Minggu, 29 Maret 2015

STROKE


A.  Gambaran Umum Stroke
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Kejadian serangan ini bervariasi antar tempat, waktu dan keadaan penduduk. (Bustan, 2007).
Stroke sebagian besar
B.  Definisi Stroke
Menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti yang dikutip dalam Junaidi (2011), stroke is a rapidly developing clinical sign of focal or global disturbance of cerebral function with symptoms lasting 24 hours or longer, or leadding to death with no apparent cause other than vascular signs. Stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam, akibat gangguan aliran darah otak.
Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan (stroke hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat, atau kematian.
Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Gangguan peredaran darah  otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan menjadi terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian sel saraf (neuron). Gangguan fungsi otak ini akan memunculkan gejala stroke (Junaidi, 2011).
Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah kebagian otak (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat terjadi karena pembentukan trombus disuatu arteri serebrum, akibat emboli yang mengalir ke otak dari tempat lain di tubuh, atau akibat perdarahan otak (Corwin, 2001).
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah otak yang terganggu (Bustan, 2007). Dari semua definisi  stroke di atas dapat diambil kesimpulan bahwa  stroke adalah suatu serangan mendadak yang terjadi di otak dan dapat mengakibatkan kerusakan pada sebagian atau secara keseluruhan dari otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran pada pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak, biasanya berlangsung lebih dari 24 jam. Jadi, batasan stroke adalah segala sesuatu gangguan pada otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke otak, bukan karena kecelakaan atau trauma di otak.
C.  Epidemiologi Stroke
Hasil SKRT 1986 dan 2001 memperlihatkan adanya peningkatan proporsi angka kesakitan pada penyakit kardiovaskuler, jantung iskemik, dan stroke (Depkes, 2007). Stroke dapat ditemukan pada semua golongan umur, akan tetapi sebagian besar ditemukan pada golongan umur di atas 55 tahun. Insiden  stroke pada usia 80-90 tahun adalah 300 per 10.000 penduduk, dimana mengalami peningkatan 100 kali lipat dibandingkan dengan insiden  stroke pada usia 30-40 tahun sebesar 3 per 10.000 penduduk (Bustan, 2007). Dari data di atas ditemukan kesan bahwa kejadian stroke meningkat sesuai dengan peningkatan umur. Pada dasarnya  stroke dapat terjadi pada usia berapa saja bahkan pada usia muda sekalipun bila dilihat dari berbagai kelainan yang menjadi pencetus serangan stroke, seperti aneurisma intrakranial, malformasi vaskular otak, kelainan jantung bawaan, dan lainnya (Wahjoepramono, 2004).
Insiden stroke bervariasi antar negara dan tempat. Menurut hasil penelitian WHO dari 16 pusat riset di 12 negara maju dan berkembang pada Mei 1971 sampai dengan Desember 1974, diketahui bahwa insiden stroke yang paling tinggi adalah di Ahita (Jepang) yaitu sebesar 287 per 100.000 populasi per tahun. Sedangkan, insiden  stroke terendah adalah di Ibadan (Nigeria) sebesar 150 per 100.000 populasi per tahun. Insiden stroke di sebagian besar negara diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 populasi per tahun (Bustan, 2007). Insiden infark otak dan perdarahan intra serebral meningkat sesuai dengan pertambahan umur, sedangkan perdarahan subarakhnoid lebih banyak terdapat di golongan umur yang masih relatif muda (Bustan, 2007).
Hasil SKRT 1984 dilaporkan prevalensi stroke pada golongan umur 25–34 tahun, 35-44 tahun, dan di atas 55 tahun adalah 6,7; 24,4; 276,3 per 100.000 penduduk. Sedangkan, proporsi stroke di rumah sakit 27 provinsi pada tahun 1984 sebesar 0,72 dan meningkat menjadi 0,83 pada tahun 1985. Dan pada tahun 1986, proporsi kasus stroke sebesar 0,96 per 100 penderita (Bustan, 2007). Dari data di atas dapat dilihat bahwa kasus stroke memperlihatkan tren yang meningkat setiap tahunnya. Selain angka morbiditas yang terus mengalami peningkatan, angka mortalitas stroke juga tergolong tinggi, yaitu sebesar 37,3 per 100.000 penduduk pada tahun 1986 (Bustan, 2007).
D.  Patofisiologi Stroke
Otak merupakan jaringan yang memiliki tingkat metabolisme paling tinggi. Meskipun massa yang dimiliki hanya sekitar 2 % dari massa keseluruhan tubuh, jaringan otak menggunakan hingga 20 % dari total curah jantung (Wahjoepramono, 2005). Aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen ke otak sangat penting bagi kehidupan dan metabolisme sel-sel otak. Sel otak yang tidak dialiri aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen dapat rusak bahkan menjadi mati.  Ada beberapa kelainan yang diduga merupakan penyebab stroke pada dewasa muda. Akan tetapi aterosklerosis diduga sebagai penyebab primer dari penyakit stroke. Aterosklerosis merupakan bentuk pengerasan pembuluh darah arteri (Hull, 1993).
Aterosklerosis merupakan kumpulan perubahan patologis pada pembuluh darah arteri, seperti hilangnya elastisitas dan menyempitnya lumen pembuluh darah (Junaidi, 2004). Aterosklerosis ini merupakan respon normal terhadap injury yang terjadi pada lapisan endotel pembuluh darah arteri. Proses aterosklerosis ini lebih mudah terjadi pada pembuluh darah arteri karena arteri lebih banyak memiliki sel otot polos dibandingkan vena, dan sel otot polos tadi lebih banyak membentuk kumpulan plak aterosklerosis (Junaidi, 2004). Proses aterosklerosis ditandai oleh penimbunan lemak yang terjadi secara lambat pada dinding-dinding arteri yang disebut plak, sehingga dapat memblokir atau menghalangi sama sekali aliran darah ke jaringan. Bila sel-sel otot arteri tertimbun lemak maka elastisitasnya akan menghilang dan kurang dapat mengatur tekanan darah. Akibat lain dari aterosklerosis ini adalah terbentuknya bekuan darah atau trombus yang melekat pada dinding arteri dan dapat menyebabkan sumbatan yang lebih berat. Apabila bagian trombus tadi terlepas dari dinding arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju ke arteri yang lebih kecil, maka hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada arteri tersebut. Bagian dari trombus yang terlepas tadi disebut emboli. Proses aterosklerosis ini dapat terjadi di semua pembuluh darah organ tubuh, baik pembuluh darah ke jantung, ginjal, maupun otak (Hull, 1993). Oleh karena itu, aterosklerosis dapat mengakibatkan serangan jantung, hipertensi, dan stroke. Serangan stroke ini dapat terjadi apabila proses penyempitan atau aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang menuju ke otak.


 






Gambar
Proses Aterosklerosis Pada Pembuluh Darah
Sumber : (http://oketips.com) 27 Februari 2015

Arteri yang lebih mudah terkena kerusakan akibat proses aterosklerosis ini adalah aorta, arteri koronaria, dan arteri-arteri yang mensuplai otak dan ginjal (Hull, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa betapa mudahnya aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mensuplai otak, sehingga dapat mengakibatkan stroke. Penyebab dari aterosklerosis ini tidak diketahui secara pasti. Kelainan ini dapat diakibatkan oleh kerusakan pada dinding pembuluh nadi (arteri) karena zat-zat kimia berbahaya seperti karbon monoksida dalam asap rokok, hipertensi, diabetes melitus, dan yang tersering adalah hiperlipidemia (kadar kolesterol darah yang tinggi). Risiko aterosklerosis ini berhubungan dengan kadar LDL dalam darah yang meningkat, yang berasal dari katabolisme VLDL dan mengangkut 70 % kolesterol serum total. Risiko berhubungan terbalik dengan kadar HDL, karena HDL membantu membersihkan kolesterol dari dinding pembuluh darah (Robbins, 1999).
Prevalensi aterosklerosis pada arteri meningkat sesuai dengan pertambahan usia, maka tidak mengherankan jika stroke pada dewasa muda yang disebabkan oleh aterosklerosis lebih banyak terjadi pada usia > 30 tahun. Aterosklerosis diperkirakan menjadi penyebab stroke 7 % - 27 % pada pasien berusia kurang dari 50 tahun (Wahjoepramono, 2005).
Serangan stroke dapat terjadi secara fokal (sebagian) maupun global (keseluruhan) pada otak. Gejala fokal dan tanda-tanda gangguan fungsi otak pada stroke akan muncul sesuai dengan area dari jaringan otak yang mengalami gangguan aliran darah. Pada sebagian besar kasus stroke iskemik dapat diperoleh informasi yang jelas mengenai lokasi lesi di bagian otak. Akan tetapi, pada stroke hemoragik seringkali terjadi berbagai komplikasi perdarahan otak yang menyebabkan gangguan fungsi otak juga terjadi di daerah selain daerah yang terjadi perdarahan. Komplikasi ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial, edema otak, kompresi jaringan otak dan pembuluh darah, dan terdispersinya darah yang keluar ke berbagai arah. Oleh karena itu, gejala fokal terlokalisasi biasanya terjadi pada  stroke iskemik, sedangkan pada  stroke hemoragik gejala fokal tidak begitu jelas terlihat dan kurang memberikan prediksi lokal tertentu (Wahjoepramono, 2005).  
E.   Gejala dan Tanda Stroke
Stroke biasanya terjadi secara mendadak dan sangat cepat. Pada saat ini pasien membutuhkan pertolongan dan sesegera mungkin dibawa ke pelayanan kesehatan. Pada saat terjadi serangan stroke, pasien akan memperlihatkan gejala dan tanda-tanda. Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada penderita dengan stroke akut adalah (Junaidi, 2004):
1.    Adanya serangan defisit neurologis/ kelumpuhan fokal, seperti : hemiparesis (lumpuh sebelah badan yang kanan atau yang kiri saja).
2.    Mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan, atau terbakar.
3.    Mulut atau lidah mencong jika diluruskan.
4.    Sukar bicara atau bicara tidak lancar dan tidak jelas.
5.    Tidak memahami pembicaraan orang lain.
6.    Kesulitan mendengar, melihat, menelan, berjalan, menulis, membaca, serta tidak memahami tulisan.
7.    Kecerdasan menurun dan sering mengalami vertigo (pusing atau sakit kepala).
8.    Menjadi pelupa atau demensia.
9.    Penglihatan terganggu, sebagian lapanagan pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap atau ganda sesaat (hemianopsia).
10.     Tuli satu telinga atau pendengaran berkurang.
11.     Emosi tidak stabil, seperti mudah menangis dan tertawa.
12.     Kelopak mata sulit dibuka dan selalu ingin tertidur.
13.     Gerakan tidak terkoordinasi, seperti : kehilangan keseimbangan.
14.     Biasanya diawali dengan Transient Ischemic Attack (TIA) atau serangan stroke sementara.
15.     Gangguan kesadaran, seperti pingsan bahkan sampai koma.
F.   Tahapan Stroke
Dalam perjalanan penyakitnya, stroke memiliki beberapa fase yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana pengobatan dan pencegahan. Fase atau tahapan proses sejak  stroke akut sampai fase ke kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut (Junaidi, 2011):
1.    Fase akut berlangsung antara 4-7 hari. Tujuan pada fase ini adalah pasien selamat dari serangan stroke.
2.    Fase stabilisasi, berlangsung antara 2-4 minggu. Tujuan pada fase ini adalah pasien belajar lagi keterampilan motorik yang terganggu dan belajar penyesuaian baru untuk mengimbangi keterbatasan yang terjadi.
3.    Rehabilitasi, yang bertujuan untuk melanjutkan proses pemulihan untuk mencapai perbaikan kemampuan fisik, mental, sosial, kemampuan bicara dan ekonomi.
4.    Fase ke kehidupan sehari-hari, dimana pasien harus menghindari terulangnya stroke akut, biasanya dianjurkan untuk: Melakukan kontrol tensi secara rutin:
a.    Kendalikan kadar gula darah.
b.    Berhenti merokok.
c.    Diet rendah lemak.
d.   Menghindari risiko terjadinya stress.
e.    Terapi terkait faktor risiko lainnya dan penyempurnaan pemulihan kesehatan serta mencegah terulangnya serangan stroke.
G. Klasifikasi Stroke
Secara garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik (Wahjoepramono, 2005).
1.    Stroke Iskemik
Stroke iskemik disebabkan adanya kejadian yang menyebabkan aliran darah menjadi menurun atau bahkan terhenti sama sekali pada area tertentu di otak, misalnya karena terjadi emboli atau trombosis (Wahjoepramono, 2005). Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya aliran darah menuju otak yang mengakibatkan sel saraf dan sel lainnya mengalami gangguan karena terhentinya suplai oksigen dan glukosa yang dibawa oleh darah. Penurunan atau terhentinya aliran darah ini dapat menyebabkan neuron berhenti berfungsi. Bila gangguan suplai darah tersebut berlangsung hingga melewati batas toleransi sel, maka akan terjadi kematian sel. Akan tetapi, apabila aliran darah dapat diperbaiki segera, maka kerusakan yang terjadi dapat sangat minimal.
Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu akibat trombosis dan akibat emboli. Trombosis merupakan proses pembekuan darah pada jaringan. Jika trombosis ini terjadi di dalam pembuluh darah menuju otak, maka bekuan darah tadi dapat menyumbat aliran darah yang akan mensuplai otak sehingga terjadi  stroke iskemik. Sedangkan emboli adalah segala benda asing yang terlepas dan mengikuti aliran darah. Emboli dapat berupa trombus atau bekuan darah yang terlepas, udara, dan lainnya. Emboli yang masuk ke dalam pembuluh darah dan ikut aliran darah dapat berhenti di suatu tempat sempit yang tidak bisa ia lewati (Junaidi, 2004).
Hal ini yang biasa menimbulkan penyumbatan aliran darah dan menjadi penyebab stroke. Diperkirakan sekitar dua pertiga stroke iskemik disebabkan karena trombosis, sedangkan sepertiganya disebabkan oleh emboli. Trombosis dan emboli menjadi penyebab stroke iskemik karena dapat mengakibatkan penyumbatan pada pembuluh darah.  Stroke karena emboli memberikan karakteristik dimana defisit neurologis dapat langsung mencapai taraf maksimal sejak awal onset gejala muncul (Wahjoepramono, 2005).
Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke iskemik dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu (Junaidi, 2004):
a.    Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam.
b.    Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) merupakan gejala neurologis yang akan menghilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari.
c.    Progressing stroke atau Stroke in evolution merupakan kelainan atau defisit neurologis yang berlangsung secara bertahap dari yang ringan samapai yang berat.
d.   Completed  Stroke merupakan kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi.
2.    Stroke Hemoragik
Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa stroke hemoragik merupakan 8-13% dari semua stroke di USA, 20-30% stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara, kasus stroke hemoragik adalah sebesar 26 % dari semua kasus stroke (Misbach, 1999).  Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan perdarahan intrakanial non traumatik. Perdarahan intrakranial yang sering terjadi adalah perdarahan intraserebral (PIS) dan perdarahan subarachnoid (PSA).
a.    Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak (Iskandar, 2004). Pada kondisi ini akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral, sehingga terjadi penekanan pada struktur otak atau pembuluh darah otak secara menyeluruh yang mengakibatkan penurunan aliran darah otak dan berujung pada kematian sel saraf sehingga timbul gejala klinis defisit neurologis. Perdarahan intraserebral (PIS) ini biasanya terjadi karena hipertensi yang berlangsung lama, sehingga terjadi kerusakan dinding pembuluh darah. Faktor pencetus lain adalah stres fisik, emosi, peningkatan tekanan darah mendadak yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. 60%-75% PIS disebabkan oleh hipertensi dan 70% kasus PIS berakibat fatal, terutama apabila perdarahan luas (masif). 
b.    Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang subarakhnoid baik dari tempat lain (subarakhnoid sekunder) maupun dari ruang subarakhnoid sendiri (subarakhnoid primer) (Junaidi, 2004). Insiden PSA di negara maju sebesar 10-15 kasus setiap 100.000 penduduk. Umumnya PSA timbul spontan, 10% disebabkan karena tekanan darah yang naik dan biasanya terjadi saat sedang melakukan aktivitas. Gejala PSA adalah sebagai berikut (CDK dalam www.kalbe.co.id, 2011):
1)   Serangan mendadak dengan nyeri kepala hebat didahului suatu perasaan ringan atau ada sesuatu yang meletus di dalam kepala. 
2)   Kaku kuduk merupakan gejala spesifik yang timbul beberapa saat kemudian.
3)   Kesadaran dan fungsi motorik jarang terganggu.
4)   Cairan serebrospinal (CSS) berwarna merah yang menunjukkan perdarahan dengan jumlah eritrosit lebih dari 1000 /mm3.
H.  Faktor Risiko Stroke
Stroke merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor risiko atau biasa disebut multikausal. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Wahjoepramono, 2005). Faktor risiko stroke juga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, faktor perilaku (primordial), dan faktor sosial dan ekonomi (Depkes, 2007). Interaksi antara ketiga faktor tersebut dapat menimbulkan penyakit-penyakit pendukung atau penyakit yang dapat memperberat faktor risiko untuk terkena stroke.
1.    Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang tidak dapat dilakukan intervensi, karena sudah merupakan karakteristik dari seseorang dari awal mula kehidupannya. Berikut ini merupakan faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi.
a.    Umur
Umur merupakan faktor risiko stroke, dimana semakin meningkatnya umur seseorang, maka risiko untuk terkena stroke juga semakin meningkat. Menurut hasil penelitian pada Framingham Study menunjukkan risiko stroke meningkat sebesar 20 %, 32%, 83% pada kelompok umur 45-55, 55-64, 65-74 tahun (Wahjoepramono, 2005).
b.    Jenis kelamin
Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Akan tetapi, karena usia harapan hidup wanita lebih tinggi daripada laki-laki, maka tidak jarang pada studi-studi tentang stroke didapatkan pasien wanita lebih banyak. Menurut SKRT 1995, prevalensi penyakit stroke pada laki-laki sebesar 0,2% dan pada perempuan sebesar 0,1%. Prevalensi stroke di 3 wilayah Jakarta (Monica, 1998 dalam Depkes, 2007) didapatkan bahwa prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 7,1% dan perempuan sebesar 2,8%. 
c.    Riwayat Penyakit Keluarga 
Riwayat pada keluarga yang pernah mengalami serangan stroke atau penyakit yang berhubungan dengan kejadian stroke dapat menjadi faktor risiko untuk terserang stroke juga. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor genetik, pengaruh budaya, dan gaya hidup dalam keluarga, interaksi antara genetik dan pengaruh lingkungan (Wahjoepramono, 2005).
d.   Ras
Orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (Wahjoepramono, 2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih banyak mengandung kolesterol (Depkes, 2007).
2.    Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang dapat dilakukan intervensi untuk mencegah terjadinya suatu penyakit. Faktor risiko ini bukan merupakan suatu karakteristik mutlak dari seseorang, yang biasanya dipengaruhi oleh banyak hal, terutama perilaku. Berikut ini merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
a.    Tekanan Darah
Tekanan darah merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke. Tekanan darah yang tinggi atau lebih sering dikenal dengan istilah hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Hal ini disebabkan oleh hipertensi memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi dapat mendorong Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol untuk lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima lumen pembuluh darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh darah tersebut. (Lumongga, 2007).
Hipertensi terjadi akibat interaksi antara faktor keturunan dan lingkungan. Berikut ini merupakan beberapa faktor risiko untuk terjadinya hipertensi, yaitu umur, jenis kelamin, keturunan, stress fisik dan pekerjaan, jumlah asupan garam yang berlebihan, konsumsi alkohol dan kopi berlebihan, obesitas, dan aktivitas fisik rendah (Patel, 1995). Hipertensi dapat mempengaruhi hampir seluruh organ tubuh, terutama otak, jantung, ginjal, mata, dan pembuluh darah perifer. Kemungkinan terjadinya komplikasi tergantung kepada seberapa besar tekanan darah itu, seberapa lama dibiarkan, seberapa besar kenaikan dari kondisi sebelumnya, dan kehadiran faktor risiko lain (Patel, 1995).  Berbagai studi telah membuktikan bahwa dengan mengendalikan hipertensi akan menurunkan insiden stroke. Hasil dari 61 penelitian jangka panjang menunjukkan, setiap peninggian tekanan darah 20/10 mmHg (dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg) akan meningkatkan mortalitas stroke hingga dua kali.  Sedangkan, penurunan 2 mmHg tekanan sistolik dapat menyebabkan penurunan mortalitas stroke sebesar 10% (Pudjonarko, 2011).
Pada hasil Farmingham Study ditemukan bahwa hipertensi lebih sering ditemukan 1,5 kali lebih banyak pada  stroke dibandingkan dengan yang tanpa hipertensi (Bustan, 2007). Dari survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004, prevalensi hipertensi di Indonesia sekitar 14% dan meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Prevalensi hipertensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan prevalensi pada laki-laki (Depkes, 2007).
Pemeriksaan tekanan darah merupakan cara mudah untuk mendeteksi ada tidaknya hipertensi pada seseorang. Oleh karena itu, berdasarkan “The 7th Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure” (JNC 7), hipertensi diklasifikasikan berdasarkan besarnya tekanan darah seperti pada tabel di bawah ini:







Tabel Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah
Klasifikasi
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Tindak Lanjut
Normal
< 120
dan < 80
Cek ulang minimal dalam 2 tahun
Pre-Hipertensi
120-139
atau 80-89

Cek ulang dalam 1 tahun, dengan
anjuran perbaiki gaya hidup
Hipertensi
Stage 1
140-159
atau 90-99
Konfirmasi ulang dalam 2 bulan,
dengan anjuran perbaiki gaya
hidup
Hipertensi
Stage 2
>160
atau > 100
Evaluasi atau rujuk ke spesialis
dalam 1 bulan. Jika tekanan darah
lebih tinggi evaluasi dan segera
terapi
Sumber: JNC 7
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah dibagi dalam empat klasifikasi berdasarkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung), yang merupakan tekanan maksimum pada arteri dan tercermin dari hasil pembacaan tekanan darah yang nilainya lebih besar. Sedangkan tekanan diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksaasi diantara dua denyutan, yang merupakan tekanan minimum pada arteri dan tercermin dari hasil pembacaan tekanan darah yang nilainya lebih kecil (Hull, 1993). Mengacu pada tabel tersebut, maka dapat dilakukan tindak lanjut atas hasil tekanan darah yang diperiksa.


b.    Kadar Gula Darah
Kadar gula darah yang normal adalah di bawah 200 mg/dl. Jika kadar gula darah melebihi dari itu disebut hiperglikemia, maka orang tersebut dicurigai memiliki penyakit diabetes melitus. Kadar gula darah dapat dengan cepat berubah-ubah, tergantung pada makanan yang kita makan dan seberapa banyak makanan itu mengandung pemanis sintetis. Kadar gula darah yang tadinya normal cenderung meningkat setelah usia 50 tahun secara perlahan tetapi pasti, terutama pada orang-orang yang tidak aktif (Depkes, 2008).
Keadaan hiperglikemi atau kadar gula dalam darah yang tinggi dan berlangsung kronis memberikan dampak yang tidak baik pada jaringan tubuh, salah satunya adalah dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil maupun besar termasuk pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak (Hull, 1993). Keadaan pembuluh darah otak yang sudah mengalami aterosklerosis sangat berisiko untuk mengalami sumbatan maupun pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan timbulnya serangan stroke. Dengan kata lain, kadar gula darah yang tinggi dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya stroke. Kadar gula darah sewaktu yang tinggi juga dapat memperburuk keadaan defisit neurologis yang dialami oleh penderita stroke, sehingga dapat meningkatkan mortalitas serangan stroke tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pemeriksaan kadar gula darah sewaktu pada pasien stroke sangat diperlukan.
c.    Kadar Kolesterol Darah
Kolesterol merupakan senyawa lemak kompleks yang dihasilkan oleh hati untuk bermacam-macam fungsi, seperti membuat hormon seks, adrenalin, membentuk dinding sel, dan lainnya (Soeharto, 2004). Hal ini mencerminkan betapa pentingnya kolesterol bagi tubuh, akan tetapi apabila asupan kolesterol dalam makanan yang masuk ke tubuh terlalu tinggi jumlahnya, maka kadar kolesterol dalam darah akan meningkat. Kelebihan kadar kolesterol dalam darah akan beraksi dengan zat lain sehingga dapat mengendap pada pembuluh darah arteri yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan yang disebut sebagai plak aterosklerosis (Soeharto, 2004). 
Pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat penting untuk dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Hal ini disebabkan oleh kolesterol darah yang ikut berperan dalam penumpukkan lemak di dalam lumen pembuluh darah yang dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis (Hull, 1993). Oleh karena itu, jika kadar kolesterol dalam darah meningkat, maka risiko untuk aterosklerosis meningkat juga. Kolesterol tidak larut dalam cairan darah, sehingga untuk proses transportasinya ke seluruh tubuh perlu “dikemas” bersama protein menjadi partikel yang disebut “lipoprotein” (Soeharto, 2004). Lipoprotein ini banyak jenisnya, akan tetapi dalam hubungannya dengan penyakit stroke, biasanya dalam pemeriksaan laboratorium terdapat pemeriksaan mengenai kadar profil lemak yang terdiri dari kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL), High Density Lipoprotein (HDL), dan trigliserida (Soeharto, 2004). LDL dikenal sebagai “kolesterol jahat”, karena kadar kolesterol LDL yang tinggi menyebabkan pengendapan kolesterol dalam arteri.yang merupakan pencetus terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah atau aterosklerosis. Sedangkan, HDL sering disebut sebagai “kolesterol baik” yang membawa kelebihan kolesterol dalam arteri untuk dibawa ke hati kembali dan dibuang dari tubuh (Makmun, 2003). Jadi, HDL merupakan pelindung terhadap kejadian penyakit  stroke. Kadar kesetaraan antara kolesterol total dan kolesterol LDL adalah sebagai berikut:


Tabel Kadar Kesetaraan Antara Kolesterol Total dan Kolesterol LDL
Kolesterol total
Kolesterol LDL
240 mg/dl
160 mg/dl
200 mg/dl
130 mg/dl
155 mg/dl
100 mg/dl
Menurut The National Cholesterol Education Program (NCEP), dalam New Clinical Practice Guidelines on The Prevention and Management of high cholesterol in adults bahwa kadar kolesterol LDL yang optimal adalah kurang dari 100 mg/dl dan kadar kolesterol HDL terandah < 40 mg/dl serta kadar trigliserida direkomendasikan pada kadar yang moderat (< 200 mg/dl). Berikut ini merupakan klasifikasi Adult Treatment Panel (ATP III) terhadap kolesterol total, LDL, dan HDL. 
Tabel 3. Klasifikasi Adult Treatment Panel (ATP III) terhadap Kolesterol LDL, Total, HDL dalam mg/dl
Kolesterol LDL (mg/dl)
Kolesterol LDL
< 100
Optimal
100-129
Mendekati optimal
130-159
Batas tinggi
160-189
Tinggi
≥ 190
Sangat Tinggi
Kolesterol Total (mg/dl)

< 200
Target yang hendak dicapai
200-239
Batas tinggi
> 240
Tinggi
Kolesterol HDL (mg/dl)

< 40
Rendah
≥ 60
Tinggi
Kadar kolesterol yang tinggi dalam darah dapat menjadi masalah sebagai pemicu terjadinya stroke. Hal ini terjadi karena kolesterol merupakan zat di dalam aliran darah dan semakin tinggi kolesterol, maka semakin besar kemungkinan dari kolesterol tersebut tertimbun pada dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga mengganggu suplai darah ke otak yang disebut dengan stroke iskemik. Berikut ini merupakan hubungan antara kadar kolesterol dengan risiko aterosklerosis:
Tabel Hubungan Kadar Kolesterol dan Risiko Aterosklerosis
Umur (Tahun)
Kadar Kolesterol

Risiko Sedang (mg/dl)
Risiko Tinggi (mg/dl)
< 19
170-185
> 185-200
20-29
200-220
> 220
30-39
220-240
> 240
40
240-260
> 260
Terkadang nilai kadar kolesterol total, LDL, dan HDL yang dilihat secara tunggal tidak dapat mencerminkan risiko orang tersebut untuk terkena penyakit stroke dan PJK. Rasio kolesterol total terhadap HDL merupakan kriteria ambang batas nilai rasio untuk laki-laki dan perempuan yang berumur 20-60 tahun ke atas. Rasio yang harus dipertahankan adalah 4 (Soeharto, 2004). Misalnya, seseorang laki-laki berumur 40 tahun memiliki kadar kolesterol total 195 mg/dl, dimana angka ini menunjukkan bahwa kadar kolesterol totalnya tergolong rendah. Akan tetapi, ketika diketahui bahwa kadar HDL orang tersebut hanya 33 mg/dl, maka didapatkan rasio kolesterol total terhadap HDL adalah 195 : 33 = 6. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa rasio tersebut tergolong tinggi dan dapar meningkatkan risiko untuk terkena stroke dan PJK. Tabel 2.5 di bawah ini merupakan penggolongan tingkat risiko berdasarkan rasio kolesterol total terhadap HDL untuk laki-laki dan perempuan yang berumur 20-60 tahun ke atas.





Tabel Rasio Kolesterol Total Terhadap HDL dan Tingkat Risiko
Lemak
Umur (tahun)
Risiko Rendah
Risiko Sedang (Moderat)
Risiko Tinggi
Risiko Sangat Tinggi
L
P
L
P
L
P
L
P
Kolesterol
20-39
2,3-3,6
1,9-2,8
3,7-5,1
2,9-3,6
5,2-6,1
3,7-4,2
>6,1
>4,2
Total
40-59
2,6-4,2
2,0-3,0
4,3-6,0
3,1-4,0
6,1-7,4
4,1-4,9
>7,4
>4,9
HDL
60+
2,5-4,0
2,0-3,2
4,1-6,0
3,3-4,8
6,1-6,9
4,9-5,5
>6,9
>5,5
Sumber: Cooper, 1989 dalam Soeharto, 2004
Keterangan:
L: Laki-laki
P: Perempuan
d.   Penyakit Jantung
Penyakit atau kelainan pada jantung dapat mengakibatkan iskemia otak. Hal ini disebabkan oleh denyut jantung yang tidak teratur dan tidak efisien dapat menurunkan total curah jantung yang mengakibatkan aliran darah di otak berkurang (iskemia). Selain itu juga dengan adanya penyakit atau kelainan pada jantung dapat terjadi pelepasan embolus (kepingan darah) yang kemudian dapat menyumbat pembuluh darah otak. Hal ini yang disebut dengan stroke iskemik akibat trombosis. Seseorang dengan penyakit atau kelainan pada jantung mendapatkan risiko untuk terkena stroke lebih tinggi 3 kali lipat dari orang yang tidak memiliki penyakit atau kelainan jantung (Hull, 1993).
e.    Diabetes Mellitus
Selain dikenal sebagai penyakit, diabetes melitus juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Diabetes melitus digolongkan menjadi dua tipe, yaitu diabetes tipe 1 (akibat defisiensi insulin absolut akibat destruksi sel beta yang disebabkan oleh autoimun ataupun idiopatik) dan diabetes tipe 2 (defisiensi insulin relatif yang disebabkan oleh defek sekresi insulin lebih dominan daripada resistensi insulin ataupun dapat sebaliknya), (Depkes, 2008).  Sedangkan, kejadian diabetes melitus tipe 2 lebih dipengaruhi oleh perilaku makan seseorang.
SKRT 2003, melakukan pemeriksaan konsentrasi glukosa puasa memakai strip (dry chemistry) dan menyatakan bahwa seseorang dikatakan menderita diabetes melitus apabila memiliki kadar gula darah puasa > 110 mg/dl. Berikut ini merupakan daftar kadar glukosa darah sewaktu dan gula darah puasa sebagai penyaring dan diagnosis DM.
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004 didapatkan prevalensi hiperglikemia sebesar 11,2% dan lebih tinggi pada laki-laki (13%) daripada perempuan (10%), di daerah perkotaan (12%) daripada perdesaan (10%), dan wilayah Indonesia Timur (15%) dripada wilayah Sumatera, Jawa dan Bali (10%) (Depkes, 2007).
Kondisi seseorang yang menderita DM dapat meningkatkan risiko untuk terkena stoke. Hal ini disebabkan oleh DM dapat meningkatkan prevalensi aterosklerosis dan juga meningkatkan prevalensi faktor risiko lain seperti hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia. Pengontrolan tekanan darah pada penderita DM juga perlu dilakukan disamping pemeriksaan ketat kadar gula darah. Tekanan darah yang dianjurkan pada penderita Diabetes mellitus adalah < 130/ 80 mmHg.

Tabel Diagnosis DM Menurut Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa





f.       Obesitas
Obesitas adalah kondisi dimana Body Mass Index (BMI) > 30 kg/m2. Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan sebesar 20% dari berat badan idealnya (Hull, 1993). Obesitas merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler dan stroke (Wahjoepramono, 2005). Hal ini disebabkan oleh keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan kadar gula darah (Pearson, 1994). Jika seseorang memiliki berat badan yang berlebih, maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Patel, 1995). Obesitas juga dapat mempercepat terjadinya proses aterosklerosis pada remaja dan dewasa muda (Madiyono, 2003). Oleh karena itu, penurunan berat badan dapat mengurangi risiko terserang stroke (Pearson, 1994). 
Prevalensi obesitas meningkat seiring dengan peningkatan usia. Penurunan berat badan menjadi berat badan yang normal merupakan cerminan dari aktivitas fisik dan pola makan yang baik. Oleh karena itu, berat badan memiliki korelasi yang baik dalam pengukuran aktivitas fisik dan pola makan seseorang.

3.    Faktor Risiko Perilaku (Primordial)
a.    Merokok
Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk meningkatkan risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2010). Hal ini disebabkan oleh zat-zat kimia beracun dalam rokok, seperti nikotin dan karbon monoksida yang dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, meningkatkan tekanan darah, dan menyebabkan kerusakan pada sistem kardiovaskuler melalui berbagai macam mekanisme tubuh. Rokok juga berhubungan dengan meningkatnya kadar fibrinogen, agregasi trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit yang dapat mempercepat proses aterosklerosis yang menjadi faktor risiko untuk terkena stroke. Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah. Arteri juga mengalami penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah robek, yang mengakibatkan produksi trombosit meningkat sehingga darah mudah membeku.
Selain itu, merokok dapat mengakibatkan hal buruk bagi lemak darah dan menurunkan kadar HDL dalam darah. Semua efek nikotin dari rokok dapat mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan pada pembuluh darah. Karbon monoksida dari rokok juga dapat mengurangi jumlah oksigen yang dibawa oleh darah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang dibutuhkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association, 2010).
Hasil penelitian pada Framingham Study, insiden stroke 40% lebih tinggi pada perokok laki-laki dan 60% lebih tinggi pada perokok perempuan dibandingkan dengan yang bukan perokok (Pearson, 1994). Sebesar 35% penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas adalah perokok baik tiap hari maupun kadang-kadang. Dari hasil Susenas tahun 2001 dengan tahun 2003, terdapat peningkatan jumlah penduduk yang merokok sebesar 3%.
Berdasarkan jenis kelamin, persentase merokok pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Sedangkan berdasarkan tempat, persentase merokok pada daerah perdesaan (37%) lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan (32%). Sebesar 64% dari total penduduk yang merokok diketahui bahwa usia pertama kali merokok adalah pada umur 15-19 tahun (Depkes, 2007). Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase perokok semakin tinggi pada kelompok orang yang berpendidikan rendah. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah persentase orang yang merokok (Luepker, 2004). 
b.    Kebiasaan Mengkonsumsi Alkohol
Peran alkohol dalam sumbangannya sebagai faktor risiko stroke memang masih kontroversial dan diduga tergantung pada dosis yang dikonsumsi. Alkohol dapat meningkatkan risiko terserang stroke jika diminum dalam jumlah banyak, sedangkan dalam jumlah sedikit dapat mengurangi risiko stroke (Pearson, 1994). Akan tetapi, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat menjadi salah satu pemicu untuk terjadinya hipertensi, yang memberikan sumbangan faktor risiko untuk terjadinya penyakit stroke. Dalam sebuah pengamatan, diperoleh data bahwa konsumsi 3 gelas alkohol per hari akan meningkatkan risiko stroke hemoragik, yaitu perdarahan intraserebral hingga 7 kali lipat (Wahjoepramono, 2005). 
c.    Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau olahraga merupakan bentuk pemberian rangsangan berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberi rangsangan secara teratur dengan takaran dan waktu yang tepat. Aktivitas fisik sangat berhubungan dengan faktor risiko stroke, yaitu hipertensi dan aterosklerosis. Seseorang yang sering melakukan aktivitas fisik, minimal 3-5 kali dalam seminggu dengan lama waktu minimal 30-60 menit dapat menurunkan risiko untuk terkena penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah, seperti  stroke (Depkes, 2007).  Hal ini disebabkan oleh aktivitas fisik yang dapat membuat lumen pembuluh darah menjadi lebih lebar. Oleh karena itu, darah dapat melalui pembuluh darah dengan lebih lancar tanpa jantung harus memompa darah lebih kuat. Proses aterosklerosis pun lebih sulit terjadi pada mereka yang memiliki lumen pembuluh darah yang lebih lebar. Selain itu, Centers for Disease Control and prevention dan National Institutes of Health merekomendasikan latihan fisik secara rutin (> 30 menit/ hari latihan fisik moderat) dapat mengurangi komorbid yang menjadi faktor risiko stroke (Wahjoepramono, 2005). 
d.   Stress
Stress mungkin bukan sebagai faktor risiko langsung pada serangan stroke. Akan tetapi, stress dapat mengakibatkan hati memproduksi lebih banyak radikal bebas, menurunkan imunitas tubuh, dan mengganggu fungsi hormonal (Junaidi, 2004). Stress dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: stress biologis (berupa infeksi oleh bakteri dan virus pada sel-sel tubuh), stress psikis (mental atau emosional), dan stress fisik (aktivitas fisik yang berlebihan). Dari ketiga bentuk stress tadi, stress psikis merupakan stress yang paling banyak dialami oleh manusia baik disadari maupun tidak. Apabila stress psikis ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan kesan bahaya pada tubuh yang mengakibatkan tubuh merespon secara berlebihan dengan menghasilkan hormon-hormon yang membuat tubuh waspada, seperti kortisol, katekolamin, epinefrin, dan adrenalin. Semua hormon yang dihasilkan oleh tubuh tadi semakin banyak ketika tubuh terus merespon stress tersebut sebagai bahaya, sehingga dapat berdampak buruk pada tubuh (Junaidi, 2004).
Dalam hubungannya dengan kejadian stroke, keadaan stress dapat memproduksi hormon kortisol dan adrenalin yang berkontribusi pada proses aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh kedua hormon tadi meningkatkan jumlah trombosit dan produksi kolesterol. Kortisol dan adrenalin juga dapat merusak sel yang melapisi arteri, sehingga lebih mudah bagi jaringan lemak untuk tertimbun di dalam dinding arteri (Patel, 1995).
e.    Faktor Sosial dan Ekonomi
Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung memiliki peran dalam pencetus kejadian suatu penyakit. Hal ini mungkin berhubungan dengan perilaku kesehatan seseorang, yang dapat menyebabkan orang tersebut berstatus sehat atau sakit. Orang dengan status sosial dan ekonomi yang rendah lebih berisiko untuk terkena stroke dan penyakit serebrovaskuler lainnya dibandingkan dengan mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi (Engstrom, 2005). Berikut ini merupakan faktor sosial ekonomi seseorang yang biasa digunakan dalam menilai perilaku kesehatan dan hubungannya dengan kejadian suatu penyakit.
f.         Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik (Notoatmodjo, 2007). Pendidikan memiliki unsur-unsur yang berperan didalamnya, yaitu input (sasaran pendidikan dan pendidik), proses atau upaya dari pendidikan tersebut, output (pengetahuan yang diharapkan dapat mengubah perilaku). Dari ketiga unsur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu upaya dalam mempengaruhi orang lain untuk merubah perilakunya, yang dalam bahasan kali ini adalah perilaku kesehatan untuk mencegah terjadinya suatu penyakit.
Stroke merupakan salah satu penyakit multikausal yang berkaitan erat dengan perilaku atau gaya hidup. Pendidikan merupakan salah satu upaya menambah informasi dan pengetahuan seseoarang, yang diharapkan kedepannya akan mengubah perilaku kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan merupakan salah satu faktor sosial dan ekonomi yang secara tidak langsung ikut berperan dalam kejadian stroke.
g.    Pekerjaan 
Pekerjaan merupakan salah satu indikator yang menunjukkan status sosial ekonomi. Pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya  stroke. Hal ini mungkin disebabkan oleh hubungan antara pekerjaan dengan tingkat stress seseorang, dimana keadaan stress tersebut dapat meningkatkan risiko terkena serangan stroke. Pekerja kasar atau pekerja level bawah memiliku risiko 50% lebih tinggi untuk mendapatkan serangan  stroke (Engstrom, 2005). Beban kerja yang besar, gaji yang tidak sesuai harapan, dan tekanan dari atasan dapat menjadi pemicu stress di tempat kerja, yang pada akhirnya menyebabkan stress dan menjadi faktor risiko bagi terjadinya stroke. Kehilangan prestasi kerja, rendahnya dukungan atasan, kerja shift malam, alokasi penempatan kerja, ataupun masalah gaji yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan juga dapat meningkatkan risiko penyakit stroke terkait stress akibat kerja (Patel, 1995).
h.    Status Pernikahan 
Status pernikahan juga dapat digunakan untuk menilai status sosial individu. Laki-laki dan perempuan yang tidak menikah ataupun mengalami perceraian memiliki risiko lebih besar untuk terkena serangan stroke dibandingkan laki-laki dan wanita yang memiliki isteri atau suami (Engstrom, 2005). Kejadian stroke pada laki-laki di atas umur 65 tahun yang menikah sebesar 13%, sedangkan pada umur yang sama kejadian stroke pada laki-laki yang tidak menikah sebesar 16,8%. Kejadian stroke pada wanita di atas umur 65 tahun yang menikah sebesar 8,2%, sedangkan pada umur yang sama kejadian  stroke pada wanita yang tidak menikah sebesar 10,9% (Anonim, 2006). Hal ini mungkin disebabkan oleh seseorang yang single memiliki kebiasaan atau gaya hidup yang lebih buruk, seperti merokok, konsumsi alkohol, perilaku makan yang buruk, dan tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang telah menikah atau memiliki pasangan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar