A. Tinjauan Tentang Keluarga
1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas Kepala Keluarga
dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan (Depkes RI, 1998). Sedangkan
definisi keluarga menurut WHO (1969) merupakan anggota rumah tangga yang saling
berhubungan melalui pertalian darah adaptasi
atau perkawinan (WHO, 1969). Keluarga adalah sekelompok manusia yang tinggal
dalam suatu rumah tangga dalam
kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat (Helvie, 1981).
Dalam
pengertian sosiologis, secara umum keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu
kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah,
atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami
istri, ayah dan ibu, putra dan putrinya, saudara laki-laki dan perempuan serta
merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Jadi keluarga merupakan kesatuan
sosial yang terikat oleh hubungan darah dan masing-masing anggotanya mempunyai
peranan yang berlainan sesuai dengan fungsinya.
Dalam
pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama
dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya
pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan
saling menyerahkan diri (Soelaeman, 1994:5-10).
Sedangkan dalam pengertian
pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih
sayang antara dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan bermaksud
untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling
menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang
tua (Soelaeman, 1994:12).
Kalau
kita mempersempit pengertiannya, keluarga dapat diartikan sebagai sekumpulan
orang-orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dimana satu sama
lainnya saling ketergantungan (BKKBN, 1990:37). Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa yang dikatakan keluarga adalah mereka yang tinggal di dalam
satu rumah atau satu atap baik itu adanya ikatan darah maupun bukan ikatan
darah. Jadi dalam hal ini, pengertian keluarga dibatasi oleh tempat tinggal.
2.
Bentuk-bentuk
Keluarga
Bentuk-bentuk
keluarga dapat dibedakan sebagai berikut:
a.
Tradisional
Pembagian
bentuk keluarga secara tradisional dibedakan sebagai berikut:
1) Nuclear Family
(Kelurga Inti)
Ayah,
ibu, anak tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam
suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.
2)
Reconstituted
Nuclear
Pembentukan
baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami atau istri. Tinggal
dalam satu rumah dengan anak-anaknya baik itu bawaan dari perkawinan lama
maupun hasil dari perkawinan baru.
3) Niddle
Age atau
Aging Cauple
Suami
sebagai pencari uang, istri di rumah atau kedua-duanya bekerja di rumah,
anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah atau perkawinan / meniti
karier.
4) Keluarga
Dyad
/ Dyadie Nuclear
Keluarga
yang terdiri dari suami istri dan tanpa adanya anak.
5) Single
Parent
Satu
orang tua (ayah atau ibu) dengan anak.
6) Dual
Carrier
Suami
istri / keluarga orang karier dan tanpa anak.
7) Commuter
Married
Suami
istri / keduanya orang karier dan tinggal terpisah pada jarak tertentu,
keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.
8) Single
Adult
Orang
dewasa hidup sendiri dan tidak ada keinginan untuk kawin.
9) Extended
Family
1,
2, 3 geneasi bersama dalam satu rumah tangga.
10) Keluarga
Usila
Usila dengan
atau tanpa pasangan, anak sudah pisah.
b. Non
Tradisional
1) Commune
Family
Beberapa
keluarga hidup bersama dalam satu rumah, sumber yang sama, pengalaman yang
sama.
2) Cohibing
Coiple
Dua
orang / satu pasangan yang tinggal bersama tanpa kawin.
3) Homosexual
/
Lesbian
Sama
jenis hidup bersama sebagai suami istri.
4) Institusional
Anak-anak/orang-orang
dewasa tinggal dalam suatu panti-panti.
5) Keluarga
orang
tua (pasangan) yang tidak kawin dengan anak
3. Fungsi
Keluarga
Fungsi dari keluarga adalah memenuhi
kebutuhan anggota individu keluarga dan masyarakat yang lebih luas. WHO (1978)
membagi fungsi keluarga menjadi beberapa bagian, antara lain:
a.
Fungsi Biologis
Fungsi
biologis sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk meneruskan keturunan,
memelihara dan membesarkan anak, memenuhi kebutuhan gizi keluarga, dan merawat
serta memelihara anggota keluarga.
b.
Fungsi Psikologis
Fungsi
psikologis sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk memberikan kasih sayang dan
rasa aman, memberikan perhatian di antara anggota keluarga, membina pendewasaan
kepribadian anggota keluarga, dan memberikan identitas keluarga.
c.
Fungsi Sosialisasi
Fungsi
sosiologi sebagai fungsi keluarga bertujuan membina sosialiasasi pada anak,
membina norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkah perkembangan anak, dan
meneruskan nilai-nilai keluarga.
d.
Fungsi Ekonomi
Fungsi
ekonomi sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk mencari sumber-sumber
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan dan penghasilan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menabung untuk memenuhi
kebutuhan keluarga di masa yang akan datang misalnya untuk pendidikan anak dan
jaminan hari tua.
e.
Fungsi Pendidikan
Fungsi
pendidikan sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk menyekolahkan anak untuk
memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan
bakat dan minat yang dimiliki, mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang
akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa, dan mendidik anak
sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya.
Friedman
(1998) mengkategorikan fungsi keluarga sebagai berikut:
a.
Fungsi Affective
Fungsi
affective sebagai fungsi keluarga
bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan sehat secara
mental, saling mengasuh, menghargai, terikat dan berhubungan, mengenal
identitas individu dan memberikan rasa aman.
b.
Fungsi Sosialisasi Peran
Fungsi
sosialiasasi peran sebagai fungsi keluarga bertujuan sebagai proses perubahan
dan perkembangan individu untuk menghasilkan interaksi sosial dan belajar
berperan, sebagai fungsi dan peran di masyarakat dan sebagai sasaran untuk
kontak sosial di dalam atau di luar rumah.
c.
Fungsi Reproduksi
Fungsi
reproduksi sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk menjamin kelangsungan
generasi dan kelangsungan hidup masyarakat.
d.
Fungsi Ekonomi
Fungsi
ekonomi sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tiap anggota
keluarga, menambah penghasilan keluarga sampai dengan pengalokasian dana.
e. Fungsi
Perawatan Kesehatan
Fungsi
perawatan kesehatan sebagai fungsi keluarga bertujuan untuk mengetahui konsep
sehat sakit keluarga dan memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang sakit,
tujuan kesehatan keluarga dan keluarga mandiri.
Sedangkan fungsi keluarga menurut BKKBN (1992) antara lain:
a.
Fungsi
keagamaan: memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain
dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan bahwa ada
kekuatan lain yang mengatur kehidupan ini dan ada kehidupan lain setelah di
dunia ini.
b.
Fungsi
sosial budaya: membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah
laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak, meneruskan nilai-nilai budaya
keluarga.
c.
Fungsi
cinta kasih: memberikan kasih sayang dan rasa aman, memberikan perhatian
diantara anggota keluarga
d.
Fungsi
melindungi: melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik, sehingga
anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman
e.
Fungsi
reproduksi: meneruskan keturunan, memelihara dan membesar-kan anak, memelihara
dan merawat anggota keluarga.
f.
Fungsi
sosialisasi dan pendidikan: mendidik anak sesuai dengan tingkat
perkembangannya, menyekolahkan anak, bagaimana keluarga memper-siapkan anak
menjadi anggota masyarakat yang baik
g.
Fungsi
ekonomi: mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga,
menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa datang
h.
Fungsi
pembinaan lingkungan
4. Peran
Keluarga
Peran
keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal yang berhubungan
dengan posisi dan situasi tertentu. Berbagai peran ayng terdapat dalam keluarga
adalah sebagai berikut:
a. Peran ayah sebagai pencari nafkah,
pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, kepala rumah tangga, anggota dari
kelompok sosialnya dan anggota masyarakat.
b. Peran ibu sebagai isteri, ibu dari
anaknya, mengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik dan pelindung bagi anak-anaknya,
anggota kelompok social dan anggota masyarakat serta berperan sebagai pencari
nafkah tambahan bagi keluarga.
c. Peran anak-anak sebagai pelaksana
peran psikososial sesuai dengan tingkat perkembangan baik fisik, mental dan
spiritual.
5. Pendekatan-pendekatan
dalam Keluarga
Pendekatan-Pendekatan dalam keluarga
sebagai berikut:
a.
Pendekatan
Peranan
Keluarga
sebagai sistem peran merupakan gambaran yang mengandung harapan, kebudayaan
terhadap tingkah laku dalam keluarga merupakan tempat dimana peranan tersebut
dipelajari dan diterapkan.
b. Pendekatan Sebab-Akibat
Menurut
Nimkof, keluarga dapat dipandang sebagai:
1) Keluarga sebagai variabel terikat
Keluarga merupakan tujuan terhadap
harapan, tuntutan dan keinginan dari sistem sosial yang lebih besar.
2) Keluarga sebagai variabel bebas
Keluarga merupakan pendukung
kekuatan potensial bagi suatu generasi sebagai gambaran alternatif di masa yang
akan datang.
c. Pendekatan Sistem Evolusi
Keluarga sebagai sistem evolusi
menurur Bouiding, kehidupan keluarga merupakan perubahan secara lambat dari
berbagai usia yang disosialisasikan melalui peran.
6. Konsep-konsep
Keluarga
Konsep keluarga mencakup pendekatan
untuk memahami keluarga. Konsep yang dimaksud sebagai berikut:
a. Pendekatan Fungsionalis Struktural
Menurut pendekatan ini, keluarga
dipandang sebagai sistem sosial yang mempunyai fungsi beberapa tugas atau
fungsi bagi masyarakat dan bagi anggota keluarga, sebagai suatu sistem anggota
mempunyai hubungan dan saling ketergantungan satu sama lain. Pendekatan
fungsionalis memandang keluarga berdasarkan beberapa teori:
1) Teori
peranan
Keluarga merupakan suatu sistem peranan dimana setiap
anggotanya nempunyai peranan yang berbeda yang tentunya saling melengkapi.
2) Teori
konflik
Di dalam keluarga dapat terjadi konflik peranan sebagai
akibat dari peranan yang berbeda dalam keluarga.
b. Teori Konflik Sosial
Dalam suatu keluarga tidak dapat
dihindarkan terjadinya konflik, namun konflik ini berfungsi positif untuk
mempererat hubungan diantara anggota keluarga.
c. Teori Interaksi Simbolis
Interaksi anggota keluarga
didasarkan pada pemahaman secara obyektif pada suatu situasi dalam keluarga.
Interaksi simbolis dalam keluarga bertujuan untuk memelihara proses
sosialisasi, nilai, keyakinan, dan sikap.
d. Teori Pertukaran Sosial
Berasumsi bahwa hubungan manusia
didorong oleh pertimbangan akan keuntungan yang diperoleh dalam hubungannya
dengan orang lain.
e. Pendekatan Perkembangan
Memfokuskan pada tugas perkembangan
individu dalam rentang kehidupannya, dalam hal ini keluarga diharapkan dapat
menyelesaikan tugas-tugas dalam setiap tahapan-tahapan tersebut.
B. Tinjauan Tentang Leadership
(Kepemimpinan) dalam Keluarga
1. Definisi Leadership
Kepemimpinan (leadership) adalah
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang lain itu
bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kepemimpinan
dapat berfungsi sebagai kedudukan sosial dan sekaligus sebagai proses sosial.
Sebagai kedudukan sosial pemimpin merupakan sejumlah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai
proses sosial kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang
yang dapat bergeraknya warga masyarakat. (Sutikno, 2014)
Kepemimpinan berbeda dengan dengan pemimpin,
pemimpin adalah orang yang tugasnya memimpin, sedangkan kepemimpinan adalah
suatu bakat atau sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif untuk mempengaruhi
pihak lain dan dalam mewujudkan tujuan organisasi atau lembaga yang telah
ditetapkan lebih dahulu.
2. Tujuan dan Fungsi Kepemimpinan
Kepemimpinan mempunyai penekanan
yang sama yaitu arah dan tujuan bagi organisasi. Kepemimpinan lebih banyak
berfokus menciptakan visi ke depan bagi organisasi dan mengembangkan strategi
jauh ke depan tentang perubahan-perubahan yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi
tersebut bagi organisasi. Kepemimpinan lebih banyak memandang pada horizon yang
luas (keeping eye on the horizon) dan
menekankan hasil-hasil jangka panjang (long term result) (Kotter,
1996) dalam Kartono (2003).
Tujuan kepemimpinan meliputi tujuan
organisasi, tujuan kelompok, tujuan pribadi anggota kelompok, dan tujuan
pribadi pemimpin.
a.
Tujuan
organisasi dimaksudkan untuk memajukan organisasi yang bersangkutan dan
menghindari diri dari maksud-maksud yang irasional organisasi yang ada.
b.
Tujuan
kelompok dimaksudkan untuk menanamkan tujuankelompok pada masing-masing anggota
sehingga tujuan kelompok dapat segera tercapai.
c.
Tujuan
pribadi anggota kelompok maksudnya untuk memberi pengajaran, pelatihan,
penyuluhan, konsultasi bagi tiap anggota kelompok sehingga anggota kelompok
dapat mengembangkan pribadinya.
d.
Tujuan
pribadi pemimpin maksudnya untuk memberi kesempatan pada pimpinan berkembang
dalam tugasnya, seperti mempengaruhi, memberi nasehat, dan sebagainya.
Fungsi kepemimpinan yaitu membantu
kelompok:
a.
Menentukan
kegunaan dan tujuan.
b.
Memfokuskan
diri pada proses kerja secara bersama.
c.
Lebih
waspada/memperhatikan akan sumber-sumber yang dimiliki, dan cara yang terbaik
untuk memanfaatkannya.
d.
Mengevaluasi
kemajuan dan perkembangan.
e.
Menjadi
terbuka untuk ide baru dan ide yang berbeda tanpa menjadi berhenti karena
konflik.
f.
Belajar baik dari kegagalan dan frustasi,
maupun dari keberhasilan.
3. Jenis-jenis Kepemimpinan
Secara
sosiologi kepemimpinan dapat dibagi menjadi dua macam, yakni kepemimpinan
formal (resmi) dan kepemimpinan informal (tidak resmi). Kepemimpinan resmi
adalah kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu jabatan yang bersifat
struktural, yaitu kepemimpinan didasarkan pada struktur organisasi secara resmi dalam suatu
kelompok atau masyarakat, sedangkan kepemimpinan informal adalah kepemimpinan
karena
adanya pengakuan masyarakat akan adanya
kemampuan (capability) seseorang untuk menjalankan kepemimpinan yang bersifat
fungsional, di mana kepemimpinan dilihat dari segi fungsi-fungsi sosial dalam
suatu interaksi sosial. Dalam diskursus teori kepemimpinan, terdapat tiga teori
yang menonjol mengenai timbulnya seorang pemimpin, antara lain sebagai berikut.
a.
Teori
Genetis
Dalam teori ini pendapat yang
munculadalah bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia merupakan
keturunan pemimpin yang telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam
keadaan seperti apa pun ditempatkan suatu saat ia akan muncul menjadi pemimpin
karena ia telah ditakdirkan atau sering disebut dengan istilah leaders are born and nor made (pemimpin
adalah dilahirkan bukan dibuat).
b.
Teori
Sosial
Teori ini lebih mengetengahkan bahwa
setiap orang dapat menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman
yang cukup (leaders are made and nor born).
Pada hakikatnya setiap orang dapat menjadi pemimpin meskipun bukan keturunan
dari seorang pemimpin.
c. Teori Ekologis
Teori ini mengedepankan bahwa
seorang akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia sejak lahirnya
telah memiliki bakat kepemimpinan dan bakat-bakat tersebut kemudian
dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman-pengalaman yang
memungkinkan untuk mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah
dimilikinya.
Dalam perkembangannya ada pendapat
lain yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi perkembangan seorang
pemimpin itu tidak hanya bakat dan lingkungan, tetapi ada faktor lainyaitu
kegiatan pribadi (kemauan dan usaha sendiri). Hal inilah yang mendorong
munculnya teori keempat, yaitu tiga dimensi atau teori kontigensi. Artinya, ada
tiga faktor yang mempengaruhi dalam proses perkembangan menjadi seorang
pemimpin atau tidak, yakni; pertama, bakat kepemimpinan yang dimiliki; kedua,
pendidikan, pengalaman dan latihan kepemimpinan yang dimilikinya; ketiga,
kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut. Disebut teori
kontigensi karena dapat tidaknya seorang menjadi pemimpin merupakan serba
memungkinkan, bukan suatu yang pasti. Sesorang bisa atau mungkin menjadi
pemimpin jika bakat, lingkungan, kesempatan, dan kepribadiannya
sendirimemungkinkan (motivasi dan minat).
Jika dikaitkan dengan teori tiga
dimensi atau teori kontigensi di atas, seseorang menjadi pemimpin merupakan
proses gabungan dari tiga faktor yang terlibat yakni bakat kepemimpinan yang
dimiliki, pendidikan dan pengalaman, serta kesempatan mengembangkan diri. Maka faktor
kedua dan terakhir inilah yang mengakibatkan peluang dan kesempatan perempuan
terbatasdan terlambat untuk mengembangkan diri tumbuh menjadi pemimpin. Dari
diskursus kepemimpinan di atas, baikteori genetis, sosial, dan ekologis tidak
satu pun yang mempersoalkan jenis kelamin atau seks tertentu sebagai pemilik dominan
untuk menjadi seorang pemimpin, terlebih lagi bahwa kepemimpinan adalah suatu
yang harus dilatih dan diupayakan, bukan suatu yang melekat sejak lahir. Hal
ini berarti bahwa laki-laki maupun perempuan sesungguhnya sama-sama mempunyai
hak kepemimpinan dalam keluarga, tergantung siapa yang berhasil memperolehnya.
Dari penjelasan di atas dapat diambil pengertian bahwa kepemimpinan merupakan
sebuah proses mempengaruhi aktivitas dari individu atau kelompok untuk mencapai
tujuan dalam situasi tertentu.
Sementara itu, keluarga adalah
sebuah institusi yang merupakan wahana untuk mewujudkan kehidupan yang
tenteram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang
antara suami dan istri. Dengan demikian, demi mewujudkan tujuan tersebut sangat
diperlukan adanya kebersamaan dan sikap saling berbagi tanggung jawab. Dalam
pandangan sosiologis, keluarga meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan
darah atau keturunan, secara khusus keluarga meliputi orang tua (bapak &
ibu) dan anak-anak yang tinggal dalam kesatuan sosial ekonomi. Keluarga yang
terdiri dari ketiga unsur tersebut mempunyai fungsi, sebagai tempat pertama
bagi proses sosialisasi dan enkulturasi anak-anak yang dilahirkan dari ikatan
pasangan suami dan istri. Ikatan suami dan istri dalam keluarga merupakan kesetiaan
cinta kasih. Dari pengertian itu keluarga mempunyai peran sosial yang diikat
oleh relasi seks, cinta, kesetiaan, dalam bentuk pernikahan. Dalam hal ini,
laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri dengan konsepsi istriadalah
patner hidup bagi suami, dan sebaliknya. Begitu juga dalam kepemimpinan
keluarga.
Secara jelas kalau kita gabungkan
dari pengertian kepemimpinan dalam keluarga adalah termasuk dalam katerori
kepemimpinan non formal. Artinya seseorang dapat menjadi pemimpin ataudapat
menduduki posisi yang ia inginkan dengan catatan ia bisa memenuhi syaratdari
posisi tersebut, karena dalam keluarga tidak ada diskriminatif terhadap jenis
kelamin. Adanya kerja sama yang baik antara suami dan istri dengan masing-masing
melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang disepakai kedua
belah pihak.
4. Tipe
Kepemimpinan
Tipe/gaya
kepemimpinan menurut Lippite dan Whyte dalam Kartono (2003), terdiri atas:
a.
Gaya kepemimpinan yang autocratic (autocratic, restrictive, directive), Pemimpin menentukan semua
kebijakan, kemudian memberikan petunjuk untuk penerapannya. Pengumuman
keputusannya tanpa memerlukan feed back
atau umpan balik dari kelompok yang dipimpin. Metode untuk melaksanakan
keputusan tersebut hanya dijelaskan secara bertahap. Hanya pemimpinlah yang
perlu memiliki wawasan menyeluruh tentang apa yang perlu dilaksanakan. Umpan
balik kepada anggota hanya diberikan dalam bentuk pujian atau kritik kepada
seseorang. Memberikan umpan balik terhadap informasi dari pemimpin akan
mengembangkan figur kepemimpinan yang menjurus ke gaya paternalistis (father knows best). Pemimpin mempunyai
hubungan interpersonal dengan yang dipimpinnya. Ia dapat memberikan rasa aman
dan penghargaan wajar kepada kelompoknya sepanjang mereka mampu menunjukkan
kesetiaan kelompok terhadap perintah. Pemimpin yang autoritarian cenderung yang disebut birokrat. Adapun variasi gaya
autocrat yang berkembang menjadi mature
autocrate atau autocrat yang dewasa (diplomat). Ciri gaya pemimpin seperti
ini adalah memberikan kebebasan kepada staf sesuai dengan batas-batas
kebijakannya yang cukup ketat.
b.
Gaya democratic (participative, egalitarian), Pemimpin menyarankan kepada anggota
kelompok untuk mengembangkan keputusannya sendiri. Kelompok diberikan kebebasan
melakukan kegiatan dan berinteraksi satu sama lain. Umpan balik diberikan
secara objektif kepada kelompok sesuai dengan situasi yang berkembang di
lingkungannya. Versi lain dari gaya kepemimpinan democratic adalah collaborative dan collegial democratic style.
c.
Gaya Laissez-faire (permissive, free rein), Gaya
kepemimpinan ini memberikan kebebasan penuh kepada kelompok. Dukungan fasilitas
dan sumber daya sudah tersedia dan anggota diminta bekerja secara optimal.
Pemimpin hanya bertugas memberikan tanggapan jika ada pertanyaan yang diajukan
kepadanya. Umpan balik tidak pernah diberikan kepada anggota kecuali diminta.
Pemimpin dengan gaya laissez-faire
disebut seorang liberator.
Dalam
pelaksanaannya ketiga kepemimpinan yang dijelaskan pada bagian dua, orang tua
memiliki khas/kecerdasan yang dapat memadai apakah kepentingan orang tua
tersebut termasuk dalam bentuk kepemimpinan yang demokratis, otoriter ataukah
liberal (Laissez Faire). Sesuai yang dikemukakan dalam buku menuju keluarga
Sakinah (Salman, 2000:80-81). Bahwa ciri khas/kecenderungan dari masing-masing
bentuk kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kepemimpinan
yang demokratis, orang tua menunjukkan perhatian dan kasih sayang, berperan
serta dalam kegiatan anak, percaya pada anak, tidak terlalu banyak mengharap
dari anak serta memberi dorongan dan nasehat kebijaksanaan pada anak
b. Kepemimpinan
yang otoriter, dimana orang tua (keluarga) menuntut kepatuhan mutlak anak,
pengawasan ketat terhadap anak dalam segala kegiatannya, memperhatikan hal-hal
yang sepele dan banyak mengeritik anak.
c.
Kepemimpinan yang liberal (Laissez Faire),
orang tua tidak dapat mengendalikan anaknya, disiplin lemah dan tidak
konsisten, anak dibiarkan mengikuti aturan-aturan di rumah serta anak dibiarkan
mendominir orang tua (Salam, 2000:80-81).
Kepemimpinan
orang tua tersebut di atas, tentunya akan membawa dampak yang berbeda-beda
terhadap kematangan diri anak-anaknya. Dampak pola asuhan demokratis ini adalah
anak memliki kepercayaan diri yang wajar, bersikap optimis, memiliki daya
kreatif yang pada akhir berpengaruh positif terhadap kematangan diri anaknya,
dampak pola asuhan ototiter ini adalah anak yang tidak aman, kurang percaya
diri, mudah ragu dan putus asa, pasif dan tidak bisa berkembang. Sedangkan
dampak pola asuh liberal ini anak masa bodoh, acuh ta’acuh, tidak menghargai
orang lain serta tidak memperdulikan keadaan orang lain dan dampaknya tidak
baik terhadap pembentukan kematangan diri anak. Oleh karena itu keluarga
merupakan yang terdekat membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak
mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Orang tua memiliki perananan yang
sangat penting dalam perkembangan anaknya.
Empat Peran
Kepemimpinan Dalam Keluarga yang diajarkan oleh Stephen R. Covey:
a. Modelling:
Berikan teladan yang baik.
b.
Mentoring: Jadilah sahabat yang baik.
c. Organizing:
Ciptakan lingkungan yang baik.
d.
Teaching: Ajarkan prinsip hidup yang baik.
C. Tinjauan Tentang Learning Organization
1.
Definisi
Learning Organization
Learning Organization adalah suatu konsep yang berawal dari fenomena yang terjadi yaitu
individu dan organisasi mengalami masalah persaingan. Sehingga bagaimana
individu dalam organisasi tersebut dapat memper-tahankan bahkan meningkatkan
kemampuannnya dalam persaingan tersebut.
Bagaimana organisasi dianggap mampu untuk terus menerus melakukan proses
pembelajaran mandiri (self learning)
sehingga organisasi tersebut memiliki ‘kecepatan berpikir dan bertindak’ dalam
merespon beragam perubahan yang muncul. Istilah learning organization sudah
lama ada, sekurang-kurangnya sudah ditemukan dalam buku C. Argyris dan D. Schon, Organizational Learning: A Theory of Action
Perpective. Namun demikian istilah ini baru mengglobal dalam kosakata
manajemen setelah terbitnya buku Peter M. Senge, The Fifth Discipline; The Art and Practice of the Learning Organization.
Buku ini dinyatakan oleh Harvard Business Review pada tahun 1997 sebagai salah
satu paling berpengaruh di bidang manajemen dalam 75 tahun terakhir.
Peter M. Senge menjelaskan tentang learning organization sebagai berikut: This then, is the basic meaning of a
“learning organization” – an organization that is continually expanding its
capacity to create its future. For such an organization, it is not enaugh
merely to survive. “Survival learning” or what is more often termed “adaptive
learning” is important – indeed it is necessary. But for a learning, “adaptive
learning” must be joined by “generative learning”, learning that enhances our
capacity to create.
Konsep LO adalah konsep generic dengan
penerapan yang harus berciri lokal di dalam sistem organisasi oleh anggota
organisasi sendiri. Penerapannya menghendaki perubahan yang bersifat
transformasi bukan transplantasi. Inti tugas dari organisasi belajar (LO):
a.
Meningkatkan
kapasitas sejawat.
b.
Membangun
kemampuan kolektif untuk memahami sistem.
c.
Menghilangkan
permainan lama di tempat kerja.
d.
Teori dan
pemahaman mendasar tentang dunia yang dikaji dan dikuasai agar bisa dipraktekkan.
e.
Didasarkan
atas lima disiplin belajar.
f.
Menjadikan pembelajar seumur hidup pada jalur yang tidak berujung:
paham akan “hakekat” institusi pembelajar
Organisasi pembelajaran adalah organisasi yang terus menerus
belajar meningkatkan kemampuannya untuk dapat bertahan dan berkembang menuju
pencapaian visi bersamanya dalam lingkungan yang terus berubah. Senge mencatat
tujuh penyakit yang menghambat pembelajaran (learning disabilities) yaitu:
a. I am my
position : kebiasaan melihat masalah
dari sudut kepentingan sendiri ketimbang keseluruhan kepentingan didalam satu
sistem. Semua boleh berubah, kecuali posisiku. Perilaku melihat masalah dari
sudut pandang sendiri; tidak melihat kepentingan menyeluruh yang lebih besar.
b. The enemy
is out three: kebiasaan melihat
kesalahan pada pihak lain, diluar diri sendiri, sebagai “kambing hitam”.
c. The
illusion of taking charge: kebiasaan
sibuk bekerja tanpa mencari akar sebab dari masalah untuk memecahkan pada skala
yang lebih luas.
d. The
fixation on events: kebiasaan melihat
masalah pada peristiwa masa kini saja, ketimbang pada sebabnya yang berada jauh
di belakang, dan dampaknya ke masa depan yang panjang.
e. The parable
of the boiled frog: kebiasaan
menyesuaikan diri dengan sebab-sebab masalah yang kecil hingga sebab-sebab
tersebut menumpuk, membesar, dan melumpuhkan kemampuan diri untuk mengatasinya.
f. The delusion of learning from experience: kebiasaan untuk hanya belajar dari pengalaman sendiri, bukan
dari pengalaman pihak yang terkena dampak sesuatu keputusan.
g. The myth oh
the management team: kebiasaan membentuk
kelompok kerja untuk menangani sesuatu masalah dimana para anggotanya secara
sempit hanya memperhatikan kepentingan diri dan satuan organisasinya, bukan
kepentingan keseluruhan organisasi yang menjangkau jauh kemasa depan.
Untuk mengatasi “tujuh penyakit” tersebut Senge mengemukakan lima
Disiplin sebagai “obatnya”. Senge mendefinisikan “disiplin” sebagai berikut: By “discipline” I do not mean an
“enforced order” or “means of punishment,” but a body of theory and technique
that must be studied and mastered to be put into practice.
Peter
Senge (1995) mengemukakan definisi organisasi belajar sebagai suatu disiplin
untuk mengembangkan potensi kapabilitas individu dalam organisasi yang dikenal
dengan The Fifth Dicipline yang
telah diterjemahkan oleh Adiarni (1996) yang dikenal dengan Disiplin Kelima,
sebagai berikut:
a. Berpikir Sistem
(Systems Thinking)
Setiap
usaha manusia, termasuk bisnis, merupakan sistem karena senantiasa merupakan
bagian dari jalinan tindakan atau peristiwa yang saling berhubungan, meskipun
hubungan itu tidak selalu tampak. Oleh karena itu organisasi harus mampu
melihat pola perubahan secara keseluruhan, dengan cara berpikir bahwa segala
usaha manusia saling berkaitan, saling mempengaruhi dan membentuk sinergi.
b. Penguasaan Pribadi
(Personal Mastery)
Setiap
orang harus mempunyai komitmen untuk belajar sepanjang hayat dan sebagai
anggota organisasi perlu mengembangkan potensinya secara optimal. Penguasaan
pribadi ini merupakan suatu disiplin yang antara lain menunjukan kemampuan
untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi pribadi, memfokuskan
enerji, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas secara obyektif.
Kenyataan menunjukkan bahwa seseorang memasuki suatu organisasi dengan penuh
semangat, tetapi setelah merasa “mapan” dalam organisasi itu lalu kehilangan
semangatnya. Oleh karena itu, disiplin ini sangat penting artinya bahkan
menjadi landasan untuk organisasi belajar.
c. Pola Mental (Mental
Models)
Setiap
orang mempunyai pola mental tentang bagaimana ia memandang dunia di sekitarnya
dan bertindak atas dasar asumsi atau generalisasi dari apa yang dilihatnya itu.
Seringkali seseorang tidak menyadari pola mental yang mempengaruhi pikiran dan
tindakannya tersebut. Oleh karena itu setiap orang perlu berpikir secara
reflektif dan senantiasa memperbaiki gambaran internalnya mengenai dunia
sekitarnya, dan atas dasar itu bertindak dan mengambil keputusan yang sesuai.
d. Visi Bersama (Shared Vision)
Organisasi
yang berhasil berusaha mempersatukan orang-orang berdasarkan identitas yang
sama dan perasaan senasib. Hal ini perlu dijabarkan dalam suatu visi yang
dimiliki bersama. Visi bersama ini bukan sekedar rumusan keinginan suatu
organisasi melainkan sesuatu yang merupakan keinginan bersama. Visi bersama
adalah komitmen dan tekad dari semua orang dalam organisasi, bukan sekedar
kepatuhan terhadap pimpinan.
e. Belajar Beregu (Team Learning)
Dalam
suatu regu atau tim telah terbukti bahwa regu dapat belajar dengan menampilkan
hasil jauh lebih berarti daripada jumlah penampilan perorangan masing-masing
anggotanya. Belajar beregu diawali dengan dialog yang memungkinkan regu itu
menemukan jati dirinya. Dengan dialog ini berlangsung kegiatan belajar untuk
memahami pola interaksi dan peran masing-masing anggota dalam regu. Belajar
beregu merupakan unsur penting, karena regu bukan perorangan merupakan unit belajar
utama dalam organisasi.
2.
Pentingnya
Learning Organization
Yusufhadi Miarso (2002) mengemukakan
beberapa alasan mengapa saat ini diperlukan organisasi belajar. Alasan tersebut
antara lain:
a. Dalam rangka pembangunan ekonomi
yang berkelanjutan, kita tidak lagi dapat mengandalkan pada tersedianya tenaga
kerja yang banyak dan murah, melainkan tenaga kerja yang terdidik dengan baik,
terlatih dengan baik dan menguasai informasi dengan baik (well educated,
well trained, and well informed). Perubahan organisasi untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan lingkungan merupakan azas dari organisasi belajar.
b. Pengembangan organisasi yang lebih
berorientasi pada lingkungan internal dianggap tidak tepat lagi. Sejalan dengan
gerakan masyarakat informasi (information society), maka organisasi
perlu menguasai informasi mengenai lingkungan secara komrehensif. Organisasi
memerlukan lebih banyak tenaga kerja berpengetahuan (knowledge worker).
Perkembangan ekonomi lebih dilandaskan pada pengetahuan dengan tenaga kerja
berpengetahuan sebagai aset paling utama.
Konsep
organisasi belajar muncul dalam konteks perubahan lingkungan dan daya saing,
dimana organisasi membutuhkan kompetensi dan kepemimpinan untuk mentransformasi
pengetahuan kepada seluruh anggota organisasi. Dengan dukungan lingkungan
organisasi belajar yang kondusif diharapkan dapat diciptakan orang-orang yang
berpengetahuan (knowledge pople) dengan kompetensi yang dapat diandalkan.
Selain itu dukungan kepemimpinan yang memberdayakan (empowerement),
artinya memberikan pendelegasian dan dukungan positif kepada setiap anggota
organisasi dalam aktivitas pembelajaran dan memperbaiki kinerja.
3.
Karakteristik Learning
Organization
Karakteristik
LO memiliki piranti-piranti yang berbeda dengan organisasi tradisional yang
bukan belajar seperti di bawah ini:
Tabel 1 Karakteristik Learning
Organization
Karakteristik
|
Organisasi Tradisional
|
Organisasi Belajar
|
Siapa yang belajar?
Siapa yang mengajar?
Siapa yang ber- tanggungjawab
Piranti belajar yang digunakan?
Kapan belajar?
Kompetensi apa yang dipelajari?
Dimana belajar?
Waktu?
Motivasi?
|
Para manajer/karyawan yang
ditunjuk
Pelatih atau nara sumber dari luar
Departemen Diklat
Kursus, magang, pelatihan formal,
bimbingan, rencana pelatihan
Ketika dibutuhkan, saat orientasi
atau sesuai kebutuhan
Teknik
Ruang kelas, tempat kerja
Untuk saat ini sesuai kebutuhan
Ekstrinsik dan terpaksa
|
Seluruh manajer/karyawan dari
semua unit kerja
Atasan langsung, pelatih dan nara
sumber
Setiap manajer/karyawan
Kursus, magang, rencana belajar,
tim, mitra kerja, ukuran kinerja, refleksi pribadi
Sepanjang hayat, untuk jangka
pnjang
Teknis dan manajerial, hubungan
pribadi, bagaimana belajar
Ruang rapat, saat melakukan
pekerjaan, di mana saja
Untuk masa yang akan datang
Intrinsik dan semangat
|
Sumber: Braham, 2003
D. Tinjauan Tentang Personal Mastery
1. Definisi Personal Mastery
Secara etimologi, Mastery berasal dari bahasa
Inggris dan Latin yang berarti penguasaan atau keahlian dominasi terhadap
sesuatu. Sedangkan dari bahasa Perancis, berasal dari kata Maitre yang
berarti seseorang mempunyai keahlian khusus, cakap, dan ahli dalam sesuatu.
Menurut Peter Senge, personal mastery adalah sebuah disiplin yang terus menerus, memperjelas
dan memperdalam penglihatan personal kita, memfokuskan energi kita,
menyampaikan kesabaran dan melihat objek secara realistis. Sedangkan Fran
Sayers Ph.D mendefinisikan Penguasaan
diri sebagai pengembangan diri seseorang yang prosesnya terus berkesinambungan,
selalu mencari jalan untuk terus berkembang, hal baru untuk dipelajari, bertemu
dengan orang baru, merupakan suatu jalan kehidupan yang menekankan pada
perkembangan dan kepuasan dalam kehidupan personal dan professional.
Penguasaan diri adalah
suatu cara yang berkesinambungan untuk menjernihkan dan memperdalam visi,
energi, dan kesabaran seseorang (Michael J. Marquardt). Mastery
tidak berarti mengontrol orang lain,
maupun diri sendiri. Seiring berjalannya waktu yang dilakukan adalah menggabungkan
berbagai variasi dan kadang-kadang konflik kepribadian seseorang (Leonard).
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penguasaan
diri adalah sebuah proses pembelajaran kehidupan seseorang, bukan sesuatu yang
sudah dimiliki. Penguasaan diri itu tentang mencintai diri sendiri dan
mengembangkan bakat yang dimiliki semaksimal mungkin. Beberapa orang berpikir
bahwa penguasaan diri itu membatasi dan mengontrol diri sendiri, tetapi
sesungguhnya hal ini mengenai pemahaman akan diri sendiri. Seseorang harus
mengidentifikasi tentang bagaimana suatu kebiasaan muncul untuk mengontrol
suatu kebiasaan tersebut.
2. Prinsip-prinsip Personal Mastery
Penguasaan pribadi ini merupakan suatu disiplin yang antara lain
menunjukkan kemampuan untuk senantiasa mengklarifikasi dan mendalami visi
pribadi, memfokuskan energi, mengembangkan kesabaran, dan memandang realitas
secara objektif. Kenyataan menunjukkan bahwa seseorang memasuki organisasi
dengan penuh semangat, tetapi setelah merasa mapan dalam organisasi itu lalu
kehilangan semangatnya. Oleh karena itu, disiplin ini sangat penting artinya
bahkan menjadi landasan untuk organisasi belajar. Prinsip-prinsip dari personal mastery adalah sebagai berikut:
a.
Visi
Pribadi
Visi pribadi datang dari dalam. Bentuk yang lebih halur dari visi
pribadi adalah memfokuskan pada cara bukan hasil. Kemampuan untuk memfokuskan pada keinginan intrinsikakhir, tidak hanya
pada tujuan sekunder, adaah suatu batu pijakan dari keahlian pribadi. Visi
sesungguhnya tidak dapat dipahami secara terpisah dari ide tujuan. Tujuan yang
dimaksud adalah, sebagai kesadaran individual akan mengapa ia hidup. Tetapi
visi berbeda dari tujuan. Tujuan serupa dengan arah, suatu gambaran masa depan
yang diinginkan. Visi adalah suatu destinasi yang spesifik, suatu gambaran dari
masa depan yang diinginkan. Tujuan adalah abstrak. Visi lebih konkrit.
b.
Menahan
Tegangan Kreatif
Orang sering kali mengalami kesulitan besar dalam membicarakan
visi mereka, bahkan ketika visinya jelas. Mengapa? Karena kita sadar secara
tajam akan jurang antara visi dan realita. Jurang-jurang ini dapat membuat
suatu visi tampak tidak realistikatau suatu impian. Hal tersebut dapat membuat
keberanian kita surut atau membuat kita merasa tidak berdaya. Tetapi jurang
antara visi dan realita saat ini juga merupakan suatu sumber energi. Bila tidak
ada jurang, tentu tidak akan ada kebutuhan akan tindakan apapununtuk bergerak
terhadap visi. Bahkan jurang adalah sumber dari energi kreatif. Jurang ini
disebut sebagai tegangan kreatif.
Prinsip dari tegangan kreatif adalah merupakan prinsip sentral dari keahlian
pribadi, yang mengintegrasikan semua elemen disiplin tersebut.
c. “Konflik Struktural” Kekuatan dari Ketidakberdayaan
Dengan adanya kepercayaan ketidakberdayaan atau ketidakberhar-gaan
kita, konflik struktural mengimplikasikan kekuatan-kekuatan sistemik yang
berperan untuk menjaga kita dari mencapai keberhasilan kapan pun kita mencari
suatu visi. Rober Fritz telah mengidentifikasi tiga strategi generik untuk
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari konflik struktural, yang mana
masing-masing memiliki keterbatasannya. membiarkan visi kita terkikis adalah
satu dari strategi untuk menghadapinya. Yang kedua adalah “manipulasi konflik”
dimana kita mencoba memanipulasi diri kita kedalam usaha yang lebih besar
kearah apa yang kita inginkan dengan menciptakan konflik artifisial, seperti
memfokuskan pada upaya menghindari apa yang tidak kita inginkan. Manipulasi
konflik adalah strategi yang disenangi oleh orang-orang yang tiada putusnya mencemaskan
mengenai kegagalan. Strategi yang ketiga adalah “kekuatan kemauan” dimana kita
cukup mempengaruhi jiwa kita sendiri untuk menguasai semua bentuk perlawanan
untk mencapai tujuan kita.
c.
Komitmen
terhadap Kebenaran
Melihat dan mengatakan kebenaran merupakan suatu unsur fundamental
dari keahlian pribadi, dan unsur fundamental dari disiplin yang terkait dengan
visi bersama. (Kebenaran, dalam hal ini, tidak berarti “kebenaran mutlak,”
melainkan sekedar kebenaran seperti Anda lihat). “Karena ketegangan kreatif
tergantung pada suatu pemahaman yang jernih tentang realitas saat ini, maka
ketegangan kreatif itu segera hilang ketika orang-orang berbohong kepada diri
mereka sendiri atau satu sama lain.
d.
Menggunakan
Alam Bawah Sadar, atau Anda Sebenarnya Tidak Perlu Memikirkan Semuanya
Secara implisit dalam praktek dari keahlian pribadi adalah dimensi
lain dari pikiran bawah sadar. Apa yang membedakan orang dengan keahlian
pribadi tinggi adalah mereka telah membentuk hubungan baik yang lebih tinggi
antara kesadaran normal mereka dengan bawah sadar mereka.
e.
Mengintegrasikan
Penalaran dan Intuisi
Dengan mengintegrasikan antara penalaran dan intuisi kita dapat
menemukan jalan keluar. Orang dengan keahlian pribadi tingkat tinggi tidak
secara khusus menetukan untuk mengintegrasikan penalaran dan intuisi. Lebih
dari itu, mereka mencapainya secara alamiah sebagai suatu hasil samping dari
komitmen mereka untuk menggunakan semua sumber daya yang dapat mereka peroleh.
Mereka tidak mmapu memilih antara penlaran atau intuisi, atau kepala dan hati,
lebih daripada seperti apa yang mereka pilih untuk berjalan diatas satu kaki
atau berjalan dengan satu mata.
f.
Melihat
Keterikatan Kita dengan Dunia
Einstein mengekspresikan tantangan belajar ketika ia mengatakan:
“manusia merasakan dirinya, pikiran, dan perasaanya sebagai sesuatu yang
terpisah dari lainnya. Suatu jenis selusi optikal dari kesadaran kita. Delusi
ini adalah sejenis tahanan bagi kita, yang membatasi kita pada
keinginan-keingina pribadi dan pada afeksi bagi beberapa orang yang terdekat
dengan kita. Tugas kita haruslah membebaskan diri kita sendiri dari penjara ini
dengan memperluas lingkaran perasaan kita untuk merangkul semua makshluk hidup
dan seluruh alam dan keindahannya”. Pengalaman dari meningkatkan keterkaitan
yang digambarkan Einstein adalah salah satu dari aspek paling halus dari
penguasaan pribadi.
g.
Perasaan
Kecenderungan spontan kita untuk mencari kesalahn dengan satu sama
lainnya secara perlahn-lahan memudar, meninggalkan suatu rasa menghargai yang
lebih dalam terhadap kekuatan dalam dimana kita semua beroperasi.
h.
Komitmen
terhadap Keseluruhan
Komitmen yang tulus menurut Bill O’Brien adalah selalu terhadap
sesuatu yang lebih besar daripada kita sendiri. Individu yang memiliki komitmen
terhadap visi melampaui minat diri mereka, menemukan bahwa mereka memiliki
energi tidak didapatkan ketika mengejar tujuan yang lebih sempit, sebagaimana
organisasi yang menyaring komitmen ini “saya tidak percaya pernah ada seorang
tunggal yang telah membuat suatu penemuan yang berharga atau invensi”.
3. Manfaat Personal Mastery
Manfaat atau keuntungan bagi seseorang yang
mempunyai tingkat penguasaan diri tinggi adalah:
a. Kemampuan
mengambil tanggung jawab.
b. Kejelasan
dan profesionalisme visi.
c. Kohesive
dan
Team Work yang berlaku.
d. Penurunan
jumlah karyawan yang absen melalui peningkatan kesejahteraan karyawan.
e. Mampu
mengendalikan stress dan bersikap positif.
f. Menciptakan petumbuhan organisasi yang tetap
dan berjangka panjang.
g. Pemenuhan
tanggung jawab sosial.
h. Kepemimpinan
kreatif yang kuat.
i. Meningkatkan kecerdasan emosi.
Dengan
demikian terlihat jelas bahwa Personal
Mastery tidak saja baik bagi diri sendiri namun juga mempengaruhi
lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal dengan cara yang positif.
4. Aspek Personal Mastery
Metavarsity Course, Personal Mastery disebutkan memiliki 4
aspek, yaitu:
a. Aspek Emosional, yang terdiri atas:
1) Memahami emosi diri sendiri dan
akibatnya.
2) Memahami orang lain dan emosi yang
dialaminya.
3) Berdaya secara emosional dan nyata.
4)
Menjadi
vulnerable dan terbuka dengan suatu
hubungan.
b. Aspek Spiritual, yang terdiri atas:
1) Terhubung dengan inner self.
2) Mengapresiasi kehidupan, menyayangi
orang lain.
3) Bersatu dalam perbedaan dengan orang
lain.
4)
Menciptakan dunia yang lebih baik untuk tempat hidup.
c. Aspek Fisik, terdiri dari:
1) Berada secara fisik dan dalam
lingkungan.
2) Memahami hubungan antara ‘mind-body’.
3) Bertanggung jawab dan membuat
keputusan positif.
4)
Memanage
stress dan mencapai keseimbangan.
d.
Aspek Mental, terdiri
atas:
1)
Memahami cara pikiran
bekerja dan cara menciptakan realitas.
2)
Meningkatkan fokus
mental dan konsentrasi.
3)
Menciptakan pikiran
yang jernih dan inovatif.
4)
Menciptakan realitas
yang diinginkan.
Dengan
menguasai 4 aspek yang telah dikemukakan, diharapkan seseorang dapat
menggunakannya untuk mengatasi kebutaan yang dialami. Setelah mampu menguasai 4
aspek tersebut, dapat dikatakan telah menguasai Personal Mastery. Seseorang yang telah menguasai Personal Mastery memiliki komitmen yang
tinggi terhadap suatu hal, lebih sering mengambil insiatif, secara terus
menerus mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan hasil terbaik dalam
kehidupan yang benar-benar diinginkan.
5. Karakteristik Personal Mastery
Menurut
Marty Jacobs (2007), seseorang yang memiliki Personal Mastery yang
tinggi akan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Mempunyai
sense khusus mengenai tujuan hidupnya.
b.
Mampu
menilai realitas yang ada sekarang secara akurat.
c.
Terampil
dalam mengelola tegangan kreatif untuk memotivasi diri dalam mencapai kemajuan
kedepannya.
d.
Melihat
perubahan sebagai suatu peluang.
e.
Memiliki
rasa keingintahuan yang besar.
f.
Menempatkan
prioritas yang tinggi terhadap hubungan personal tanpa menunjukkan rasa egois
atau individualismenya.
g. Pemikir sistemik, dimana
seseorang melihat dirinya sebagai salah satu bagian dari sistem yang lebih
besar.
6. Dimensi Personal Mastery
Penerapan
Personal Mastery dapat dilihat dari
dua dimensi yang saling berkaitan. Dimensi dimana seseorang tersebut sebagai
individu dan dimensi dimana personal tersebut menjadi bagian dari suatu
kelompok (team). Sebagai individu,
upaya pengendalian diri (Personal Mastery)
dengan segala unsurnya akan dapat membentuk karakter personal, sedangkan
perannya pada kelompok, Personal Mastery
diperlukan untuk menjamin adanya pembelajaran organisasi (Learning Organization). Paduan karakter personal yang dimiliki oleh
anggota team dalam suatu organisasi akan membuat dinamika dan menumbuhkan
organisasi tersebut. Dari interaksi ini munculnya benih-benih Leadership yang
diharapkan akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tangguh.
Bagan
sederhana untuk menerangkan hal tersebut bisa digambarkan di bawah ini:
Gambar
1 Development as a Dialectical Process of Interaction
Personal
Mastery menunjukkan
bahwa kekuatan sebuah organisasi tergantung pada kekuatan pribadi yang mendukung.
Peter Senge dalam Global Learning Service juga menjelaskan tujuh dimensi
penguasaan diri yang harus dibudayakan untuk mendukung proses pengembangan
mencapai Personal Mastery:
a.
Kesadaran Diri (Self-Awareness)
Laporan dari komisi pendidikan UNESCO dalam The Jewel
Within menyatakan bahwa pengembangan diri merupakan sebuah proses mengenal
dan memahami diri sehingga seseorang mampu membuka diri untuk berhubungan
dengan orang lain. Self-awareness merupakan dasar untuk Personal
Mastery dan efektivitas dalam berhubungan dengan orang lain. Self-awareness
dapat dijadikan kunci sebagai pemegang kendali untuk pengembangan personal
dan profesional.
b.
Ketajaman Perseptual (Perceptual Acuity)
Perceptual Acuity merupakan kemampuan dalam menafsirkan pesan yang diperoleh
melalui persepsi, observasi, dan kemampuan mendengar.
c.
Penguasaan Emosional (Emotional Mastery)
Penguasaan emosi adalah bagaimana seseorang memahami emosi
diri, mengenal emosi orang lain, dan kemampuannya untuk memanajemen emosi untuk
menghargai orang lain. Goleman membagi lima kecerdasan emosi dalam buku “Emotional
Intelligence”, yaitu:
1)
Kesadaran Diri
Mengenal emosi diri yang terkait dengan kapan, dimana, dan
mengapa emosi bergejolak, mampu dalam memonitor perasaan sesuai situasi dan
kondisi, serta memahami efeknya pada orang lain.
2)
Regulasi Diri (Self-Regulation)
Kemampuan dalam Mengendalikan emosi, menahan diri dan mencoba
untuk menenangkan diri. Mengontrol atau mengarahkan rangsangan emosi dan
mempunyai kecenderungan untuk berpikir sebelum bertindak.
3)
Motivasi Diri (Internal Motivation)
Memotivasi diri sendiri, bahwa sesungguhnya emosi tidak
menyelesaikan masalah. Seseorang akan bekerja dengan alasan internal yang
melampaui uang dan status imbalan eksternal, sehingga ia akan mempunyai
kecenderungan untuk mengejar tujuan dengan energi dan ketekunan.
4)
Empati (Empathy)
Kemampuan untuk memahami karakter dan emosi orang lain.
Sebuah keterampilan dalam memperlakukan orang sesuai dengan reaksi emosional
mereka.
5)
Kemampuan Sosial (Social Skills)
Kemampuan dalam mengelola hubungan dan membangun jaringan
serta kemampuan untuk menemukan kesamaan dan membangun hubungan.
d.
Keterbukaan (Openness)
Organisasi tidak hanya dihuni oleh satu pemikiran. Seseorang
bisa terbuka menerima pemikiran orang lain, serta bersedia untuk menggali ide
baru dan pengalaman demi sebuah perkembangan.
e.
Fleksibilitas dan Adaptasi (Flexibility and Adaptability)
Perubahan dan/atau perkembangan dalam organisasi menuntut
seseorang untuk mengikuti perubahan dan/atau perkembangan tersebut. Maka
seseorang harus mempunyai sikap fleksibel dan pintar untuk beradaptasi,
sehingga mampu memandang perubahan sebagai kesempatan baru.
f.
Otonomi (Autonomy)
“Personal Mastery goes beyond competence and skills, although
it is grounded in competence and skills. It goes beyond spiritual unfolding or
opening, although it requires spiritual. It means approaching one’s life as a
creative work, living life from a creative as opposed to reactive viewpoint
(Peter Senge)”
Seseorang harus mampu mengendalikan hidup untuk mencapai
pikiran jernih dan kecerdasan, sensitivitas tinggi, rasa estetika, tanggung
jawab serta nilai spiritual. Seseorang yang autonomus mempunyai sikap Self-awareness
tinggi, keingintahuan tinggi, dan lebih proaktif daripada reaktif.
g.
Akal dan Daya Kreatif (Creative Resourcefullness)
Seseorang harus
kreatif dan inovatif serta selalu menemukan hal baru dalam melakukan sesuatu.
Selalu terbuka akan ide-ide dan pengalaman baru serta fleksibel dan adaptasi.
7. Strategi Pengembangan Personal Mastery
Banyak orang yang mengakui bahwa di antara semua
disiplin pembelajaran, Personal Mastery lah yang paling menjadi
perhatian. Tidak hanya meningkatkan kemampuan sendiri, namun juga meningkatkan
kemampuan orang lain. Banyak orang mengakui bahwa organisasi berkembang seiring
dan sejalan dengan para anggota. Beberapa orang mengetahui prinsip utama
disiplin ini. Tidak seorang pun bisa meningkatkan Personal Mastery orang
lain, namun hanya bisa menciptakan kondisi yang mendorong dan mendukung orang
yang ingin meningkatkan Personal Mastery.
Setiap orang harus menawarkan dorongan semangat dan
dukungan ini, karena pembelajaran tidak akan berlangsung lama kecuali dipicu
oleh minat dan rasa ingin tahu yang besar dari orang itu sendiri. Walaupun
pemicu tidak ada, orang akan patuh menerima pelatihan apa pun yang diberikan.
Dampak dari latihan itu berlangsung sementara, namun tanpa komitmen orang yang
dilatih akan berhenti menerapkan ketrampilan baru tersebut. Sebaliknya, jika
pembelajaran dikaitkan dengan visi seseorang, maka orang itu akan berupaya
keras mempertahankan agar pembelajaran dapat terus berlangsung. Namun, banyak
perusahaan cenderung merintangi daripada mendorong motivasi intrinsic. Untuk
mengembangkan Personal Mastery, bisa dilakukan dengan cara berikut ini:
a. Percakapan
dalam Diri
Penerapan pokok Personal Mastery mencakup
pembelajaran untuk mempertahankan visi pribadi dan gambaran jernih tentang
realitas saat ini yang ada di hadapan. Dengan melakukan hal ini, akan
membangkitkan kekuatan dalam diri sendiri yang disebut "tegangan
kreatif." Tegangan menurut sifat alaminya, memerlukan penyelesaian, dan
sebagian besar penyelesaian alami terhadap tegangan adalah dengan mendekatkan
realitas dengan apa yang diinginkan.
Banyak orang yang yakin bahwa visi itu penting,
sesuatu yang bisa melihat dengan jelas bahwa seseorang harus mengubah kehidupan
untuk mengejar keberhasilan, dan yang berkomitmen pada diri sendiri terhadap
apapun yang dihasilkan, umumnya merasa tertantang. Secara sadar maupun tidak,
seseorang telah mengasimilasikan visi tersebut pada tahapan yang banyak
mengubah perilaku. Seseorang memiliki rasa kesabaran yang kuat baik terhadap
diri mereka sendiri maupun dunia dan perhatian yang lebih pada apa yang sedang
berlangsung di sekitar. Semua ini membuahkan pemahaman yang terus menerus
tentang energi dan antusiasme, yang (seringkali setelah penundaan) membawa
hasil nyata, selanjutnya dapat memperkokoh energi dan antusiasme tersebut.
Seseorang tidak mungkin bisa memerintahkan orang
lain dengan serta merta untuk memahami kerangka pemikiran ini, namun disiplin Personal
Mastery menjelaskan bahwa sebagai individu bisa memupuk cara berpikir yang
secara bertahap bisa mengarah kepada hal tersebut. Semakin sering seseorang
mempraktikkan cara berpikir ini, maka semakin mampu dan semakin memiliki rasa
percaya diri, serta semakin besar pula kesadaran akan tegangan yang bisa
menarik ke depan jika seseorang terus memupuknya. Seseorang mengatasi tegangan
emosional, bukan dengan menyangkal bahwa itu ada, melainkan dengan mencoba
melihat secara lebih jernih, hingga bisa memahami bahwa tegangan emosional
sesungguhnya juga merupakan bagian dari realitas saat ini.
Personal Mastery mengajarkan agar
seseorang tidak menurunkan visi. Yang terpenting bukanlah isi visinya, namun
apa yang dilakukan oleh visi tersebut. Personal Mastery mengajarkan
untuk tidak menyerah dalam memandang dunia seperti apa adanya, sekalipun itu
membuat rasa tidak nyaman. Personal Mastery mengajarkan seseorang untuk
memilih. Memilih adalah tindakan yang berani mengambil hasil dan tindakan yang
akan menentukan nasib kedepannya.
Mempraktikkan Personal Mastery adalah seperti
mengadakan percakapan dalam diri sendiri. Ada sesuatu yang menyuarakan impian
tentang apa yang seseorang inginkan pada masa yang akan datang yang ada dalam
diri. Namun, suara yang lain membentuk cara pandang seseorang (sering kali
bersifat ancaman) terhadap dunia di sekitar.
b.
Pemimpin
sebagai Pelatih
Tegangan
kreatif secara terbuka (dengan membangun visi bersama di satu pihak, dan
membantu orang lain melihat sistem tersebut serta model mental dari realitas
saat ini di lain pihak) bisa menggerakkan seluruh organisasi ke depan, karena
organisasi didorong oleh tegangan kreatif setiap individu. Langkah pertama
dalam belajar menciptakan tegangan berskala lebih besar adalah dengan belajar
membangkitkan serta mengelola tegangan kreatif dalam diri sendiri.
Layak
untuk diakui bahwa gagasan untuk mendorong Personal Mastery di tempat
kerja, secara naluriah sulit diterima oleh beberapa pemimpin. Terdapat perasaan
yang mungkin tersembunyi, bahwa visi pribadi tidak sesuai dengan tujuan
kelembagaan. Para karyawan dituntut berdedikasi sepenuhnya kepada perusahaan
selama jam kerja kantor. Sikap paternalistik ini terbukti tidak persuasif dan
tidak efektif.
Jika pemimpin tidak mempunyai
pemahaman yang mendalam tentang visi diri, maka pemimpin tersebut tidak akan
mampu mendorong orang lain untuk menciptakan visi sendiri atau mempertimbangkan
visi orang lain. Jika seorang pemimpin tidak bisa menguraikan realitas saat ini
dengan jelas, maka kredibilitas akan rendah ketika pemimpin tersebut mengajak
orang lain melihat bersama. Jika pemimpin tersebut tidak mempunyai tingkat
pengetahuan diri sendiri, dan pemahaman diri sendiri, maka risikonya adalah
adanya kemungkinan pemimpin tersebut menggunakan organisasi untuk mengatasi
sendiri sakit saraf yang dimiliki. Hal ini bisa membawa dampak yang luar biasa
terhadap diri orang lain. Tugas melatih Personal Mastery meliputi
tindakan membantu seseorang untuk melihat betapa visi sendiri tertutup oleh
kekhawatiran apakah visi tersebut mungkin untuk terjadi atau tidak.
8. Aplikasi Personal Mastery
Berikut ini adalah contoh aplikasi Personal
Mastery dalam kehidupan. Orang yang memiliki Personal Mastery dalam
kehidupan sehari-hari dapat kita lihat pada sebuah film yang sangat inspiratif
yaitu “Forrest Gump”. “Forrest Gump” merupakan film drama Amerika Serikat tahun
1994 yang diadopsi berdasarkan novel tahun 1986 karya Winston Groom. Film ini
menceritakan tentang seorang anak dengan keterbatasan yang bernama Forrest
Gump, diceritakan Forrest adalah seorang anak yang hanya memiliki IQ sebesar 75,
tetapi mampu membuat sebuah perubahan baik untuk dirinya sendiri atau pun
lingkungan sekitarnya. Walaupun saat masih kecil Forrest sering diejek dan
dijauhi oleh kawan-kawannya karena kecerdasannya yang di bawah rata-rata dan
keterbatasan fisiknya. Namun di luar ketidakmampuannya itu, ia memiliki sebuah
kemampuan yang tidak dimiliki oleh anak-anak lain yaitu mampu berlari dengan cepat. Forrest pun tidak
menyerah dengan keterbatasan tersebut, dan tetap melakukan hal-hal yang positif
untuk lingkungannya.
Pada hakekatnya proses belajar tidak mengenal
perbedaan. Entah seseorang itu awalnya berasal dari orang yang tidak mampu
ataupun kaya, pekerja kasar ataupun pejabat tinggi dan tidak mengenal juga
suku, ras atau pun golongan. Manusia dan mahluk hidup lainnya dituntut untuk
tetap mampu beradaptasi agar mereka bisa bertahan. Beradaptasi membutuhkan
inovasi dan kemampuan untuk berkreasi. Dan ini semua bisa didapat dengan cara
belajar, baik secara individual maupun bersama.
Hal ini memberi makna bahwa jika kita
dalam kehidupan baik sebagai personal maupun dalam berinteraksi dengan
lingkungan sosial, asal bisa mengembangkan Personal Mastery, memiliki
mental yang tangguh, berpikir secara sistemik, sepakat menjalankan visi bersama
serta mampu mengontrol untuk mengurangi kelemahan/ kebutaan dalam diri maupun
kelompok, pastilah akan mendapatkan hasil yang luar biasa. Dengan kata lain,
aktifitas positif baik secara personal maupun kelompok apalagi bermanfaat bagi
orang lain, dengan sendirinya akan mendatangkan juga penilaian dari orang atau
kelompok lainnya. Cetusan positif dari penilaian ini dapat diwujudkan dengan
suatu penghargaan. Jadi penghargaan didapat sebagai konskuensi dari hasil yang
baik, bukan merupakan buah dari harapan yang pasif.
REFERENSI
Braham,
Barbara. 2003. Creating A Learning
Organization. Gramedia. Jakarta.
Dwi,
Rini. 2013. Personal Mastery. Makalah
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/33226375/TUGAS_ORGANISASI_PEMBELAJAR_DAN_BERPIKIR_SISTEM__MAKALAH_TENTANG_PERSONAL_MASTERY.docx?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1416839194&Signature=bSBVqgOQX3cVFJN0uTIVBrCWzl0%3D
diakses 17/11/2014.
Ekawati,
Susana, 2009. Disiplin Kelima Peter Senge.
Program Pascasarjana Teknologi
Pendidikan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Lampung.http://susanaekawati.wordpress.com/landasan-teori-dan-teknologi-manajemen-managemen-berbasis-sekolah/
diakses 21/11/2014
Jacobs,
Marty. 2007. Personal Mastery: The First Discipline of Learning
Organizations. Vermont Business Magazine.
Kartono,
2003. Pemimpin dan Kepemimpinan. PT
Raja Gravindo : Jakarta.
Leonard, Karin & Associates. What is Personal Mastery. http://www.innerevolution.com/Articles/personalmastery.html.
Lestari,
Sri, 2013. Psikologi Keluarga : Penanaman
Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Marquardt,
Michael J. 2002. Building The Learning Organization: Mastering The 5 Element
for Corporate Learning. Davies-Black Publishing, Inc. United States of
America.
Puspitawati,
Herien. 2013. Konsep dan Teori Keluarga.
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Bogor. http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/teori.pdf
diakses 17/11/2014
Salam,
Lubis. 2000. Menuju Keluarga Sakinah
Mawaddah dan Warahmah. Terbit Terang. Surabaya.
Senge,
Peter. 1996. Disiplin Kelima Seni dan
Praktek dari Organisasi Pembelajar. Binarupa Aksara. Jakarta.
Sudiharto. 2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Keperawatan Transkultural.
Penerbit EGC. Jakarta.
Zulkifli, Andi. 2012. Surveilans Pertumbuhan Anak melalui
Pendekatan Learning Organization. Pustaka Timur. Yogyakarta.
Info yang bermafaat. Bisakah saya share tulisan tersebut?
BalasHapus