A. Gambaran Umum Stroke
Stroke
adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan
pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala dan
tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Kejadian serangan ini
bervariasi antar tempat, waktu dan keadaan penduduk. (Bustan, 2007).
Stroke
sebagian besar
B. Definisi Stroke
Menurut World Health Organization (WHO)
(1988) seperti yang dikutip dalam Junaidi (2011), stroke is a rapidly developing clinical sign of focal or global
disturbance of cerebral function with symptoms lasting 24 hours or longer, or
leadding to death with no apparent cause other than vascular signs. Stroke
adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak
dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam, akibat gangguan aliran darah otak.
Stroke merupakan penyakit gangguan
fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke
otak karena perdarahan (stroke hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik)
dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh
sempurna, sembuh dengan cacat, atau kematian.
Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional
otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak.
Gangguan peredaran darah otak berupa
tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak
yang seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu.
Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian sel saraf
(neuron). Gangguan fungsi otak ini akan memunculkan gejala stroke (Junaidi,
2011).
Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA)
adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah
kebagian otak (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke adalah cedera otak yang
berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat terjadi karena
pembentukan trombus disuatu arteri serebrum, akibat emboli yang mengalir ke
otak dari tempat lain di tubuh, atau akibat perdarahan otak (Corwin, 2001).
Stroke adalah suatu penyakit defisit
neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi
secara mendadak dan menimbulkan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah
otak yang terganggu (Bustan, 2007). Dari semua definisi stroke di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa stroke adalah suatu serangan
mendadak yang terjadi di otak dan dapat mengakibatkan kerusakan pada sebagian
atau secara keseluruhan dari otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran pada
pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak, biasanya berlangsung lebih dari 24
jam. Jadi, batasan stroke adalah segala sesuatu gangguan pada otak yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke otak, bukan karena kecelakaan atau
trauma di otak.
C. Epidemiologi
Stroke
Hasil SKRT 1986 dan 2001 memperlihatkan
adanya peningkatan proporsi angka kesakitan pada penyakit kardiovaskuler,
jantung iskemik, dan stroke (Depkes, 2007). Stroke dapat ditemukan pada semua
golongan umur, akan tetapi sebagian besar ditemukan pada golongan umur di atas
55 tahun. Insiden stroke pada usia 80-90
tahun adalah 300 per 10.000 penduduk, dimana mengalami peningkatan 100 kali
lipat dibandingkan dengan insiden stroke
pada usia 30-40 tahun sebesar 3 per 10.000 penduduk (Bustan, 2007). Dari data
di atas ditemukan kesan bahwa kejadian stroke meningkat sesuai dengan
peningkatan umur. Pada dasarnya stroke
dapat terjadi pada usia berapa saja bahkan pada usia muda sekalipun bila
dilihat dari berbagai kelainan yang menjadi pencetus serangan stroke, seperti
aneurisma intrakranial, malformasi vaskular otak, kelainan jantung bawaan, dan
lainnya (Wahjoepramono, 2004).
Insiden stroke bervariasi antar negara
dan tempat. Menurut hasil penelitian WHO dari 16 pusat riset di 12 negara maju
dan berkembang pada Mei 1971 sampai dengan Desember 1974, diketahui bahwa
insiden stroke yang paling tinggi adalah di Ahita (Jepang) yaitu sebesar 287
per 100.000 populasi per tahun. Sedangkan, insiden stroke terendah adalah di Ibadan (Nigeria)
sebesar 150 per 100.000 populasi per tahun. Insiden stroke di sebagian besar
negara diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 populasi per tahun (Bustan, 2007).
Insiden infark otak dan perdarahan intra serebral meningkat sesuai dengan
pertambahan umur, sedangkan perdarahan subarakhnoid lebih banyak terdapat di
golongan umur yang masih relatif muda (Bustan, 2007).
Hasil SKRT 1984 dilaporkan prevalensi
stroke pada golongan umur 25–34 tahun, 35-44 tahun, dan di atas 55 tahun adalah
6,7; 24,4; 276,3 per 100.000 penduduk. Sedangkan, proporsi stroke di rumah
sakit 27 provinsi pada tahun 1984 sebesar 0,72 dan meningkat menjadi 0,83 pada
tahun 1985. Dan pada tahun 1986, proporsi kasus stroke sebesar 0,96 per 100
penderita (Bustan, 2007). Dari data di atas dapat dilihat bahwa kasus stroke
memperlihatkan tren yang meningkat setiap tahunnya. Selain angka morbiditas
yang terus mengalami peningkatan, angka mortalitas stroke juga tergolong
tinggi, yaitu sebesar 37,3 per 100.000 penduduk pada tahun 1986 (Bustan, 2007).
D. Patofisiologi Stroke
Otak merupakan jaringan yang memiliki
tingkat metabolisme paling tinggi. Meskipun massa yang dimiliki hanya sekitar 2
% dari massa keseluruhan tubuh, jaringan otak menggunakan hingga 20 % dari
total curah jantung (Wahjoepramono, 2005). Aliran darah yang membawa glukosa
dan oksigen ke otak sangat penting bagi kehidupan dan metabolisme sel-sel otak.
Sel otak yang tidak dialiri aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen dapat
rusak bahkan menjadi mati. Ada beberapa
kelainan yang diduga merupakan penyebab stroke pada dewasa muda. Akan tetapi
aterosklerosis diduga sebagai penyebab primer dari penyakit stroke.
Aterosklerosis merupakan bentuk pengerasan pembuluh darah arteri (Hull, 1993).
Aterosklerosis merupakan kumpulan
perubahan patologis pada pembuluh darah arteri, seperti hilangnya elastisitas
dan menyempitnya lumen pembuluh darah (Junaidi, 2004). Aterosklerosis ini
merupakan respon normal terhadap injury yang terjadi pada lapisan endotel
pembuluh darah arteri. Proses aterosklerosis ini lebih mudah terjadi pada
pembuluh darah arteri karena arteri lebih banyak memiliki sel otot polos
dibandingkan vena, dan sel otot polos tadi lebih banyak membentuk kumpulan plak
aterosklerosis (Junaidi, 2004). Proses aterosklerosis ditandai oleh penimbunan
lemak yang terjadi secara lambat pada dinding-dinding arteri yang disebut plak,
sehingga dapat memblokir atau menghalangi sama sekali aliran darah ke jaringan.
Bila sel-sel otot arteri tertimbun lemak maka elastisitasnya akan menghilang
dan kurang dapat mengatur tekanan darah. Akibat lain dari aterosklerosis ini
adalah terbentuknya bekuan darah atau trombus yang melekat pada dinding arteri
dan dapat menyebabkan sumbatan yang lebih berat. Apabila bagian trombus tadi
terlepas dari dinding arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju ke arteri
yang lebih kecil, maka hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada arteri tersebut.
Bagian dari trombus yang terlepas tadi disebut emboli. Proses aterosklerosis
ini dapat terjadi di semua pembuluh darah organ tubuh, baik pembuluh darah ke
jantung, ginjal, maupun otak (Hull, 1993). Oleh karena itu, aterosklerosis
dapat mengakibatkan serangan jantung, hipertensi, dan stroke. Serangan stroke
ini dapat terjadi apabila proses penyempitan atau aterosklerosis ini terjadi
pada pembuluh darah yang menuju ke otak.
Gambar
Proses Aterosklerosis Pada Pembuluh Darah
Sumber : (http://oketips.com) 27 Februari 2015
Arteri yang lebih mudah terkena
kerusakan akibat proses aterosklerosis ini adalah aorta, arteri koronaria, dan
arteri-arteri yang mensuplai otak dan ginjal (Hull, 1993). Hal ini menunjukkan
bahwa betapa mudahnya aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
mensuplai otak, sehingga dapat mengakibatkan stroke. Penyebab dari
aterosklerosis ini tidak diketahui secara pasti. Kelainan ini dapat diakibatkan
oleh kerusakan pada dinding pembuluh nadi (arteri) karena zat-zat kimia
berbahaya seperti karbon monoksida dalam asap rokok, hipertensi, diabetes
melitus, dan yang tersering adalah hiperlipidemia (kadar kolesterol darah yang
tinggi). Risiko aterosklerosis ini berhubungan dengan kadar LDL dalam darah
yang meningkat, yang berasal dari katabolisme VLDL dan mengangkut 70 %
kolesterol serum total. Risiko berhubungan terbalik dengan kadar HDL, karena
HDL membantu membersihkan kolesterol dari dinding pembuluh darah (Robbins,
1999).
Prevalensi aterosklerosis pada arteri
meningkat sesuai dengan pertambahan usia, maka tidak mengherankan jika stroke
pada dewasa muda yang disebabkan oleh aterosklerosis lebih banyak terjadi pada
usia > 30 tahun. Aterosklerosis diperkirakan menjadi penyebab stroke 7 % -
27 % pada pasien berusia kurang dari 50 tahun (Wahjoepramono, 2005).
Serangan stroke dapat terjadi secara
fokal (sebagian) maupun global (keseluruhan) pada otak. Gejala fokal dan
tanda-tanda gangguan fungsi otak pada stroke akan muncul sesuai dengan area
dari jaringan otak yang mengalami gangguan aliran darah. Pada sebagian besar
kasus stroke iskemik dapat diperoleh informasi yang jelas mengenai lokasi lesi
di bagian otak. Akan tetapi, pada stroke hemoragik seringkali terjadi berbagai
komplikasi perdarahan otak yang menyebabkan gangguan fungsi otak juga terjadi
di daerah selain daerah yang terjadi perdarahan. Komplikasi ini disebabkan oleh
peningkatan tekanan intra kranial, edema otak, kompresi jaringan otak dan
pembuluh darah, dan terdispersinya darah yang keluar ke berbagai arah. Oleh
karena itu, gejala fokal terlokalisasi biasanya terjadi pada stroke iskemik, sedangkan pada stroke hemoragik gejala fokal tidak begitu
jelas terlihat dan kurang memberikan prediksi lokal tertentu (Wahjoepramono,
2005).
E.
Gejala dan Tanda Stroke
Stroke
biasanya terjadi secara mendadak dan sangat cepat. Pada saat ini pasien
membutuhkan pertolongan dan sesegera mungkin dibawa ke pelayanan kesehatan.
Pada saat terjadi serangan stroke, pasien akan memperlihatkan gejala dan
tanda-tanda. Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada penderita dengan stroke
akut adalah (Junaidi, 2004):
1.
Adanya serangan defisit neurologis/
kelumpuhan fokal, seperti : hemiparesis (lumpuh sebelah badan yang kanan atau
yang kiri saja).
2.
Mati rasa sebelah badan, terasa
kesemutan, atau terbakar.
3.
Mulut atau lidah mencong jika diluruskan.
4.
Sukar bicara atau bicara tidak lancar
dan tidak jelas.
5.
Tidak memahami pembicaraan orang lain.
6.
Kesulitan mendengar, melihat, menelan,
berjalan, menulis, membaca, serta tidak memahami tulisan.
7.
Kecerdasan menurun dan sering mengalami
vertigo (pusing atau sakit kepala).
8.
Menjadi pelupa atau demensia.
9.
Penglihatan terganggu, sebagian
lapanagan pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri,
penglihatan gelap atau ganda sesaat (hemianopsia).
10.
Tuli satu telinga atau pendengaran
berkurang.
11.
Emosi tidak stabil, seperti mudah
menangis dan tertawa.
12.
Kelopak mata sulit dibuka dan selalu
ingin tertidur.
13.
Gerakan tidak terkoordinasi, seperti :
kehilangan keseimbangan.
14.
Biasanya diawali dengan Transient
Ischemic Attack (TIA) atau serangan stroke sementara.
15.
Gangguan kesadaran, seperti pingsan
bahkan sampai koma.
F.
Tahapan Stroke
Dalam
perjalanan penyakitnya, stroke memiliki beberapa fase yang perlu diperhatikan
dalam tatalaksana pengobatan dan pencegahan. Fase atau tahapan proses
sejak stroke akut sampai fase ke
kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut (Junaidi, 2011):
1.
Fase akut berlangsung antara 4-7 hari.
Tujuan pada fase ini adalah pasien selamat dari serangan stroke.
2.
Fase stabilisasi, berlangsung antara 2-4
minggu. Tujuan pada fase ini adalah pasien belajar lagi keterampilan motorik
yang terganggu dan belajar penyesuaian baru untuk mengimbangi keterbatasan yang
terjadi.
3.
Rehabilitasi, yang bertujuan untuk
melanjutkan proses pemulihan untuk mencapai perbaikan kemampuan fisik, mental,
sosial, kemampuan bicara dan ekonomi.
4.
Fase ke kehidupan sehari-hari, dimana
pasien harus menghindari terulangnya stroke akut, biasanya dianjurkan untuk:
Melakukan kontrol tensi secara rutin:
a.
Kendalikan kadar gula darah.
b.
Berhenti merokok.
c.
Diet rendah lemak.
d.
Menghindari risiko terjadinya stress.
e.
Terapi terkait faktor risiko lainnya dan
penyempurnaan pemulihan kesehatan serta mencegah terulangnya serangan stroke.
G. Klasifikasi Stroke
Secara
garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke dapat diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik (Wahjoepramono, 2005).
1.
Stroke Iskemik
Stroke iskemik disebabkan adanya
kejadian yang menyebabkan aliran darah menjadi menurun atau bahkan terhenti sama
sekali pada area tertentu di otak, misalnya karena terjadi emboli atau trombosis
(Wahjoepramono, 2005). Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya aliran darah
menuju otak yang mengakibatkan sel saraf dan sel lainnya mengalami gangguan
karena terhentinya suplai oksigen dan glukosa yang dibawa oleh darah. Penurunan
atau terhentinya aliran darah ini dapat menyebabkan neuron berhenti berfungsi.
Bila gangguan suplai darah tersebut berlangsung hingga melewati batas toleransi
sel, maka akan terjadi kematian sel. Akan tetapi, apabila aliran darah dapat
diperbaiki segera, maka kerusakan yang terjadi dapat sangat minimal.
Mekanisme terjadinya stroke iskemik
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu akibat trombosis dan akibat
emboli. Trombosis merupakan proses pembekuan darah pada jaringan. Jika
trombosis ini terjadi di dalam pembuluh darah menuju otak, maka bekuan darah
tadi dapat menyumbat aliran darah yang akan mensuplai otak sehingga
terjadi stroke iskemik. Sedangkan emboli
adalah segala benda asing yang terlepas dan mengikuti aliran darah. Emboli
dapat berupa trombus atau bekuan darah yang terlepas, udara, dan lainnya.
Emboli yang masuk ke dalam pembuluh darah dan ikut aliran darah dapat berhenti
di suatu tempat sempit yang tidak bisa ia lewati (Junaidi, 2004).
Hal ini yang biasa menimbulkan
penyumbatan aliran darah dan menjadi penyebab stroke. Diperkirakan sekitar dua pertiga
stroke iskemik disebabkan karena trombosis, sedangkan sepertiganya disebabkan
oleh emboli. Trombosis dan emboli menjadi penyebab stroke iskemik karena dapat
mengakibatkan penyumbatan pada pembuluh darah.
Stroke karena emboli memberikan karakteristik dimana defisit neurologis
dapat langsung mencapai taraf maksimal sejak awal onset gejala muncul (Wahjoepramono,
2005).
Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke iskemik
dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu (Junaidi, 2004):
a. Transient Ischemic Attack
(TIA) merupakan serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam.
b. Reversible Ischemic Neurologic
Deficit (RIND) merupakan gejala neurologis yang akan
menghilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari.
c. Progressing stroke
atau Stroke in evolution merupakan kelainan
atau defisit neurologis yang berlangsung secara bertahap dari yang ringan
samapai yang berat.
d. Completed Stroke merupakan kelainan
neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi.
2. Stroke
Hemoragik
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa stroke
hemoragik merupakan 8-13% dari semua stroke di USA, 20-30% stroke di Jepang dan
Cina. Sedangkan di Asia Tenggara, kasus stroke hemoragik adalah sebesar 26 %
dari semua kasus stroke (Misbach, 1999).
Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan perdarahan intrakanial
non traumatik. Perdarahan intrakranial yang sering terjadi adalah perdarahan
intraserebral (PIS) dan perdarahan subarachnoid (PSA).
a. Perdarahan
Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah
dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak (Iskandar, 2004). Pada kondisi ini
akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral, sehingga
terjadi penekanan pada struktur otak atau pembuluh darah otak secara menyeluruh
yang mengakibatkan penurunan aliran darah otak dan berujung pada kematian sel
saraf sehingga timbul gejala klinis defisit neurologis. Perdarahan
intraserebral (PIS) ini biasanya terjadi karena hipertensi yang berlangsung
lama, sehingga terjadi kerusakan dinding pembuluh darah. Faktor pencetus lain
adalah stres fisik, emosi, peningkatan tekanan darah mendadak yang mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah. 60%-75% PIS disebabkan oleh hipertensi dan 70% kasus
PIS berakibat fatal, terutama apabila perdarahan luas (masif).
b. Perdarahan
Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan
subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain
(subarakhnoid sekunder) maupun dari ruang subarakhnoid sendiri (subarakhnoid
primer) (Junaidi, 2004). Insiden PSA di negara maju sebesar 10-15 kasus setiap
100.000 penduduk. Umumnya PSA timbul spontan, 10% disebabkan karena tekanan darah
yang naik dan biasanya terjadi saat sedang melakukan aktivitas. Gejala PSA
adalah sebagai berikut (CDK dalam www.kalbe.co.id, 2011):
1) Serangan
mendadak dengan nyeri kepala hebat didahului suatu perasaan ringan atau ada
sesuatu yang meletus di dalam kepala.
2) Kaku
kuduk merupakan gejala spesifik yang timbul beberapa saat kemudian.
3) Kesadaran
dan fungsi motorik jarang terganggu.
4) Cairan
serebrospinal (CSS) berwarna merah yang menunjukkan perdarahan dengan jumlah
eritrosit lebih dari 1000 /mm3.
H. Faktor Risiko Stroke
Stroke merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh banyak faktor risiko atau biasa disebut multikausal. Faktor
risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (Wahjoepramono, 2005). Faktor risiko stroke juga dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi,
faktor perilaku (primordial), dan faktor sosial dan ekonomi (Depkes, 2007).
Interaksi antara ketiga faktor tersebut dapat menimbulkan penyakit-penyakit
pendukung atau penyakit yang dapat memperberat faktor risiko untuk terkena
stroke.
1. Faktor
Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak dapat dilakukan intervensi, karena
sudah merupakan karakteristik dari seseorang dari awal mula kehidupannya. Berikut
ini merupakan faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi.
a. Umur
Umur merupakan faktor risiko stroke,
dimana semakin meningkatnya umur seseorang, maka risiko untuk terkena stroke
juga semakin meningkat. Menurut hasil penelitian pada Framingham Study
menunjukkan risiko stroke meningkat sebesar 20 %, 32%, 83% pada kelompok umur
45-55, 55-64, 65-74 tahun (Wahjoepramono, 2005).
b. Jenis
kelamin
Kejadian stroke diamati lebih sering
terjadi pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Akan tetapi, karena usia
harapan hidup wanita lebih tinggi daripada laki-laki, maka tidak jarang pada
studi-studi tentang stroke didapatkan pasien wanita lebih banyak. Menurut SKRT
1995, prevalensi penyakit stroke pada laki-laki sebesar 0,2% dan pada perempuan
sebesar 0,1%. Prevalensi stroke di 3 wilayah Jakarta (Monica, 1998 dalam
Depkes, 2007) didapatkan bahwa prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 7,1% dan
perempuan sebesar 2,8%.
c. Riwayat
Penyakit Keluarga
Riwayat pada keluarga yang pernah
mengalami serangan stroke atau penyakit yang berhubungan dengan kejadian stroke
dapat menjadi faktor risiko untuk terserang stroke juga. Hal ini disebabkan
oleh banyak faktor, diantaranya faktor genetik, pengaruh budaya, dan gaya hidup
dalam keluarga, interaksi antara genetik dan pengaruh lingkungan
(Wahjoepramono, 2005).
d.
Ras
Orang kulit hitam, Hispanik Amerika,
Cina, dan Jepang memiliki insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang kulit putih (Wahjoepramono, 2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan
Padang lebih rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini
disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih banyak mengandung kolesterol
(Depkes, 2007).
2. Faktor
Risiko yang Dapat Dimodifikasi
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
adalah faktor risiko yang dapat dilakukan intervensi untuk mencegah terjadinya
suatu penyakit. Faktor risiko ini bukan merupakan suatu karakteristik mutlak
dari seseorang, yang biasanya dipengaruhi oleh banyak hal, terutama perilaku.
Berikut ini merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
a. Tekanan
Darah
Tekanan darah merupakan salah satu
faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke. Tekanan darah yang tinggi
atau lebih sering dikenal dengan istilah hipertensi merupakan faktor risiko
utama, baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Hal ini disebabkan
oleh hipertensi memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi
dapat mendorong Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol untuk lebih mudah
masuk ke dalam lapisan intima lumen pembuluh darah dan menurunkan elastisitas
dari pembuluh darah tersebut. (Lumongga, 2007).
Hipertensi terjadi akibat interaksi
antara faktor keturunan dan lingkungan. Berikut ini merupakan beberapa faktor
risiko untuk terjadinya hipertensi, yaitu umur, jenis kelamin, keturunan,
stress fisik dan pekerjaan, jumlah asupan garam yang berlebihan, konsumsi
alkohol dan kopi berlebihan, obesitas, dan aktivitas fisik rendah (Patel,
1995). Hipertensi dapat mempengaruhi hampir seluruh organ tubuh, terutama otak,
jantung, ginjal, mata, dan pembuluh darah perifer. Kemungkinan terjadinya
komplikasi tergantung kepada seberapa besar tekanan darah itu, seberapa lama
dibiarkan, seberapa besar kenaikan dari kondisi sebelumnya, dan kehadiran
faktor risiko lain (Patel, 1995).
Berbagai studi telah membuktikan bahwa dengan mengendalikan hipertensi
akan menurunkan insiden stroke. Hasil dari 61 penelitian jangka panjang
menunjukkan, setiap peninggian tekanan darah 20/10 mmHg (dimulai dari tekanan
darah 115/75 mmHg) akan meningkatkan mortalitas stroke hingga dua kali. Sedangkan, penurunan 2 mmHg tekanan sistolik
dapat menyebabkan penurunan mortalitas stroke sebesar 10% (Pudjonarko, 2011).
Pada hasil Farmingham Study ditemukan
bahwa hipertensi lebih sering ditemukan 1,5 kali lebih banyak pada stroke dibandingkan dengan yang tanpa
hipertensi (Bustan, 2007). Dari survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004, prevalensi
hipertensi di Indonesia sekitar 14% dan meningkat sesuai dengan pertambahan
umur. Prevalensi hipertensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan prevalensi
pada laki-laki (Depkes, 2007).
Pemeriksaan tekanan darah merupakan cara
mudah untuk mendeteksi ada tidaknya hipertensi pada seseorang. Oleh karena itu,
berdasarkan “The 7th Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure” (JNC 7),
hipertensi diklasifikasikan berdasarkan besarnya tekanan darah seperti pada
tabel di bawah ini:
Tabel Klasifikasi
Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah
Klasifikasi
|
Sistolik
(mmHg)
|
Diastolik
(mmHg)
|
Tindak Lanjut
|
Normal
|
< 120
|
dan < 80
|
Cek
ulang minimal dalam 2 tahun
|
Pre-Hipertensi
|
120-139
|
atau 80-89
|
Cek
ulang dalam 1 tahun, dengan
anjuran
perbaiki gaya hidup
|
Hipertensi
Stage
1
|
140-159
|
atau 90-99
|
Konfirmasi
ulang dalam 2 bulan,
dengan
anjuran perbaiki gaya
hidup
|
Hipertensi
Stage
2
|
>160
|
atau > 100
|
Evaluasi
atau rujuk ke spesialis
dalam
1 bulan. Jika tekanan darah
lebih
tinggi evaluasi dan segera
terapi
|
Sumber: JNC 7
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa
tekanan darah dibagi dalam empat klasifikasi berdasarkan tekanan darah sistolik
dan diastolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri
bila jantung berkontraksi (denyut jantung), yang merupakan tekanan maksimum
pada arteri dan tercermin dari hasil pembacaan tekanan darah yang nilainya
lebih besar. Sedangkan tekanan diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri
bila jantung berada dalam keadaan relaksaasi diantara dua denyutan, yang merupakan
tekanan minimum pada arteri dan tercermin dari hasil pembacaan tekanan darah
yang nilainya lebih kecil (Hull, 1993). Mengacu pada tabel tersebut, maka dapat
dilakukan tindak lanjut atas hasil tekanan darah yang diperiksa.
b. Kadar
Gula Darah
Kadar gula darah yang normal adalah di bawah 200
mg/dl. Jika kadar gula darah melebihi dari itu disebut hiperglikemia, maka
orang tersebut dicurigai memiliki penyakit diabetes melitus. Kadar gula darah
dapat dengan cepat berubah-ubah, tergantung pada makanan yang kita makan dan
seberapa banyak makanan itu mengandung pemanis sintetis. Kadar gula darah yang
tadinya normal cenderung meningkat setelah usia 50 tahun secara perlahan tetapi
pasti, terutama pada orang-orang yang tidak aktif (Depkes, 2008).
Keadaan hiperglikemi atau kadar gula
dalam darah yang tinggi dan berlangsung kronis memberikan dampak yang tidak
baik pada jaringan tubuh, salah satunya adalah dapat mempercepat terjadinya
aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil maupun besar termasuk pembuluh
darah yang mensuplai darah ke otak (Hull, 1993). Keadaan pembuluh darah otak
yang sudah mengalami aterosklerosis sangat berisiko untuk mengalami sumbatan
maupun pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya serangan stroke.
Dengan kata lain, kadar gula darah yang tinggi dapat menjadi faktor risiko
untuk terjadinya stroke. Kadar gula darah sewaktu yang tinggi juga dapat
memperburuk keadaan defisit neurologis yang dialami oleh penderita stroke,
sehingga dapat meningkatkan mortalitas serangan stroke tersebut. Dalam hal ini
dapat dilihat bahwa pemeriksaan kadar gula darah sewaktu pada pasien stroke
sangat diperlukan.
c. Kadar
Kolesterol Darah
Kolesterol merupakan senyawa lemak kompleks
yang dihasilkan oleh hati untuk bermacam-macam fungsi, seperti membuat hormon
seks, adrenalin, membentuk dinding sel, dan lainnya (Soeharto, 2004). Hal ini
mencerminkan betapa pentingnya kolesterol bagi tubuh, akan tetapi apabila
asupan kolesterol dalam makanan yang masuk ke tubuh terlalu tinggi jumlahnya,
maka kadar kolesterol dalam darah akan meningkat. Kelebihan kadar kolesterol
dalam darah akan beraksi dengan zat lain sehingga dapat mengendap pada pembuluh
darah arteri yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan yang disebut sebagai
plak aterosklerosis (Soeharto, 2004).
Pemeriksaan kadar kolesterol darah
sangat penting untuk dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah
merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Hal ini disebabkan oleh
kolesterol darah yang ikut berperan dalam penumpukkan lemak di dalam lumen
pembuluh darah yang dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis (Hull, 1993).
Oleh karena itu, jika kadar kolesterol dalam darah meningkat, maka risiko untuk
aterosklerosis meningkat juga. Kolesterol tidak larut dalam cairan darah,
sehingga untuk proses transportasinya ke seluruh tubuh perlu “dikemas” bersama
protein menjadi partikel yang disebut “lipoprotein” (Soeharto, 2004).
Lipoprotein ini banyak jenisnya, akan tetapi dalam hubungannya dengan penyakit
stroke, biasanya dalam pemeriksaan laboratorium terdapat pemeriksaan mengenai
kadar profil lemak yang terdiri dari kolesterol total, Low Density Lipoprotein
(LDL), High Density Lipoprotein (HDL), dan trigliserida (Soeharto, 2004). LDL
dikenal sebagai “kolesterol jahat”, karena kadar kolesterol LDL yang tinggi
menyebabkan pengendapan kolesterol dalam arteri.yang merupakan pencetus
terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah atau aterosklerosis. Sedangkan, HDL
sering disebut sebagai “kolesterol baik” yang membawa kelebihan kolesterol
dalam arteri untuk dibawa ke hati kembali dan dibuang dari tubuh (Makmun,
2003). Jadi, HDL merupakan pelindung terhadap kejadian penyakit stroke. Kadar kesetaraan antara kolesterol
total dan kolesterol LDL adalah sebagai berikut:
Tabel
Kadar Kesetaraan Antara Kolesterol Total dan Kolesterol LDL
Kolesterol total
|
Kolesterol LDL
|
240 mg/dl
|
160 mg/dl
|
200 mg/dl
|
130 mg/dl
|
155 mg/dl
|
100 mg/dl
|
Menurut
The National Cholesterol Education Program (NCEP), dalam New Clinical Practice
Guidelines on The Prevention and Management of high cholesterol in adults bahwa
kadar kolesterol LDL yang optimal adalah kurang dari 100 mg/dl dan kadar
kolesterol HDL terandah < 40 mg/dl serta kadar trigliserida direkomendasikan
pada kadar yang moderat (< 200 mg/dl). Berikut ini merupakan klasifikasi
Adult Treatment Panel (ATP III) terhadap kolesterol total, LDL, dan HDL.
Tabel 3. Klasifikasi Adult Treatment Panel (ATP III)
terhadap Kolesterol LDL, Total, HDL dalam mg/dl
Kolesterol LDL (mg/dl)
|
Kolesterol LDL
|
< 100
|
Optimal
|
100-129
|
Mendekati
optimal
|
130-159
|
Batas
tinggi
|
160-189
|
Tinggi
|
≥ 190
|
Sangat
Tinggi
|
Kolesterol
Total (mg/dl)
|
|
< 200
|
Target
yang hendak dicapai
|
200-239
|
Batas
tinggi
|
> 240
|
Tinggi
|
Kolesterol
HDL (mg/dl)
|
|
< 40
|
Rendah
|
≥ 60
|
Tinggi
|
Kadar
kolesterol yang tinggi dalam darah dapat menjadi masalah sebagai pemicu
terjadinya stroke. Hal ini terjadi karena kolesterol merupakan zat di dalam
aliran darah dan semakin tinggi kolesterol, maka semakin besar kemungkinan dari
kolesterol tersebut tertimbun pada dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga mengganggu suplai darah ke otak
yang disebut dengan stroke iskemik. Berikut ini merupakan hubungan antara kadar
kolesterol dengan risiko aterosklerosis:
Tabel Hubungan Kadar Kolesterol dan Risiko
Aterosklerosis
Umur (Tahun)
|
Kadar Kolesterol
|
|
|
Risiko Sedang (mg/dl)
|
Risiko Tinggi (mg/dl)
|
< 19
|
170-185
|
> 185-200
|
20-29
|
200-220
|
> 220
|
30-39
|
220-240
|
> 240
|
40
|
240-260
|
> 260
|
Terkadang nilai kadar kolesterol total,
LDL, dan HDL yang dilihat secara tunggal tidak dapat mencerminkan risiko orang
tersebut untuk terkena penyakit stroke dan PJK. Rasio kolesterol total terhadap
HDL merupakan kriteria ambang batas nilai rasio untuk laki-laki dan perempuan
yang berumur 20-60 tahun ke atas. Rasio yang harus dipertahankan adalah 4
(Soeharto, 2004). Misalnya, seseorang laki-laki berumur 40 tahun memiliki kadar
kolesterol total 195 mg/dl, dimana angka ini menunjukkan bahwa kadar kolesterol
totalnya tergolong rendah. Akan tetapi, ketika diketahui bahwa kadar HDL orang
tersebut hanya 33 mg/dl, maka didapatkan rasio kolesterol total terhadap HDL
adalah 195 : 33 = 6. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa rasio tersebut
tergolong tinggi dan dapar meningkatkan risiko untuk terkena stroke dan PJK.
Tabel 2.5 di bawah ini merupakan penggolongan tingkat risiko berdasarkan rasio
kolesterol total terhadap HDL untuk laki-laki dan perempuan yang berumur 20-60
tahun ke atas.
Tabel Rasio Kolesterol Total Terhadap HDL dan
Tingkat Risiko
Lemak
|
Umur (tahun)
|
Risiko Rendah
|
Risiko Sedang (Moderat)
|
Risiko Tinggi
|
Risiko Sangat Tinggi
|
||||
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
||
Kolesterol
|
20-39
|
2,3-3,6
|
1,9-2,8
|
3,7-5,1
|
2,9-3,6
|
5,2-6,1
|
3,7-4,2
|
>6,1
|
>4,2
|
Total
|
40-59
|
2,6-4,2
|
2,0-3,0
|
4,3-6,0
|
3,1-4,0
|
6,1-7,4
|
4,1-4,9
|
>7,4
|
>4,9
|
HDL
|
60+
|
2,5-4,0
|
2,0-3,2
|
4,1-6,0
|
3,3-4,8
|
6,1-6,9
|
4,9-5,5
|
>6,9
|
>5,5
|
Sumber: Cooper, 1989 dalam
Soeharto, 2004
Keterangan:
L:
Laki-laki
P:
Perempuan
d. Penyakit
Jantung
Penyakit
atau kelainan pada jantung dapat mengakibatkan iskemia otak. Hal ini disebabkan
oleh denyut jantung yang tidak teratur dan tidak efisien dapat menurunkan total
curah jantung yang mengakibatkan aliran darah di otak berkurang (iskemia).
Selain itu juga dengan adanya penyakit atau kelainan pada jantung dapat terjadi
pelepasan embolus (kepingan darah) yang kemudian dapat menyumbat pembuluh darah
otak. Hal ini yang disebut dengan stroke iskemik akibat trombosis. Seseorang
dengan penyakit atau kelainan pada jantung mendapatkan risiko untuk terkena
stroke lebih tinggi 3 kali lipat dari orang yang tidak memiliki penyakit atau
kelainan jantung (Hull, 1993).
e. Diabetes
Mellitus
Selain dikenal sebagai penyakit, diabetes melitus
juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Diabetes melitus
digolongkan menjadi dua tipe, yaitu diabetes tipe 1 (akibat defisiensi insulin
absolut akibat destruksi sel beta yang disebabkan oleh autoimun ataupun
idiopatik) dan diabetes tipe 2 (defisiensi insulin relatif yang disebabkan oleh
defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin ataupun dapat
sebaliknya), (Depkes, 2008). Sedangkan,
kejadian diabetes melitus tipe 2 lebih dipengaruhi oleh perilaku makan
seseorang.
SKRT 2003, melakukan pemeriksaan konsentrasi glukosa
puasa memakai strip (dry chemistry) dan
menyatakan bahwa seseorang dikatakan menderita diabetes melitus apabila
memiliki kadar gula darah puasa > 110 mg/dl. Berikut ini merupakan daftar
kadar glukosa darah sewaktu dan gula darah puasa sebagai penyaring dan
diagnosis DM.
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun. Bagi mereka yang
berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004
didapatkan prevalensi hiperglikemia sebesar 11,2% dan lebih tinggi pada
laki-laki (13%) daripada perempuan (10%), di daerah perkotaan (12%) daripada
perdesaan (10%), dan wilayah Indonesia Timur (15%) dripada wilayah Sumatera,
Jawa dan Bali (10%) (Depkes, 2007).
Kondisi seseorang yang menderita DM dapat
meningkatkan risiko untuk terkena stoke. Hal ini disebabkan oleh DM dapat
meningkatkan prevalensi aterosklerosis dan juga meningkatkan prevalensi faktor
risiko lain seperti hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia. Pengontrolan
tekanan darah pada penderita DM juga perlu dilakukan disamping pemeriksaan
ketat kadar gula darah. Tekanan darah yang dianjurkan pada penderita Diabetes
mellitus adalah < 130/ 80 mmHg.
Tabel
Diagnosis DM Menurut Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
f. Obesitas
Obesitas adalah kondisi dimana Body Mass Index (BMI)
> 30 kg/m2. Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan
sebesar 20% dari berat badan idealnya (Hull, 1993). Obesitas merupakan faktor
predisposisi penyakit kardiovaskuler dan stroke (Wahjoepramono, 2005). Hal ini
disebabkan oleh keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan
kadar gula darah (Pearson, 1994). Jika seseorang memiliki berat badan yang
berlebih, maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh
tubuh, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Patel, 1995). Obesitas juga
dapat mempercepat terjadinya proses aterosklerosis pada remaja dan dewasa muda
(Madiyono, 2003). Oleh karena itu, penurunan berat badan dapat mengurangi
risiko terserang stroke (Pearson, 1994).
Prevalensi obesitas meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Penurunan berat badan menjadi berat badan yang normal
merupakan cerminan dari aktivitas fisik dan pola makan yang baik. Oleh karena
itu, berat badan memiliki korelasi yang baik dalam pengukuran aktivitas fisik
dan pola makan seseorang.
3. Faktor
Risiko Perilaku (Primordial)
a. Merokok
Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan
untuk meningkatkan risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan
merokok cenderung lebih berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke
dibandingkan orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2010). Hal ini
disebabkan oleh zat-zat kimia beracun dalam rokok, seperti nikotin dan karbon
monoksida yang dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri,
meningkatkan tekanan darah, dan menyebabkan kerusakan pada sistem kardiovaskuler
melalui berbagai macam mekanisme tubuh. Rokok juga berhubungan dengan
meningkatnya kadar fibrinogen, agregasi trombosit, menurunnya HDL dan
meningkatnya hematokrit yang dapat mempercepat proses aterosklerosis yang
menjadi faktor risiko untuk terkena stroke. Nikotin dalam rokok menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah.
Arteri juga mengalami penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah
robek, yang mengakibatkan produksi trombosit meningkat sehingga darah mudah
membeku.
Selain itu, merokok dapat mengakibatkan hal buruk
bagi lemak darah dan menurunkan kadar HDL dalam darah. Semua efek nikotin dari
rokok dapat mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan pada pembuluh darah.
Karbon monoksida dari rokok juga dapat mengurangi jumlah oksigen yang dibawa
oleh darah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang
dibutuhkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association, 2010).
Hasil penelitian pada Framingham Study, insiden
stroke 40% lebih tinggi pada perokok laki-laki dan 60% lebih tinggi pada
perokok perempuan dibandingkan dengan yang bukan perokok (Pearson, 1994).
Sebesar 35% penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas adalah perokok
baik tiap hari maupun kadang-kadang. Dari hasil Susenas tahun 2001 dengan tahun
2003, terdapat peningkatan jumlah penduduk yang merokok sebesar 3%.
Berdasarkan jenis kelamin, persentase merokok pada
laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Sedangkan berdasarkan
tempat, persentase merokok pada daerah perdesaan (37%) lebih tinggi
dibandingkan daerah perkotaan (32%). Sebesar 64% dari total penduduk yang
merokok diketahui bahwa usia pertama kali merokok adalah pada umur 15-19 tahun
(Depkes, 2007). Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase perokok semakin
tinggi pada kelompok orang yang berpendidikan rendah. Dengan kata lain, semakin
tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah persentase orang yang merokok
(Luepker, 2004).
b.
Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol
Peran
alkohol dalam sumbangannya sebagai faktor risiko stroke memang masih
kontroversial dan diduga tergantung pada dosis yang dikonsumsi. Alkohol dapat
meningkatkan risiko terserang stroke jika diminum dalam jumlah banyak,
sedangkan dalam jumlah sedikit dapat mengurangi risiko stroke (Pearson, 1994).
Akan tetapi, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat menjadi
salah satu pemicu untuk terjadinya hipertensi, yang memberikan sumbangan faktor
risiko untuk terjadinya penyakit stroke. Dalam sebuah pengamatan, diperoleh
data bahwa konsumsi 3 gelas alkohol per hari akan meningkatkan risiko stroke hemoragik,
yaitu perdarahan intraserebral hingga 7 kali lipat (Wahjoepramono, 2005).
c.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau olahraga merupakan bentuk
pemberian rangsangan berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberi
rangsangan secara teratur dengan takaran dan waktu yang tepat. Aktivitas fisik
sangat berhubungan dengan faktor risiko stroke, yaitu hipertensi dan
aterosklerosis. Seseorang yang sering melakukan aktivitas fisik, minimal 3-5
kali dalam seminggu dengan lama waktu minimal 30-60 menit dapat menurunkan
risiko untuk terkena penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah,
seperti stroke (Depkes, 2007). Hal ini disebabkan oleh aktivitas fisik yang
dapat membuat lumen pembuluh darah menjadi lebih lebar. Oleh karena itu, darah
dapat melalui pembuluh darah dengan lebih lancar tanpa jantung harus memompa
darah lebih kuat. Proses aterosklerosis pun lebih sulit terjadi pada mereka
yang memiliki lumen pembuluh darah yang lebih lebar. Selain itu, Centers for
Disease Control and prevention dan National Institutes of Health
merekomendasikan latihan fisik secara rutin (> 30 menit/ hari latihan fisik
moderat) dapat mengurangi komorbid yang menjadi faktor risiko stroke
(Wahjoepramono, 2005).
d. Stress
Stress mungkin bukan sebagai faktor risiko langsung
pada serangan stroke. Akan tetapi, stress dapat mengakibatkan hati memproduksi
lebih banyak radikal bebas, menurunkan imunitas tubuh, dan mengganggu fungsi hormonal
(Junaidi, 2004). Stress dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: stress biologis
(berupa infeksi oleh bakteri dan virus pada sel-sel tubuh), stress psikis
(mental atau emosional), dan stress fisik (aktivitas fisik yang berlebihan).
Dari ketiga bentuk stress tadi, stress psikis merupakan stress yang paling
banyak dialami oleh manusia baik disadari maupun tidak. Apabila stress psikis
ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan kesan bahaya pada tubuh
yang mengakibatkan tubuh merespon secara berlebihan dengan menghasilkan
hormon-hormon yang membuat tubuh waspada, seperti kortisol, katekolamin,
epinefrin, dan adrenalin. Semua hormon yang dihasilkan oleh tubuh tadi semakin
banyak ketika tubuh terus merespon stress tersebut sebagai bahaya, sehingga
dapat berdampak buruk pada tubuh (Junaidi, 2004).
Dalam hubungannya dengan kejadian stroke, keadaan
stress dapat memproduksi hormon kortisol dan adrenalin yang berkontribusi pada
proses aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh kedua hormon tadi meningkatkan
jumlah trombosit dan produksi kolesterol. Kortisol dan adrenalin juga dapat
merusak sel yang melapisi arteri, sehingga lebih mudah bagi jaringan lemak
untuk tertimbun di dalam dinding arteri (Patel, 1995).
e. Faktor
Sosial dan Ekonomi
Faktor
sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung memiliki
peran dalam pencetus kejadian suatu penyakit. Hal ini mungkin berhubungan
dengan perilaku kesehatan seseorang, yang dapat menyebabkan orang tersebut
berstatus sehat atau sakit. Orang dengan status sosial dan ekonomi yang rendah
lebih berisiko untuk terkena stroke dan penyakit serebrovaskuler lainnya
dibandingkan dengan mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih
tinggi (Engstrom, 2005). Berikut ini merupakan faktor sosial ekonomi seseorang
yang biasa digunakan dalam menilai perilaku kesehatan dan hubungannya dengan
kejadian suatu penyakit.
f. Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau
masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik
(Notoatmodjo, 2007). Pendidikan memiliki unsur-unsur yang berperan didalamnya,
yaitu input (sasaran pendidikan dan pendidik), proses atau upaya dari
pendidikan tersebut, output (pengetahuan yang diharapkan dapat mengubah
perilaku). Dari ketiga unsur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan suatu upaya dalam mempengaruhi orang lain untuk merubah perilakunya,
yang dalam bahasan kali ini adalah perilaku kesehatan untuk mencegah terjadinya
suatu penyakit.
Stroke merupakan salah satu penyakit multikausal
yang berkaitan erat dengan perilaku atau gaya hidup. Pendidikan merupakan salah
satu upaya menambah informasi dan pengetahuan seseoarang, yang diharapkan
kedepannya akan mengubah perilaku kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena
itu, pendidikan merupakan salah satu faktor sosial dan ekonomi yang secara
tidak langsung ikut berperan dalam kejadian stroke.
g. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan salah satu indikator yang
menunjukkan status sosial ekonomi. Pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko
untuk terjadinya stroke. Hal ini mungkin
disebabkan oleh hubungan antara pekerjaan dengan tingkat stress seseorang,
dimana keadaan stress tersebut dapat meningkatkan risiko terkena serangan stroke.
Pekerja kasar atau pekerja level bawah memiliku risiko 50% lebih tinggi untuk
mendapatkan serangan stroke (Engstrom,
2005). Beban kerja yang besar, gaji yang tidak sesuai harapan, dan tekanan dari
atasan dapat menjadi pemicu stress di tempat kerja, yang pada akhirnya
menyebabkan stress dan menjadi faktor risiko bagi terjadinya stroke. Kehilangan
prestasi kerja, rendahnya dukungan atasan, kerja shift malam, alokasi
penempatan kerja, ataupun masalah gaji yang tidak sesuai dengan apa yang
dilakukan juga dapat meningkatkan risiko penyakit stroke terkait stress akibat
kerja (Patel, 1995).
h. Status
Pernikahan
Status pernikahan juga dapat digunakan untuk menilai
status sosial individu. Laki-laki dan perempuan yang tidak menikah ataupun
mengalami perceraian memiliki risiko lebih besar untuk terkena serangan stroke
dibandingkan laki-laki dan wanita yang memiliki isteri atau suami (Engstrom,
2005). Kejadian stroke pada laki-laki di atas umur 65 tahun yang menikah
sebesar 13%, sedangkan pada umur yang sama kejadian stroke pada laki-laki yang
tidak menikah sebesar 16,8%. Kejadian stroke pada wanita di atas umur 65 tahun
yang menikah sebesar 8,2%, sedangkan pada umur yang sama kejadian stroke pada wanita yang tidak menikah sebesar
10,9% (Anonim, 2006). Hal ini mungkin disebabkan oleh seseorang yang single
memiliki kebiasaan atau gaya hidup yang lebih buruk, seperti merokok, konsumsi
alkohol, perilaku makan yang buruk, dan tingkat stress yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang telah menikah atau memiliki pasangan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar