1. Definisi Campak
Penyakit campak dikenal juga
dengan istilah morbilli dalam bahasa latin dan meales dalam bahasa Inggris.
Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus
dan dapat mendatangkan komplikasi serius, dengan gejala-gejala eksanterm akut,
demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernafasan,
gejala – gejala mata, kemudian diikuti erupsi makupopular yang berwarna merah
dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit (Carol, 2007).
Penyakit Campak
adalah yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah, penyakit ini dapat
dicegah dengan pemberian imunisasi campak. Tanpa program imunisasi, 90% dari
mereka yang mencapai usia 20 tahun pernah menderita Campak. Dengan cakupan
Campak yang mencapai lebih dari 90% dan merata sampai ke tingkat desa
diharapkan jumlah kasus Campak akan menurun oleh karena terbentuknya kekebalan
kelompok (Depkes RI, 2010).
Campak
adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh virus.
Campak disebut disebut juga rubeola, morbili, atau measles. Penyakit ini ditandai dengan gejala awal demam, batuk,
pilek dan kongjungtivis yang kemudian diikuti dengan bercak kemerahan pada
kulit (rash). Campak biasanya menyerang anak-anak dengan derajat ringan sampai
sedang. Penyakit ini dapat meninggalkan gejala sisa kerusakan neurologis akibat
peradangan otak (ensefalitis) (Widoyono, 2011).
Gejala klinis
penyakit campak adalah demam > 38° selama 3 hari atau lebih disertai bercak
kemerahan berbentuk maku popular, batuk, pilek atau mata merah, khas ditemukan
bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam (Soedarto,2004).
Tersangka KLB yaitu adanya 5 atau lebih kasus
klinis dalam waktu 4 minggu berturut – turut yang terjadi mengelompok dan
dibuktikan adanya hubungan dengan epidemiologi. Kriteria KLB campak yang
diambil adalah 5 orang atau lebih penderita suspek campak dalam 1 wilayah desa
dalam 1 peroide waktu bulan yang sama (Depkes RI, 1994).
Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam keluar
semakin baik. Bahkan ada upaya dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya
ruam, dan ada pula kepercayaan bahwa penyakit Campak akan berbahaya bila ruam
tidak keluar pada kulit sebab ruam akan muncul dirongga tubuh lain seperti
dalam tenggorokan, paru-paru, perut atau usus. Hal ini diyakini akan
menyebabkan sesak napas atau diare yang dapat menyebabkan kematian (Chin,
2007).
Penyakit Campak adalah yang sangat potensial untuk
menimbulkan wabah, penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
Campak. Tanpa imunisasi, 90% dari mereka yang mencapai usia 20 tahun pernah
menderita Campak. Dengan cakupan Campak yang mencapai lebih dari 90% dan merata
sampai ke tingkat desa diharapkan jumlah kasus Campak akan menurun oleh karena
terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity) (Chin, 2007).
2.
Penyebab Penyakit Campak
Penyakit Campak disebabkan
oleh virus campak yang termasuk golongan paramyxovirus. Virus ini
berbentuk bulat dengan tepi yang kasar dan begaris tengah 140 milimikron,
dibungkus oleh selubung luar yang terdiri dari lemak dan protein, yang dalamnya
terdapat nulkeokapsid yang bulat lonjong terdiri dari bagian protein yang
mengelilingi asam nukleat (RNA), merupakan struktur heliks nucleoprotein yang berada dari myxovirus.
Selubung luar sering menunjukan tonjolan pendek, satu protein yang berada di
selubung luar muncul sebagai hemaglutinin (Depkes RI, 1994).
Struktur virus
penyebab campak mirip dengan virus penyebab parotitis epidemis dan
parainfluenza. Setelah timbulnya ruam kulit, virus aktif dapat ditemukan pada
secret nasofaring, darah dan air kencing dalam waktu sekitar 34 jam pada suhu
kamar. Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada temperature 0°C
dan selama 15 minggu pada sediaan beku. Di luar tubuh manusia virus ini mudah
mati. Pada suhu kamar sekalipun, virus ini akan kehilangan infektivitasnya
sekitar 60% selama 3-5 hari. Virus
campak mudah campak oleh sinar ultraviolet (Widoyono, 2011).
3. Sifat Virus Campak
Virus campak
adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan yang kuat, apabila berada
diluar tubuh manusia virus campak akan mati. Pada temperature kamar virus
campak kehilangan 60% sifat infeksitasnya selama 3 – 5 hari. Tanpa media
protein virus campak hanya akan hidup selama 2 minggu dan hancur oleh sinar
ultra violet, Virus Campak dapat tumbuh dengan cepat dan mencapai maksimum
selama 2 – 4 hari (Depkes RI, 1994).
Agent Campak adalah measles virus yang
termasuk dalam famili paramyxoviridae anggota genus morbilivirus.
Virus Campak sangat sensitif terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi
tidak aktif pada suhu 37 derajat celcius, bila dimasukkan kedalam lemari es
selama beberapa jam dan pembekuan lambat maka infektifitasnya akan hilang, campak
biasanya ditularkan melalui udara saat penderita batuk atau bersin, campak
merupakan infeksi manusia yang paling mudah ditularkan dengan berada didalam
ruangan yang sama dengan seseorang penderita campak dapat menyebabkan infeksi
(Chin, 2007).
4. Cara Penularan
Penyakit Campak
Virus campak ditularkan dari
orang ke orang, manusia
merupakan satu-satunya reservoir penyakit campak. Virus campak berada di secret
nasoparing dan didalam darah minimal selama masa tunas dan dalam waktu yang
singkat setelah timbul ruam. Penularan terjadi melalui udara dengan penyebaran
droplet, kontak langsung dengan sekresi
hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Penularan dapat terjadi
mulai dari hari pertama sebelum munculnya ruam, antara 1 – 2 hari sebelum
timbulnya gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Dengan masa inkubasi
berkisar antara 7 – 8 hari atau rata – rata 10 hari (Chin, 2007).
5. Epidemiologi Campak
a. Distribusi Penyakit Campak
1) Orang
Campak adalah penyakit yang
sangat menular yang dapat menginfeksi anak – anak pada usia dibawah 15 bulan,
anak usia sekolah atau kadang kala pada remaja dan dewasa. Penyebaran penyakit
campak berdasarkan umur berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, tergantung
dari kepadatan penduduknya, terisolasi atau tidaknya daerah itu. Pada kelompok
dan masyarakat yang lebih kecil, epidemik cenderung terjadi lebih luas dan
berat. Setiap orang yang telah terkena campak akan memiliki imunitas seumur
hidup (Chin, 2007).
2) Tempat
Berdasarkan tempat
penyebaran penyakit campak berbeda, dimana pada daerah perkotaan siklus
epidemik campak terjadi setiap 2 – 4 tahun sekali, sedangkan di daerah pedesaan
(terpencil) penyakit campak jarang terjadi, tetapi bila sewaktu – waktu terjadi
penyakit campak maka serangan dapat bersifat wabah dan menyerang kelompok umur
yang rentan (Depkes RI, 2009).
3) Waktu
Virus campak menagalami
keadaan yang paling stabil pada kelembaban dibawa 40%. Udara yang kering
menimbulkan efek positif pada virus dan meningkatkan penyebaran di rumah yang
memiliki alat penghangat ruangan seperti pada musim dingin di daerah yang
memiliki 4 musim, lain halnya dengan di Negara tropis dimana kebanyakan kasus
terjadi pada musim panas. Ketika virus menginfeksi populasi yang belum
mendapatkan kekebalan atau vaksinasi maka 90-100% akan menjadi sakit dan
menunjukkan gejala klinis (Haaneim, 2002).
Dari hasil penelitian oleh Jusak di rumah sakit
umum daerah Dr. Sutomo, ditemukan campak di Indonesia sepanjang tahun, dimana
peningkatan kasus dapat terjadi pada bulan maret dan mencapai puncak pada bulan
Mei, Agustus, September (Depkes RI, 1994).
b. Determinan
Penyakit Campak
1) Host
a) Status
Imunisasi
Imunisasi adalah
usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam
tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk
merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan
(misalnya vaksin BCG, DPT, dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin
polio) (Depkes RI, 2004).
Imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga kelak ia
terpapar antigen yang serupa tidak pernah terjadi penyakit. Imunisasi biasanya
lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka
masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit
berbahaya (Wahab, 2002).
Tujuan memberikan imunisasi
adalah untuk meningkatkan kekebalan anak terhadap penyakit sehingga dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan
akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Balita yang tidak mendapat
imunisasi campak kemungkinan kena penyakit campak sangat besar. Pemberian
imunisasi pada masa bayi akan menurunkan penularan agen infeksi dan mengurangi
peluang seseorang yang rentan untuk terpajan pada agen tersebut (Chin, 2000).
Imunisasi campak
merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit campak pada anak
karena termasuk penyakit menular. Kandungan vaksin ini adalah virus yang
dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali pada umur
9-11 bulan. Cara pemberian imunisasi campak ini diberikan melalui subkutan.
Imunisasi ini mempunyai efek samping seperti terjadinya ruam pada tempat suntikan
dan panas. Angka kejadian campak juga sangat tinggi dalam memengaruhi angka
kesakitan dan kematian anak. Campak lebih banyak di derita pada balita dan anak
usia sekolah, karena tubuhnya yang masih labih sehingga rentan terhadap
penularan penyakit campak (Hidayat, 2008).
Dari hasil penyelidikan tim Ditjen PPM & PLP
dan fakulas Kedokteran UI tentang KLB campak di desa Cinta Manis banyuasin
Sumatera Selatan, ditemukan balita yang tidak mendapatka imunisasi campak
mempunyai resiko 5 kali lebih besar untuk terkena campak disbanding balita yang
mendapat imunisasi (Yuliana, 2013).
b)
Status Gizi
Balita dengan status gizi
kurang mempunyai resiko lebih tinggi untuk terkena penyakit campak dari pada
balita yang gizi baik. Seperti penelitian Sulung di puskesmas Kori Kecamatan
Kodi Utaran kabupaten smatera barat dengan desain cross sectional terhadap anak
berumur 6 bulan – 15 tahun mendapatkan hasil bahwa kejadian campak ada
hubungannya dengan status gizi dimana anak dengan status gizi kurang mempunyai
resiko 2,9 kali lebih besar untuk terkena campak.
2)
Lingkungan
Virus campak sangat mudah
menular, lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab penularan penyakit
campak, faktor – faktor lingkungan tersebut adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan dan
keterjangkauan Pelayanan Kesehatan, Desa terpencil, pedalaman, daerah sulit,
daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan khususnya imunisasi, adalah
merupakan daerah yang rawan terhadap penularan penyakit campak (Mukono, 2006).
Penelitian Marniasih di Wilayah kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan
bahwa faktor yang berhubungan dengan kejadian campak adalah kondisi ventilasi
dengan p-value=0,016 dan penelitian Hardi di Desa Semangut Kecamatan Buntut
Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Selatan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara faktor lingkungan, meliputi kepadatan Hunian (p=0,040) dan luas
Ventilasi (p=0,0001), sehingga di sarankan agar menyediakan program rumah sehat
terutama di daerah potensial wabah.
a)
Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian merupakan
persemaian subur bagi virus, sekaligus sarana eksperimen rekayasa genetik
secara ilmiah (Acmadi, 2008). Kepadatan huniaan dapat dapat mempermudah
penularan yang menular melalui udara, terutama penyakit campak yang
penularannya terjadi saat percikan ludah atau cairan yang keluar ketika penderita
bersin.
Menurut
Pudjiastuti (1998) kepadatan hunian juga mempengaruhi kualitas udara dalam
ruangan. Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah
penghuninya. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat
udara dalam rumah mengalami pencemaran oleh karena CO2 dalam rumah
akan cepat meningkatkan dan akan menurunkan kadar O2 dalam rumah.
Luas bangunan
yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan over crowded,
hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurang konsumsi O2, juga bila
salah satu anggota keluarga terkena infeksi penyakit menular akan menularkan
kepada anggota keluarga yang lain (Mukono, 2006).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
luas kamar tidur minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan lebih
dari 2 orang tidur dalam satu ruangan.
b) Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai
fungsi antara lain menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar.
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengluaran udara kotor
secara alamiah atau mekanis harus cukup, ventilasi bermanfaat untuk sirkulasi
udara dalam ruangan serta mengurangi kelembaban, suhu ruangan dalam rumah yang
ideal adalah berkisar antara 18 – 10°C. Hal ini berarti keseimbangan O2
yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi
akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah sehingga kadar CO2
yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Di samping itu tidak cukupnya
ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini
akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri dan virus penyebab
penyakit (Mukono, 2006).
Menurut Soedarto
(1995) Ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan transmisi melalui udara
dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau
tenggorokan dari orang-orang yang terinfeks Secara umum, penilaian ventilasi
rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah
dengan menggunakan role meter.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/ 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Menurut
Achmadi, ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain
mengencerkan konsntrasi debu ataupun kotoran terbawa keluar dan mati terkena
sinar ultraviolet. Ventilasi juga merupakan tempat untuk masuknya cahaya
ultraviolet ke dalam rumah. Pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah
berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya gas CO2, adanya bagu
pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembaban udara bertambah. Kecepatan
udara dikatakan sedang jika gerak udara 5 – 20 cm per detik atau pertukaran
udara bersih antara 25 - 30 cfm ( cubic feet per minute ) untuk setiap
yang berada di dalam ruangan.
c) Pencahayaan
Pencahayaan merupakan salah
satu faktor untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang aman dan nyaman dan
berkaitan erat dengan produktivitas manusia. Pencahayaan yang
baik memungkinkan orang dapat melihat objek-objek yang dikerjakannya secara
jelas dan cepat (Mukono, 2006).
Virus campak
tidak memiliki daya tahan yang kuat. Pada temperature kamar virus campak
kehilngan 60% sifat infektisitasnya selama 3 – 5 hari dan akan hancur oleh
sinar matahari. Cahaya buatan yaitu sumber cahaya yang bukan alamiah seperti
lampu minyak tanah, listrik, lilin dan sebagainya (Mukono, 2006). Sinar
matahari merupakan pencahayaan alamiah mampu membunuh kuman pathogen. Cahaya
yang cukup untuk penerangan ruangan di dalam rumah merupakan kebutuhan
kesehatan manusia, penyakit campak berkaitan erat dengan ventilasi dan
pencahayaan rumah (Achmadi, 2008).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 829/Menkes/SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,
pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak
menyilaukan mata.
d)
Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan
Desa terpencil, pedalaman,
daerah sulit, daerah yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan khususnya
imunisasi, adalah merupakan daerah yang rawan terhadap penularan penyakit
campak, karena dengan keadaan yang demikian masyarakat rata – rata tidak
membawa anak mereka untuk berobat ke Pelayanan Kesehatan (Mukono, 2006).
6.
Gejala Klinik
Penyakit Campak
a.
Stadium Kataral (Prodornal)
Biasanya berlangsung 4 – 5 hari, ditandai dengan
panas, lesu, batuk-batuk dan mata merah. Pada akhir stadium, kadang timbul
bercak koplik (koplik spot) pada mukosa pipi / daerah mulut,tetapi gelaja khas
ini tidak selalu dijumpai. Bercak koplik ini berupa bercak putih kelabu,
besarnya seujung jarum pentul yang dikelilingi daerah kemerahan.
b.
Stadium Erupsi
Stadium
ini berlangsung setelah 4 – 7 hari,ditandai dengan batuk pilek bertambah, suhu
badan meningkat oleh karena panas tinggi,kadang-kadang anak kejang – kejang,
disusul timbulnya rash (bercak merah yang spesifik). Rash timbul secara khusus
yaitu mulai timbul didaerah belakang telinga, tengkuk, kemudian pipi, menjalar
ke seluruh muka, dan akhirnya ke badan. Timbul rasa gatal dan muka bengkak.
c. Stadium
Konvalensi (Penyembuhan)
Erupsi (bercak
– bercak) berkurang, meningglkan bekas kecoklatan yang disebut
hiperpigmentation, tetapi lama – lama akan hilang sendiri, panas badan akan
menurun sampai normal bila tidak ada komplikasi.
7. Komplikasi Penyakit Campak
Komplikasi terjadi karena
adanya penurunan daya tahan tubuh secara umum sehingga mudah terjadi infeksi
tumpangan. Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder antara
lain:
a. Bronchopneumonia
Bronchopneumonia
dapat terjadi apabila virus campak menyerang epitel salura pernafasan sehingga
terjadi peradangan disebut radang paru-paru. Bronchopneumonia dapat disebabkan
virus vampak sendiri atau oleh pneumococcus, strepcoccus, dan staphylococcus
yang menyerang epitel pada epitl saluran pernapasan.
b. Otitis Media Akut
Otitis media
akut dapat disebabkan invasi virus campak ke dalam telinga tengah. Gendang
telinga biasanya hyperemia pada fase prodomal dan stadium erupsi.
c.
Ensefalitis
Ensefalitis
adalah komplikasi neurologic yang paling jarang terjadi,biasanya terjadi pada
hari ke 4 – 7 setelah terjadi ruam. Kejadian ensefalitis sekitar 1 dalam 1.000
kasus campak. Terjadinya ensefalitis dapat melalui mekanisme imunologik maupun
melaluii invasi langsung virus campak ke dalam otak.
d. Enteritis
Enteritis
terdapat pada beberapa anak yang menderita campak, penderita mengalami muntah
mencret pada fase prodormal. Keadaan ini akibat invasi virus ke dalam sel
mukosa usus (Agus, 2005).
8. Diagnosis Penyakit Campak
Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnese,
gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium (Widoyono, 2011).
a. Kasus Campak Klinis
Kasus Campak klinis adalah kasus dengan gejala bercak kemerahan di
tubuh berbentuk macula popular selama tiga hari atau lebih disertai panas badan
38ºC atau lebih (terasa panas) dan disertai salah satu gejala bentuk pilek atau
mata merah (WHO).
b. Kasus Campak Konfirmasi
Kasus
Campak konfirmasi adalah kasus Campak klinis disertai salah satu kriteria
yaitu:
1) Pemeriksaaan laboratorium serologis (IgM positif atau kenaikan titer
antiantibodi 4 kali) dan atau isolasi virus Campak positif.
2) Kasus Campak yg mempunyai kontak langsung dengan kasus konfirmasi,
dalam periode waktu 1 – 2 minggu.
9. Pencegahan Penyakit Campak
a. Pencegahan
Tingkat Awal (Primordial Preventation)
Pencegahan
tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit yang masih dalam tahap
prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang dapat dilakukan dengan
memantapkan status kesehatan balita dengan imunisasi dan memberikan makanan
bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh.
b. Pencegahan
Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan ini
berupaya upaya untuk mencegah seseorang terkena penyakit campak.
1) Memberi penyuluhan kepada masyarakat
mengenai pentingnya pelaksanaan imunsasi campak untuk semua bayi.
2) Imunisasi dengan virus campak hidup
yang dilemahka, yang diberikan pada semua anak berumur 9 bulan sangat
dianjurkan karena dapat melindungi sampai jangka waktu 4 – 5 tahun.
c.
Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan
tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin untuk
mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian pencegahan ini
sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat progrefisitas penyakit,
menceah komplikasi dam membatasi kecacatan.
d. Pencegahan
Tingkat Ketiga (Tertier Prevention)
Pencegahan
tingkat ketiga bartujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan kematian.
Adapun tindaka yang dilakukan adalah:
1) Penanganan akibat lanjutan dari
komplikasi.
2) Pemberian vitamin A dosis tinggi Karen
cadangan vitamin A akan turun secara cepat terutam pada anak yang kurang gizi
yang akan menurunkan imunitas mereka (Depkes RI, 1997).
10. Pengobatan Penyakit Campak
Penderita Campak tanpa
komplikasi dapat berobat jalan. Tidak ada obat yang secara langsung dapat
bekerja pada virus Campak. Anak memerlukan istirahat di tempat tidur, kompres
dengan air hangat bila demam tinggi. Anak harus diberi cukup cairan dan kalori,
sedangkan pasien perlu diperhatikan dengan memperbaiki kebutuhan cairan, diet
disesuaikan dengan kebutuhan penderita dan berikan vitamin A 100.000 IU per
oral satu kali. Apabila terdapat malnutrisi pemberian vitamin A ditambah
dengan 1500 IU tiap hari. Dan bila terdapat komplikasi, maka dilakukan
pengobatan untuk mengatasi komplikasi yang timbul seperti:
a. Otitis media akut, sering kali
disebabkan oleh karena infeksi sekunder, maka perlu mendapat antibiotik
kotrimoksazol-sulfametokzasol.
b. Ensefalitis, perlu direduksi jumlah pemberian
cairan ¾ kebutuhan untuk mengurangi oedema otak, di samping peomberian
kortikosteroid, perlu dilakukan koreksi elektrolit dan ganguan gas darah.
c.
Bronchopneumonia,
diberikan antibiotik
ampisilin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, sampai gejala sesak berkurang dan
pasien dapat minum obat per oral. Antibiotik diberikan sampai tiga hari demam
reda.
d. Enteritis, pada keadaan berat anak mudah
dehidrasi. Pemberian cairan intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat
enteritis dengan dehidrasi.
11.
Penanggulangan Campak
Pada sidang
CDC/PAHO/WHO, tahun 1996 menyimpulkan bahwa penyakit Campak dapat dieradikasi,
karena satu-satunya pejamu/reservoir Campak hanya pada manusia serta
tersedia vaksin dengan potensi yang cukup tinggi yaitu effikasi vaksin 85%
dan dirperkirakan eradikasi dapat dicapai 10 – 15 tahun setelah eliminasi. Word
Health Organisation (WHO) mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya
eradikasi (pemberantasan) penyakit Campak dengan tekanan strategi yang
berbeda-beda pada setiap tahap yaitu (Depkes RI, 1994):
a. Tahap Reduksi
Tahap ini dibagi dalam 2 tahap:
1) Tahap Pengendalian Campak
Pada tahap ini
ditandai dengan upaya peningkatan cakupan imunisasi Campak rutin dan upaya
imunisasi tambahan di daerah dengan morbitas Campak yang tinggi. Daerah
ini masih merupakan daerah endemis Campak, tetapi telah terjadi penurunan
insiden dan kematian, dengan pola epidemiologi kasus Campak menunjukkan 2
puncak setiap tahun.
2) Tahap Pencegahan KLB
Cakupan
imunisasi dapat dipertahankan tinggi ≥ 80% dan merata, terjadi penurunan tajam
kasus dan kematian, insidens Campak telah bergeser kepada umur yang lebih tua,
dengan interval KLB antara 4-8 tahun.
b. Tahap Eliminasi
Cakupan
imunisasi sangat tinggi ≥ 95% dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah
sudah sangat kecil jumlahnya, kasus Campak sudah sangat jarang dan KLB hampir
tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak terlindung) harus
diselidiki dan diberikan imunisasi Campak.
c.
Tahap
Eradikasi
Cakupan
imunisasi sangat tinggi dan merata, serta kasus Campak sudah tidak ditemukan.
Pada sidang The World Health Assambley (WHA) tahun 1998, menetapkan
kesepakatan Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Tetanus Noenatorum (ETN) dan
Reduksi Campak (RECAM). Kemudian pada Technical Consultative Groups
(TGC) Meeting di Dakka Bangladesh tahun 1999, menetapkan bahwa reduksi
campak di Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan Kejadian Luar
Biasa (KLB).
Strategi
operasional yang dilakukan ditingkat Puskesmas untuk mencapai reduksi Campak
tersebut adalah:
1) Imunisasi rutin pada bayi 9 – 11 bulan
(UCI Desa ≥ 80%) .
2) Imunisasi tambahan (suplemen).
a) Catch up compaign : memberikan imunisasi Campak sekali
saja pada anak SD kelas 1 s/d 6 tanpa memandang status imunisasi.
b) Selanjutnya untuk tahun berikutnya
secara rutin diberikan imunisasi Campak pada murid kelas 1 SD (bersama dengan
pemberian DT) pelaksanaan secara rutin dikenal dengan istilah BIAS (bulan
imunisasi anak sekolah) Campak. Tujuannya adalah mencegah KLB pada anak sekolah
dan memutuskan rantai penularan dari anak sekolah kepada balita.
c) Crash program Campak : memberikan imunisasi Campak pada
anak umur 6 bulan sampai dengan > 5 tahun tanpa melihat status imunisasi di
daerah risiko tinggi campak.
d) Ring vaksinasi : Imunisasi Campak diberikan dilokasi
pemukiman di sekitar lokasi KLB dengan umur sasaran 6 bulan (umur kasus campak
termuda) tanpa melihat status imunisasi.
3) Surveilans (surveilan rutin, system
kewaspadaan dini dan respon kejadian luar biasa).
4) Penyelidikan dan penanggulangan
kejadian luar biasa.
Setiap
kejadian luar biasa harus diselidiki dan dilakukan penanggulangan secepatnya
yang meliputi pengobatan simtomatis pada kasus, pengobatan dengan antibiotika
bila terjadi komplikasi, pemberian vitamin A dosis tinggi, perbaikan gizi dan
meningkatkan cakupan imunisasi campak/ring vaksinasi (program cepat, sweeping)
pada desa-desa risiko tinggi.
5) Pemeriksaan laboratorium
Pada tahap
reduksi Campak dengan pencegahan kejadiaan luar biasa: pemeriksaan laboratorium
dilakukan terhadap 10 – 15 kasus baru pada setiap kejadiaan luar biasa.
Pemantauan kegiatan reduksi Campak pada tingkat Puskesmas dilakukan dengan cara
kenaikan sebagai berikut:
a) Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)
Imunisasi untuk mengetahui pencapaian cakupan imunisasi.
b) Pemetaan kasus Campak untuk mengetahui
penyebaran lokasi kasus Campak.
c) Pemantauan data kasus Campak untuk
melihat kecenderungan kenaikan kasus Campak menurut waktu dan tempat.
d) Pemantauan kecenderungan jumlah kasus
Campak yang ada untuk melihat dampak imunisasi Campak.
Evaluasi
kegiatan reduksi Campak dilakukan dengan menggunakan beberapa indikator yaitu
(Depkes RI, 2002):
1) Cakupan imunisasi tingk3at desa/kelurahan.
Apakah cakupan imunsasi Campak sudah > 90%.
2) Jumlah kasus Campak (laporan W2).
Diharapkan kelengkapan laporan W2 > 90%.
3) Indikator manajemen kasus Campak
dengan kecepatan rujukan. Diharapkan CFR < 3%.
4) Indikator tindak lanjut hasil
penyelidikan. Dimana cakupan sweeping hasil imunisasi di daerah potensial KLB
> 90%, dan cakupan sweeping vitamin A dosis tinggi > 90%.
DAFTAR PUSTAKA
Acmadi,U.F.
2008. Faktor – Faktor Penyebab Penyakit Menular dalam Lingkungan Rumah
Tangga di Jakarta. Lembaga Penelitian UI. Jakarta.
Bambang,
2008. Analisis Efektifitas Reduksi Campak di Indonesia. www.digilib.litbang.depkes.go.id
diakses 19 Mei 2015.
Chin,
2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Centres for Disease
Control and Prevention, Atlanta, USA .
Chin
J. 2006. Control of Communicable Diseases Manual. Alih Bahasa, I Nyoman Kandun, Edisi 17,
Cetakan II, CV Infomedika, Jakarta.
______.
2007. Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Edisi 17, Cetakan II. CV
Infomedika. Jakarta.
Depkes
RI. 2002. Pedoman Surveilans dan Respon KLB dalam Rangka Reduksi
Campak di Indonesia. Jakarta.
______.
2006. Petunjuk Teknis Kampanye Imunisasi Campak Tahun 2006. Jakarta.
Haanein
LR, Pattison JR. 2002. A Practical Guide to Clinical Virology,Second
Edition. John Wiley & Sons. England.
Hardi.
2008. Faktor Resiko Kejadian Campak pada balita di Desa Samangut Kecamatan
Buntut Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2008.
Hidayat,A.
2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba
Medika, Surabaya.
Kemenkes
RI. 2010. Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Ditjen PP & PL. Jakarta.
Nurani,
D.S, Ginanjar, P., S.D., Lintang. 2012. Gambaran Epidemiologi Kasus Campak
Di Kota Cirebon Tahun 2004-2011. Cirebon.
Marniasih,
W. 2012. Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Campak di Wilayah
Kerja Puskesmas Natar Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012.
Mukono.
2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University Press.
Surabaya.
Pudjiastuti.
1998. Kualitas Udara dalam Ruang. Dirjen Dikti. Departemen Pendididkam
dan Kebudayaan RI. Jakarta.
Richman DD, Whitley RJ, Hayden FG.
2002. Clinical Virology 2nd
ed. Washington. ASM Press.
Sarudji,
D. 2010. Kesehatan Lingkungan. Karya Darmawati. Bandung.
Soedarto.
1995. Penyakit – penyakit Infeksi di Indonesia. Wijaya Medika. Jakarta
_______.
2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. AirLangga University Press.
Surabaya.
Yuliana, Amanda, H. 2013. Hubungan
Lingkungan Rumah dan Status Imunisasi Terhadap Kejadian Kasus Campak pada
Balita di Desa Hutaimbaru Kecamatan Barumun
Kabupaten Padang Lawas Tahun 2013. Skripsi Universitas Sumatera Utara. Medan.
Wahab,
S. 2002. Sistem Imun, Imunisasi dan Penyakit Imun. Widya Mediak, Jakarta
Widoyono. 2011. Penyakit
Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya).
Erlangga. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar