1. Definisi Stroke
Menurut World Health Organization (WHO) (1988) seperti
yang dikutip dalam Junaidi (2011), stroke
is a rapidly developing clinical sign of focal or global disturbance of
cerebral function with symptoms lasting 24 hours or longer, or leadding to
death with no apparent cause other than vascular signs. Stroke adalah
terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan
akut yang berlangsung lebih dari 24 jam, akibat gangguan aliran darah otak.
Stroke merupakan penyakit gangguan fungsional otak akut
fokal maupun global akibat terhambatnya aliran darah ke otak karena perdarahan
(stroke hemoragik) ataupun sumbatan (stroke iskemik) dengan gejala dan tanda
sesuai bagian otak yang terkena, yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
cacat, atau kematian. Gangguan peredaran darah
otak berupa tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh
darah di otak. Otak yang seharusnya mendapat pasokan oksigen dan zat makanan
menjadi terganggu. Kekurangan pasokan oksigen ke otak akan memunculkan kematian
sel saraf (neuron). Gangguan fungsi otak ini akan memunculkan gejala stroke
(Junaidi, 2011).
Stroke atau cedera serebrovaskuler (CVA) adalah
kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah kebagian
otak (Smeltzer & Bare, 2002). Stroke adalah cedera otak yang berkaitan
dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat terjadi karena pembentukan
trombus disuatu arteri serebrum, akibat emboli yang mengalir ke otak dari
tempat lain di tubuh, atau akibat perdarahan otak (Corwin, 2001 dalam Nastiti,
2012).
Stroke adalah suatu penyakit defisit
neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak, terjadi
secara mendadak dan menimbulkan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah
otak yang terganggu (Bustan, 2007). Dari semua definisi stroke di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa stroke adalah suatu serangan mendadak
yang terjadi di otak dan dapat mengakibatkan kerusakan pada sebagian atau
secara keseluruhan dari otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran pada
pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak, biasanya berlangsung lebih dari 24
jam. Jadi, batasan stroke adalah segala sesuatu gangguan pada otak yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah ke otak, bukan karena kecelakaan atau
trauma di otak.
2.
Epidemiologi
Stroke
Hasil SKRT 1986 dan 2001 memperlihatkan adanya
peningkatan proporsi angka kesakitan pada penyakit kardiovaskuler, jantung
iskemik, dan stroke (Depkes, 2007). Stroke dapat ditemukan pada semua golongan
umur, akan tetapi sebagian besar ditemukan pada golongan umur di atas 55 tahun.
Insiden stroke pada usia 80-90 tahun
adalah 300 per 10.000 penduduk, dimana mengalami peningkatan 100 kali lipat
dibandingkan dengan insiden stroke pada
usia 30-40 tahun sebesar 3 per 10.000 penduduk (Bustan, 2007). Dari data di
atas ditemukan kesan bahwa kejadian stroke meningkat sesuai dengan peningkatan
umur. Pada dasarnya stroke dapat terjadi
pada usia berapa saja bahkan pada usia muda sekalipun bila dilihat dari
berbagai kelainan yang menjadi pencetus serangan stroke, seperti aneurisma
intrakranial, malformasi vaskular otak, kelainan jantung bawaan, dan lainnya
(Wahjoepramono, 2005).
Insiden stroke bervariasi antar negara dan tempat.
Menurut hasil penelitian WHO dari 16 pusat riset di 12 negara maju dan
berkembang pada Mei 1971 sampai dengan Desember 1974, diketahui bahwa insiden
stroke yang paling tinggi adalah di Ahita (Jepang) yaitu sebesar 287 per
100.000 populasi per tahun. Sedangkan, insiden
stroke terendah adalah di Ibadan (Nigeria) sebesar 150 per 100.000
populasi per tahun. Insiden stroke di sebagian besar negara diperkirakan
sebanyak 200 per 100.000 populasi per tahun (Bustan, 2007). Insiden infark otak
dan perdarahan intra serebral meningkat sesuai dengan pertambahan umur,
sedangkan perdarahan subarakhnoid lebih banyak terdapat di golongan umur yang
masih relatif muda (Bustan, 2007).
Hasil SKRT 1984 dilaporkan prevalensi
stroke pada golongan umur 25–34 tahun, 35-44 tahun, dan di atas 55 tahun adalah
6,7; 24,4; 276,3 per 100.000 penduduk. Sedangkan, proporsi stroke di rumah
sakit 27 provinsi pada tahun 1984 sebesar 0,72 dan meningkat menjadi 0,83 pada
tahun 1985. Dan pada tahun 1986, proporsi kasus stroke sebesar 0,96 per 100
penderita (Bustan, 2007). Dari data di atas dapat dilihat bahwa kasus stroke
memperlihatkan tren yang meningkat setiap tahunnya. Selain angka morbiditas
yang terus mengalami peningkatan, angka mortalitas stroke juga tergolong
tinggi, yaitu sebesar 37,3 per 100.000 penduduk pada tahun 1986 (Bustan, 2007).
3.
Patofisiologi
Stroke
Otak merupakan jaringan yang memiliki tingkat
metabolisme paling tinggi. Meskipun massa yang dimiliki hanya sekitar 2 % dari
massa keseluruhan tubuh, jaringan otak menggunakan hingga 20 % dari total curah
jantung (Wahjoepramono, 2005). Aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen ke
otak sangat penting bagi kehidupan dan metabolisme sel-sel otak. Sel otak yang
tidak dialiri aliran darah yang membawa glukosa dan oksigen dapat rusak bahkan
menjadi mati. Ada beberapa kelainan yang
diduga merupakan penyebab stroke pada dewasa muda. Akan tetapi aterosklerosis
diduga sebagai penyebab primer dari penyakit stroke. Aterosklerosis merupakan
bentuk pengerasan pembuluh darah arteri (Hull, 1993 dalam Nastiti, 2012).
Aterosklerosis merupakan kumpulan perubahan patologis
pada pembuluh darah arteri, seperti hilangnya elastisitas dan menyempitnya
lumen pembuluh darah (Junaidi, 2011). Aterosklerosis ini merupakan respon
normal terhadap injury yang terjadi pada lapisan endotel pembuluh darah arteri.
Proses aterosklerosis ini lebih mudah terjadi pada pembuluh darah arteri karena
arteri lebih banyak memiliki sel otot polos dibandingkan vena, dan sel otot
polos tadi lebih banyak membentuk kumpulan plak aterosklerosis. Proses
aterosklerosis ditandai oleh penimbunan lemak yang terjadi secara lambat pada
dinding-dinding arteri yang disebut plak, sehingga dapat memblokir atau
menghalangi sama sekali aliran darah ke jaringan. Bila sel-sel otot arteri
tertimbun lemak maka elastisitasnya akan menghilang dan kurang dapat mengatur
tekanan darah. Akibat lain dari aterosklerosis ini adalah terbentuknya bekuan
darah atau trombus yang melekat pada dinding arteri dan dapat menyebabkan
sumbatan yang lebih berat. Apabila bagian trombus tadi terlepas dari dinding
arteri dan ikut terbawa aliran darah menuju ke arteri yang lebih kecil, maka
hal ini dapat menyebabkan sumbatan pada arteri tersebut. Bagian dari trombus
yang terlepas tadi disebut emboli. Proses aterosklerosis ini dapat terjadi di
semua pembuluh darah organ tubuh, baik pembuluh darah ke jantung, ginjal,
maupun otak (Hull, 1993). Oleh karena itu, aterosklerosis dapat mengakibatkan
serangan jantung, hipertensi, dan stroke. Serangan stroke ini dapat terjadi
apabila proses penyempitan atau aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah
yang menuju ke otak.
Arteri yang lebih mudah terkena kerusakan akibat proses
aterosklerosis ini adalah aorta, arteri koronaria, dan arteri-arteri yang
mensuplai otak dan ginjal (Hull, 1993). Hal ini menunjukkan bahwa betapa
mudahnya aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mensuplai otak,
sehingga dapat mengakibatkan stroke. Penyebab dari aterosklerosis ini tidak
diketahui secara pasti. Kelainan ini dapat diakibatkan oleh kerusakan pada dinding
pembuluh nadi (arteri) karena zat-zat kimia berbahaya seperti karbon monoksida
dalam asap rokok, hipertensi, diabetes melitus, dan yang tersering adalah
hiperlipidemia (kadar kolesterol darah yang tinggi). Risiko aterosklerosis ini
berhubungan dengan kadar LDL dalam darah yang meningkat, yang berasal dari
katabolisme VLDL dan mengangkut 70 % kolesterol serum total. Risiko berhubungan
terbalik dengan kadar HDL, karena HDL membantu membersihkan kolesterol dari
dinding pembuluh darah.
Prevalensi aterosklerosis pada arteri
meningkat sesuai dengan pertambahan usia, maka tidak mengherankan jika stroke
pada dewasa muda yang disebabkan oleh aterosklerosis lebih banyak terjadi pada
usia > 30 tahun. Aterosklerosis diperkirakan menjadi penyebab stroke 7 % - 27
% pada pasien berusia kurang dari 50 tahun (Wahjoepramono, 2005).
Serangan stroke dapat
terjadi secara fokal (sebagian) maupun global (keseluruhan) pada otak. Gejala
fokal dan tanda-tanda gangguan fungsi otak pada stroke akan muncul sesuai
dengan area dari jaringan otak yang mengalami gangguan aliran darah. Pada
sebagian besar kasus stroke iskemik dapat diperoleh informasi yang jelas
mengenai lokasi lesi di bagian otak. Akan tetapi, pada stroke hemoragik
seringkali terjadi berbagai komplikasi perdarahan otak yang menyebabkan
gangguan fungsi otak juga terjadi di daerah selain daerah yang terjadi
perdarahan. Komplikasi ini disebabkan oleh peningkatan tekanan intra kranial,
edema otak, kompresi jaringan otak dan pembuluh darah, dan terdispersinya darah
yang keluar ke berbagai arah. Oleh karena itu, gejala fokal terlokalisasi
biasanya terjadi pada stroke iskemik,
sedangkan pada stroke hemoragik gejala
fokal tidak begitu jelas terlihat dan kurang memberikan prediksi lokal tertentu
(Wahjoepramono, 2005).
4.
Gejala
dan Tanda Stroke
Stroke biasanya terjadi secara mendadak dan sangat
cepat. Pada saat ini pasien membutuhkan pertolongan dan sesegera mungkin dibawa
ke pelayanan kesehatan. Pada saat terjadi serangan stroke, pasien akan
memperlihatkan gejala dan tanda-tanda. Gejala dan tanda yang sering dijumpai
pada penderita dengan stroke akut adalah (Junaidi, 2011):
1.
Adanya serangan defisit neurologis/
kelumpuhan fokal, seperti hemiparesis (lumpuh sebelah badan yang kanan atau
yang kiri saja).
2.
Mati rasa sebelah badan, terasa kesemutan,
atau terbakar.
3.
Mulut atau lidah mencong jika diluruskan.
4.
Sukar bicara atau bicara tidak lancar dan
tidak jelas.
5.
Tidak memahami pembicaraan orang lain.
6.
Kesulitan mendengar, melihat, menelan,
berjalan, menulis, membaca, serta tidak memahami tulisan.
7.
Kecerdasan menurun dan sering mengalami
vertigo (pusing atau sakit kepala).
8.
Menjadi pelupa atau demensia.
9.
Penglihatan terganggu, sebagian lapanagan
pandangan tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan
gelap atau ganda sesaat (hemianopsia).
10.
Tuli satu telinga atau pendengaran
berkurang.
11.
Emosi tidak stabil, seperti mudah menangis
dan tertawa.
12.
Kelopak mata sulit dibuka dan selalu ingin
tertidur.
13.
Gerakan tidak terkoordinasi, seperti
kehilangan keseimbangan.
14.
Biasanya diawali dengan Transient Ischemic
Attack (TIA) atau serangan stroke sementara.
15. Gangguan
kesadaran, seperti pingsan bahkan sampai koma.
5.
Tahapan
Stroke
Dalam perjalanan penyakitnya, stroke memiliki beberapa
fase yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana pengobatan dan pencegahan. Fase
atau tahapan proses sejak stroke akut
sampai fase ke kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut (Junaidi, 2011):
1.
Fase akut berlangsung antara 4-7 hari.
Tujuan pada fase ini adalah pasien selamat dari serangan stroke.
2.
Fase stabilisasi, berlangsung antara 2-4
minggu. Tujuan pada fase ini adalah pasien belajar lagi keterampilan motorik
yang terganggu dan belajar penyesuaian baru untuk mengimbangi keterbatasan yang
terjadi.
3.
Rehabilitasi, yang bertujuan untuk
melanjutkan proses pemulihan untuk mencapai perbaikan kemampuan fisik, mental,
sosial, kemampuan bicara dan ekonomi.
4.
Fase ke kehidupan sehari-hari, dimana
pasien harus menghindari terulangnya stroke akut, biasanya dianjurkan untuk:
Melakukan kontrol tensi secara rutin:
a.
Kendalikan kadar gula darah.
b.
Berhenti merokok.
c.
Diet rendah lemak.
d.
Menghindari risiko terjadinya stress.
e. Terapi
terkait faktor risiko lainnya dan penyempurnaan pemulihan kesehatan serta
mencegah terulangnya serangan stroke.
6.
Klasifikasi
Stroke
Secara
garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke dapat
diklasifikasikan menjadi 2, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik
(Wahjoepramono, 2005).
1.
Stroke Iskemik
Stroke iskemik disebabkan adanya kejadian yang
menyebabkan aliran darah menjadi menurun atau bahkan terhenti sama sekali pada
area tertentu di otak, misalnya karena terjadi emboli atau trombosis
(Wahjoepramono, 2005). Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya aliran darah
menuju otak yang mengakibatkan sel saraf dan sel lainnya mengalami gangguan
karena terhentinya suplai oksigen dan glukosa yang dibawa oleh darah. Penurunan
atau terhentinya aliran darah ini dapat menyebabkan neuron berhenti berfungsi.
Bila gangguan suplai darah tersebut berlangsung hingga melewati batas toleransi
sel, maka akan terjadi kematian sel. Akan tetapi, apabila aliran darah dapat
diperbaiki segera, maka kerusakan yang terjadi dapat sangat minimal.
Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar
dibagi menjadi dua, yaitu akibat trombosis dan akibat emboli. Trombosis
merupakan proses pembekuan darah pada jaringan. Jika trombosis ini terjadi di
dalam pembuluh darah menuju otak, maka bekuan darah tadi dapat menyumbat aliran
darah yang akan mensuplai otak sehingga terjadi
stroke iskemik. Sedangkan emboli adalah segala benda asing yang terlepas
dan mengikuti aliran darah. Emboli dapat berupa trombus atau bekuan darah yang
terlepas, udara, dan lainnya. Emboli yang masuk ke dalam pembuluh darah dan
ikut aliran darah dapat berhenti di suatu tempat sempit yang tidak bisa ia
lewati (Junaidi, 2011).
Hal ini yang biasa menimbulkan penyumbatan aliran darah
dan menjadi penyebab stroke. Diperkirakan sekitar dua pertiga stroke iskemik
disebabkan karena trombosis, sedangkan sepertiganya disebabkan oleh emboli.
Trombosis dan emboli menjadi penyebab stroke iskemik karena dapat mengakibatkan
penyumbatan pada pembuluh darah. Stroke
karena emboli memberikan karakteristik dimana defisit neurologis dapat langsung
mencapai taraf maksimal sejak awal onset gejala muncul (Wahjoepramono, 2005).
Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke iskemik
dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu (Junaidi, 2011):
a.
Transient
Ischemic Attack (TIA) merupakan serangan stroke sementara
yang berlangsung kurang dari 24 jam.
b.
Reversible
Ischemic Neurologic Deficit (RIND) merupakan gejala neurologis
yang akan menghilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari.
c.
Progressing
stroke atau Stroke in
evolution merupakan kelainan atau defisit neurologis yang berlangsung
secara bertahap dari yang ringan samapai yang berat.
d. Completed Stroke merupakan kelainan
neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi.
2. Stroke
Hemoragik
Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa stroke hemoragik merupakan 8-13% dari semua
stroke di USA, 20-30% stroke di Jepang dan Cina. Sedangkan di Asia Tenggara,
kasus stroke hemoragik adalah sebesar 26 % dari semua kasus stroke. Stroke hemoragik adalah stroke yang
disebabkan perdarahan intrakanial non traumatik. Perdarahan intrakranial yang
sering terjadi adalah perdarahan intraserebral (PIS) dan perdarahan
subarachnoid (PSA).
a. Perdarahan
Intraserebral (PIS)
Perdarahan
intraserebral disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga
darah keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak
(Iskandar, 2004). Pada kondisi ini akan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial atau intraserebral, sehingga terjadi penekanan pada struktur otak
atau pembuluh darah otak secara menyeluruh yang mengakibatkan penurunan aliran
darah otak dan berujung pada kematian sel saraf sehingga timbul gejala klinis
defisit neurologis. Perdarahan intraserebral (PIS) ini biasanya terjadi karena
hipertensi yang berlangsung lama, sehingga terjadi kerusakan dinding pembuluh
darah. Faktor pencetus lain adalah stres fisik, emosi, peningkatan tekanan
darah mendadak yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah. 60%-75% PIS
disebabkan oleh hipertensi dan 70% kasus PIS berakibat fatal, terutama apabila
perdarahan luas (masif).
b. Perdarahan
Subarakhnoid (PSA)
Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang
subarakhnoid baik dari tempat lain (subarakhnoid sekunder) maupun dari ruang
subarakhnoid sendiri (subarakhnoid primer) (Junaidi, 2004). Insiden PSA di
negara maju sebesar 10-15 kasus setiap 100.000 penduduk. Umumnya PSA timbul
spontan, 10% disebabkan karena tekanan darah yang naik dan biasanya terjadi
saat sedang melakukan aktivitas. Gejala PSA adalah sebagai berikut (CDK dalam
www.kalbe.co.id, 2011):
1)
Serangan mendadak dengan nyeri kepala hebat
didahului suatu perasaan ringan atau ada sesuatu yang meletus di dalam
kepala.
2)
Kaku kuduk merupakan gejala spesifik yang
timbul beberapa saat kemudian.
3)
Kesadaran dan fungsi motorik jarang
terganggu.
4) Cairan
serebrospinal (CSS) berwarna merah yang menunjukkan perdarahan dengan jumlah
eritrosit lebih dari 1000 /mm3.
7.
Faktor
Risiko Stroke
Stroke
merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor risiko atau biasa
disebut multikausal. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian stroke
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Wahjoepramono, 2005). Faktor risiko
stroke juga dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi, faktor perilaku (primordial), dan faktor sosial dan ekonomi
(Depkes, 2007). Interaksi antara ketiga faktor tersebut dapat menimbulkan
penyakit-penyakit pendukung atau penyakit yang dapat memperberat faktor risiko
untuk terkena stroke.
1. Faktor
Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
adalah faktor risiko yang tidak dapat dilakukan intervensi, karena sudah
merupakan karakteristik dari seseorang dari awal mula kehidupannya. Berikut ini
merupakan faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi.
a. Umur
Umur merupakan faktor risiko stroke, dimana semakin
meningkatnya umur seseorang, maka risiko untuk terkena stroke juga semakin
meningkat. Menurut hasil penelitian pada Framingham Study menunjukkan risiko
stroke meningkat sebesar 20 %, 32%, 83% pada kelompok umur 45-55, 55-64, 65-74
tahun (Wahjoepramono, 2005).
Kemunduran
sistem pembuluh darah meningkat seiring dengan bertambahnya usia hingga makin
bertambah usia makin tinggi kemungkinan mendapat stroke. Dalam statistik faktor
ini menjadi 2 kali lipat setelah usia 55 tahun. Namun bukan berarti stroke hanya terjadi pada kelompok usia
lanjut melainkan stroke juga dapat menyerang berbagai kelompok umur.Kaum usia produktif perlu
waspada terhadap ancaman stroke. Pada usia produktif, stroke dapat menyerang
terutama pada mereka yang gemar mengkonsumsi makanan berlemak dan narkoba
(Purtier, 2012).
b. Jenis
kelamin
Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan pada wanita. Akan tetapi, karena usia harapan hidup
wanita lebih tinggi daripada laki-laki, maka tidak jarang pada studi-studi
tentang stroke didapatkan pasien wanita lebih banyak. Menurut SKRT 1995,
prevalensi penyakit stroke pada laki-laki sebesar 0,2% dan pada perempuan
sebesar 0,1%. Prevalensi stroke di 3 wilayah Jakarta didapatkan bahwa
prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 7,1% dan perempuan sebesar 2,8%
(Monica, 1998 dalam Depkes, 2007).
Pria memiliki resiko terkena stroke lebih besar dari pada
wanita. Resiko stroke pada pria lebih tinggi 20% daripada wanita
(Putri, 2013).
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, kadar kolesterol (Cholesterol Total,
LDL dan Trigliserida) pria agak lebih tinggi dari wanita, sedangkan kadar
kolesterol baik, pria lebih rendah dari wanita. Artinya secara keseluruhan,
pria lebih rentan terhadap aterosklerosis atau terkena stroke dan penyakit
jantung koroner.
c. Riwayat
Penyakit Keluarga
Riwayat
pada keluarga yang pernah mengalami serangan stroke atau penyakit yang
berhubungan dengan kejadian stroke dapat menjadi faktor risiko untuk terserang
stroke juga. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor genetik,
pengaruh budaya, dan gaya hidup dalam keluarga, interaksi antara genetik dan
pengaruh lingkungan (Wahjoepramono, 2005).
d. Ras
Orang
kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki insiden stroke yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (Wahjoepramono, 2005). Di
Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke
dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan
yang lebih banyak mengandung kolesterol (Depkes, 2007).
2. Faktor
Risiko yang Dapat Dimodifikasi
Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor risiko yang dapat dilakukan
intervensi untuk mencegah terjadinya suatu penyakit. Faktor risiko ini bukan
merupakan suatu karakteristik mutlak dari seseorang, yang biasanya dipengaruhi
oleh banyak hal, terutama perilaku. Berikut ini merupakan faktor risiko yang
dapat dimodifikasi.
a. Tekanan
Darah
Tekanan
darah merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian
stroke. Tekanan darah yang tinggi atau lebih sering dikenal dengan istilah
hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik pada stroke iskemik maupun
stroke hemoragik. Hal ini disebabkan oleh hipertensi memicu proses
aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi dapat mendorong Low Density
Lipoprotein (LDL) kolesterol untuk lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima
lumen pembuluh darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh darah tersebut.
(Lumongga, 2007).
Hipertensi terjadi akibat interaksi antara faktor
keturunan dan lingkungan. Berikut ini merupakan beberapa faktor risiko untuk
terjadinya hipertensi, yaitu umur, jenis kelamin, keturunan, stress fisik dan
pekerjaan, jumlah asupan garam yang berlebihan, konsumsi alkohol dan kopi
berlebihan, obesitas, dan aktivitas fisik rendah (Patel, 1995). Hipertensi
dapat mempengaruhi hampir seluruh organ tubuh, terutama otak, jantung, ginjal,
mata, dan pembuluh darah perifer. Kemungkinan terjadinya komplikasi tergantung
kepada seberapa besar tekanan darah itu, seberapa lama dibiarkan, seberapa
besar kenaikan dari kondisi sebelumnya, dan kehadiran faktor risiko lain
(Patel, 1995). Berbagai studi telah
membuktikan bahwa dengan mengendalikan hipertensi akan menurunkan insiden
stroke. Hasil dari 61 penelitian jangka panjang menunjukkan, setiap peninggian
tekanan darah 20/10 mmHg (dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg) akan
meningkatkan mortalitas stroke hingga dua kali.
Sedangkan, penurunan 2 mmHg tekanan sistolik dapat menyebabkan penurunan
mortalitas stroke sebesar 10% (Pudjonarko, 2011).
Pada hasil Farmingham Study ditemukan bahwa hipertensi
lebih sering ditemukan 1,5 kali lebih banyak pada stroke dibandingkan dengan yang tanpa
hipertensi (Bustan, 2007). Dari survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004,
prevalensi hipertensi di Indonesia sekitar 14% dan meningkat sesuai dengan
pertambahan umur. Prevalensi hipertensi pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan prevalensi pada laki-laki (Depkes, 2007).
Pemeriksaan tekanan darah merupakan cara mudah untuk
mendeteksi ada tidaknya hipertensi pada seseorang. Oleh karena itu, berdasarkan
“The 7th Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure” (JNC 7), hipertensi
diklasifikasikan berdasarkan besarnya tekanan darah seperti pada tabel di bawah
ini:
Tabel
1. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah
Klasifikasi
|
Sistolik (mmHg)
|
Diastolik (mmHg)
|
Tindak Lanjut
|
Normal
|
< 120
|
dan < 80
|
Cek
ulang minimal dalam 2 tahun
|
Pre-Hipertensi
|
120-139
|
atau 80-89
|
Cek
ulang dalam 1 tahun, dengan
anjuran
perbaiki gaya hidup
|
Hipertensi
Stage
1
|
140-159
|
atau 90-99
|
Konfirmasi
ulang dalam 2 bulan,
dengan
anjuran perbaiki gaya
hidup
|
Hipertensi
Stage
2
|
>160
|
atau > 100
|
Evaluasi
atau rujuk ke spesialis
dalam
1 bulan. Jika tekanan darah
lebih
tinggi evaluasi dan segera
terapi
|
Sumber: JNC 7
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tekanan darah
dibagi dalam empat klasifikasi berdasarkan tekanan darah sistolik dan
diastolik. Tekanan sistolik berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila
jantung berkontraksi (denyut jantung), yang merupakan tekanan maksimum pada
arteri dan tercermin dari hasil pembacaan tekanan darah yang nilainya lebih
besar. Sedangkan tekanan diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila
jantung berada dalam keadaan relaksaasi diantara dua denyutan, yang merupakan
tekanan minimum pada arteri dan tercermin dari hasil pembacaan tekanan darah
yang nilainya lebih kecil (Hull, 1993). Mengacu pada tabel tersebut, maka dapat
dilakukan tindak lanjut atas hasil tekanan darah yang diperiksa.
Tanda-tanda peringatan stroke akibat hipertensi termasuk
mati rasa pada setiap bagian tubuh, kesulitan dalam memahami percakapan,
perubahan visual, pusing, kebingungan, dan kehilangan kesadaran.
Menghindari gaya hidup buruk seperti kurangnya latihan,
kehidupan yang penuh stres, merokok, dan terlalu banyak alkohol sangat membantu
dalam menjaga tingkat kesehatan yang optimal dan mencegah hipertensi. Makanan
juga mempengaruhi tekanan darah dalam pembuluh darah. Jadi, kolesterol tinggi
dan konsumsi garam yang tinggi harus dihentikan. Memiliki jantung sehat dengan
sirkulasi darah yang tepat sangat penting untuk bertahan hidup dan hidup lebih
lama.
Menjaga
kondisi kesehatan pembuluh darah adalah cara paling jitu menghindari serangan
stroke. Dengan menjaga kesehatan pembuluh darah, sistem kardiovaskular akan berfungsi
normal dan tidak akan terjadi penyumbatan suplai darah ke otak (Franchisesmartdetox
b. Kadar
Gula Darah
Kadar gula darah yang normal adalah di bawah 200 mg/dl.
Jika kadar gula darah melebihi dari itu disebut hiperglikemia, maka orang
tersebut dicurigai memiliki penyakit diabetes melitus. Kadar gula darah dapat
dengan cepat berubah-ubah, tergantung pada makanan yang kita makan dan seberapa
banyak makanan itu mengandung pemanis sintetis. Kadar gula darah yang tadinya
normal cenderung meningkat setelah usia 50 tahun secara perlahan tetapi pasti,
terutama pada orang-orang yang tidak aktif (Depkes, 2008).
Keadaan
hiperglikemi atau kadar gula dalam darah yang tinggi dan berlangsung kronis
memberikan dampak yang tidak baik pada jaringan tubuh, salah satunya adalah
dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis baik pada pembuluh darah kecil
maupun besar termasuk pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak (Hull, 1993).
Keadaan pembuluh darah otak yang sudah mengalami aterosklerosis sangat berisiko
untuk mengalami sumbatan maupun pecahnya pembuluh darah yang mengakibatkan
timbulnya serangan stroke. Dengan kata lain, kadar gula darah yang tinggi dapat
menjadi faktor risiko untuk terjadinya stroke. Kadar gula darah sewaktu yang
tinggi juga dapat memperburuk keadaan defisit neurologis yang dialami oleh
penderita stroke, sehingga dapat meningkatkan mortalitas serangan stroke
tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pemeriksaan kadar gula darah
sewaktu pada pasien stroke sangat diperlukan.
c. Kadar
Kolesterol Darah
Kolesterol merupakan senyawa lemak kompleks yang
dihasilkan oleh hati untuk bermacam-macam fungsi, seperti membuat hormon seks,
adrenalin, membentuk dinding sel, dan lainnya (Soeharto, 2004). Hal ini
mencerminkan betapa pentingnya kolesterol bagi tubuh, akan tetapi apabila
asupan kolesterol dalam makanan yang masuk ke tubuh terlalu tinggi jumlahnya,
maka kadar kolesterol dalam darah akan meningkat. Kelebihan kadar kolesterol
dalam darah akan beraksi dengan zat lain sehingga dapat mengendap pada pembuluh
darah arteri yang menyebabkan penyempitan dan pengerasan yang disebut sebagai
plak aterosklerosis (Soeharto, 2004).
Pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat penting untuk
dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor
risiko untuk terjadinya stroke. Hal ini disebabkan oleh kolesterol darah yang
ikut berperan dalam penumpukkan lemak di dalam lumen pembuluh darah yang dapat
mengakibatkan terjadinya aterosklerosis (Hull, 1993). Oleh karena itu, jika
kadar kolesterol dalam darah meningkat, maka risiko untuk aterosklerosis
meningkat juga. Kolesterol tidak larut dalam cairan darah, sehingga untuk
proses transportasinya ke seluruh tubuh perlu “dikemas” bersama protein menjadi
partikel yang disebut “lipoprotein” (Soeharto, 2004). Lipoprotein ini banyak
jenisnya, akan tetapi dalam hubungannya dengan penyakit stroke, biasanya dalam
pemeriksaan laboratorium terdapat pemeriksaan mengenai kadar profil lemak yang
terdiri dari kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL), High Density
Lipoprotein (HDL), dan trigliserida (Soeharto, 2004). LDL dikenal sebagai
“kolesterol jahat”, karena kadar kolesterol LDL yang tinggi menyebabkan pengendapan
kolesterol dalam arteri.yang merupakan pencetus terjadinya penyumbatan pada
pembuluh darah atau aterosklerosis. Sedangkan, HDL sering disebut sebagai
“kolesterol baik” yang membawa kelebihan kolesterol dalam arteri untuk dibawa
ke hati kembali dan dibuang dari tubuh (Makmun, 2003). Jadi, HDL merupakan
pelindung terhadap kejadian penyakit
stroke. Kadar kesetaraan antara kolesterol total dan kolesterol LDL
adalah sebagai berikut:
Tabel
2. Kadar Kesetaraan Antara Kolesterol Total dan Kolesterol LDL
Kolesterol total
|
Kolesterol LDL
|
240 mg/dl
|
160 mg/dl
|
200 mg/dl
|
130 mg/dl
|
155 mg/dl
|
100 mg/dl
|
Menurut The National Cholesterol Education Program
(NCEP), dalam New Clinical Practice Guidelines on The Prevention and Management
of high cholesterol in adults bahwa kadar kolesterol LDL yang optimal adalah
kurang dari 100 mg/dl dan kadar kolesterol HDL terandah < 40 mg/dl serta
kadar trigliserida direkomendasikan pada kadar yang moderat (< 200 mg/dl).
Berikut ini merupakan klasifikasi Adult Treatment Panel (ATP III) terhadap
kolesterol total, LDL, dan HDL.
Tabel
3. Klasifikasi Adult Treatment Panel (ATP III) terhadap Kolesterol LDL, Total,
HDL dalam mg/dl
Kolesterol LDL (mg/dl)
|
Kolesterol LDL
|
< 100
|
Optimal
|
100-129
|
Mendekati optimal
|
130-159
|
Batas tinggi
|
160-189
|
Tinggi
|
≥ 190
|
Sangat Tinggi
|
Kolesterol Total (mg/dl)
|
|
< 200
|
Target yang hendak dicapai
|
200-239
|
Batas tinggi
|
> 240
|
Tinggi
|
Kolesterol HDL (mg/dl)
|
|
< 40
|
Rendah
|
≥ 60
|
Tinggi
|
Kadar
kolesterol yang tinggi dalam darah dapat menjadi masalah sebagai pemicu
terjadinya stroke. Hal ini terjadi karena kolesterol merupakan zat di dalam
aliran darah dan semakin tinggi kolesterol, maka semakin besar kemungkinan dari
kolesterol tersebut tertimbun pada dinding pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga mengganggu suplai darah ke otak
yang disebut dengan stroke iskemik. Berikut ini merupakan hubungan antara kadar
kolesterol dengan risiko aterosklerosis:
Tabel
4. Hubungan Kadar Kolesterol dan Risiko Aterosklerosis
Umur (Tahun)
|
Kadar Kolesterol
|
|
|
Risiko Sedang (mg/dl)
|
Risiko Tinggi (mg/dl)
|
< 19
|
170-185
|
> 185-200
|
20-29
|
200-220
|
> 220
|
30-39
|
220-240
|
> 240
|
40
|
240-260
|
> 260
|
Terkadang
nilai kadar kolesterol total, LDL, dan HDL yang dilihat secara tunggal tidak
dapat mencerminkan risiko orang tersebut untuk terkena penyakit stroke dan PJK.
Rasio kolesterol total terhadap HDL merupakan kriteria ambang batas nilai rasio
untuk laki-laki dan perempuan yang berumur 20-60 tahun ke atas. Rasio yang
harus dipertahankan adalah 4 (Soeharto, 2004). Misalnya, seseorang laki-laki
berumur 40 tahun memiliki kadar kolesterol total 195 mg/dl, dimana angka ini
menunjukkan bahwa kadar kolesterol totalnya tergolong rendah. Akan tetapi,
ketika diketahui bahwa kadar HDL orang tersebut hanya 33 mg/dl, maka didapatkan
rasio kolesterol total terhadap HDL adalah 195 : 33 = 6. Dari nilai tersebut
dapat diketahui bahwa rasio tersebut tergolong tinggi dan dapar meningkatkan
risiko untuk terkena stroke dan PJK. Tabel 2.5 di bawah ini merupakan
penggolongan tingkat risiko berdasarkan rasio kolesterol total terhadap HDL
untuk laki-laki dan perempuan yang berumur 20-60 tahun ke atas.
Tabel
5. Rasio Kolesterol Total Terhadap HDL dan Tingkat Risiko
Lemak
|
Umur (tahun)
|
Risiko Rendah
|
Risiko Sedang (Moderat)
|
Risiko Tinggi
|
Risiko Sangat Tinggi
|
||||
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
L
|
P
|
||
Kolesterol
|
20-39
|
2,3-3,6
|
1,9-2,8
|
3,7-5,1
|
2,9-3,6
|
5,2-6,1
|
3,7-4,2
|
>6,1
|
>4,2
|
Total
|
40-59
|
2,6-4,2
|
2,0-3,0
|
4,3-6,0
|
3,1-4,0
|
6,1-7,4
|
4,1-4,9
|
>7,4
|
>4,9
|
HDL
|
60+
|
2,5-4,0
|
2,0-3,2
|
4,1-6,0
|
3,3-4,8
|
6,1-6,9
|
4,9-5,5
|
>6,9
|
>5,5
|
Sumber: Cooper, 1989 dalam Soeharto,
2004
Keterangan:
L:
Laki-laki
P: Perempuan
d. Penyakit
Jantung
Penyakit
atau kelainan pada jantung dapat mengakibatkan iskemia otak. Hal ini disebabkan
oleh denyut jantung yang tidak teratur dan tidak efisien dapat menurunkan total
curah jantung yang mengakibatkan aliran darah di otak berkurang (iskemia).
Selain itu juga dengan adanya penyakit atau kelainan pada jantung dapat terjadi
pelepasan embolus (kepingan darah) yang kemudian dapat menyumbat pembuluh darah
otak. Hal ini yang disebut dengan stroke iskemik akibat trombosis. Seseorang
dengan penyakit atau kelainan pada jantung mendapatkan risiko untuk terkena
stroke lebih tinggi 3 kali lipat dari orang yang tidak memiliki penyakit atau
kelainan jantung (Hull, 1993).
e.
Diabetes Mellitus
Selain dikenal sebagai penyakit, diabetes melitus juga
merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Diabetes melitus digolongkan
menjadi dua tipe, yaitu diabetes tipe 1 (akibat defisiensi insulin absolut
akibat destruksi sel beta yang disebabkan oleh autoimun ataupun idiopatik) dan
diabetes tipe 2 (defisiensi insulin relatif yang disebabkan oleh defek sekresi
insulin lebih dominan daripada resistensi insulin ataupun dapat sebaliknya),
(Depkes, 2008). Sedangkan, kejadian
diabetes melitus tipe 2 lebih dipengaruhi oleh perilaku makan seseorang.
SKRT 2003, melakukan pemeriksaan konsentrasi glukosa
puasa memakai strip (dry chemistry)
dan menyatakan bahwa seseorang dikatakan menderita diabetes melitus apabila
memiliki kadar gula darah puasa > 110 mg/dl. Berikut ini merupakan daftar
kadar glukosa darah sewaktu dan gula darah puasa sebagai penyaring dan
diagnosis DM.
Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan
kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulang setiap tahun. Bagi mereka yang
berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2004
didapatkan prevalensi hiperglikemia sebesar 11,2% dan lebih tinggi pada
laki-laki (13%) daripada perempuan (10%), di daerah perkotaan (12%) daripada
perdesaan (10%), dan wilayah Indonesia Timur (15%) dripada wilayah Sumatera,
Jawa dan Bali (10%) (Depkes, 2007).
Kondisi seseorang yang menderita DM dapat meningkatkan
risiko untuk terkena stoke. Hal ini disebabkan oleh DM dapat meningkatkan
prevalensi aterosklerosis dan juga meningkatkan prevalensi faktor risiko lain
seperti hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia. Pengontrolan tekanan darah
pada penderita DM juga perlu dilakukan disamping pemeriksaan ketat kadar gula
darah. Tekanan darah yang dianjurkan pada penderita Diabetes mellitus adalah
< 130/ 80 mmHg.
Tabel
6. Diagnosis DM Menurut Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
|
|
Bukan
DM
|
Belum
Pasti DM
|
DM
|
Kadar glukosa darah
sewaktu (mg/dl)
|
Plasma Vena
|
<
100
|
100 –
199
|
≥ 200
|
|
Darah Kapiler
|
<
90
|
90 –
199
|
≥ 200
|
Kadar glukosa darah
puasa (mg/dl)
|
Plasma Vena
|
<
100
|
100 –
125
|
≥ 126
|
|
Darah Kapiler
|
<
90
|
90 –
99
|
≥ 100
|
Jika kadar glukosa (gula darah) seorang
penderita kencing manis tetap tinggi, akan menimbulkan berbagai komplikasi pada
berbagai organ tubuh, salah satunya akan mengganggu sirkulasi darah ke otak
sehingga bisa mengibatkan terjadinya stroke, bahkan bisa berakhir dengan
kematian (Yastroki, 2012).
f.
Obesitas
Obesitas adalah kondisi dimana Body Mass Index (BMI)
> 30 kg/m2. Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan
sebesar 20% dari berat badan idealnya (Hull, 1993). Obesitas merupakan faktor
predisposisi penyakit kardiovaskuler dan stroke (Wahjoepramono, 2005). Hal ini
disebabkan oleh keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya tekanan darah dan
kadar gula darah (Pearson, 1994). Jika seseorang memiliki berat badan yang
berlebih, maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh
tubuh, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah (Patel, 1995). Obesitas juga
dapat mempercepat terjadinya proses aterosklerosis pada remaja dan dewasa muda
(Madiyono, 2003). Oleh karena itu, penurunan berat badan dapat mengurangi
risiko terserang stroke (Pearson, 1994).
Prevalensi obesitas meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Penurunan berat badan menjadi berat badan yang normal
merupakan cerminan dari aktivitas fisik dan pola makan yang baik. Oleh karena
itu, berat badan memiliki korelasi yang baik dalam pengukuran aktivitas fisik
dan pola makan seseorang.
3.
Faktor Risiko Perilaku (Primordial)
a.
Merokok
Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk
meningkatkan risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok
cenderung lebih berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan
orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2010). Hal ini disebabkan oleh
zat-zat kimia beracun dalam rokok, seperti nikotin dan karbon monoksida yang
dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri, meningkatkan tekanan
darah, dan menyebabkan kerusakan pada sistem kardiovaskuler melalui berbagai
macam mekanisme tubuh. Rokok juga berhubungan dengan meningkatnya kadar
fibrinogen, agregasi trombosit, menurunnya HDL dan meningkatnya hematokrit yang
dapat mempercepat proses aterosklerosis yang menjadi faktor risiko untuk
terkena stroke. Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah. Arteri juga mengalami
penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah robek, yang mengakibatkan
produksi trombosit meningkat sehingga darah mudah membeku.
Selain itu, merokok dapat mengakibatkan hal buruk bagi
lemak darah dan menurunkan kadar HDL dalam darah. Semua efek nikotin dari rokok
dapat mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan pada pembuluh darah.
Karbon monoksida dari rokok juga dapat mengurangi jumlah oksigen yang dibawa
oleh darah, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara oksigen yang
dibutuhkan dengan oksigen yang dibawa oleh darah (Stroke Association, 2010).
Hasil penelitian pada Framingham Study, insiden stroke 40%
lebih tinggi pada perokok laki-laki dan 60% lebih tinggi pada perokok perempuan
dibandingkan dengan yang bukan perokok (Pearson, 1994). Sebesar 35% penduduk
Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas adalah perokok baik tiap hari maupun
kadang-kadang. Dari hasil Susenas tahun 2001 dengan tahun 2003, terdapat
peningkatan jumlah penduduk yang merokok sebesar 3%.
Berdasarkan jenis kelamin, persentase merokok pada
laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Sedangkan berdasarkan
tempat, persentase merokok pada daerah perdesaan (37%) lebih tinggi
dibandingkan daerah perkotaan (32%). Sebesar 64% dari total penduduk yang
merokok diketahui bahwa usia pertama kali merokok adalah pada umur 15-19 tahun
(Depkes, 2007). Berdasarkan tingkat pendidikan, persentase perokok semakin
tinggi pada kelompok orang yang berpendidikan rendah. Dengan kata lain, semakin
tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah persentase orang yang merokok
(Luepker, 2004).
b. Kebiasaan
Mengkonsumsi Alkohol
Peran
alkohol dalam sumbangannya sebagai faktor risiko stroke memang masih
kontroversial dan diduga tergantung pada dosis yang dikonsumsi. Alkohol dapat
meningkatkan risiko terserang stroke jika diminum dalam jumlah banyak,
sedangkan dalam jumlah sedikit dapat mengurangi risiko stroke (Pearson, 1994).
Akan tetapi, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat menjadi
salah satu pemicu untuk terjadinya hipertensi, yang memberikan sumbangan faktor
risiko untuk terjadinya penyakit stroke. Dalam sebuah pengamatan, diperoleh
data bahwa konsumsi 3 gelas alkohol per hari akan meningkatkan risiko stroke
hemoragik, yaitu perdarahan intraserebral hingga 7 kali lipat (Wahjoepramono,
2005).
c. Aktivitas
Fisik
Aktivitas fisik atau olahraga merupakan bentuk
pemberian rangsangan berulang pada tubuh. Tubuh akan beradaptasi jika diberi
rangsangan secara teratur dengan takaran dan waktu yang tepat. Aktivitas fisik
sangat berhubungan dengan faktor risiko stroke, yaitu hipertensi dan
aterosklerosis. Seseorang yang sering melakukan aktivitas fisik, minimal 3-5
kali dalam seminggu dengan lama waktu minimal 30-60 menit dapat menurunkan
risiko untuk terkena penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah,
seperti stroke (Depkes, 2007). Hal ini disebabkan oleh aktivitas fisik yang
dapat membuat lumen pembuluh darah menjadi lebih lebar. Oleh karena itu, darah
dapat melalui pembuluh darah dengan lebih lancar tanpa jantung harus memompa
darah lebih kuat. Proses aterosklerosis pun lebih sulit terjadi pada mereka
yang memiliki lumen pembuluh darah yang lebih lebar. Selain itu, Centers for
Disease Control and prevention dan National Institutes of Health
merekomendasikan latihan fisik secara rutin (> 30 menit/ hari latihan fisik
moderat) dapat mengurangi komorbid yang menjadi faktor risiko stroke (Wahjoepramono,
2005).
d.
Stress
Stress mungkin bukan sebagai faktor risiko langsung
pada serangan stroke. Akan tetapi, stress dapat mengakibatkan hati memproduksi
lebih banyak radikal bebas, menurunkan imunitas tubuh, dan mengganggu fungsi
hormonal (Junaidi, 2004). Stress dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu: stress
biologis (berupa infeksi oleh bakteri dan virus pada sel-sel tubuh), stress
psikis (mental atau emosional), dan stress fisik (aktivitas fisik yang
berlebihan). Dari ketiga bentuk stress tadi, stress psikis merupakan stress
yang paling banyak dialami oleh manusia baik disadari maupun tidak. Apabila
stress psikis ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan kesan
bahaya pada tubuh yang mengakibatkan tubuh merespon secara berlebihan dengan
menghasilkan hormon-hormon yang membuat tubuh waspada, seperti kortisol,
katekolamin, epinefrin, dan adrenalin. Semua hormon yang dihasilkan oleh tubuh
tadi semakin banyak ketika tubuh terus merespon stress tersebut sebagai bahaya,
sehingga dapat berdampak buruk pada tubuh (Junaidi, 2004).
Dalam hubungannya dengan kejadian stroke, keadaan
stress dapat memproduksi hormon kortisol dan adrenalin yang berkontribusi pada
proses aterosklerosis. Hal ini disebabkan oleh kedua hormon tadi meningkatkan
jumlah trombosit dan produksi kolesterol. Kortisol dan adrenalin juga dapat
merusak sel yang melapisi arteri, sehingga lebih mudah bagi jaringan lemak
untuk tertimbun di dalam dinding arteri (Patel, 1995).
e.
Faktor Sosial dan Ekonomi
Faktor sosial ekonomi merupakan salah satu faktor yang secara
tidak langsung memiliki peran dalam pencetus kejadian suatu penyakit. Hal ini
mungkin berhubungan dengan perilaku kesehatan seseorang, yang dapat menyebabkan
orang tersebut berstatus sehat atau sakit. Orang dengan status sosial dan
ekonomi yang rendah lebih berisiko untuk terkena stroke dan penyakit
serebrovaskuler lainnya dibandingkan dengan mereka yang memiliki status sosial
dan ekonomi yang lebih tinggi (Engstrom, 2005). Berikut ini merupakan faktor
sosial ekonomi seseorang yang biasa digunakan dalam menilai perilaku kesehatan
dan hubungannya dengan kejadian suatu penyakit.
f.
Pendidikan
Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok, atau
masyarakat, sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik
(Notoatmodjo, 2007). Pendidikan memiliki unsur-unsur yang berperan didalamnya,
yaitu input (sasaran pendidikan dan pendidik), proses atau upaya dari
pendidikan tersebut, output (pengetahuan yang diharapkan dapat mengubah
perilaku). Dari ketiga unsur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan suatu upaya dalam mempengaruhi orang lain untuk merubah perilakunya,
yang dalam bahasan kali ini adalah perilaku kesehatan untuk mencegah terjadinya
suatu penyakit.
Stroke merupakan salah satu penyakit multikausal yang
berkaitan erat dengan perilaku atau gaya hidup. Pendidikan merupakan salah satu
upaya menambah informasi dan pengetahuan seseoarang, yang diharapkan kedepannya
akan mengubah perilaku kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu,
pendidikan merupakan salah satu faktor sosial dan ekonomi yang secara tidak
langsung ikut berperan dalam kejadian stroke.
g.
Pekerjaan
Pekerjaan merupakan salah satu indikator yang
menunjukkan status sosial ekonomi. Pekerjaan merupakan salah satu faktor risiko
untuk terjadinya stroke. Hal ini mungkin
disebabkan oleh hubungan antara pekerjaan dengan tingkat stress seseorang,
dimana keadaan stress tersebut dapat meningkatkan risiko terkena serangan
stroke. Pekerja kasar atau pekerja level bawah memiliku risiko 50% lebih tinggi
untuk mendapatkan serangan stroke
(Engstrom, 2005). Beban kerja yang besar, gaji yang tidak sesuai harapan, dan
tekanan dari atasan dapat menjadi pemicu stress di tempat kerja, yang pada
akhirnya menyebabkan stress dan menjadi faktor risiko bagi terjadinya stroke.
Kehilangan prestasi kerja, rendahnya dukungan atasan, kerja shift malam,
alokasi penempatan kerja, ataupun masalah gaji yang tidak sesuai dengan apa
yang dilakukan juga dapat meningkatkan risiko penyakit stroke terkait stress
akibat kerja (Patel, 1995).
h.
Status Pernikahan
Status
pernikahan juga dapat digunakan untuk menilai status sosial individu. Laki-laki
dan perempuan yang tidak menikah ataupun mengalami perceraian memiliki risiko
lebih besar untuk terkena serangan stroke dibandingkan laki-laki dan wanita
yang memiliki isteri atau suami. Kejadian stroke pada laki-laki di atas umur 65
tahun yang menikah sebesar 13%, sedangkan pada umur yang sama kejadian stroke
pada laki-laki yang tidak menikah sebesar 16,8%. Kejadian stroke pada wanita di
atas umur 65 tahun yang menikah sebesar 8,2%, sedangkan pada umur yang sama
kejadian stroke pada wanita yang tidak
menikah sebesar 10,9%. Hal ini mungkin disebabkan oleh seseorang yang single
memiliki kebiasaan atau gaya hidup yang lebih buruk, seperti merokok, konsumsi
alkohol, perilaku makan yang buruk, dan tingkat stress yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang telah menikah atau memiliki pasangan hidup (Engstrom,
2005).
8.
Outcome
Stroke
Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering
digambarkan sebagai impairments, disabilitas dan handicaps.
Oleh WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan, 2000):
a.
Impairments
menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan anatomis yang
disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupasional
ditujukan untuk menetapkan kelainan ini.
b.
Disabilitas adalah
setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya
mampu dilakukan orang yang sehat seperti: tidak bisa berjalan, menelan dan
melihat akibat pengaruh stroke.
c.
Handicaps adalah
halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke berperan sebagai manusia
normal akibat ”impairment” atau disability” tersebut.
d.
Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel
Index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome
karena mudah digunakan, pengukuran yang sensitif terhadap keparahan stroke
dan memperlihatkan interrater reliability (Sulter dkk, 1999; Weimar dkk,
2002).
9.
Pencegahan
Stroke
Dalam merumuskan cara pencegahan bagi suatu penyakit,
maka sebelumnya harus diketahui apa saja yang menjadi faktor risiko dari
penyakit tersebut. Setelah dijelaskan mengenai faktor risiko pada penjelasan
sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa orang dengan faktor risiko penyakit stroke
akan lebih rentan untuk terkena serangan stroke dibandingkan dengan
mereka yang tidak memiliki faktor risiko. Begitu pula dengan jumlah faktor
risiko yang dimiliki. Semakin banyak jumlah faktor risiko yang dimiliki
seseorang, maka semakinbesar pula kemungkinan orang tersebut untuk mendapatkan
serangan stroke, begitu juga sebaliknya.
Tujuan umum pencegahan stroke adalah untuk
menurunkan kecacatan dini, kematian, serta memperpanjang hidup dengan kualitas
yang baik. Dikenal dua macam pencegahan pada penyakit stroke, pencegahan
yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer dilakukan
bagi mereka yang belum pernah mengalami TIA atau stroke, sedangkan
pencegahan sekunder adalah pencegahan yang ditujukan bagi mereka yang pernah
atau sudah mengalami TIA atau stroke (Junaidi, 2011).
Seperti yang telah diketahui, kejadian stroke tidak
terlepas dari interaksi dari sekian banyak faktor risiko. Dari sekian banyak
faktor risiko tersebut, hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama untuk
penyakit stroke. Akan tetapi, pencegahan stroke tidak hanya fokus
pada penurunan tekanan darah untuk mengontrol kejadian hipertensi. Dalam
merumuskan cara pencegahan stroke, digunakan pendekatan yang
menggabungkan ketiga bentuk upaya pencegahan (pencegahan primer, sekunder,
tersier) dengan 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu gaya hidup,
lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan (Bustan, 2007).
1.
Pencegahan Primer
Dalam pencegahan primer, dimana pasien belum pernah
mengalami TIA ataupun stroke dianjurkan untuk melakukan 3M
(Junaidi,2004), yaitu:
a.
Menghindari rokok, stress mental, minum
kopi dan alkohol, kegemukan, dan golongan obat-obatan yang dapat mempengaruhi
serebrovaskuler (amfetamin, kokain, dan sejenisnya).
b.
Mengurangi asupan lemak, kalori, garam, dan
kolesterol yang berelebih.
c.
Mengontrol atau mengendalikan hipertensi,
diabetes melitus, penyakit jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah,
konsumsi makanan seimbang serta olah raga teratur 3-4 kali seminggu.
2.
Pencegahan
Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan pada mereka yang pernah
mengalami TIA atau memiliki riwayat stroke sebelumnya, yaitu dengan
cara:
a.
Mengontrol faktor risiko stroke atau
aterosklerosis, melalui modifikasi gaya hidup, seperti mengobati hipertensi,
diabetes melitus dan penyakit jantung dengan obat dan diit, stop merokok dan
minum alkohol, turunkan berat badan dan rajin olahraga, serta menghindari
stress.
b.
Melibatkan peran serta keluarga seoptimal
mungkin, yang dapat mengatasi krisis sosial dan emosional penderita stroke dengan
cara memahami kondisi baru bagi pasien pasca stroke yang bergantung pada
orang lain.
c.
Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan
dan pencegahan stroke, seperti anti-agregasi trombosit dan
anti-koagulan.
3.
Pencegahan
Tersier
Berbeda dari pencegahan primer dan sekunder, pencegahan
tersier ini dilihat dari 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu gaya
hidup, lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan (Bustan, 2007). Pencegahan
tersier ini merupakan rehabilitasi yang dilakukan pada penderita stroke yang
telah mengalami kelumpuhan pada tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat
mengalihkan fungsi anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang masih
normal, yaitu dengan cara:
a.
Gaya hidup dengan reduksi stress, exercise
sedang, dan berhenti merokok.
b.
Lingkungan dengan menjaga keamanan dan
keselamatan (tinggal di rumah lantai pertama, menggunakan wheel-chair)
dan dukungan penuh dari keluarga
c.
Biologi dengan kepatuhan berobat, terapi
fisik dan bicara.
d.
Pelayanan kesehatan dengan emergency
medical technic dan asuransi.
DAFTAR PUSTAKA
Bustan,
M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta.
Caplan,
L.R. 2000. Caplan’s Stroke : A Clinical
Approach. 3rded.
Butterworth-Heinemann.Boston.
Cermin
Dunia Kedokteran.. www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_157_Neurologi.pdf.
Diakses 27 Maret 2015.
ChopperandCo. 2014. Makalah Stroke. http://evilprincekyu.wordpress.com/
2014/03/11/makalah-stroke/. Diakses tanggal 15 Mei 2015.
Departemen
Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI.
Foerch
C, Niessner M, Back T, Bauerle M, De Marchis GM, et al, 2012. Diagnostic Accuracy of Plasma Glial
Fibrilary Acidic Protein for Differentiating Intracerebral Hemorrhage and
Cerebral Ischemia in Patients with Symptoms of Acute Stroke. Clinical Chem 58: 1-10.
Hardjodisastro, Daldiyono. 2006. Menuju Seni Ilmu Kedokteran : Bagaimana Dokter Berpikir, Bekerja, dan
Menampilkan Diri. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Heart
And Stroke Foundation. 2012. A Perfect Storm Of Heart Disease Looming
On Our Horizon. www.heartandstroke.com.
Diakses 27 Maret 2015.
Hayden,M.R.,
Tvagi,S.C. 2004. Uric Acid: A New Look at
An Old Risk Marker for
Cardiovascular Disease, Metabolic Syndrome, and Type 2 Diabetes Mellitus : The Urate Redox Shuttle. Nutrition
& Metabolism.1:10.
Junaidi,
Iskandar. 2011. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. PT
Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.
Lumongga,
Fitriani. 2007. Atherosclerosis..
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2060/1/09E01458.pdf. diakses 25 Maret 2015.
Madiyono,
dkk. 2003. Pencegahan Stroke dan
Serangan Jantung Pada Usia Muda. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Depok.
Mochtar, Iqbal. 2009. Dokter
Juga Manusia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Muhlisin,
Ahmad. 2014. Stroke-Faktor Risiko Stroke.
http://mediskus. com/penyakit/stroke-faktor-risiko-stroke.html. Diakses tanggal
26 Maret 2015.
Nastiti,
Dian. 2012. Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke
pada Pasien Stroke Rawat Inap di Rumah Sakit
Krakatau Medika. Skripsi FKM UI. Depok.
Notoatmodjo,
Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta.
Jakarta.
Prasianto.
2013. Epidemiologi Tentang Penyakit Tidak
Menular “Epidemiologi Stroke”. http://prasianto.blogspot.com/2013/01/epidemiologi-tentang
-penyakit-tidak.html. Diakses tanggal 28 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar