Rabu, 01 Juli 2015

CAMPAK


1.  Definisi Campak
Penyakit campak dikenal juga dengan istilah morbilli dalam bahasa latin dan meales dalam bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus dan dapat mendatangkan komplikasi serius, dengan gejala-gejala eksanterm akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernafasan, gejala – gejala mata, kemudian diikuti erupsi makupopular yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit (Carol, 2007).
Penyakit Campak adalah yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah, penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi campak. Tanpa program imunisasi, 90% dari mereka yang mencapai usia 20 tahun pernah menderita Campak. Dengan cakupan Campak yang mencapai lebih dari 90% dan merata sampai ke tingkat desa diharapkan jumlah kasus Campak akan menurun oleh karena terbentuknya kekebalan kelompok (Depkes RI, 2010).
Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh virus. Campak disebut disebut juga rubeola, morbili, atau measles. Penyakit ini ditandai dengan gejala awal demam, batuk, pilek dan kongjungtivis yang kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada kulit (rash). Campak biasanya menyerang anak-anak dengan derajat ringan sampai sedang. Penyakit ini dapat meninggalkan gejala sisa kerusakan neurologis akibat peradangan otak (ensefalitis) (Widoyono, 2011).
Gejala klinis penyakit campak adalah demam > 38° selama 3 hari atau lebih disertai bercak kemerahan berbentuk maku popular, batuk, pilek atau mata merah, khas ditemukan bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam (Soedarto,2004).
Tersangka KLB yaitu adanya 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut – turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan dengan epidemiologi. Kriteria KLB campak yang diambil adalah 5 orang atau lebih penderita suspek campak dalam 1 wilayah desa dalam 1 peroide waktu bulan yang sama (Depkes RI, 1994).
Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam keluar semakin baik. Bahkan ada upaya dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya ruam, dan ada pula kepercayaan bahwa penyakit Campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam akan muncul dirongga tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru-paru, perut atau usus. Hal ini diyakini akan menyebabkan sesak napas atau diare yang dapat menyebabkan kematian (Chin, 2007).
Penyakit Campak adalah yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah, penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi Campak. Tanpa imunisasi, 90% dari mereka yang mencapai usia 20 tahun pernah menderita Campak. Dengan cakupan Campak yang mencapai lebih dari 90% dan merata sampai ke tingkat desa diharapkan jumlah kasus Campak akan menurun oleh karena terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity) (Chin, 2007).
2.   Penyebab Penyakit Campak
Penyakit Campak disebabkan oleh virus campak yang termasuk golongan paramyxovirus. Virus ini berbentuk bulat dengan tepi yang kasar dan begaris tengah 140 milimikron, dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein, yang dalamnya terdapat nulkeokapsid yang bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang mengelilingi asam nukleat (RNA), merupakan struktur heliks nucleoprotein yang berada dari myxovirus. Selubung luar sering menunjukan tonjolan pendek, satu protein yang berada di selubung luar muncul sebagai hemaglutinin (Depkes RI, 1994).
Struktur virus penyebab campak mirip dengan virus penyebab parotitis epidemis dan parainfluenza. Setelah timbulnya ruam kulit, virus aktif dapat ditemukan pada secret nasofaring, darah dan air kencing dalam waktu sekitar 34 jam pada suhu kamar. Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada temperature 0°C dan selama 15 minggu pada sediaan beku. Di luar tubuh manusia virus ini mudah mati. Pada suhu kamar sekalipun, virus ini akan kehilangan infektivitasnya sekitar  60% selama 3-5 hari. Virus campak mudah campak oleh sinar ultraviolet (Widoyono, 2011).
3.  Sifat Virus Campak
Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan yang kuat, apabila berada diluar tubuh manusia virus campak akan mati. Pada temperature kamar virus campak kehilangan 60% sifat infeksitasnya selama 3 – 5 hari. Tanpa media protein virus campak hanya akan hidup selama 2 minggu dan hancur oleh sinar ultra violet, Virus Campak dapat tumbuh dengan cepat dan mencapai maksimum selama 2 – 4 hari (Depkes RI, 1994).
Agent Campak adalah measles virus yang termasuk dalam famili paramyxoviridae anggota genus morbilivirus. Virus Campak sangat sensitif terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi tidak aktif pada suhu 37 derajat celcius, bila dimasukkan kedalam lemari es selama beberapa jam dan pembekuan lambat maka infektifitasnya akan hilang, campak biasanya ditularkan melalui udara saat penderita batuk atau bersin, campak merupakan infeksi manusia yang paling mudah ditularkan dengan berada didalam ruangan yang sama dengan seseorang penderita campak dapat menyebabkan infeksi (Chin, 2007).
4.  Cara Penularan Penyakit Campak
Virus campak ditularkan dari orang ke orang, manusia merupakan satu-satunya reservoir penyakit campak. Virus campak berada di secret nasoparing dan didalam darah minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang singkat setelah timbul ruam. Penularan terjadi melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung dengan sekresi hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Penularan dapat terjadi mulai dari hari pertama sebelum munculnya ruam, antara 1 – 2 hari sebelum timbulnya gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Dengan masa inkubasi berkisar antara 7 – 8 hari atau rata – rata 10 hari (Chin, 2007).
5.  Epidemiologi Campak
a.  Distribusi Penyakit Campak
1)  Orang
Campak adalah penyakit yang sangat menular yang dapat menginfeksi anak – anak pada usia dibawah 15 bulan, anak usia sekolah atau kadang kala pada remaja dan dewasa. Penyebaran penyakit campak berdasarkan umur berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, tergantung dari kepadatan penduduknya, terisolasi atau tidaknya daerah itu. Pada kelompok dan masyarakat yang lebih kecil, epidemik cenderung terjadi lebih luas dan berat. Setiap orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas seumur hidup (Chin, 2007).
2)  Tempat
Berdasarkan tempat penyebaran penyakit campak berbeda, dimana pada daerah perkotaan siklus epidemik campak terjadi setiap 2 – 4 tahun sekali, sedangkan di daerah pedesaan (terpencil) penyakit campak jarang terjadi, tetapi bila sewaktu – waktu terjadi penyakit campak maka serangan dapat bersifat wabah dan menyerang kelompok umur yang rentan (Depkes RI, 2009).
3)  Waktu
Virus campak menagalami keadaan yang paling stabil pada kelembaban dibawa 40%. Udara yang kering menimbulkan efek positif pada virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang memiliki alat penghangat ruangan seperti pada musim dingin di daerah yang memiliki 4 musim, lain halnya dengan di Negara tropis dimana kebanyakan kasus terjadi pada musim panas. Ketika virus menginfeksi populasi yang belum mendapatkan kekebalan atau vaksinasi maka 90-100% akan menjadi sakit dan menunjukkan gejala klinis (Haaneim, 2002).
Dari hasil penelitian oleh Jusak di rumah sakit umum daerah Dr. Sutomo, ditemukan campak di Indonesia sepanjang tahun, dimana peningkatan kasus dapat terjadi pada bulan maret dan mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September (Depkes RI, 1994).
b.  Determinan Penyakit Campak
1)  Host
a)  Status Imunisasi
Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT, dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Depkes RI, 2004).
Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak ia terpapar antigen yang serupa tidak pernah terjadi penyakit. Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit berbahaya (Wahab, 2002).
Tujuan memberikan imunisasi adalah untuk meningkatkan kekebalan anak terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Balita yang tidak mendapat imunisasi campak kemungkinan kena penyakit campak sangat besar. Pemberian imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan agen infeksi dan mengurangi peluang seseorang yang rentan untuk terpajan pada agen tersebut (Chin, 2000).
Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali pada umur 9-11 bulan. Cara pemberian imunisasi campak ini diberikan melalui subkutan. Imunisasi ini mempunyai efek samping seperti terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas. Angka kejadian campak juga sangat tinggi dalam memengaruhi angka kesakitan dan kematian anak. Campak lebih banyak di derita pada balita dan anak usia sekolah, karena tubuhnya yang masih labih sehingga rentan terhadap penularan penyakit campak (Hidayat, 2008).
Dari hasil penyelidikan tim Ditjen PPM & PLP dan fakulas Kedokteran UI tentang KLB campak di desa Cinta Manis banyuasin Sumatera Selatan, ditemukan balita yang tidak mendapatka imunisasi campak mempunyai resiko 5 kali lebih besar untuk terkena campak disbanding balita yang mendapat imunisasi (Yuliana, 2013).
b)  Status Gizi
Balita dengan status gizi kurang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit campak dari pada balita yang gizi baik. Seperti penelitian Sulung di puskesmas Kori Kecamatan Kodi Utaran kabupaten smatera barat dengan desain cross sectional terhadap anak berumur 6 bulan – 15 tahun mendapatkan hasil bahwa kejadian campak ada hubungannya dengan status gizi dimana anak dengan status gizi kurang mempunyai resiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena campak.
2)  Lingkungan
Virus campak sangat mudah menular, lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab penularan penyakit campak, faktor – faktor lingkungan tersebut adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan dan keterjangkauan Pelayanan Kesehatan, Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan khususnya imunisasi, adalah merupakan daerah yang rawan terhadap penularan penyakit campak (Mukono, 2006). Penelitian Marniasih di Wilayah kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian campak adalah kondisi ventilasi dengan p-value=0,016 dan penelitian Hardi di Desa Semangut Kecamatan Buntut Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Selatan bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan, meliputi kepadatan Hunian (p=0,040) dan luas Ventilasi (p=0,0001), sehingga di sarankan agar menyediakan program rumah sehat terutama di daerah potensial wabah.
a)  Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian merupakan persemaian subur bagi virus, sekaligus sarana eksperimen rekayasa genetik secara ilmiah (Acmadi, 2008). Kepadatan huniaan dapat dapat mempermudah penularan yang menular melalui udara, terutama penyakit campak yang penularannya terjadi saat percikan ludah atau cairan yang keluar ketika penderita bersin.
Menurut Pudjiastuti (1998) kepadatan hunian juga mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam rumah mengalami pencemaran oleh karena CO2 dalam rumah akan cepat meningkatkan dan akan menurunkan kadar O2 dalam rumah.
Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan over crowded, hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurang konsumsi O2, juga bila salah satu anggota keluarga terkena infeksi penyakit menular akan menularkan kepada anggota keluarga yang lain (Mukono, 2006).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas kamar tidur minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruangan.
b)  Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai fungsi antara lain menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar. Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup, ventilasi bermanfaat untuk sirkulasi udara dalam ruangan serta mengurangi kelembaban, suhu ruangan dalam rumah yang ideal adalah berkisar antara 18 – 10°C. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah sehingga kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri dan virus penyebab penyakit (Mukono, 2006).
Menurut Soedarto (1995) Ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan transmisi melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeks Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah dengan menggunakan role meter.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Menurut Achmadi, ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsntrasi debu ataupun kotoran terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga merupakan tempat untuk masuknya cahaya ultraviolet ke dalam rumah. Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bagu pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembaban udara bertambah. Kecepatan udara dikatakan sedang jika gerak udara 5 – 20 cm per detik atau pertukaran udara bersih antara 25 - 30 cfm ( cubic feet per minute ) untuk setiap yang berada di dalam ruangan.
c)  Pencahayaan
Pencahayaan merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang aman dan nyaman dan berkaitan erat dengan produktivitas manusia. Pencahayaan yang baik memungkinkan orang dapat melihat objek-objek yang dikerjakannya secara jelas dan cepat (Mukono, 2006).
Virus campak tidak memiliki daya tahan yang kuat. Pada temperature kamar virus campak kehilngan 60% sifat infektisitasnya selama 3 – 5 hari dan akan hancur oleh sinar matahari. Cahaya buatan yaitu sumber cahaya yang bukan alamiah seperti lampu minyak tanah, listrik, lilin dan sebagainya (Mukono, 2006). Sinar matahari merupakan pencahayaan alamiah mampu membunuh kuman pathogen. Cahaya yang cukup untuk penerangan ruangan di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia, penyakit campak berkaitan erat dengan ventilasi dan pencahayaan rumah (Achmadi, 2008).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
d)  Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan
Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan khususnya imunisasi, adalah merupakan daerah yang rawan terhadap penularan penyakit campak, karena dengan keadaan yang demikian masyarakat rata – rata tidak membawa anak mereka untuk berobat ke Pelayanan Kesehatan (Mukono, 2006).
6.  Gejala Klinik Penyakit Campak
a.  Stadium Kataral (Prodornal)
Biasanya berlangsung 4 – 5 hari, ditandai dengan panas, lesu, batuk-batuk dan mata merah. Pada akhir stadium, kadang timbul bercak koplik (koplik spot) pada mukosa pipi / daerah mulut,tetapi gelaja khas ini tidak selalu dijumpai. Bercak koplik ini berupa bercak putih kelabu, besarnya seujung jarum pentul yang dikelilingi daerah kemerahan.
b.  Stadium Erupsi
Stadium ini berlangsung setelah 4 – 7 hari,ditandai dengan batuk pilek bertambah, suhu badan meningkat oleh karena panas tinggi,kadang-kadang anak kejang – kejang, disusul timbulnya rash (bercak merah yang spesifik). Rash timbul secara khusus yaitu mulai timbul didaerah belakang telinga, tengkuk, kemudian pipi, menjalar ke seluruh muka, dan akhirnya ke badan. Timbul rasa gatal dan muka bengkak.
c.   Stadium Konvalensi (Penyembuhan)
Erupsi (bercak – bercak) berkurang, meningglkan bekas kecoklatan yang disebut hiperpigmentation, tetapi lama – lama akan hilang sendiri, panas badan akan menurun sampai normal bila tidak ada komplikasi.

7.  Komplikasi Penyakit Campak
Komplikasi terjadi karena adanya penurunan daya tahan tubuh secara umum sehingga mudah terjadi infeksi tumpangan. Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder antara lain:
a.  Bronchopneumonia
Bronchopneumonia dapat terjadi apabila virus campak menyerang epitel salura pernafasan sehingga terjadi peradangan disebut radang paru-paru. Bronchopneumonia dapat disebabkan virus vampak sendiri atau oleh pneumococcus, strepcoccus, dan staphylococcus yang menyerang epitel pada epitl saluran pernapasan.
b.  Otitis Media Akut
Otitis media akut dapat disebabkan invasi virus campak ke dalam telinga tengah. Gendang telinga biasanya hyperemia pada fase prodomal dan stadium erupsi.
c.   Ensefalitis
Ensefalitis adalah komplikasi neurologic yang paling jarang terjadi,biasanya terjadi pada hari ke 4 – 7 setelah terjadi ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1 dalam 1.000 kasus campak. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun melaluii invasi langsung virus campak ke dalam otak.
d.  Enteritis
Enteritis terdapat pada beberapa anak yang menderita campak, penderita mengalami muntah mencret pada fase prodormal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel mukosa usus (Agus, 2005).
8.  Diagnosis Penyakit Campak
Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnese, gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium (Widoyono, 2011).
a.  Kasus Campak Klinis
Kasus Campak klinis adalah kasus dengan gejala bercak kemerahan di tubuh berbentuk macula popular selama tiga hari atau lebih disertai panas badan 38ºC atau lebih (terasa panas) dan disertai salah satu gejala bentuk pilek atau mata merah (WHO).
b.  Kasus Campak Konfirmasi
Kasus Campak konfirmasi adalah kasus Campak klinis disertai salah satu kriteria yaitu:
1)  Pemeriksaaan laboratorium serologis (IgM positif atau kenaikan titer antiantibodi 4 kali) dan atau isolasi virus Campak positif.
2)  Kasus Campak yg mempunyai kontak langsung dengan kasus konfirmasi, dalam periode waktu 1 – 2 minggu.

9.  Pencegahan Penyakit Campak

a.  Pencegahan Tingkat Awal (Primordial Preventation)
Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan imunisasi dan memberikan makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
b.  Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan ini berupaya upaya untuk mencegah seseorang terkena penyakit campak.
1)  Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaksanaan imunsasi campak untuk semua bayi.
2)  Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahka, yang diberikan pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan karena dapat melindungi sampai jangka waktu 4 – 5 tahun.
c.   Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat progrefisitas penyakit, menceah komplikasi dam membatasi kecacatan.
d.  Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertier Prevention)
Pencegahan tingkat ketiga bartujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian. Adapun tindaka yang dilakukan adalah:
1)  Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi.
2)  Pemberian vitamin A dosis tinggi Karen cadangan vitamin A akan turun secara cepat terutam pada anak yang kurang gizi yang akan menurunkan imunitas mereka (Depkes RI, 1997).
10.  Pengobatan Penyakit Campak
Penderita Campak tanpa komplikasi dapat berobat jalan. Tidak ada obat yang secara langsung dapat bekerja pada virus Campak. Anak memerlukan istirahat di tempat tidur, kompres dengan air hangat bila demam tinggi. Anak harus diberi cukup cairan dan kalori, sedangkan pasien perlu diperhatikan dengan memperbaiki kebutuhan cairan, diet disesuaikan dengan kebutuhan penderita dan berikan vitamin A 100.000 IU per oral satu kali. Apabila terdapat malnutrisi pemberian vitamin A ditambah dengan 1500 IU tiap hari. Dan bila terdapat komplikasi, maka dilakukan pengobatan untuk mengatasi komplikasi yang timbul seperti:
a.  Otitis media akut, sering kali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, maka perlu mendapat antibiotik kotrimoksazol-sulfametokzasol.
b.  Ensefalitis, perlu direduksi jumlah pemberian cairan ¾ kebutuhan untuk mengurangi oedema otak, di samping peomberian kortikosteroid, perlu dilakukan koreksi elektrolit dan ganguan gas darah.
c.   Bronchopneumonia, diberikan antibiotik ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan pasien dapat minum obat per oral. Antibiotik diberikan sampai tiga hari demam reda.
d.  Enteritis, pada keadaan berat anak mudah dehidrasi. Pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis dengan dehidrasi.
11.   Penanggulangan Campak
Pada sidang CDC/PAHO/WHO, tahun 1996 menyimpulkan bahwa penyakit Campak dapat dieradikasi, karena satu-satunya pejamu/reservoir Campak hanya pada manusia serta tersedia vaksin dengan potensi yang cukup tinggi yaitu effikasi vaksin 85% dan dirperkirakan eradikasi dapat dicapai 10 – 15 tahun setelah eliminasi. Word Health Organisation (WHO) mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya eradikasi (pemberantasan) penyakit Campak dengan tekanan strategi yang berbeda-beda pada setiap tahap yaitu (Depkes RI, 1994):
a.  Tahap Reduksi
Tahap ini dibagi dalam 2 tahap:
1)  Tahap Pengendalian Campak
Pada tahap ini ditandai dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi Campak rutin dan upaya imunisasi tambahan di daerah dengan morbitas Campak yang tinggi. Daerah ini masih merupakan daerah endemis Campak, tetapi telah terjadi penurunan insiden dan kematian, dengan pola epidemiologi kasus Campak menunjukkan 2 puncak setiap tahun.
2)  Tahap Pencegahan KLB
Cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi ≥ 80% dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, insidens Campak telah bergeser kepada umur yang lebih tua, dengan interval KLB antara 4-8 tahun.
b.  Tahap Eliminasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi ≥ 95% dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya, kasus Campak sudah sangat jarang dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak terlindung) harus diselidiki dan diberikan imunisasi Campak.
c.   Tahap Eradikasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus Campak sudah tidak ditemukan. Pada sidang The World Health Assambley (WHA) tahun 1998, menetapkan kesepakatan Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Tetanus Noenatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM). Kemudian pada Technical Consultative Groups (TGC) Meeting di Dakka Bangladesh tahun 1999, menetapkan bahwa reduksi campak di Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB).
Strategi operasional yang dilakukan ditingkat Puskesmas untuk mencapai reduksi Campak tersebut adalah:
1)  Imunisasi rutin pada bayi 9 – 11 bulan (UCI Desa ≥ 80%) .
2)  Imunisasi tambahan (suplemen).
a)  Catch up compaign : memberikan imunisasi Campak sekali saja pada anak SD kelas 1 s/d 6 tanpa memandang status imunisasi.
b)  Selanjutnya untuk tahun berikutnya secara rutin diberikan imunisasi Campak pada murid kelas 1 SD (bersama dengan pemberian DT) pelaksanaan secara rutin dikenal dengan istilah BIAS (bulan imunisasi anak sekolah) Campak. Tujuannya adalah mencegah KLB pada anak sekolah dan memutuskan rantai penularan dari anak sekolah kepada balita.
c)  Crash program Campak : memberikan imunisasi Campak pada anak umur 6 bulan sampai dengan > 5 tahun tanpa melihat status imunisasi di daerah risiko tinggi campak.
d)  Ring vaksinasi : Imunisasi Campak diberikan dilokasi pemukiman di sekitar lokasi KLB dengan umur sasaran 6 bulan (umur kasus campak termuda) tanpa melihat status imunisasi.
3)  Surveilans (surveilan rutin, system kewaspadaan dini dan respon kejadian luar biasa).
4)  Penyelidikan dan penanggulangan kejadian luar biasa.
Setiap kejadian luar biasa harus diselidiki dan dilakukan penanggulangan secepatnya yang meliputi pengobatan simtomatis pada kasus, pengobatan dengan antibiotika bila terjadi komplikasi, pemberian vitamin A dosis tinggi, perbaikan gizi dan meningkatkan cakupan imunisasi campak/ring vaksinasi (program cepat, sweeping) pada desa-desa risiko tinggi.
5)  Pemeriksaan laboratorium
Pada tahap reduksi Campak dengan pencegahan kejadiaan luar biasa: pemeriksaan laboratorium dilakukan terhadap 10 – 15 kasus baru pada setiap kejadiaan luar biasa. Pemantauan kegiatan reduksi Campak pada tingkat Puskesmas dilakukan dengan cara kenaikan sebagai berikut:
a)  Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) Imunisasi untuk mengetahui pencapaian cakupan imunisasi.
b)  Pemetaan kasus Campak untuk mengetahui penyebaran lokasi kasus Campak.
c)  Pemantauan data kasus Campak untuk melihat kecenderungan kenaikan kasus Campak menurut waktu dan tempat.
d)  Pemantauan kecenderungan jumlah kasus Campak yang ada untuk melihat dampak imunisasi Campak.
Evaluasi kegiatan reduksi Campak dilakukan dengan menggunakan beberapa indikator yaitu (Depkes RI, 2002):
1)  Cakupan imunisasi tingk3at desa/kelurahan. Apakah cakupan imunsasi Campak sudah > 90%.
2)  Jumlah kasus Campak (laporan W2). Diharapkan kelengkapan laporan W2 > 90%.
3)  Indikator manajemen kasus Campak dengan kecepatan rujukan. Diharapkan CFR < 3%.
4)  Indikator tindak lanjut hasil penyelidikan. Dimana cakupan sweeping hasil imunisasi di daerah potensial KLB > 90%, dan cakupan sweeping vitamin A dosis tinggi > 90%.

DAFTAR PUSTAKA
Acmadi,U.F. 2008. Faktor – Faktor Penyebab Penyakit Menular dalam Lingkungan Rumah Tangga di Jakarta. Lembaga Penelitian UI. Jakarta.
Bambang, 2008. Analisis Efektifitas Reduksi Campak di Indonesia. www.digilib.litbang.depkes.go.id diakses 19 Mei 2015.
Chin, 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Centres for Disease Control and Prevention, Atlanta, USA .
Chin J. 2006. Control of Communicable Diseases Manual. Alih Bahasa, I Nyoman Kandun, Edisi 17, Cetakan II, CV Infomedika, Jakarta.
______. 2007. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Edisi 17, Cetakan II. CV Infomedika. Jakarta.
Eurosurveillance. 2003. Measles in Europe in 2002. www.eurosurveillance.org. diakses 20 Mei 2015.
Depkes RI. 2002. Pedoman Surveilans dan Respon KLB dalam Rangka Reduksi Campak di Indonesia. Jakarta.
______. 2006. Petunjuk Teknis Kampanye Imunisasi Campak Tahun 2006. Jakarta.
Haanein LR, Pattison JR. 2002. A Practical Guide to Clinical Virology,Second Edition. John Wiley & Sons. England.
Hardi. 2008. Faktor Resiko Kejadian Campak pada balita di Desa Samangut Kecamatan Buntut Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2008.
Hidayat,A. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika, Surabaya.
Kemenkes RI. 2010. Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Ditjen PP & PL. Jakarta.
Nurani, D.S, Ginanjar, P., S.D., Lintang. 2012. Gambaran Epidemiologi Kasus Campak Di Kota Cirebon Tahun 2004-2011. Cirebon.
Marniasih, W. 2012. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Campak di Wilayah Kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012.
Mukono. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University Press. Surabaya.
Pudjiastuti. 1998. Kualitas Udara dalam Ruang. Dirjen Dikti. Departemen Pendididkam dan Kebudayaan RI. Jakarta.
Richman DD, Whitley RJ, Hayden FG. 2002. Clinical Virology 2nd ed. Washington. ASM Press.
Sarudji, D. 2010. Kesehatan Lingkungan. Karya Darmawati. Bandung.
Soedarto. 1995. Penyakit – penyakit Infeksi di Indonesia. Wijaya Medika. Jakarta
_______. 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. AirLangga University Press. Surabaya.
Yuliana, Amanda, H. 2013. Hubungan Lingkungan Rumah dan Status Imunisasi Terhadap Kejadian Kasus Campak pada Balita di Desa Hutaimbaru Kecamatan Barumun Kabupaten Padang Lawas Tahun 2013. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wahab, S. 2002. Sistem Imun, Imunisasi dan Penyakit Imun. Widya Mediak, Jakarta
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya). Erlangga. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar