi melampaui minat diri mereka, menemukan bahwa mereka memiliki energi tidak didapatkan ketika mengejar tujuan yang lebih sempit, sebagaimana organisasi yang menyaring komitmen ini “saya tidak percaya pernah ada seorang tunggal yang telah membuat suatu penemuan yang berharga atau invensi”.
3.    Manfaat Personal Mastery
Manfaat atau keuntungan bagi seseorang yang mempunyai tingkat penguasaan diri tinggi adalah:
a.    Kemampuan mengambil tanggung jawab.
b.    Kejelasan dan profesionalisme visi.
c.    Kohesive dan Team Work yang berlaku.
d.   Penurunan jumlah karyawan yang absen melalui peningkatan kesejahteraan karyawan.
e.    Mampu mengendalikan stress dan bersikap positif.
f.       Menciptakan petumbuhan organisasi yang tetap dan berjangka panjang.
g.    Pemenuhan tanggung jawab sosial.
h.    Kepemimpinan kreatif yang kuat.
i.        Meningkatkan kecerdasan emosi.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa Personal Mastery tidak saja baik bagi diri sendiri namun juga mempengaruhi lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal dengan cara yang positif.
4.    Aspek Personal Mastery
Metavarsity Course, Personal Mastery disebutkan memiliki 4 aspek, yaitu:
a.    Aspek Emosional, yang terdiri atas:
1)   Memahami emosi diri sendiri dan akibatnya.
2)   Memahami orang lain dan emosi yang dialaminya.
3)   Berdaya secara emosional dan nyata.
4)   Menjadi vulnerable dan terbuka dengan suatu hubungan.
b.    Aspek Spiritual, yang terdiri atas:
1)   Terhubung dengan inner self.
2)   Mengapresiasi kehidupan, menyayangi orang lain.
3)   Bersatu dalam perbedaan dengan orang lain.
4)    Menciptakan dunia yang lebih baik untuk tempat hidup.
c.    Aspek Fisik, terdiri dari:
1)   Berada secara fisik dan dalam lingkungan.
2)    Memahami hubungan antara ‘mind-body’.
3)   Bertanggung jawab dan membuat keputusan positif.
4)   Memanage stress dan mencapai keseimbangan.
d.   Aspek Mental, terdiri atas:
1)   Memahami cara pikiran bekerja dan cara menciptakan realitas.
2)   Meningkatkan fokus mental dan konsentrasi.
3)   Menciptakan pikiran yang jernih dan inovatif.
4)   Menciptakan realitas yang diinginkan.
Dengan  menguasai 4 aspek yang telah dikemukakan, diharapkan seseorang dapat menggunakannya untuk mengatasi kebutaan yang dialami. Setelah mampu menguasai 4 aspek tersebut, dapat  dikatakan telah menguasai Personal Mastery. Seseorang yang telah menguasai Personal Mastery memiliki komitmen yang tinggi terhadap suatu hal, lebih sering mengambil insiatif, secara terus menerus mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan hasil terbaik dalam kehidupan yang benar-benar diinginkan.
5.    Karakteristik Personal Mastery
Menurut Marty Jacobs (2007), seseorang yang memiliki Personal Mastery yang tinggi akan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.    Mempunyai sense khusus mengenai tujuan hidupnya.
b.    Mampu menilai realitas yang ada sekarang secara akurat.
c.    Terampil dalam mengelola tegangan kreatif untuk memotivasi diri dalam mencapai kemajuan kedepannya.
d.   Melihat perubahan sebagai suatu peluang.
e.    Memiliki rasa keingintahuan yang besar.
f.       Menempatkan prioritas yang tinggi terhadap hubungan personal tanpa menunjukkan rasa egois atau individualismenya.
g.    Pemikir sistemik, dimana seseorang melihat dirinya sebagai salah satu bagian dari sistem yang lebih besar.
6.    Dimensi Personal Mastery
Penerapan Personal Mastery dapat dilihat dari dua dimensi yang saling berkaitan. Dimensi dimana seseorang tersebut sebagai individu dan dimensi dimana personal tersebut menjadi bagian dari suatu kelompok (team). Sebagai individu, upaya pengendalian diri (Personal Mastery) dengan segala unsurnya akan dapat membentuk karakter personal, sedangkan perannya pada kelompok, Personal Mastery diperlukan untuk menjamin adanya pembelajaran organisasi (Learning Organization). Paduan karakter personal yang dimiliki oleh anggota team dalam suatu organisasi akan membuat dinamika dan menumbuhkan organisasi tersebut. Dari interaksi ini munculnya benih-benih Leadership yang diharapkan akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tangguh.
Bagan sederhana untuk menerangkan hal tersebut bisa digambarkan di bawah ini:
Oval: Development
Gambar 1 Development as a Dialectical Process of Interaction
Personal Mastery menunjukkan bahwa kekuatan sebuah organisasi tergantung pada kekuatan pribadi yang mendukung. Peter Senge dalam Global Learning Service juga menjelaskan tujuh dimensi penguasaan diri yang harus dibudayakan untuk mendukung proses pengembangan mencapai Personal Mastery:
a.    Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Laporan dari komisi pendidikan UNESCO dalam The Jewel Within menyatakan bahwa pengembangan diri merupakan sebuah proses mengenal dan memahami diri sehingga seseorang mampu membuka diri untuk berhubungan dengan orang lain. Self-awareness merupakan dasar untuk Personal Mastery dan efektivitas dalam berhubungan dengan orang lain. Self-awareness dapat dijadikan kunci sebagai pemegang kendali untuk pengembangan personal dan profesional.
b.    Ketajaman Perseptual (Perceptual Acuity)
Perceptual Acuity merupakan kemampuan dalam menafsirkan pesan yang diperoleh melalui persepsi, observasi, dan kemampuan mendengar.
c.    Penguasaan Emosional (Emotional Mastery)
Penguasaan emosi adalah bagaimana seseorang memahami emosi diri, mengenal emosi orang lain, dan kemampuannya untuk memanajemen emosi untuk menghargai orang lain. Goleman membagi lima kecerdasan emosi dalam buku “Emotional Intelligence”, yaitu:
1)   Kesadaran Diri
Mengenal emosi diri yang terkait dengan kapan, dimana, dan mengapa emosi bergejolak, mampu dalam memonitor perasaan sesuai situasi dan kondisi, serta memahami efeknya pada orang lain.
2)   Regulasi Diri (Self-Regulation)
Kemampuan dalam Mengendalikan emosi, menahan diri dan mencoba untuk menenangkan diri. Mengontrol atau mengarahkan rangsangan emosi dan mempunyai kecenderungan untuk berpikir sebelum bertindak.
3)   Motivasi Diri (Internal Motivation)
Memotivasi diri sendiri, bahwa sesungguhnya emosi tidak menyelesaikan masalah. Seseorang akan bekerja dengan alasan internal yang melampaui uang dan status imbalan eksternal, sehingga ia akan mempunyai kecenderungan untuk mengejar tujuan dengan energi dan ketekunan.
4)   Empati (Empathy)
Kemampuan untuk memahami karakter dan emosi orang lain. Sebuah keterampilan dalam memperlakukan orang sesuai dengan reaksi emosional mereka.
5)   Kemampuan Sosial (Social Skills)
Kemampuan dalam mengelola hubungan dan membangun jaringan serta kemampuan untuk menemukan kesamaan dan membangun hubungan.
d.   Keterbukaan (Openness)
Organisasi tidak hanya dihuni oleh satu pemikiran. Seseorang bisa terbuka menerima pemikiran orang lain, serta bersedia untuk menggali ide baru dan pengalaman demi sebuah perkembangan.
e.    Fleksibilitas dan Adaptasi (Flexibility and Adaptability)
Perubahan dan/atau perkembangan dalam organisasi menuntut seseorang untuk mengikuti perubahan dan/atau perkembangan tersebut. Maka seseorang harus mempunyai sikap fleksibel dan pintar untuk beradaptasi, sehingga mampu memandang perubahan sebagai kesempatan baru.
f.                                        Otonomi (Autonomy)
“Personal Mastery goes beyond competence and skills, although it is grounded in competence and skills. It goes beyond spiritual unfolding or opening, although it requires spiritual. It means approaching one’s life as a creative work, living life from a creative as opposed to reactive viewpoint (Peter Senge)”
Seseorang harus mampu mengendalikan hidup untuk mencapai pikiran jernih dan kecerdasan, sensitivitas tinggi, rasa estetika, tanggung jawab serta nilai spiritual. Seseorang yang autonomus mempunyai sikap Self-awareness tinggi, keingintahuan tinggi, dan lebih proaktif daripada reaktif.
g.    Akal dan Daya Kreatif (Creative Resourcefullness)
Seseorang harus kreatif dan inovatif serta selalu menemukan hal baru dalam melakukan sesuatu. Selalu terbuka akan ide-ide dan pengalaman baru serta fleksibel dan adaptasi.
7.    Strategi Pengembangan Personal Mastery
Banyak orang yang mengakui bahwa di antara semua disiplin pembelajaran, Personal Mastery lah yang paling menjadi perhatian. Tidak hanya meningkatkan kemampuan sendiri, namun juga meningkatkan kemampuan orang lain. Banyak orang mengakui bahwa organisasi berkembang seiring dan sejalan dengan para anggota. Beberapa orang mengetahui prinsip utama disiplin ini. Tidak seorang pun bisa meningkatkan Personal Mastery orang lain, namun hanya bisa menciptakan kondisi yang mendorong dan mendukung orang yang ingin meningkatkan Personal Mastery.
Setiap orang harus menawarkan dorongan semangat dan dukungan ini, karena pembelajaran tidak akan berlangsung lama kecuali dipicu oleh minat dan rasa ingin tahu yang besar dari orang itu sendiri. Walaupun pemicu tidak ada, orang akan patuh menerima pelatihan apa pun yang diberikan. Dampak dari latihan itu berlangsung sementara, namun tanpa komitmen orang yang dilatih akan berhenti menerapkan ketrampilan baru tersebut. Sebaliknya, jika pembelajaran dikaitkan dengan visi seseorang, maka orang itu akan berupaya keras mempertahankan agar pembelajaran dapat terus berlangsung. Namun, banyak perusahaan cenderung merintangi daripada mendorong motivasi intrinsic. Untuk mengembangkan Personal Mastery, bisa dilakukan dengan cara berikut ini:
a.    Percakapan dalam Diri
Penerapan pokok Personal Mastery mencakup pembelajaran untuk mempertahankan visi pribadi dan gambaran jernih tentang realitas saat ini yang ada di hadapan. Dengan melakukan hal ini, akan membangkitkan kekuatan dalam diri sendiri yang disebut "tegangan kreatif." Tegangan menurut sifat alaminya, memerlukan penyelesaian, dan sebagian besar penyelesaian alami terhadap tegangan adalah dengan mendekatkan realitas dengan apa yang diinginkan.
Banyak orang yang yakin bahwa visi itu penting, sesuatu yang bisa melihat dengan jelas bahwa seseorang harus mengubah kehidupan untuk mengejar keberhasilan, dan yang berkomitmen pada diri sendiri terhadap apapun yang dihasilkan, umumnya merasa tertantang. Secara sadar maupun tidak, seseorang telah mengasimilasikan visi tersebut pada tahapan yang banyak mengubah perilaku. Seseorang memiliki rasa kesabaran yang kuat baik terhadap diri mereka sendiri maupun dunia dan perhatian yang lebih pada apa yang sedang berlangsung di sekitar. Semua ini membuahkan pemahaman yang terus menerus tentang energi dan antusiasme, yang (seringkali setelah penundaan) membawa hasil nyata, selanjutnya dapat memperkokoh energi dan antusiasme tersebut.
Seseorang tidak mungkin bisa memerintahkan orang lain dengan serta merta untuk memahami kerangka pemikiran ini, namun disiplin Personal Mastery menjelaskan bahwa sebagai individu bisa memupuk cara berpikir yang secara bertahap bisa mengarah kepada hal tersebut. Semakin sering seseorang mempraktikkan cara berpikir ini, maka semakin mampu dan semakin memiliki rasa percaya diri, serta semakin besar pula kesadaran akan tegangan yang bisa menarik ke depan jika seseorang terus memupuknya. Seseorang mengatasi tegangan emosional, bukan dengan menyangkal bahwa itu ada, melainkan dengan mencoba melihat secara lebih jernih, hingga bisa memahami bahwa tegangan emosional sesungguhnya juga merupakan bagian dari realitas saat ini.
Personal Mastery mengajarkan agar seseorang tidak menurunkan visi. Yang terpenting bukanlah isi visinya, namun apa yang dilakukan oleh visi tersebut. Personal Mastery mengajarkan untuk tidak menyerah dalam memandang dunia seperti apa adanya, sekalipun itu membuat rasa tidak nyaman. Personal Mastery mengajarkan seseorang untuk memilih. Memilih adalah tindakan yang berani mengambil hasil dan tindakan yang akan menentukan nasib kedepannya.
Mempraktikkan Personal Mastery adalah seperti mengadakan percakapan dalam diri sendiri. Ada sesuatu yang menyuarakan impian tentang apa yang seseorang inginkan pada masa yang akan datang yang ada dalam diri. Namun, suara yang lain membentuk cara pandang seseorang (sering kali bersifat ancaman) terhadap dunia di sekitar.
b.    Pemimpin sebagai Pelatih
Tegangan kreatif secara terbuka (dengan membangun visi bersama di satu pihak, dan membantu orang lain melihat sistem tersebut serta model mental dari realitas saat ini di lain pihak) bisa menggerakkan seluruh organisasi ke depan, karena organisasi didorong oleh tegangan kreatif setiap individu. Langkah pertama dalam belajar menciptakan tegangan berskala lebih besar adalah dengan belajar membangkitkan serta mengelola tegangan kreatif dalam diri sendiri.
Layak untuk diakui bahwa gagasan untuk mendorong Personal Mastery di tempat kerja, secara naluriah sulit diterima oleh beberapa pemimpin. Terdapat perasaan yang mungkin tersembunyi, bahwa visi pribadi tidak sesuai dengan tujuan kelembagaan. Para karyawan dituntut berdedikasi sepenuhnya kepada perusahaan selama jam kerja kantor. Sikap paternalistik ini terbukti tidak persuasif dan tidak efektif.
Jika pemimpin tidak mempunyai pemahaman yang mendalam tentang visi diri, maka pemimpin tersebut tidak akan mampu mendorong orang lain untuk menciptakan visi sendiri atau mempertimbangkan visi orang lain. Jika seorang pemimpin tidak bisa menguraikan realitas saat ini dengan jelas, maka kredibilitas akan rendah ketika pemimpin tersebut mengajak orang lain melihat bersama. Jika pemimpin tersebut tidak mempunyai tingkat pengetahuan diri sendiri, dan pemahaman diri sendiri, maka risikonya adalah adanya kemungkinan pemimpin tersebut menggunakan organisasi untuk mengatasi sendiri sakit saraf yang dimiliki. Hal ini bisa membawa dampak yang luar biasa terhadap diri orang lain. Tugas melatih Personal Mastery meliputi tindakan membantu seseorang untuk melihat betapa visi sendiri tertutup oleh kekhawatiran apakah visi tersebut mungkin untuk terjadi atau tidak.
8.    Aplikasi Personal Mastery
Berikut ini adalah contoh aplikasi Personal Mastery dalam kehidupan. Orang yang memiliki Personal Mastery dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat pada sebuah film yang sangat inspiratif yaitu “Forrest Gump”. “Forrest Gump” merupakan film drama Amerika Serikat tahun 1994 yang diadopsi berdasarkan novel tahun 1986 karya Winston Groom. Film ini menceritakan tentang seorang anak dengan keterbatasan yang bernama Forrest Gump, diceritakan Forrest adalah seorang anak yang hanya memiliki IQ sebesar 75, tetapi mampu membuat sebuah perubahan baik untuk dirinya sendiri atau pun lingkungan sekitarnya. Walaupun saat masih kecil Forrest sering diejek dan dijauhi oleh kawan-kawannya karena kecerdasannya yang di bawah rata-rata dan keterbatasan fisiknya. Namun di luar ketidakmampuannya itu, ia memiliki sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain yaitu mampu  berlari dengan cepat. Forrest pun tidak menyerah dengan keterbatasan tersebut, dan tetap melakukan hal-hal yang positif untuk lingkungannya.
Pada hakekatnya proses belajar tidak mengenal perbedaan. Entah seseorang itu awalnya berasal dari orang yang tidak mampu ataupun kaya, pekerja kasar ataupun pejabat tinggi dan tidak mengenal juga suku, ras atau pun golongan. Manusia dan mahluk hidup lainnya dituntut untuk tetap mampu beradaptasi agar mereka bisa bertahan. Beradaptasi membutuhkan inovasi dan kemampuan untuk berkreasi. Dan ini semua bisa didapat dengan cara belajar, baik secara individual maupun bersama.
Hal ini memberi makna bahwa jika kita dalam kehidupan baik sebagai personal maupun dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial, asal bisa mengembangkan Personal Mastery, memiliki mental yang tangguh, berpikir secara sistemik, sepakat menjalankan visi bersama serta mampu mengontrol untuk mengurangi kelemahan/ kebutaan dalam diri maupun kelompok, pastilah akan mendapatkan hasil yang luar biasa. Dengan kata lain, aktifitas positif baik secara personal maupun kelompok apalagi bermanfaat bagi orang lain, dengan sendirinya akan mendatangkan juga penilaian dari orang atau kelompok lainnya. Cetusan positif dari penilaian ini dapat diwujudkan dengan suatu penghargaan. Jadi penghargaan didapat sebagai konskuensi dari hasil yang baik, bukan merupakan buah dari harapan yang pasif.

REFERENSI

Braham, Barbara. 2003. Creating A Learning Organization. Gramedia. Jakarta.
Dwi, Rini. 2013. Personal Mastery. Makalah Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/33226375/TUGAS_ORGANISASI_PEMBELAJAR_DAN_BERPIKIR_SISTEM__MAKALAH_TENTANG_PERSONAL_MASTERY.docx?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1416839194&Signature=bSBVqgOQX3cVFJN0uTIVBrCWzl0%3D diakses 17/11/2014.
Ekawati, Susana, 2009. Disiplin Kelima Peter Senge. Program Pascasarjana Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Lampung.http://susanaekawati.wordpress.com/landasan-teori-dan-teknologi-manajemen-managemen-berbasis-sekolah/ diakses 21/11/2014
Jacobs, Marty. 2007. Personal Mastery: The First Discipline of Learning Organizations. Vermont Business Magazine.
Kartono, 2003. Pemimpin dan Kepemimpinan. PT Raja Gravindo : Jakarta.
Leonard, Karin & Associates. What is Personal Mastery. http://www.innerevolution.com/Articles/personalmastery.html.
Lestari, Sri, 2013. Psikologi Keluarga : Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik  dalam Keluarga. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Marquardt, Michael J. 2002. Building The Learning Organization: Mastering The 5 Element for Corporate Learning. Davies-Black Publishing, Inc. United States of America.
Puspitawati, Herien. 2013. Konsep dan Teori Keluarga. Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/teori.pdf diakses 17/11/2014
Salam, Lubis. 2000. Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah. Terbit Terang. Surabaya.
Senge, Peter. 1996. Disiplin Kelima Seni dan Praktek dari Organisasi Pembelajar. Binarupa Aksara. Jakarta.
Sudiharto. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan Keperawatan Transkultural. Penerbit EGC. Jakarta.
Zulkifli, Andi. 2012. Surveilans Pertumbuhan Anak melalui Pendekatan Learning Organization. Pustaka Timur. Yogyakarta.






1 komentar: